“Sumber Hukum Islam “
“yang Tidak Disepakati”
“Ditujukan untuk memenuhi tugas”
Mata Kuliah : Ushul Fiqih
Dosen : Azhar.Sh.I MA
Jurusan : Tarbiyah - PAI (II-A)
Di susun Oleh

SEKOLAH TINGGI
AGAMA ISLAM JAM’IYAH MAHMUDIYAH TANJUNG PURA - LANGKAT
TAHUN PERIODE :
2015- 2016
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT, Tuhan seru sekalian alam. Shalawat dan salam
semoga dilimpahkan-Nya kepada Nabi Muhammad SAW yang diutus sebagai rahmat bagi
sekalian alam, berserta keluarga dan para sahabatnya serta para pengikutnya
yang setia sampai hari kemudian.
Makalah ini kami buat dengan maksud untuk menunaikan tugas kami mengenai Sumber Hukum Islam Yang tidak disepakati Semoga makalah ini memberi banyak manfaat dan
memperluas ilmu pengetahuan.
Akhirnya, hanya kepada Allah SWT kami mohon, semoga usaha ini merupakan usaha
yang murni bagi-Nya dan berguna bagi kita sekalian sampai hari kemudian.
Dan tak lain yang kami harapkan adalah syafaat, berkah darimu ya Muhammad.
Semoga kita selalu dalam lindungan Illahi Rabbil Izzati, dan mampu meneladani
kemuliaan akhlaqmu yang teruntai di dalam sunnah-nabawiyahmu. Aamiin Ya Rabbal
Aalamiin.
Tanjung Pura, Maret, 2016
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hukum sering disebut sebagai produk yang lahir
dari dinamika kehidupan manusia. “Di mana ada
masyarakat di sana ada hukum”. Oleh karena itu, sector hukum harus
selalu mengikuti irama perkembangan masyarakat artinya dalam masyarakat yang
maju dan modern harus memiliki hukum yang maju dan modern pula.
Namun demikian,
harus diakui bahwa hukum adalah benda mati tidak berwujud yang menjadi bagian
dari karya dan karsa manusia. Artinya, karena hukum bukan sumber hidup dan
tidak pada posisi untuk mengubah dirinya, dalam arti apabila hukum tidak diubah
dan dimodernisasi maka hukum tidak akan pernah modern. Dalam hukum
Islam terdapat dua ketentuan sumber hukum atau dalil yaitu sumber hukum yang
disepakati dan sumber hukum yang tidak disepakati.menurut ‘Abd al Majid
Muhammaad Al Khafawi bahwa sumber hukum
yang di sepakati ulama tersebut yaitu Al-Qur’an dan As-Sunnah, Ijma’, dan
Qiyas.
Sedang
sumber hukum/ dalil yang tidak disepakati atau terjadi Ikhtilaf ada 7 secara
umum yaitu Istihsan,Istishab,Maslahah
al mursalah,Urf,Saddudz dzarî’ah,Syar’u man Qablana,Qaul Sahabi
Adapun dalam
makalah ini akan membahas sumber hukum yang tidak disepakati oleh mayoritas
ulama’,sehingga terjadi perbedaan (ikhtilaf) dalam penggunaanya.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Istihsan
1.Pengertian
Pengertian istihsan
menurut bahasa adalah mengembalikan sesuatu kepada yang baik, menurut istilah
Ushul yaitu memperbandingkan, dilakukan oleh mujtahid dari qias jalli (jelas)
kepada qias khafi (tersembunyi), atau dari hukum kulli kepadahukum istinai’
Menurut
Wahbah Az Zuhaili terdiri dari dua definisi:
a.
Memakai qias khafi dan meninggalkan qias jalli karna ada petunjuk untuk itu
disebut istihsan qiasi
b.
Hukum pengecualian dari kaidah kaidah yang berlaku umum karna ad petunjuk untuk
hal tersebut. Disebut istihsan Istinai’[1]
2.
Macam- Macam Istihsan
Ulama Hanafiyyah membagi istihsan
kepada 6 macam, yaitu:
a.
Istihsan bi al-Nash/الإستحسان بالنص (Istihsan berdasarkan ayat atau
hadist).
b.
Istihsan bi al-Ijma'/الإستحسان بالإجماع (istihsan yang didasarkan kepada
ijma’).
c.
Istihsan bi al-qiyas al-khafiy/الإستحسان بالقياس
الخفى (istihsan
berdasarkan qiyas yang tersembunyi).
d.
Istihsan bi al-Mashlahah/الإستحسان بالمصلحة(istihsan berdasarkan kemaslahatan).
e.
Istihsan bi al-‘Urf/الإستحسان بالعرف(istihsan berdasarkan adat kebiasaan yang berlaku umum).
f. Istihsan bi al-dharurah/الإستحسان
بالضرورية(istihsan
berdasarkan keadaan darurat).
4.
Kehujahan Istihsan
Terdapat perbedaan pendapat ulama
ushul fiqih dalam menetapkan istihsan sebagai salah satu metode/dalil dalam
menetapkan hukum syara’.[2]
Menurut ulama Hanafiyyah, Malikiyyah dan sebagian ulama Hanabilah, istihsan
merupakan dalil yang kuat dalam menetapkan hukum syara’. Alasan yang mereka
kemukakan adalah:
a.
Ayat-ayat yang mengacu kepada pengangkatan kesulitan dan kesempitan dari umat
manusia, yaitu firman Allah dalam surat al-baqarah, 2: 185:
….Allah
menghendaki kemudahan bagi kamu dan tidak menghendaki kesukaran bagi kamu…
b.
Rasulullah dalam riwayat ‘Abdullah ibn Mas’ud mengatakan:
مَا رَآهُ الـْمُسْلـِمُوْنَ حَسَنـًا
فـَهُوَ عِنـْدَ اللهِ حَسَنٌ
“Sesuatu
yang dipandang baik oleh umat islam, maka ia juga di hadapan Allah adalah baik.
(H.R. Ahmad ibn Hanbal)
Adapun Ulama Syafi’iyyah, Zhahiriyyah, Syi’ah dan Mu’tazilah
tidak menerima istihsan sebagai salah satu dalil dalam menetapkan hukum syara’.
Alasan mereka, sebagaimana yang dikemukakan Imam al-Syafi’i, adalah:
a.
Hukum-hukum syara’ itu ditetapkan berdasarkan nash (al-Qur’an dan atau
Sunnah) dan pemahaman terhadap nash melaui kaidah qiyas. Istihsan
bukanlah nash dan bukan pula qiyas. Jika istihsan berada di luar nash dan
qiyas, maka hal itu berarti ada hukum-hukum yang belum ditetapkan Allah yang
tidak dicakup oleh nash dan tidak bisa dipahami dengan kaidah qiyas. Hal ini
tidak sejalan dengan firman Allah dalam surat al-Qiyamah, 75:36:
“Apakah
manusia mengira, bahwa ia akan dibiarkan begitu saja (tanpa
pertanggungjawaban).”
Menurut wahbah az Zuhaili
menyebutkan bahwa adanya perbedaan tersebut disebabkan perbedaan dalam
mengartikan Istihsan, Imam Syafii membantah istihsan dengan menggunakan hawa
nafsu tanpa menggunakan dalil syara’, sedang istihsan yang dipakai oleh
penganutnya bukan berdasarkan hawa nafsu tetapi mentarjih (menganggap
kuat)salah satu dua dalil yang bertentangan.
B. Istishab
1. Pengertian Istishab
Secara lughawi (etimologi) istishab itu
berasal dari kata is-tash-ha-ba ((استصحب dalam shigat
is-tif’âl (استفعال), yang berarti: استمرار الصحبة.
Kalau kata الصحبة
diartikan
“sahabat” atau “teman”, dan استمرار diartikan “selalu” atau
“terus-menerus”, maka istishab itu secara lughawi artinya adalah: “selalu
menemani” atau “selalu menyertai”.
Sedangkan secara istilah (terminologi),
terdapat beberapa definisi yang dikemukakan oleh para ulama, di antaranya
ialah:
Ibn al-Qayyim al-Jauziyah Istishab
ialah mengukuhkan menetapkan apa yang pernah ditetapkan dan meniadakan apa yang
sebelumnya tiada.
2.
Syarat-syarat Istishab [3]
a. Syafi’iyyah
dan Hanabillah serta Zaidiyah dan Dhahiriyah berpendapat bahwa hak-hak yang
baru timbul tetap menjadi hak seseorang yang berhak terhadap hak-haknya
terdahulu.
- Hanafiyyah dan Malikiyah membatasi istishab terhadap aspek yang menolak saja dan tidak terhadap aspek yang menarik (ijabi) menjadi hujjah untuk menolak, tetapi tidak untuk mentsabitkan.
3. Macam-
Macam Istishab
Muhammad
Abu Zahroh membagi Istishhab menjadi 4 bagian :
a. Istishhab
al-Bara`ah al-Ashliyyah dapat dipahami dengan contoh sebagai berikut : seperti tidak adanya kewajiban
melaksanakan syari’at bagi manusia, sehingga ada dalil yang menunjukan dia
wajib melaksanakan kewajiban tersebut,. Maka apabila dia masih kecil maka
dalilnya adalah ketika dia sudah baligh.
2. Ishtishhab ma dalla asy-Syar’i au al-’Aqli ‘ala
Wujudih bisa dipahami yaitu bahwa nash menetapkan suatu hukum dan akal pun
membenarkan (menguatkan ) sehingga ada dalil yang menghilangkan hukum tersebut.
3. Istishhab al-hukmi bisa dipahami apabila hukum itu
menunjukan pada dua terma yaitu boleh atau dilarang, maka itu tetap di bolehkan
sehingga ada dalil yang mengharamkan dari perkara yang diperbolehkan tersebut,
begitu juga sebaliknya.
4. Istishhab
al-Washfi dipahami dengan menetapkan sifat asal pada sesuatu, seperti
tetapnya sifat hidup bagi orang hilang sehingga ada dalil yang menunjukan bahwa
dia telah meninggal, dan tetapnya sifat suci bagi air selama belum ada najis
yang merubahnya baik itu warna,rasa atau baunya.
5.
Kehujjahan Istishab
Para ulama ushul fiqih berbeda pendapat
tentang kehujjahan isthishab ketika tidak ada dalil syara’ yang menjelaskan
suatu kasus yang dihadapi:[4]
- Ulama Hanafiyah : menetapkan bahwa istishab itu dapat menjadi hujjah untuk menolak akibat-akibat hukum yang timbul dari penetapan hukum yang berbeda (kebalikan) dengan penetapan hukum semula, bukan untuk menetapkan suatu hukum yang baru.
- Ulama mutakallimin (ahli kalam) : bahwa istishab tidak bisa dijadikan dalil, karena hukum yang ditetapkan pada masa lampau menghendaki adanya adil.
- Ulama Malikiyah, Syafi’iyah, Hanabilah, Zhahiriyah dan Syi’ah : bahwa istishab bisa menjadi hujjah serta mutlak untuk menetapkan hukum yang sudah ada, selama belum ada yang adil mengubahnya.
C. Maslahah al Murslah
Menurut
abdul wahab khalaf; sesuatu yang
dianggap maslahah namun tidak ada ketegasn hukum untuk merealisasikanya dan
tidak pula ada dalil yang mendukung maupun yang menolaknya,sehingga ia dikatakn
Maslahah al mursalah ( maslahah yang lepasdari dalil secara khusus).
Para ulama’
belum sepenuhnya sepakat bahwa maslahah al mursalah dapat dijadikan
sumberhukum islam artinanya maslahah al mursalah termasuk sumber hukum Islam yg
masih di pertentangkan, golongan mazhab Syafii dan Hanafy tidak menganggap
maslahah al mursalah sebagai sumber hukum yang berdiri sendiri, dan
memasukkannya dalam katagori bab Qiyas,
jika dalam suatu maslahah tidak didapatkannya nash yg bisa dijadikannya acuan
dalam Qiyas maka maslahah tersebut di anggap batal/ tidak diterima. Sedang Imam
malik dan Imam Hanbaly mengatakan bahwa maslahah dapat diterima dan dapat
dijadikan sumber hukum apabila memenuhi syarat.[5]
Adapun syaratnya yaitu:
1.
Adanya persesuian antara maslahah yg dipandang sebagai sumber dalil yg berdiri
sendiri dengan tujuan tujuan syariat ( maqashid as syari’ah).
2.
Maslahah harus masuk akal ( rationable).
3.
Penggunan
dalil maslahah adalah dalam rangka menghilangkan kesulitan yang terjadi ( raf’u
haraj lazim), seperti firman Allah surah al hajj ayat 78, yg artinya “dan Dia tidak sekali kali menjdikan untuk
kamu suatu kesempitan.”( lihat al I’tisham oleh As Syatibi juz 3, hal 307
D. ‘URF ( Adat istiadat)
1.Pengertian
Kata ‘urf
secara etimologi berarti “sesuatu yang
dipandang baik dan diterima akal sehat”. Sedang secara terminologi
menurut Abdul Karim Zaidan yaitu “
sesuatu yang tidak asing lagi bagi suatu masyarakat karna telah menjadi
kebiasaan dan menyatu dengan kehidupan mereka baik berupa perbuatan maupun
perkataan.
Oleh karna
itu Ulama Mazhab Maliky dan Hanafy bahwa hukum yang ditetapkan berdasarkan urf
yang shahih sama dengan yang ditetapkan berdasarkandalil syari’iy.
Adapun
pembagian ‘Urf dibagi menjadi dua macam
1.
‘Urf yang Fasid ( rusak/jelek) yang tidak bisa diterima, yaitu ‘Urf yang bertentangan
dengan Nash Qath’i
2.
‘Urf yang shahih( baik/Benar), suatu kebiasaan
baik yang tidak bertentangan dengan syariat.
2. Kehujjahan 'Urf
'Urf menurut penyelidikan bukan
merupakan dalil syara’ tersendiri. Pada umumnya, urf ditujukan untuk memelihara
kemaslahatan umat serta menunjang pembentukan hukum dan penafsiran beberapa
nash. Namun hal ini bukan berarti urf tidak mempunyai dasar hukum sebagai salah
satu sahnya sumber syari’at islam. Mengenai kehujjahan urf menurut pendapat kalangan ulama ushul fiqh,
diantaranya:[6]
1)
Golongan Hanafiyah dan Malikiyah berpendapat bahwa urf adalah hujjah untuk
menetapkan hukum islam. Alasan mereka ialah berdasarkan firman Allah dalam
surat al A’rof ayat 199:
خُذِ اْلعَفْوَ وَأمُرْ بِاْلعُرْفِ وَاَعْرِضْ عَنِ
اْلجَاهِلِيْنَ.
“Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah
orang-orang mengerjakan yang ma’ruf serta berpalinglah daripada orang-orang
yang bodoh”.
Ayat ini bermaksud bahwa urf ialah
kebiasaan manusia dan apa-apa yang sering mereka lakukan (yang baik). Ayat ini,
bersighat ‘am artinya Allah memerintahkan Nabi-Nya untuk mengerjakan
suatu hal yang baik, karena merupakan perintah, maka urf dianggap oleh syara’
sebagai dalil hukum.
2) Golongan Syafi’iyah dan
Hanbaliyah, keduanya tidak menganggap urf sebagai hujjah atau dalil hukum
syar’i. Golongan Imam Syafi’i tidak mengakui adanya istihsan, mereka
betul-betul menjauhi untuk menggunakannya dalam istinbath hukum dan tidak
menggunakannya sebagai dalil.[7]
Maka dengan hal itu, secara otomatis golongan Imam Syafi’ juga menolak
menggunakan urf sebagai sumber hokum islam. Penolakannya itu tercermin dari
perkataannya sebagaimana berikut:
“Barang siapa yang menggunakan
istihsan maka sesungguhnya ia telah membuat hukum”.
E. Saddudz dzarî’ah
1.
Pengertian
Menurut bahasa saddu berarti menutup dan dzara’I kata
jama’ dari dzari’ah berarti “Wasilah atau
jalan”. Jadi artinya menutup jalan. Sedang menurut istilah ialah “menghambat
segala sesuatu yang menjadi jalan kerusakan”[8]
Yang
dimaksud dengan saddu al-dzari’ah ialah
“mencegah/menyumbat
sesuatu ygang menjadi kerusakan, atau menyumbat jalan yang dapat menyampaikan
seseorang pada kerusakan”.
Pada dasranya yang menjadi objek dzari’ah adalah semua
perbuatan ditinjau dari segi akibatnya yang dibagi menjadi empat, yaitu :
1)
Perbuatan yang akibatnya menimbulkan kerusakan/bahaya,
2)
Perbuatan yang jarang , berakibat
kerusakan /bahaya,
3)
Perbuatan yang menurut dugaan kuat akan menimbulkan bahaya;
4)
Perbuatan yang lebih banyak menimbulkan kerusakan, tetapi belum mencapai tujuan
kuat timbulnya kerusakan itu.
2. Kehujahan
tentang kehujjahan Saddu Dzari’ah
ada beberapa pendapat:
1)
Imam Malik dan Imam Ahmad Ibnu Hambal dikenal sebagai dua orang Imam yang
memakai saddu dzari’ah. Oleh karena itu, kedua Imam ini menganggap bahwa saddu
dzari’ah dapat menjadi hujjah. Khususnya Imam Malik yang dikenal selalu
mempergunakannya di dalam menetapkan hukum syara’. Imam Malik di dalam
mempergunakan saddu dzari’ah sama dengan mempergunakan masalih mursalah
dan Uruf wal Adah. Demikian dijelaskan oleh Imam Al-Qarafi, salah
seorang ulama ulung dibidang ushul dari mazhab Maliki.
2)
Imam Ibnu Qayyim mengatakan, bahwa penggunaan saddu dzari’ah merupakan satu hal
yang penting sebab mencakup seperempat dari urusan agama. Di dalam saddu
dzari’ah termasuk Amar (perintah) Nahi (larangan).
3)
Ulama Hanafiyyah, syafi’iyah, dan syi’ah menerima saddu dzari’ah
sebagai dalil dalam masalah-masalah tertentu dan menolaknya dalam kasus-kasus
lain. Imam Asy-Syafi’i, membolehkan seseorang yang karena udzur, seperti sakit
dan musafir, untuk meninggalkan shalat Jum’at dan menggantinya dengan shalat
Zhuhur.
F. Syar’u man Qablana
1. Pengertian
Syar’u Man Qoblana
Secara
etimologis syar’u man qablana adalah hukum-hukum yang disyariatkan oleh Allah
SWT, bagi umat-umat sebelum kita. Secara istilah ialah syari ‘at yang
diturunkan Allah kepada umat sebelum ummat Nabi Muhammad SAW, yaitu ajaran
agama sebelum datangnya ajaran agama Islam melalui perantara nabi
Muhammad SAW, seperti ajaran agama Nabi Musa, Isa, Ibrahim, dan lain-lain.[9]
2.
Hukum Syar’u
Man Qoblana
Jika Al-qur’an atau sunnah yang sahih mengisahkan suatu hukum yang telah disyariatkan kepada umat yang dahulu melalui para Rosul, kemudian
nash tersebut diwajibkan kepada kita sebagaimana diwajibkan kepada mereka maka
tidak diragukan lagi bahwa syariat tersebut juga ditujukan kepada kita. Dengan kata
lain wajib untuk diikuti, seperti
Firman Allah SWT dalam surat Al-baqoroh ayat 183 berikut.
ياايها الذين امنواكتب عليكم الصيام
كماكتب على الذين من قبلكم....
“hai orang-orang yang beriman
diwajibkan kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu”(Al-baqarah
:183)
Sebaliknya, bila dikisahkan suatu syari’at yang telah
ditetapkan kepada orang-orang terdahulu, namun hukum tersebut telah dihapus
untuk kita, para ulama sepakat bahwa hukum tersebut tidak disyari’atkan kepada
kita, seperti syari’at Nabi Musa a.s bahwa seseorang yang telah berbuat dosa
tidak akan diampuni dosanya, kecuali dengan membunuh dirinya. Dan jika ada
najis yang menempel pada tubuh, tidak akan suci kecuali dengan memotong anggota
badan tersebut, dan lain sebagainya.[10]
3. Pendapat Ulama tentang Syar’u Man
Qoblana
Jumhur ulama’
Hanafiah, sebagian ulama’ Maikiyah dan syafi’iyah berpendapat bahwa Syar’u Man
Qablana disyariatkan juga pada kita dan kita
berkewajiban mengikuti dan menerapkannya selama hukum tersebut telah
diceritakan kepada kita serta tidak terdapat hukum yang menasakhnya. Alasannya
mereka menganggap bahwa hal itu termasuk daripada hukum-hukum Tuhan yang
telah disyariatkan melalui para rosulnya dan diceritakan kepada kita. Maka orang-orang mukallaf wajib mengikutinya. Lebih jauh ulama’ hanafiah
mengambil dalil bahwa yang dinamakan pembunuhan itu adalah umum dan tidak
memandang apakah yang dibunuh itu muslim atau kafir dzimmi, laki-laki atau
perempuan berdasarkan kemutlakan firman Allah SWT :
النفس بالنفس (Jiwa dibalas dengan jiwa)
Sebagian ulama mengatakan bahwa
syari’at kita itu menasakh atau menghapus syari’at terdahulu, kecuali
apabila dalam syari’at terdapat sesuatu yang menetapkannya. Namun, pendapat
yang benar adalah pendapat pertama karena syari’at kita hanya menasakh
syari’at terdahulu yang bertentangan dengan syari’at kita saja
4.
Macam-macam
Syar’u Man Qoblana
Syar’u Man Qablana dibagi menjadi
dua bagian. Pertama, setiap hukum syariat dari umat terdahulu namun tidak
disebutkan dalam al-Qur’an dan sunnah. Ulama’ sepakat bahwa macam pertama ini jelas tidak
termasuk syariat kita. Kedua, setiap hukum syariat dari umat terdahulu namun
disebutkan dalam al-Qur’an dan sunnah.
Berikut adalah
gambaran Syar’u Man Qoblana[11]
1.
Ada yang telah dihapuskan oleh syariat Islam
2.
Ada yang tidak dihapus oleh syariat Islam :
a. Yang ditetapkan
oleh syariat Islam dengan tegas
b. Yang tidak
ditetapkan syariat Islam dengan tegas :
Ø Yang
diceritakan kepada kita baik melalui Alqur’an atau Hadis.
Ø Yang tidak
disebut-sebut sama sekali di dalam Alqur’an atau Hadis.
Ada beberapa
dalil yang dibuat tendensi mereka, para ulama’ yang
Dari uraian
diatas, dapat disimpulkan bahwa syar’u man qoblana tidak berdiri sendiri,
melainkan baru dapat berlaku jika dikukuhkan dengan dalil-dalil Alqur’an dan
hadis yang sahih, sekaligus tidak terdapat dalil yang menunjukkan bahwa ia
telah mansukh.
G. Qaul Shahabi
Secara bahasa qaul artinya
perkataan, ucapan, sabda. Sedangkan shahabi diartikan sahabat nabi, yaitu orang
mukmin yang pernah bertemu langsung dengan nabi serta bergaul lama dengan
beliau.
Menurut pandangan Imam Syafi’i, qaul
shahabi adalah fatwa-fatwa yang dikeluarkan oleh sahabat Nabi Muhammad SAW
menyangkut hukum masalah-masalah yang tidak diatur di dalam nash, baik
Al-Qur’an maupun Sunnah.
Pengertian lain dari qaul shahabi
adalah pendapat para sahabat Rasulullah SAW, yaitu pendapat para sahabat atas
suatu permasalahan yang dinukil para ulama baik berupa fatwa maupun ketetapan
hukum. Dimana ayat dan hadits tidak menjelaskan hukum atas permasalahan yang
dihadapi oleh para sahabat tersebut. Sedangkan yang dimaksud dengan sahabat
menurut ulama ushul fiqh adalah seseorang yang bertemu dengan Rasulullah SAW
dan beriman kepadanya serta hidup bersama beliau dalam kurun waktu yang
panjang.
Jadi, qaul al-shahabi merupakan
pendapat hukum yang dikemukakan oleh seseorang atau beberapa orang sahabat
nabi, tentang suatu hukum syara’ yang ketentuannya tidak terdapat pada nash.[12]
Pada dasarnya sahabat sama dengan
umat Islam lainnya, tetapi disisi lain mereka mempunyai kelebihan tersendiri
sehubungan dengan kebersamaannya dengan Rasulullah SAW. Misalnya ada sahabat
yang menonjol dalam hal perbendaharaan hadits, ada juga sahabat yang terkenal
sebagai mufti yang alim dan ahli ber-istinbath, ada juga yang dikenal sebagai
panglima perang, selain itu juga ada yang menonjol sebagai tokoh pemimpin
masyarakat. Dalam semua hal itu mereka sangat mengenal bahasa Al-Quran. Mereka
banyak mengetahui kasus, peristiwa atau kondisi sosial yang melatar belakangi
turunnya ayat-ayat tertentu. Mereka pun menyaksikan tindakan serta mendengar
dan melaksanakan secara langsung titah atau pengarahan Rasulullah SAW dalam
berbagai kaitannya. Hal ini membuat mereka lebih mampu memahami kandungan makna
Al-Qur’an dan Sunnah. Selain itu, berkat pergaulannya dengan Nabi SAW, kualitas
akhlak mereka sangat tinggi sehingga para ulama sepakat mengakui bahwa pada
dasarnya mereka semua bersifat adil.
Perkataan sahabat yang tidak
mendapat tantangan dari sahabat yang lain menjadi hujjah bagi orang Islam.
Sebab persesuaian mereka dalam suatu masalah pada masa mereka hidup masih dekat
dengan masa hidup Rasulullah SAW serta pengetahuan mereka yang mendalam
mengenai rahasia-rahasia syari’at itu adalah menjadi bukti bahwa ucapan mereka
yang tidak mendapat bantahan itu berdasarkan kepada dalil yang qath’i dari
Rasulullah SAW. Misalnya keputusan Abu Bakar r.a. perihal bagian beberapa orang
nenek yang mewarisi bersama-sama ialah seperenam harta peninggalan yang
kemudian dibagi rata antar mereka. Tidak ada sahabat yang membantah keputusan
Abu Bakar r.a. tersebut. Bahkan dalam masalah yang sama Umar r.a. pun
memutuskan demikian. Oleh karena itu, hukum yang ditetapkan oleh sahabat Abu Bakar
r.a. tersebut merupakan hukum yang wajib diikuti oleh kaum muslimin karena
tidak mendapat perlawanan dari sahabat, bahkan tidak ada perselisihan di antara
kaum muslimin dalam masalah itu.[13]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Sumber hukum
Islam yang tidak disepakati ulama’ yaitu Istihsan,Istishab,Maslahah al
mursalah,Urf,Saddudz dzarî’ah,Syar’u man Qablana,Qaul Sahabi , merupakan
ciri khas Islam dalam pengambilan sumber
hukum yang bertujuan untuk menyelesaikan suatu masalah dengan cara pandang/
metode yang berbeda-beda. Sesuai dengan pemahaman mazhab dan dalilnya masing
masing.
B. Kritik dan Saran
Demikianlah makalah yang dapat kami paparkan.
Sebagai manusia, kami pun tak luput dari kesalahan dan tentunya masih sangat
jauh dari kesempurnaan. Tapi, semoga saja yang kita pelajari ini bermanfaat,
dengan harapan bisa menambah Pengetahuan dan Keilmuan bagi kita semua. Kritik
dan saran yang bersifat membangun sangat diharapkan untuk menjadi koreksi
kedepan.
DAFTAR FUSTAKA
Effendi
,Satria, M. Zein.2008.Ushul
Fiqh, ed. 1, cet. 2, Jakarta: Kencana,
Djazuli, A. 2012Ushul
Fiqh Jakarta:Kencana,
Syafe’i, Rachmat
.
2010 Ilmu Ushul Fiqih. Bandung:Pustaka Setia,
Uman,
Chaerul dkk. 2000. Ushul Fiqh 1 Bandung: CV PUSTAKA SETIA,
Wahhab, Abdul Khallaf.
1994 .
Ilmu Ushul Fiqh Semarang :
Toha Putra Group,
Rahmat,
Syafi’I.1999 Ilmu Ushul Fiqh .cet-1 Bandung : CV Pustaka
Setia.
Syarifuddin,
Amir 2001 Ushul fiqh, Jakarta: Logos.
Azhar.
2015. Ushul Fiqih Medan : Fakultas
Tarbiyah IAIN SU,
[1]
. Azhar,Ushul
Fiqih ( Medan : Fakultas Tarbiyah IAIN SU,2015,) hal. 50
[2]
, Amir Syarifuddin, Ushul fiqh, (Jakarta: Logos, 2001), hal. 313-314
[4]
.Ibid .165
[5]
. Abdul Khallaf Wahhab. Ilmu
Ushul Fiqh (Semarang : Toha Putra Group, 1994), hlm. 121 - 122
[6]
. Chaerul Uman dkk, Ushul Fiqh 1 (Bandung: CV PUSTAKA SETIA, 2000), 166
[7]
.Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqh (Bandung: CV PUSTAKA SETIA, 2010),112.
[8]
.Ibid.117
[11]
. A. Djazuli,Ushul Fiqh[Jakarta:Kencana,2012]hal.96
[13]
.Ibid. Hal 170
No comments:
Post a Comment