KATA PENGANTAR
Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Tuhan yang
maha Esa atas ridho dan hidayahnya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas Karya
Ilmiah ini dengan penuh keyakinan serta usaha maksimal. Semoga dengan
terselesaikannya tugas ini dapat memberi pelajaran positif bagi kita semua.
Selanjutnya penulis juga ucapkan terima kasih kepada Ibu dosen Prof.Dr.Hj.Alesyarti,M.Pd.M.H mata kuliah Penulisan Karya
Ilmiah yang telah memberikan tugas ini
kepada kami sehingga dapat memicu motifasi kami untuk senantiasa belajar lebih
giat dan menggali ilmu lebih dalam khususnya mengenai “Perlindungan hukum terhadap anak yang melakukan tindak pidana ” sehingga
dengan kami dapat menemukan hal-hal baru yang belum kami ketahui.
Terima kasih juga kami sampaikan atas petunjuk yang di
berikan sehingga kami dapat menyelasaikan tugas ini dengan usaha semaksimal
mungkin. Terima kasih pula atas dukungan para pihak yang turut membantu
terselesaikannya laporan ini, ayah bunda, teman-teman serta semua pihak yang
penuh kebaikan dan telah membantu penulis.
Terakhir kali sebagai seorang manusia biasa yang mencoba
berusaha sekuat tenaga dalam penyelesaian Karya Ilmiah ini, tetapi tetap saja tak luput dari
sifat manusiawi yang penuh khilaf dan salah, oleh karena itu segenap saran penulis
harapkan dari semua pihak guna perbaikan tugas-tugas serupa di masa datang.
Medan, 30 ,November , 2016
Penyusun
CUT QORI
DAFTAR ISI
ABSTRAK
Perlindungan hukum terhadap anak diupayakan
sejak awal, yakni sejak dari janin dalam kandungan sampai anak berumur 18
tahun. Dalam melakukan pembinaan, pengembangan dan perlindungan anak, perlu
adanya peran masyarakat, baik melalui lembaga perlindungan anak, lembaga
keagamaan, lembaga swadaya masyarakat, organisasi kemasyarakatan, organisasi
sosial, dunia usaha, media massa dan lembaga pendidikan.
Hal
tersebut merupakan suatu kewajaran jika kita mengacu kepada pendapat dari Soerjono Soekanto,(
1997:99) yang mengatakan sebagai berikut:
“Perubahan-perubahan
sosial yang di dalam suatu masyarakat dapat terjadi oleh karena bermacam-macam
sebab. Sebab-sebab tersebut dapat berasal dari masyarakat itu sendiri (intern)
muapun dari luar masyarakat (ekstern). Sebagai sebab-sebab intern antara lain dapat
disebutkan misalnya pertambahan penduduk; penemuan-penemuan baru; pertentangan
(conflict); atau mungkin karena terjadinya suatu revolusi. Sebab-sebab ekstern
dapat mencakup sebab-sebab yang berasal dari lingkungan alam fisik, pengaruh
kebudayaan lain, peperangan dan seterusnya. Suatu perubahan dapat terjadi
dengan cepat apabila suatu masyarakat lebih sering terjadi kontak komunikasi
dengan masyarakat lain, atau telah mempunyai sistem pendidikan yang maju.”
Ediwarman (2006:8) menyatakan bahwa:Anak sebagai bagian dari
generasi muda merupakan penerus cita-cita perjuangan bangsa dan merupakan
sumber daya manusia bagi pembangunan nasional ke depan, sehingga diperlukan
langkah-langkah strategis untuk melakukan perlindungan baik dari segi hukum
maupun segi pendidikan serta bidang-bidang lain yang terkait.
Sebagai ‘kertas putih dan bersih’, seorang anak rentan akan
pengaruh-pengaruh negatif yang bukan hanya berasal dari ruang lingkup
lingkungannya saja, namun juga dari ruang lingkup di luar lingkungannya, maka
sudah menjadi kewajiban bagi semua elemen masyarakat untuk menjaga perkembangan
fisik dan psikisnya.
Namun pada kenyataannya, masalah perilaku delinkuensi anak
kini semakin menggejala di masyarakat, baik di negara maju maupun negara sedang
berkembang. Perkembangan masyarakat yang berawal dari kehidupan agraris menuju
kehidupan industrial telah membawa dampak signifikan terhadap kehidupan tata
nilai sosiokultural pada sebagian besar masyarakat. Nilai-nilai yang bersumber
dari kehidupan industrial semakin menggeser nilai-nilai kehidupan agraris dan
proses tersebut terjadi secara berkesinambungan sehingga pada akhirnya membawa
perubahan dalam tata nilai termasuk pola-pola perilaku dan hubungan masyarakat.
Kenakalan anak setiap tahun selalu meningkat, apabila
dicermati perkembangan tindak pidana yang dilakukan anak selama ini, baik dari
kualitas maupun modus operandi yang dilakukan, kadang-kadang tindakan
pelanggaran yang dilakukan anak dirasakan telah meresahkan semua pihak
khususnya para orang tua. Fenomena meningkatnya perilaku tindak kekerasan yang
dilakukan anak seolah-olah tidak berbanding lurus dengan usia pelaku. (Nandang
Sambas 2010:103)
Pesatnya perkembangan dunia saat ini telah merubah wajah
dunia menjadi tanpa batas, yang ditandai dengan kemajuan tehnologi, baik alat
transportasi maupun komunikasi. Sehingga proses perpindahan budaya dan
nilai-nilai sosial dari satu wilayah ke wilayah lain menjadi sangat cepat.
Khususnya di Indonesia, perubahan nilai-nilai sosial semakin nyata dalam jangka
waktu yang sangat singkat. Pergaulan anak-anak dan remaja di era 80-an sangat
jauh berbeda dengan era 90-an bahkan pada saat sekarang ini. Hal yang dahulu
dianggap tabu, menjadi hal yang biasa pada saat ini. Perubahan nilai-nilai
tersebut, kemudian menjadi pemicu atau merupakan salah satu kriminogen dari
munculnya perilaku menyimpang dari seorang Anak.
Seorang anak yang melakukan tindak
pidana harus tetap memperoleh perlindungan hukum dalam proses peradilan
perkaranya demi kepentingan terbaik bagi anak (best interest of the child).
Penelitian bertujuan untuk mengetahui urgensi perlindungan hukum terhadap anak pelaku
tindak pidana, pelaksanaan pemeriksaan terhadap anak pelaku tindak pidana dan
pemidanaan terhadap anak pelaku tindak pidana. Penelitian ini dilakukan dengan
metode penelitian hukum normatif dan penelitian hukum empiris.
Berkaitan dengan perlindungan terhadap anak, dalam sistem
hukum pidana di Indonesia, Pemerintah menunjukkan itikad baik sebagai
implementasi dari peratifikasian dari beberapa konvensi Internasional yang
berkaitan dengan perlindungan hukum terhadap anak di Indonesia, dengan
membentuk Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Dimana sebelum adanya undang-undang tersebut telah ada
beberapa undang-undang sebelumnya yaitu pada Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997
tentang Pengadilan Anak. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 merupakan hukum acara
khusus yang diberlakukan terhadap anak yang bermasalah dengan hukum pidana,
yang sebelumnya masih mengacu pada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang
Hukum Acara Pidana.
Mengenai klasifikasi tindak pidana yang terhadap tindak
.pidana yang dilakukan terhadap anak, jauh sebelumnya, para penegak hukum
menggunakan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Berkaitan dengan peraturan
perundang-undangan tersebut, maka seharusnya para penagak hukum, juga melihat
ke belakang kembali. Bahwa masih terdapat undang-undang peraturan yang lain
yaitu Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak.
Hasil penelitian menunjukkan,
urgensi perlindungan hukum terhadap anak pelaku tindak pidana adalah karena
anak merupakan generasi penerus harapan bangsa. Pemeriksaan terhadap perkara
anak dalam proses peradilan yang harus berpedoman pada ketentuan Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 1997 dalam kenyataannya belum dilaksanakan secara maksimal. Hakim
Anak belum mempertimbangkan laporan pembimbing kemasyarakatan dalam mengambil
keputusan dan masih cenderung menjatuhkan pidana penjara.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Masa anak atau pengalaman hidup
sebagai anak punya daya tarik tersendiri. Masa anak juga merupakan masa yang
istimewa, tetapi juga adalah suatu periode batas dalam sejarah hidup seseorang,
sebab keberhasilan atau kegagalan dirinya di awal kehidupan ini sangat
menentukan per-kembangan pribadi dan masa depannya kelak. Masalah anak selalu
menjadi pusat perhatian bangsa kita karena anak adalah generasi muda yang
merupakan penerus cita-cita bangsa dan merupakan sumber daya manusia sebagai
faktor penting dalam pelaksanaan pembangunan.
Meningkatnya kualitas maupun
kuan-titas pelanggaran seperti yang diberitakan baik melalui media massa maupun
media elektronik terhadap ketertiban umum maupun pelanggaran terhadap ketentuan
Undang-Undang oleh pelaku-pelaku usia muda, mendorong kita untuk lebih banyak
memberi perhatian akan penanggu-langannya serta penanganannya, khususnya di
bidang hukum pidana (anak) beserta hukum acaranya. Hal ini erat hubungannya
dengan perlakuan khusus terhadap anak pelaku tindak pidana yang masih muda
usianya.
Perlakuan khusus terhadap anak
sebagai pelaku tindak pidana dimaksudkan untuk melindung hak-hak anak tersebut.
Perlindungan terhadap anak yang mela-kukan tindak pidana, tentu melibatkan
lembaga dan perangkat hukum yang lebih memadai. Untuk itu, pada tanggal 3
Januari 1997, pemerintah telah mensahkan Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997
tentang pengadilan anak, sebagai perangkat hukum yang lebih mantap dan memadai
dalam melaksanakan pembinaan dan memberikan perlindungan terhadap anak.
Penanganan perkara pidana yang
pelakunya masih tergolong anak, sebelum diberlakukannya Undang-undang
Pengadi-lan Anak tahun 1998 dapat dikatakan hampir tidak ada bedanya dengan
pena-nganan perkara yang tersangka/terdak-wanya adalah orang dewasa. Lebih
lanjut Dr. Bagir Manan, SH., MCL dalam Gatot Sopramono (2000 : 10) mengatakan
di lapangan hukum pidana anak-anak di perlakukan sebagai “orang dewasa kecil”
sehingga seluruh proses perkaranya kecuali di lembaga pemasyarakatan dilakukan
sama dengan perkara orang dewasa. Keadaan dan kepentingan anak sebagai
anak-anak (orang belum dewasa) kadang-kadang sedemikian rupa diabaikan tanpa
ada perlakuan-perlakuan yang khusus.
Penanganan perkara anak yang tidak
dibedakan dengan perkara orang dewasa dipandang tidak tepat karena sistem yang
demikian akan merugikan kepentingan nak yang bersangkutan. Anak yang mendapat
tekanan ketika pemeriksaan erkaranya sedang berlangsung akan mempengaruhi sikap
mentalnya. Misalnya nak akan merasa sangat ketakutan, merasa stress dan akibat
selanjutnya ia enjadi pendiam dan tidak kreatif. Ketentuan hukum mengenai
anak-anak, hususnya bagi anak yang melakukan tindak pidana di dalam
Undang-undang Nomor 3 tahun 1997 tentang pengadilan anak telah mengatur
pembedaan perlakuan di dalam hukum acara maupun ancaman pidananya. Pembedaan
perlakuan dan ancaman yang diatur dalam undang-undang ini dimaksudkan untuk
lebih memberikan perlindungan dan pengayoman terhadap anak dalam menyongsong
masa depannya yang masih panjang.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut
maka penulis merumuskan masalah sebagai berikut :
1.
Bagaimana urgensi perlindungan hukum terhadap anak
sebagai pelaku tindak pidana. ?
2.
Bagaimana
pelaksanaan pemeriksaan perkara anak sebagai pelaku tindak pidana. ?
3.
Bagaimana
perlindungan hukum terhadap anak dari perspektif hukum pidana materil?
4.
Bagaimana perlindungan
hukum terhadap anak dari perspektif
hukum pidana formil?
5.
Bagaimana Perlindungan Hukum Bagi Anak Pelaku Tindak
Pidana Ditinjau dari Perspektif KUHP, Undang-undang Nomor 3 tahun 1997
dan The Beijing
Rules
?
C. Tujuan dan Manfaat Pembahasan
Tujuan yang ingin dicapai dalam penulisan
karya ilmiah ini dapat diuraikan sebagai
berikut :
1.
Tujuan
penelitian
Tujuan umum penulisankarya ilmiah
ini adalah guna :
a.
melaksanakan
Tri Dharma Perguruan Tinggi, khususnya pada bidang penelitian yang dilakukan
oleh mahasiswa;
b.
mengembangkan
ilmu pengetahuan hukum;
c.
melatih
mahasiswa dalam usaha menyatakan pikiran alamiah secara tertulis.
Tujuan Khusus dalam penelitian ini
adalah memberikan pandangan yang layak dan sesuai dalam hal :
1.
Untuk mengetahui Bagaimana urgensi perlindungan hukum
terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana.
2.
Untuk mengetahui pelaksanaan pemeriksaan perkara anak
sebagai pelaku tindak pidana. .
3.
Untuk mengetahui perlindungan hukum terhadap anak dari
perspektif hukum pidana materil.
4.
Untuk mengetahui perlindungan hukum terhadap anak dari
perspektif hukum pidana formil.
5.
Untuk mengetahui Perlindungan Hukum
Bagi Anak Pelaku Tindak Pidana Ditinjau dari Perspektif KUHP,
Undang-undang Nomor 3 tahun 1997 dan The
Beijing Rules .
2. Manfaat Penelitian
a.
Secara
teoritis
Tulisan ini dapat dijadikan
sebagai bahan masukan informasi awal dalam bidang ilmu hukum bagi kalangan
akademisi guna mengetahui lebih lanjut tentang Perlindungan hukum pidana
terhadap anak yang melakukan tindak pidana.
b.
Secara
praktis
Tulisan ini secara praktis dapat bermanfaat sebagai bahan masukan bagi
para pihak yang berkaitan dengan Perlindungan hukum pidana terhadap anak yang
melakukan tindak pidana.
D. Metode Penelitian
Metode penelitian yang dipakai dalam
penulisan skripsi ini dapat diuraikan sebagai berikut :
1.
Jenis
dan sifat penelitian
Penelitian ini adalah penelitian hukum
normatif atau penelitian hukum kepustakaan, yaitu penelitian hukum yang
dilakukan dengan cara meneliti bahan kepustakaan atau data sekunder belaka.
Dengan metode penelitian normatif, penelitian ini akan menganalisis hukum baik
yang tertulis dalam literatur – literatur. Adapun data yang digunakan dalam
menyusun penulisan ini diperoleh dari penelitian kepustakaan (library
research), yaitu teknik pengumpulan data dengan memanfaatkan berbagai literatur
berupa peraturan perundang-undangan, bukubuku, karya-karya ilmiah, majalah
serta sumber data sekunder lainnya.
Walaupun penelitian
yang dimaksud tidak lepas pula dari sumber lain selain sumber kepustakaan,
yakni penelitian terhadap bahan media massa ataupun internet. Penelitian ini
bersifat penelitian deskriptif normatif.
Deskriptif normatif berarti bahwa
penelitian ini menggambarkan suatu peraturan hukum dalam konteks teori-teori
hukum dan pelaksanaannya.
2. Data
Penilaian
Materi
dalam skripsi ini diambil dari data sekunder, adapun data-data sekunder yang
dimaksud seperti berikut :
a.
Bahan hukum primer, yaitu: Berbagai
dokumen peraturan perundangundangan yang tertulis yang ada dalam dunia
internasional yang mengikat dan ditetapkan oleh pihak yang berwenang.
b.
Bahan hukum sekunder, yaitu bahan-bahan
yang memiliki hubungan dengan bahan hukum primer dan dapat digunakan untuk
menganalisis dan memahami bahan hukum primer yang ada.
c.
Bahan hukum tertier, yaitu : Mencakup kamus
bahasa untuk pembenahan tata bahasa Indonesia dan juga sebagai alat bantu
pengalih bahasa beberapa istilah asing. Juga termasuk dokumen yang berisi
konsep-konsep dan keterangan yang mendukung hukum primer dan sekunder, seperti
ensiklopedia.
3. Teknik
pengumpulan data
Jenis
data dalam penelitian ini meliputi data sekunder. Teknik pengumpulan data yang
akan digunakan dalam penelitian ini dilakukan dengan cara studi kepustakaan
(library research). Studi kepustakaan dilakukan untuk mengumpulkan data melalui
pengkajian terhadap literatur, tulisan-tulisan para pakar hukum, bahan kuliah,
peraturan perundang-undangan, majalah, jurnal, surat kabar, hasil seminar, dan
sumber-sumber lain yang berkaitan dengan penelitian ini.
4. Analisis
data
Data yang diperoleh dari penelusuran
kepustakaan, dianalisis dengan cara deskriptif kualitatif yakni pemilihan
teori-teori, asas-asas, norma-norma, doktrin terpenting yang relevan dengan
permasalahan. Metode deskriptif yaitu menggambarkan secara menyeluruh tentang
apa yang menjadi pokok permasalahan. Kualitatif yaitu metode analisa data yang
mengelompokkan dan menyeleksi data yang diperoleh menurut kualitas dan
kebenarannya kemudian dihubungkan dengan teori yang diperoleh dari penelitian
kepustakaan. Data primer dan data sekunder yang telah disusun secara
sistematika dari data-data tersebut kemudian dianalisis secara perspektif
dengan menggunakan metode deduktif induktif.
Metode
deduktif dilakukan dengan membaca, menafsirkan dan membandingkan, sedangkan
metode induktif dilakukan dengan menerjemahkan berbagai sumber yang berhubungan
dengan topik dengan skripsi ini sehingga diperoleh kesimpulan yang sesuai
dengan tujuan penelitian yang telah dirumuskan.
BAB II
TELAAH PUSTAKA
A. Kajian Teori
Proses peradilan pidana terhadap
anak sebagai pelaku sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997
ada-lah bagian yang tergabung dalam sistem peradilan pidana (criminal justice
system). Sistem peradilan pidana tersebut memiliki cakupan yang luas dalam
suatu sistem hukum (legal system
). Sebagaimana dikatakan oleh Friedman yang
dikemu-kakan oleh Mahmud Mulyadi (2008 : 15) bahwa sistem hukum memiliki
cakupan yang lebih luas dari hukum itu sendiri. Kata “hukum” sering mengacu
hanya pada aturan dan peraturan. Sedangkan sistem hukum membedakan antara
aturan dan peraturan itu sendiri, serta struktur, lembaga dan proses yang
mengisinya.
Struktur hukum dapat dikatakan
sebagai institusi yang menjalankan penega-kan hukum dan tergabung dalam sistem
peradilan pidana (criminal justice system) yang terdiri atas kepolisian,
kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan yang menjamin berjalannya
proses peradilan pidana. Inilah yang disebut dengan integrated criminal justice
system.
Dengan demikian kerangka teori dalam
penelitian ini menggunakan teori
legal systemyang mengacu pada Undang-Undang Nomor 3
Tahun 1997 sebagai
ketentuan hukum dan aparatur penegak hukum yang
tergabung dalam integrated
criminal justice systemyaitu penyidik anak, penuntut
anak, hakim anak, penasihat
hukum, pembimbing kemasyarakatan dan lembaga
pemasyarakatan/lembaga pema-syarakatan anak dalam menjalankan proses peradilan
yang benar-benar melindungi anak.
Asas perlindungan dalam proses
bekerjanya pengadilan anak dipahami sebagai falsafah yang mewarnai cara operasi
pengadilan anak tersebut dalam melaksanakan garis-garisnya. Perlakuan terhadap
anak harus sedemikian rupa, sehingga rasa keadilan dan tuntutan hukum dapat
diterapkan secara serasi.
Adapun asas-asas Undang-Undang Nomor
3 Tahun 1997 dalam proses bekerjanya pengadilan anak adalah :
1. Pembatasan
umur (Pasal 1 butir 1 joPasal 4 ayat (1)).
Adapun orang
yang dapat disidangkan dalam acara pengadilan anak ditentukan secara limitatif,
yaitu minimum berumur 8 (delapan) tahun dan maksimum 18 (delapan belas) tahun,
dan belum pernah kawin.
2.
Ruang lingkup masalah dibatasi (Pasal 1 ayat (2)).
Masalah yang diperiksa dalam sidang pengadilan anak
hanyalah terbatas menyangkut perkara anak nakal.
3.
Undang – Undang Nomor 3 Tahun 1997 menentukan perkara
anak nakal harus ditangani oleh pejabat-pejabat khusus, seperti :
a.
di tingkat penyidikan oleh penyidik anak;
b.
di tingkat penuntutan oleh penuntut umum anak;
c.
di tingkat pengadilan oleh hakim anak, hakim banding
anak dan hakim kasasi anak.
4. Peran
pembimbing kemasyarakat (Pasal 1 ayat (11)).
Undang-Undang
Pengadilan Anak mengakui peranan dari :
a. Pembimbing
kemasyarakatan,
b. Pekerja
sosial,
c. Pekerja
sosial sukarela.
5. Suasana pemeriksaan kekeluargaan (Pasal 42
ayat (1)).
Pemeriksaan
perkara di pengadilan dilakukan dalam suasana kekeluar-gaan. Oleh karena itu
hakim, penuntut umum dan penasehat hukum tidak memakai toga.
6. Keharusan splitsing(Pasal 7).
Anak tidak
boleh diadili bersama dengan orang dewasa baik yang berstatus sipil maupun
militer. Kalau terjadi anak melakukan tindak pidana bersama dengan orang
dewasa, maka si anak diadili dalam sidang pengadilan anak, sementara orang
dewasa diadili dalam sidang biasa, atau apabila ia berstatus militer di
peradilan militer.
7. Acara pemeriksaan tertutup (Pasal 8 ayat (1)).
Acara pemeriksaan di sidang pengadilan anak dilakukan secara tertutup. Ini demi
kepentingan si anak sendiri. Akan tetapi putusan harus diucapkan dalam sidang
yang terbuka untuk umum.
8. Diperiksa hakim tunggal (Pasal 11, 14 dan 18
). Hakim yang memeriksa perkara anak, baik di tingkat pengadilan negeri,
banding atau kasasi dilakukan dengan hakim tunggal.
9. Masa penahanan lebih singkat (Pasal 44 sampai
dengan 49).
Masa
penahanan terhadap anak lebih singkat dibanding masa penahanan menurut KUHAP.
10. Hukuman
lebih ringan (Pasal 22 sampai dengan 32).
Hukuman yang dijatuhkan terhadap
anak nakal, lebih ringan dari ketentuan yang diatur dalam KUHAP. Hukuman
maksimal untuk anak nakal adalah 10 (sepuluh) tahun.
BAB III
ANANILIS DAN SINTESIS ( ISI)
A. Urgensi Perlindungan Hukum terhadap Anak aebagai Pelaku Tindak Pidana
Urgensi perlindungan hukum terhadap
anak dalam kedudukannya sebagai pelaku tindak pidana dapat diketahui jika dapat
dipahami tentang anak. Memahami tentang anak, harus mengerti benar tentang
hakekat anak yang meliputi beberapa aspek yaitu perkembangan kepribadian anak,
tanggung jawab terhadap anak sebagai generasi muda, hak-hak anak dan
faktor-faktor anak melakukan pelanggaran hukum.
Hillary Rodham Clinton, menulis dalam
bukunya It Takes A Village(Aminah Aziz 1988 : 5) :
“Anak-anak sama
sekali bukan individualis. Mereka bergantung kepada orang dewasa yang mereka
kenal, juga kepada ribuan orang lain, yang membuat keputusan setiap hari dan
mempengaruhi kesejah-teraan mereka. Kita semua, entah sadar atau tidak,
bertanggung jawab untuk memutuskan apakah anak -anak kita dibesarkan dalam
sebuah bangsa yang tidak hanya menjunjung nilai-nilai keluarga tetapi juga
menghargai keluarga berikut anak-anak didalamnya.”
Pendapat tersebut mengingatkan kita
untuk menyadari bahwa anak dalam perkembangannya menjadi individu dewasa,
memerlukan orang lain sebagai teman yang terdekat dengan dirinya untuk
membimbingnya atau pun mendidiknya. Ia belum mampu melindungi dirinya sendiri
dari tindakan-tindakan yang menimbulkan kerugian baik fisik, mental maupun
sosial dalam berbagai segi kehidupannya. Dalam perkembangannya yang meliputi
banyak segi, perlu diingat bahwa kecepatan perkembangan pun tidak sama pada
setiap anak. Sehingga anak tidak boleh terlalu ditekan agar perkembangannya
sama dengan kecepatan anak lain. Di dalam psikologi perkembangan banyak
dibicarakan bahwa dasar kepribadian seseorang terbentuk pada masa anak-anak.
Anak adalah generasi muda harapan bangsa. Generasi muda apabila sudah sampai
saatnya akan menggantikan generasi tua dalam melanjutkan roda kehidupan negara.
Mereka nanti yang akan menentukan kesejahteraan bangsa di waktu mendatang. Oleh
karena itu generasi muda perlu dibina dengan baik agar mereka tidak salah jalan
dalam kehidupannya kelak. Mereka diharapkan dapat melakukan kegiatan yang dapat
meningkatkan kemampuan dan ketrampilan dirinya dan menguntungkan bagi
masyarakat.
Ciri dan watak bangsa Indonesia saat
ini akan banyak ditentukan oleh kasih sayang, perhatian dan pendidikan yang
kita berikan kepada anak cicit kita pada saat sekarang. Senada dengan hal itu
CFG. Sunaryati Hartono (1991 : 154) mengatakan “Tidaklah berlebihan kiranya
apabila dan khusus mengenai pembinaan kesejahteraan anak kita berpegang pada
etos bahwa hari depan (generasi muda) ditentukan oleh hari ini. Lebih tegas
lagi dikatakan bahwa the
future is now”.
Dengan latar belakang pemikiran yang
demikian maka di dalam hukum, seorang anak telah diberikan hak dan kewajiban
tertentu. Hak-hak ini diatur secara tersebar dalam berbagai bentuk peraturan
perundang-undangan. Tidak hanya di dalam Hukum Nasional anak-anak mempunyai hak
dan kewajiban, tetapi juga dalam Hukum Internasional.
Khusus perlindungan hukum terhadap
anak sebagai pelaku tindak pidana di dalam hukum nasional selain diatur di
dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 juga diatur di dalam beberapa perundang-undangan
lain yaitu Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia dan
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.
Perlindungan hukum terhadap anak
tersebut bertujuan untuk melindungi hak-hak anak yang telah melakukan pelanggaran
hukum karena faktor-faktor yang sebenarnya tidak terlepas dari peran kita
sebagai orang dewasa. Dengan demikian dapat kita pahami adalah merupakan hal
yang penting pula untuk menyelidiki faktor-faktor penyebab ataupun latar
belakang seorang anak melakukan tindak pidana dan selanjutnya menentukan
langkah yang terbaik bagi anak tersebut sehubungan dengan perbuatan yang telah
dilakukannya.
Setelah memahami tentang
perkem-bangan anak dan faktor-faktor penyebab anak melakukan tindak pidana,
maka diperoleh pengertian bahwa terdapat suatu jurang antara anak-anak dan
orang dewasa, sehingga seorang anak tidak dapat dipandang atau diperlakukan
sama dengan orang dewasa.
Agung Wahyono dan Ny. Siti Rahayu
(1993 : 88) mengatakan :
“Pada anak-anak
unsur pendidikanlah yang harus diutamakan dan bukanlah pidana sebagaimana
umumnya pada orang dewasa. Pidana yang diancam terhadap orang dewasa yang
melakukan suatu perbuatan pidana tidaklah dapat dilaksanakan terhadap anak-anak
yang melakukan suatu perbuatan pidana, karena pidana adalah pembawa nestapa
yang dimaksudkan supaya dirasakan oleh orang yang melakukan suatu perbuatan
pidana, kecuali apabila perbuatan pidana yang dilakukan merupakan perbua-tan
pidana yang berat dan membuat masyarakat menuntut agar anak dijatuhi pidana”.
Pendapat tersebut menunjukkan adanya
keinginan untuk memperlakukan anak baik selama proses peradilan, maupun pidana
yang diancamkan terhadap anak harus berbeda dengan ketentuan yang berlaku bagi
orang dewasa. Hal ini dimaksudkan agar anak terlindungi hak-haknya selama
proses peradilan ber-langsung, demikian juga penjatuhan dan pelaksanaan hukuman
benar-benar mem-perhatikan kepentingan terbaik bagi anak baik dari segi fisik,
mental maupun masa depan anak.
B. Pelaksanaan Pemeriksaan terhadap Perkara Anak sebagai Pelaku Tindak Pidana
Pada dasarnya pemeriksaan terhadap
perkara anak sebagai pelaku tindak pidana berlangsung :
1.
Pada tahap penyidikan.
2.
Pada tahap penuntutan.
3.
Pada tahap pemeriksaan di sidang pengadilan.
Hubungan antara Undang-Undang Nomor 3
Tahun 1997 tentang pengadilan anak dengan KUHAP (Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1981), merupakan hubungan hukum khusus dan hukum umum. Undang-Undang Nomor 3
Tahun 1997 sebagai hukum khusus (lex specialist), sedangkan KUHAP merupakan
hukum umum (lex generalis)yang masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan
dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997. Sebagai hukum khusus, undang-undang
pengadilan anak telah mengatur secara khusus tentang hukum acara dari tingkat
penyidikan sampai dengan acara pemeriksaan di sidang pengadilan.
Pada tahap penyidikan secara umum
pemeriksaan terhadap perkara Anak Nakal (sebagai pelaku tindak pidana)
dilaksana-kan sebagai berikut :
a.
Pejabat yang berwenang menangani perkara anak.
Pasal 41 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 mengatur :
1)
Penyidikan terhadap anak nakal, dilakukan oleh
penyidik yang dite-tapkan berdasarkan surat keputusan kepala kepolisian
Republik Indonesia atau pejabat lain yang ditunjuk oleh kepala kepolisian
Republik Indonesia.
2)
Syarat-syarat untuk dapat ditetapkan sebagai Penyidik
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah :
a)
telah berpengalaman sebagai penyidik tindak pidana
yang dilakukan oleh orang dewasa;
b)
mempunyai minat, perhatian, dedikasi, dan memahami
masa-lah.
3)
Dalam hal tertentu dan dipandang perlu, tugas
penyidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat dibebankan kepada :
a)
penyidik yang melakukan tugas penyidikan bagi tindak
pidana yang dilakukan oleh orang dewasa; atau
b)
penyidik lain yang ditetapkan berdasarkan ketentuan
Undang-Undang yang berlaku. Berdasarkan penelitian di lapangan bahwa di
Pematangsiantar penyidi-kan terhadap anak nakal masih dilaksanakan oleh
penyidik yang bertugas melakukan penyidikan terhadap perkara orang dewasa
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (3) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997.
b.
Penangkapan dan
penahanan terhadap anak.
Dalam hal penangkapan, implementasi hak tersangka anak
sudah ilaksanakan sesuai dengan ketentuan KUHAP dan Undang-Undang Nomor 3 Tahun
1997, tetapi dalam hal penahanan belum terlaksana sebab tempat penahanan anak
belum terpisah dari tempat penahanan bagi orang dewasa.
c.
Pemeriksaan terhadap sangka anak dilaksanakan secara
kekeluargaan sesuai dengan ketentuan Pasal 42 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3
Tahun 1997.
d.
Tersangka anak
berhak di damping oleh penasihat hukum.
Bantuan hukum terhadap tersangka anak diatur dalam
Pasal 51 ayat (1), (2) dan (3) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997.
e.
Penyidikan
perkara anak wajib dirahasiakan.
f.
Pemberkasan
perkara anak.
Pemberkasan perkara anak dilaksanakan sesuai dengan
ketentuan KUHAP sebab hal ini tidak diatur secara khusus dalam Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 1997.
Pada tahap penuntutan, penuntut umum yang
melakukan penuntutan terhadap anak nakal sesuai dengan ketentuan Pasal 53
Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 adalah penuntut umum yang ditetapkan
berdasarkan Surat Keputusan Jaksa Agung atau pejabat lain yang ditunjuk oleh
Jaksa Agung. Selain itu penuntut umum dalam perkara anak nakal harus memenuhi
syarat-syarat :
1.
telah berpengalaman sebagai Penuntut Umum tindak
pidana yang dilakukan oleh orang dewasa;
2. mempunyai
minat, perhatian, dedikasi dan memahami masalah anak. Dari hasil penelitian
yang dilakukan di instansi Kejaksaan Negeri dapat diketahui bahwa penanganan
perkara anak nakal pada tingkat penuntutan masih dilaksanakan oleh penuntut
umum yang melakukan tugas penuntutan bagi tindak pidana yang dilakukan oleh
orang dewasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat (3) Undang-Undang Nomor 3
Tahun1997.
Dalam kaitannya dengan pengadilan
anak, ada beberapa kebijakan yang telah dilakukan oleh Kejaksaan Agung seperti
tertuang dalam Surat Edaran Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum Nomor :
B-532/E/11/1995 tanggal 9 November 1995, perihal Petunjuk Teknis Tentang
Penuntutan Terhadap Anak, Surat Edaran Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum
Nomor : B-741/E/Epo.1/XII/1998 tanggal 15 No-pember 1998, prihal Pelaksanaan
Undang-
Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak dan
Surat Edaran Jaksa
Agung Muda Tindak Pidana Umum Nomor :
B-129/E.3/Epo.1/2/1999 tanggal
11Pebruari 1999, prihal Pedoman Undang-Undang Nomor 3
Tahun 1997 Tentang
Pengadilan Anak (Siswoyo 2007: 13).
Pada tahap pemeriksaan perkara anak di sidang
pengadilan dalam prakteknya dilaksanakan sebagai berikut :
a.
Pemeriksaan dilakukan oleh hakim anak.
Pemeriksaan sidang anak nakal
dilakukan oleh hakim khusus yaitu hakim anak. Pengangkatan hakim anak
ditetapkan oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia dengan surat keputusan.
Syarat-syarat untuk dapat ditetapkan sebagai
hakim anak, dalam Pasal 10 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 ditentukan sebagai
berikut :
1) telah
berpengalaman sebagai Hakim di pengadilan dalam lingkungan peradilan umum,
2) mempunyai
minat, perhatian, dedikasi dan memahami masalah anak. Seluruh pengadilan negeri
di Indonesia sudah ada hakim khusus yang menangani anak nakal/terdak-wanya
anak-anak yang surat keputu-sannya dikeluarkan oleh Ketua Mahkamah Agung (H.
Mohammad Arif 2008 : 9).
Di
samping tentang pengalaman menjadi hakim, masih perlu diatur tentang keharusan
memperoleh pendidikan khusus yang perlu ditempuh untuk menjadi hakim anak. Di
dalam buku Membangun Kekuatan Di Atas Ketidakpastian Perlindungan Hukum (Haspan
Yusuf Ritonga et al 2005 : 13) dinyatakan :
“Selain lama
bertugas menjadi hakim di pengadilan dan sudah memiliki pendidikan khusus, maka
dari segi umur yang cocok menjadi hakim anak adalah para hakim yang telah
berumur 45 (empat pu-luh lima) tahun ke atas dan yang sudah berkeluarga, atau
yang su-dah berkeluarga yang telah bertu-gas sebagai hakim minimal 15 (lima
belas) tahun. Hakim tersebut lebih mempunyai pengalaman yang luas, yang
diharapkan lebih arif dan bijaksana dalam mena-ngani perkara pidana anak. Hakim
anak sebaiknya mempunyai kualifikasi setingkat S-2 bahkan S-3. Hakim yang
memiliki kualifikasi tersebut diharapkan dapat menga-nalisa segala hal yang
berkaitan dengan masalah anak, dan dapat memprediksi serta mampu mengambil
tindakan yang akurat berkaitan dengan perkara pidana anak.”
b.
Disidangkan dengan Hakim tunggal (Pasal 11
Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997).
c.
Terdakwa didamping orang tua, penasihat hukum dan
pembimbing kemasyarakatan (Pasal 55 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997). Dalam
prakteknya ternyata kewajiban hadir pada sidang anak bagi orang tua, wali atau
orang tua asuh ini banyak mengalami kendala, sehingga tanpa kehadiran mereka,
hakim tetap melanjutkan jalannya
persidangan.
d.
Pembimbing Kemasyarakatan me-nyampaikan laporan hasil
penelitian kemasyarakatan, (Pasal 56 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997).
e.
Hakim, penuntut umum, penasihat hukum serta petugas
lainnya dalam sidang anak tidak memakai toga (Pasal Perlindungan Hukum terhadap
Anak sebagai Pelaku Tindak Pidana Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997).
f.
Pemeriksaan saksi (Pasal 58 Undang-Undang Nomor 3 Tahun
1997). Pada waktu pemeriksaan saksi, terdakwa anak dapat dibawa keluar sidang
untuk menghindari adanya hal yang mempengaruhi jiwa anak.
g.
Putusan diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum
(Pasal 59 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997).
C. Perlindungan Hukum Terhadap Anak dari Prepektif Hukum Pidana Materil
1.
Substansi
Anak Nakal
Tentang pengertian anak nakal Pasal 1
butir 2 UU No. 3/1997 tentang Pengadilan Anak mengandung dua pengertian:
a.
Anak
yang melakukan tindak pidana
Walaupun
Undang-Undang Pengadilan Anak tidak merumuskan lebih jelas tentang tindak
pidana yang dapat dilanggarbagi anak, karena dalam Penjelasan pasal pun
dirumuskan “cukup je1as”, akan tetapi dapat dipahami bahwa tindak pidana yang
dirnaksud adalah selain tindak pidana yang dirumuskanclalam KUHP, tetapi juga
tindak pidana di luar KUHP semisal UU tentang Narkotika, UU Psikotropika, UU
Hak Cipta dan sebagainya. (Nashriana, 2012:77)
Sebenarnya, ketika proses pembuatan UU
Peradilan anak melalui Keputusan Menteri Sosial Nomor Huk.3-1-30/ 15 tahun 1970
yang pada 12-13 Oktober 1970 diadakan Workshop perundang-undangan tentang Anak
dan Pemuda dengan penyelcnggaranya BKN-KKA, Salah satu Tim ~yaitu Team Kerja A
yangmembidangi tentang hukum pidana dan acara pidana- dalam salah satu
Rekomendasinya menyarankan bahwa pengertian tindak pidana anak: adalah semua
perbuatan yang dirumuskan dalam perundang-undangan pidana dan
perbuatan-perbuatan lainnya yang pada
hakikatnya merugikan perkembangan si anaksendiri serta merugikan masyarakat,
yang harus dirumuskan secara tegperinci dalam Undang-Undang Peradilan Anak.
Na-mun, setelah diterbitkannya UU No. 3/ 1997, pengertian tindak pidana anak
ternyata tidak dirumuskan secara eksplisit, tetapidikembalikan melalui
penafsiran berdasarkan Pasal 1 Butir 2 UU No. 3/1997.
b. Anak
yang melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak. Yang dimaksud perbuatan terlarang bagi anak
nakal adalahbaik menurut peraturan perundang-undangan maupun menurut peraturan
hukum lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan. Dalam hal
ini peraturan tersebut baikyang tertulis maupun yang tidak tertulis misalnya
hukum adatatau aturan kesopanan dan kepantasan dalam masyarakat.
Dari
dua pengertian di atas, Gatot Supramono dalam(Nashriana, 2012:77) beranggapan
bahwa hanya anak nakal dalam lingkup butir a sajayaitu anak yang melakukan
tindak pidana, yang dapat diajukan kesidang pengadilan. Beliau melandaskan diri
bahwa dalam KUHP tidak mengenal anak nakal dalam pengertian b di atas,
karenasesuai dengan isinya bahwa KUHP hanya mengatur tentang tindak pidana.
Sebenarnya, kalau dikembalikan pada Pasal 1 Butir2 yang mcmuat tentang
pengertian anak nakal (baik huruf abdan b), dan juga berdasarkan Pasal 21 yang
menentukan bahwa:Sidang anak berwenang
untuk memeriksa, memutus, dan menyelesaikan
perkara pidana dalam hal anak nakal (garis bawah oleh
pen),memang dapat dimengerti ungkapan dari Gatot Supramono diatas. Namun apabila
kembali membaca Pasal 25 yang bel-bunyi.
1) Terhadap
anak nakal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1angka 2 huruf a, Hakim menjatuhkan
pidana sebagaimana dimaksu dalam pasal
23 atau Tindakan sebagaimana dimaksud dalam pasal 24
2) Terhadap
anak nakal sebagaimana dimaksud dalam Pasal1 Angka 2 huruf b, Hakim menjatuhkan
tindakan sebagaimana dimaksud dalam pasal 24
Dari
bunyi pasal tersebut jelas bahwa terhadap anak nakal yang terlingkup dalam
Pasal 1 Butir 2 huruf b (yang menentukan bahwa anak nakal adalah anak yang
melakukan perbuatanyang terlarang bagi anak berdasarkan hukum yang hidup
dalammasyarakat) juga dapat diajukan ke sidang anak Artinya ada ketidak dak sinkronan
antara ketentuan dalam Pasal 21 denganPasal 25 UU No. 3/1997 tentang Pengadilan
Anak,
2.
Sanksi
Hukum Bagi Anak Nakal
Nashriana
(2012:75-96) menyatakan Sanksi hukum bagi anak nakal terbagi menjadi dua yaitu sanksi
pidana dan tindakan. Sanksi pidana bagi anak lebih menekankan unsur pembalasan
(pengimbalan) supaya si pelanggar jera dan tidak melakukan hal yang serupa.
Sedangkan sanksi tindakan bertujuan untuk mendidik dan memberikan perlindungan
kepada pelanggar.
Sanksi pidana bagi anak nakal, masih terbagi menjadi 2, yaitu berupa pidana
pokok antara lain penjara, kurungan,denda dan pengawasan serta sanksi pidana
tambahan berupa perampasan barang-barang tertentu dan pembayaran ganti
kerugian. Tidak seperti yang termuat dalam KUHP, anak nakal tidak boleh
diberikan sanksi tambahan berupa hukuman mati dengan alasan anak adalah penerus
Bangsa yang melanjutkan cita-cita Negara Indonesia berdasarkan pembukaan UUD
1945.
Sanksi tindakan bagi anak berupa
pengembalian kepada orangtua, wali atau orang tua asuh, menyerahkan kepada
negara untuk mengikuti pendidikan, pembinaan dan latihan kerja, menyerahkan
kepada departemen sosial atau organisasi Sosial Kemasyarakatan yang bergerak di
bidang pendidikan, pembinaan dan latihan kerja, dan dapat disertai teguran
dengan syarat tambahan.
Konsep sosialnya adalah komunikasi dan kepercayaan antara orang tua dan
anak harus dibangun sejak dini. Ketika kepercayaan itu ada, maka kenyamanan
pasti akan muncul. Disitulah akibatnya sekecil informasi apapun akan terbuka.
Sehingga keraguan yang menimbulkan suatu masalah bagi anak akan terminimalisir.
Kita harus tau, anak itu jelas akan tumbuh. Tidak hanya fisik dan moral saja,
namun kelakuan,kebiasaan, daya pikir hingga psikisnya akan tumbuh. Proses pertumbuhan itu harus dikawal oleh
orangtua langsung demi terciptanya anak yang benar dan baik. Jangan sampai
salah atauppun ada kata terlambat mendidik anak, perspektif harus disamakan
demi permasalahan.
Pemberian hukuman atau sanksi dan proses hukum yang berlangsung dalam
kasus pelanggaran hukum oleh anak memang berbeda dengan kasus pelanggaran hukum
oleh orang dewasa, karena dasar pemikiran pemberian hukuman oleh negara adalah
bahwa setiap warga negaranya adalah mahkluk yang bertanggungjawab dan mampu
mempertanggungjawabkan segala perbuatannya. Sementara anak diakui sebagai
individu yang belum dapat secara penuh bertanggungjawab atas perbuatannya. Oleh
sebab itulah dalam proses hukum dan pemberian hukuman, (sebagai sesuatu yang pada
akhirnya hampir tidak dapat dihindarkan dalam kasus pelanggaran hukum), anak
harus mendapat perlakuan khusus yang membedakannya dari orang dewasa.
Di Indonesia, penyelenggaraan proses hukum dan peradilan bagi
pelanggaran hukum oleh anak sudah bukan lagi hal baru. Tetapi karena sampai
saat ini belum ada perangkat peraturan yang mengatur mengenai penyelenggaraan
peradilan anak secara menyeluruh, mulai dari penangkapan, penahanan,
penyidikan, dan pemeriksaan di persidangan, sampai dengan sanksi yang diberikan
serta eksekusinya, maka sampai saat ini pelaksanaannya masih banyak merujuk
pada beberapa aturan khusus mengenai kasus pelanggaran hukum oleh anak dalam
KUHP dan KUHAP, serta pada Undang-Undang No.3 tahun 1997 tentang Pengadilan
Anak (UU Pengadilan Anak). Selain itu, pelaksanaan proses peradilan bagi anak
juga harus mengacu pada Konvensi Hak Anak yang telah diratifikasi ke dalam
Keputusan Presiden No. 36 Tahun 1990 (Konvensi Hak Anak), dimana sedikit banyak
telah diakomodir dalam UU Pengadilan Anak.
Khusus mengenai sanksi terhadap anak dalam UU Pengadilan Anak ditentukan
berdasarkan perbedaan umur anak, yaitu bagi anak yang masih berumur 8 (delapan)
sampai 12 (dua belas) tahun hanya dapat dikenakan tindakan, seperti
dikembalikan kepada orang tuanya, ditempatkan pada organisasi sosial, atau
diserahkan kepada Negara, sedangkan terhadap anak yang telah mencapai umur di
atas 12 (dua belas) sampai 18 (delapan belas) tahun dijatuhkan pidana. Dalam
kasus, karena anak tersebut berumur 14 (empat belas) tahun maka sanksi yang
dijatuhkan dapat saja berupa pidana.
Namun pada hakekatnya, segala bentuk penanganan terhadap anak yang
melanggar hukum harus dilakukan dengan memprioritaskan kepentingan terbaik
untuk si anak. Oleh karena itu, keputusan yang diambil Hakim (apabila kasus
diteruskan sampai persidangan) harus adil dan proporsional, serta tidak
semata-mata dilakukan atas pertimbangan hukum, tapi juga mempertimbangkan
berbagai faktor lain, seperti kondisi lingkungan sekitar, status sosial anak,
dan keadaan keluarga. Hal-hal ini dijamin serta diatur dalam UU Pengadilan
Anak. Misalnya adalah pada saat polisi melakukan penangkapan dan pemeriksaan,
ia wajib untuk menghubungi dan mendatangkan seorang petugas Bapas (Balai
Pemasyarakatan, biasa juga disebut PK atau Petugas Kemasyarakatan). Petugas
Bapas berfungsi hampir sama seperti probation officer. Polisi wajib menyertakan
hasil Litmas (Penelitian Kemasyarakatan) yang dibuat oleh petugas Bapas dalam
Berita Acara Pemeriksaannya. Tanpa Litmas, Jaksa harus menolak BAP dan meminta
kelengkapannya kembali. Litmas ini berisi tentang latar belakang anak secara
keseluruhan, seperti data diri, keluarga, sekolah, dan lingkungan sekitar,
sampai dengan latar belakang kasus, seperti kronologi kejadian, motif, gambaran
mengenai seriusitas kasus, kondisi tersangka, dll.
Litmas juga berisi kesimpulan petugas Bapas tentang kasus yang
bersangkutan dan rekomendasi mengenai disposisi (untuk kasus dewasa disebut
vonis) apa yang terbaik bagi anak. Rekomendasi yang bisa diberikan mulai dari
kembali ke orang tua, pidana bersyarat, pidana dengan keringanan hukuman,
pidana sesuai perbuatan, anak negara, dan anak sipil.
Dalam kasus ini, jika anak
ditahan sebaiknya segera ditanyakan apakah ia telah ditemui oleh seorang
petugas Bapas. Dan apakah padanya telah diberikan haknya untuk tetap memperoleh
penasehat hukum, karena petugas Bapas bukanlah seorang penasehat hukum. Harus
diingat, anak berhak memperoleh dan negara wajib memberikan proses hukum yang
cepat.
Apabila pihak korban akan menarik tuntutannya, penyelesaian di luar
proses hukum sangat mungkin untuk dilakukan karena petugas hukum, dalam hal ini
polisi, yang terlibat dalam proses peradilan anak diberi keleluasaan untuk
melakukan diskresi (sewaktu-waktu menghentikan proses hukum) demi kepentingan
anak. Apabila polisi menolak diskresi, sanksi pidana berupa penjara atau
rehabilitasi institusional masih dapat diupayakan untuk diganti dengan program
pembinaan di luar lembaga, kompensasi, atau restitusi bagi korban, yang bisa
diupayakan melalui jalur hukum. Selama proses hukum berlangsung, pihak orang
tua atau wali juga dapat meminta agar anak diberi tahanan luar dengan
memberikan jaminan. Dalam kasus anak, tahanan luar juga dipertimbangkan
mengingat anak masih harus bersekolah.
Belum adanya peraturan yang
menyeluruh tentang sistem peradilan anak sebagaimana disebutkan pada bagian
awal membawa implikasi pada belum adanya polisi khusus anak dan jaksa khusus
anak. Yang ada barulah hakim anak, sidang anak, dan lembaga pemasyarakatan
anak. Keterbatasan sistem hukum kita memandang masalah tindak pidana oleh anak
hanya pada urusan pengadilan anak, menyebabkan pertimbangan yang digunakan oleh
petugas yang terlibat masih merupakan pertimbangan? hukum' semata, yang
mendasarkan keputusannya pada apakah si anak bersalah atau tidak sebagai
pelanggar hukum, tingkat seriusitas perbuatannya, dan catatan kriminal yang
dimilikinya. Oleh karena itu tidaklah mengherankan jika sampai saat ini
terdapat kenyataan yang memprihatinkan bahwa sebagian besar kasus pelanggaran
hukum oleh anak yang ditangani polisi, diteruskan ke dalam proses pidana
selanjutnya, dan sebagian besar dari kasus yang diproses tersebut berakhir
dengan keputusan pemenjaraan, dimana seharusnya kedua hal tersebut menjadi
alternatif upaya yang paling terakhir.
D. Perlindungan Hukum Terhadap Anak Dari Perspektif Hukum Pidana Formil
1.
Hak-Hak Pada Tersangka Atau Terdakwa
Anak
Selain
anak mempunyai hak untuk di lindungi, anak juga mempunyai hak yang sama dengan
orang dewasa, adapun hak-hak tersebut menurut KUHAP adalah :
1. Setiap
anak nakal sejak saat di tangkap atau di tahan berhak mendapat bantuan hukum
dalam waktu dan setiap tingkat pemeriksaan.
2. Setiap anak nakal yang di tangkap atau di
tahan berhak berhubungan langsung dengan penasehat hukumnya tanpa di dengar
oleh pejabat yang berwenang.
3. Selama anak di tahan, kebutuhan jasmani,
rohani dan sosial harus di penuhi.
4. Tersangka
anak berhak mendapatkan pemeriksaan oleh penyidik dan selanjutnya di ajukan ke
pengadilan.
5. Tersangka anak berhak untuk segera di adili
oleh pengadilan.
6. Untuk mempersiapkan pembelaan tersangka, anak
berhak di beritahukan dengan jelas dalam bahasa yang di mengerti olehnya.
7. Dalam pemeriksaan pada tingkat penyidikan dan
pengadilan, tersangka anak berhak untuk setiap waktu mendapat juru bahasa,
apabila ia tidak paham bahasa Indonesia.
8. Dalam hal tersangka anak bisu atau tuli, ia
berhak mendapatkan bantuan penerjemah orang yang pandai bergaul.
9. Tersangka atau terdakwa anak yang dikenakan
penahanan berhak menghubungi penasehat hukum sesuai dengan ketentuan KUHAP.
10. Tersangka atau terdakwa anak yang dikenakan
penahanan berhak di beritahukan tentang penahanan atas dirinya oleh pejabat
yang berwenang, pada semua tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan, kepada
keluarganya atau orang lain yang serumah dengan tersangka atau terdakwa anak
yang bantuannya di butuhkan oleh tersangka atau terdakwa anak.
11. Tersangka
atau terdakwa anak berhak menghubungi dan menerima kunjugan dari pihak yang
mempunyai hubungan keluarga dengan tersangka atau terdakwa anak.
12. Tersangka
atau terdakwa anak berhak secara langsung atau dengan perantara penasihat
hukumnya menghubungi dan menerima kunjungan sanak keluarganya dalam hal yang
tidak ada hubungannya dengan perkara tersangka atau terdakwa untuk kepentingan
keluarga.
13. Tersangka atau terdakwa anak berhak
menghubungi dan menerima kunjugan rohaniawan.
14. Tersangka atau terdakwa anak berhak untuk di
adili di sidang pengadilan yang terbuka untuk umum.
15. Tersangka
atau terdakwa anak berhak untuk mengusahakan dan mengajukan saksi guna
memberikan keterangan.
16. Tersangka atau terdakwa anak tidak di bebani
dengan kewajiban pembuktian.
17.
Tersangka atau terdakwa anak berhak menuntut
ganti rugi dan rehabilitasi sebagaimana di atur dalam pasal 95 KUHAP.
Dengan
di aturnya hak-hak di atas walaupun tersangka atau terdakwa masih anak-anak,
petugas pemeriksaan tidak boleh menghalang-halangi penggunaannya dan sebaiknya
sejak awal pemeriksaan sudah diberitahukan hak-hak tersebut.
3. Proses Peradilan
Pidana Anak
a. Kategori anak yang melakukan
tindak pidana dan jenis pidana yang akan dijatuhkan
Sebelum kita membahas tentang proses pemidanaan
terhadap anak di bawah umur pada tingkat penyidikan lebih lanjut, kita akan
ketahui terlebih dahulu kategori anak yang melakukan tindak pidana yang telah
diatur dalam Undang-Undang No.3 tahun 1997 pasal 1 angka 2 yang berbunyi :
2.
Anak yang melakukan tindak pidana.
3.
Anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan
terlarang bagi anak, baik menurut peraturan perundang-undangan maupun menurut
hukum lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan.
Dan
mengenai batasan umur anak yang melakukan tindak pidana diaturdalam pasal 4,
yaitu :
1.
Batas umur anak
nakal yang dapat diajukan ke sidang pengadilan anak adalah sekurang-kurangnya 8
(delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum
pernah kawin.
2.
Dalam hal anak
melakukan tindak pidana pada batas umur sebagaimana di maksud dalam ayat (1)
dan di ajukan ke sidang pengadilan setelah anak yang bersangkutan melampaui
batas umur tersebut, tetapi belum pernah mencapai umur 21 (dua puluh satu)
tahun tetapi di ajukan ke sidang anak.
Menurut Undang-Undang Pengadilan
Anak, anak di bawah umur yang melakukan kejahatan yang memang layak untuk
diproses adalah anak yang telah berusia 8 tahun dan diproses secara khusus yang
berbeda dengan penegakan hukum terhadap orang dewasa. Tetapi pada prakteknya
penegakan hukum kepada anak nakal terkadang mengabaikan batas usia anak.
Contohnya pada kasus Raju yang di sidang di Pengadilan Negeri Atabat Langkat,
saat itu dia baru berusia 7 tahun 8 bulan.
Tegasnya, anak yang melakukan
kejahatan jika dia belum berusia 8 tahun seharusnya tidak diproses secara hukum
seperti anak yang telah berusia 8 tahun.
Bagi anak yang melakukan tindak pidana yang akan di ajukan ke sidang pengadilan anak harus ditangani oleh hakim yang khusus menangani perkara anak dan petugas-petugas yang khusus menangani perkara anak. Seperti yang tercantum dalam pasal 1 angka 5 sampai 8 Undang-Undang No.3 tahun1997 :
Bagi anak yang melakukan tindak pidana yang akan di ajukan ke sidang pengadilan anak harus ditangani oleh hakim yang khusus menangani perkara anak dan petugas-petugas yang khusus menangani perkara anak. Seperti yang tercantum dalam pasal 1 angka 5 sampai 8 Undang-Undang No.3 tahun1997 :
1. Penyidik
adalah penyidik anak
2. Hakim adalah
hakim anak
3. Hakim
banding adalah hakim banding anak
4. Hakim kasasi
adalah hakim kasasi anak
Dalam pelaksanaannya sidang
pengadilan bagi anak adalah tertutup dan suasana pada sidang anak harus
menimbulkan keyakinan pada anak dan orang tua bahwa hakim ingin membantu
memecahkan masalah pada anak, sebagaimana yang di atur dalam pasal 6 dan pasal
8 Undang-Undang No.3 tahun 1997 :
Pasal 6
Pasal 6
Hakim, penuntut umum, penyidik dan
penasehat hukum serta petugas lainnya dalam sidang anak tidak memakai toga atau
pakaian dinas.
Pasal 8
1. Hakim
memeriksa perkara anak dalam sidang tertutup
2. dalam hal tertentu dan dipandang perlu
pemeriksaan perkara anak sebagaimana yang dimaksud dalam ayat 1 dapat dilakukan
dalam sidang terbuka.
3. Dalam sidang yang dilakukan secara tertutup
hanya dapat dihadiri oleh anak yang bersangkutan beserta orang tua, wali, orang
tua asuh, penasehat hukum dan pembimbing kemasyarakatan.
4. Selain mereka yang disebutkan dalam ayat 3,
orang-orang tertentu atas ijin hakim atau majelis hakim dapat menghadiri
persidangan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1.
5. Pemberitaan mengenai perkara anak mulai sejak
penyidikan sampai saat sebelum pengucapan putusan pengadilan menggunakan
singkatan dari nama anak, orang tua, wali atau orang tua asuhnya.
6. Dalam hal
jenis pidana dan berat ringannya pidana pada anak yang melakukan tindak pidana
dapat dilihat pada pasal 22 sampai pasal 32 Undang-Undang No.3 tahun 1997 :
Pasal 22
Terhadap anak nakal hanya dapat dijatuhkan pidana atau
tindakan yang ditentukan dalam undang-undang ini.
Pasal 23 ayat 3 menetapkan :
Selain pidana pokok sebagaimana yang
dimaksud dalam ayat 2 terhadap anak nakal dapat juga dijatuhkan pidana tambahan
berupa perampasan barang-barang tertentu atau pembayaran ganti rugi.
Lalu pasal 24 ayat 1 menetapkan :
Tindakan yang dapat dijatuhkan kepada anak nakal
adalah :
1. Mengembalikan
kepada orang tua, wali, atau orang tua asuhnya.
2. Menyerahkan kepada Negara untuk mengikuti
pendidikan, pembinaan dan latihan kerja.
3. Menyerahkan
kepada Departemen Sosial atau Organisasi Sosial kemasyarakatan yang bergerak di
bidang pendidikan, pembinaan dan latihan kerja.
Pasal 26 ayat 1 menetapkan :
Pidana penjara yang dapat dijatuhkan
kepada anak nakal sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 angka 2 huruf a, paling
lama ½ dari maksimum ancaman pidana penjara bagi orang dewasa.
Pasal 26 ayat 2 menetapkan :
Apabila anak nakal sebagaimana
dimaksud dalam pasal 1 angka2 huruf a, melakukan tindak pidana yang di ancam
dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, maka pidana penjara yang
dapat dijatuhkan kepada anak tersebut paling lama 10 (sepuluh) tahun.
b. Proses pemidanaan pada
tingkat penyidikan
Sebelum kita ketahui lebih jauh
mengenai proses pemidanaan terhadap anak di bawah umur pada tingkat penyidikan,
kita akan bahas terlebih dahulu mengenai pengertian penyidikan itu sendiri.
Menurut pasal 1 butir 2 KUHAP, yang
dimaksud dengan penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan
menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta
mengumpulkan bukti, yang dengan bukti itu membuat terang tindak pidana yang
terjadi guna menemukan tersangkanya.
Dalam KUHAP sendiri dikenal ada dua macam pejabat penyidik, yaitu pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia (penyidik POLRI) dan pejabat Pegawai Negeri Sipil (PNS). Untuk perkara tindak pidana yang dilakukan oleh anak-anak pada umumnya adalah ketentuan yang dilanggar dari peraturan pidana yang ada di KUHP, maka penyelidikannya dilakukan oleh penyidik umum yaitu penyidik POLRI. Penyidik adalah pejabat Polisi Negara Republik Indonesia yang sekurang-kurangnya pembantu Letnan dua (PELDA) Polisi (sekarang Ajun Inspektur dua Polisi.Meskipun penyidiknya adalah penyidik dari POLRI tapi bukan berarti penyidik POLRI bisa melakukan penyidikan terhadap kasus anak nakal. Dalam Undang-Undang No.3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak dikenal dengan adanya penyidik anak, penyidik inilah yang berwenang melakukan penyidikan. Mengenai penyidikan diatur dalam pasal 41 Undang-Undang No.3 tahun 1997, yang antara lain :
Dalam KUHAP sendiri dikenal ada dua macam pejabat penyidik, yaitu pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia (penyidik POLRI) dan pejabat Pegawai Negeri Sipil (PNS). Untuk perkara tindak pidana yang dilakukan oleh anak-anak pada umumnya adalah ketentuan yang dilanggar dari peraturan pidana yang ada di KUHP, maka penyelidikannya dilakukan oleh penyidik umum yaitu penyidik POLRI. Penyidik adalah pejabat Polisi Negara Republik Indonesia yang sekurang-kurangnya pembantu Letnan dua (PELDA) Polisi (sekarang Ajun Inspektur dua Polisi.Meskipun penyidiknya adalah penyidik dari POLRI tapi bukan berarti penyidik POLRI bisa melakukan penyidikan terhadap kasus anak nakal. Dalam Undang-Undang No.3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak dikenal dengan adanya penyidik anak, penyidik inilah yang berwenang melakukan penyidikan. Mengenai penyidikan diatur dalam pasal 41 Undang-Undang No.3 tahun 1997, yang antara lain :
Pasal 41 telah menetapkan bahwa :
1. Penyidik
terhadap anak nakal, dilakukan oleh penyidik yang diterapkan berdasarkan Surat
Keputusan Kepala Kepolisian Republik Indonesia atau pejabat lain yang ditunjuk
oleh Kepala Kepolisian Republik Indonesia.
2. Syarat-syarat untuk dapat ditetapkan sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah :
2. Syarat-syarat untuk dapat ditetapkan sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah :
2. •
Berpengalaman sebagai penyidik tindak pidana yang dilakukan orang dewasa.
• Mempunyai minat, perhatian, dedikasi dan memahami masalah anak.
• Mempunyai minat, perhatian, dedikasi dan memahami masalah anak.
3. Dalam hal tertentu dan dipandang perlu tugas
penyidik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat dibebankan kepada :
• Penyidik yang melakukan tugas
penyidikan bagi tindak pidana yang dilakukan oleh orang dewasa; atau
• Penyidik lain yang ditetapkan berdasarkan ketentuan Undang-Undang.
• Penyidik lain yang ditetapkan berdasarkan ketentuan Undang-Undang.
Lalu bagaimana proses dari pemidanaan
itu sendiri pada tingkat penyidikan?. Proses dari pemidanaan terhadap anak di
bawah umur pada tingkat penyidikan telah diatur dalam pasal 42 Undang-Undang
No.3 tahun 1997. Pasal 42 menetapkan :
1.
Penyidik wajib memeriksa tersangka dalam suasana
kekeluargaan
2.
Dalam melakukan penyidikan terhadap anak nakal,
penyidik wajib meminta pertimbangan atau saran dari ahli pendidikan, ahli
kesehatan jiwa, ahli agama atau petugas kemasyarakatan lainnya.
3.
Proses penyidikan terhadap perkara anak nakal wajib
dirahasiakan.
Setelah melakukan penyidikan dapat
dilanjutkan dengan penahanan dan penangkapan terhadap anak nakal, sebagaimana
tercantum dalam pasal 43, 44 dan pasal 45 Undang-Undang No.3 tahun 1997. Menurut
pasal 1 butir 2 KUHP penangkapan adalah suatu tindakan dari penyidik, berupa
pengekangan sementara waktu kebebasan terdakwa apabila terdapat cukup bukti
guna kepentingan penyidikan atau penuntutan dan atau peradilan, sedangkan
penahanan adalah penempatan terdakwa di tempat tertentu oleh penyidik atau
penuntut umum atau hakim dengan penetapannya. Dalam Undang-Undang No.3 tahun
1997 tidak dicantumkan mengenai tindakan penangkapan anak, oleh karena itu
dalam hal ini yang digunakan adalah KUHAP sebagai peraturan umumnya.
Untuk melakukan penangkapan seorang
anak, maka penyidik anak wajib memperhatikan surat tugas dan surat perintah
penangkapan kepada yang ditangkap. Surat perintah penangkapan itu berisi
tentang identitas tersangka dan menyebutkan alasan penangkapan serta uraian
singkat perkara kejahatan yang dipersangkakan dan tempat tersangka diperiksa.
Apabila seorang anak nakal tertangkap tangan, maka penangkapannya tidak
dilakukan dengan surat perintah dan yang melakukan penangkapan tidak harus dilakukan
oleh penyidik anak. Pasal 18 ayat (2) KUHAP memerintahkan kepada penyidik bahwa
penangkapan harus segera menyerahkan tersangka beserta barang bukti yang ada
kepada penyidik atau penyidik pembantu yang terdekat. Lamanya penangkapan anak
nakal sama dengan orang dewasa yaitu paling lama satu hari (pasal 19 ayat 1
KUHAP).
Pasal 43 menetapkan :
1. Penangkapan
anak nakal dilakukan sesuai dengan ketentuan KUHAP.
2. Penangkapan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan guna kepentingan pemeriksaan
untuk paling lama 1 (satu) hari.
Setelah tindakan penangkapan, dapat
dilakukan tindakan penahanan, penahanan ialah penempatan tersangka atau
terdakwa ke tempat tertentu oleh penyidik anak atau penuntut umum anak atau
hakim anak dengan penetapan, Undang-Undang No.3 tahun 1997 dan KUHAP menentukan
bahwa tersangka atau terdakwa dapat ditahan. Menurut pasal 21 ayat 1 KUHAP,
alasan penahanan adalah karena adanya kekhawatiran melarikan diri, agar tidak
merusak atau menghilangkan barang bukti dan agar tidak mengulangi tindak
pidana. Sedangkan menurut Hukum Acara Pidana, menghilangkan kemerdekaan
seseorang tidak merupakan keharusan tetapi untuk mencari kebenaran bahwa
seseorang melanggar hukum, kemerdekaan seseorang itu dibatasi dengan melakukan
penangkapan dan penahanan.
Pasal 44 menetapkan :
1. Untuk
kepentingan penyidikan, penyidik sebagaimana dimaksud dalam pasal 41 ayat (1)
dan ayat (3) huruf a berwenang melakukan penahanan terhadap anak yang di duga
keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup.
2. Penahanan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
hanya berlaku untuk paling lama 20 (dua puluh) hari.
3. Jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat
(2) apabila diperlukan guna kepentigan pemeriksaan yang belum selesai, atas
permintaan penyidik dapat diperpanjang oleh penuntut umum yang berwenang untuk
paling lama 10 (sepuluh) hari.
4. Dalam waktu 30 (tiga puluh) hari penyidik
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sudah harus menyerahkan berkas perkara yang
bersangkutan kepada penuntut umum.
5. Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud
dalam ayat (4) dilampaui dan berkas perkara belum diserahkan, maka tersangka
harus dikeluarkan dari tahanan demi hukum.
6. Penahanan terhadap anak dilaksanakan di tempat
khusus untuk anak di lingkungan Rumah Tahanan Negara, cabang Rumah Tahanan
Negara atau di tempat tertentu.
Pasal 44 ayat (1) Undang-Undang No.3
tahun 1997 menentukan bahwa untuk kepentingan penyidikan, penyidik berwenang
melakukan penahanan anak yang di duga keras melakukan tindak pidana (kenakalan)
berdasarkan pada bukti permulaan yang cukup kuat. Penahanan dilakukan apabila
anak melakukan tindak pidana yang diancam pidana penjara 5 (lima) tahun ke atas
atau tindak pidana tertentu yang ditentukan oleh Undang-Undang.
Jangka waktu penahanan untuk
kepentingan penyidikan paling lama adalah 20 (dua puluh) hari, untuk
kepentingan pemeriksaan yang belum selesai dapat diperpanjang paling lama 10
(sepuluh) hari. Dan dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari tersebut, penyidik
harus sudah menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum. Dalam hal ini
apabila anak ditangkap atau ditahan secara tidak sah (tidak memenuhih syarat
yang sudah ditetapkan oleh Undang-Undang), maka anak atau keluarganya atau
penasehat hukumnya dapat meminta pemeriksaan oleh hakim tentang sahnya
penangkapan atau penahanan dalam sidang pra-peradilan.
Pasal 45 menetapkan bahwa :
1. Penahanan
dilakukan setelah dengan sungguh-sungguh mempertimbangkan kepentingan anak dan
atau kepentingan masyarakat.
2. Alasan penahanan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) harus di nyatakan secara tegas dalam surat perintah penahanan.
3. Tempat penahanan anak harus di pisahkan dari
tempat penahanan orang dewasa.
Selama anak di tahan, kebutuhan
jasmani, rohani dan sosial anak harus tetap di penuhi.
Sesuai dengan pasal 45 ayat (1)
Undang-Undang No.3 tahun 1997 dalam tindakan penahanan, penyidik seharusnya
melibatkan pihak yang berkompeten seperti Psikolog, Pembimbing kemasyarakatan,
atau ahli lain yang diperlukan sehingga penyidik anak tidak salah dalam
mengambil keputusan.
Pada pasal 45 ayat (2) Undang-Undang No. 3 tahun 1997, pelanggaran dan kelalaian atas pasal tersebut tidak diatur secara tegas akibat hukumnya, sehingga dapat merugikan anak. Sanksi yang dapat diberikan kepada penyidik anak telah diatur tetapi akibat hukum dari tindakan penahanan tersebut tidak jelas. Perkembangan hukum di bidang pengadilan anak semakin menunjukkan adanya kelemahan KUHAP, terutama yang menyangkut masalah pra-peradilan.
Lalu pada pasal 45 ayat (3) Undang-Undang No. 3 tahun 1997, penahanan anak seharusnya di tempatkan secara terpisah dari narapidana anak yang lain dan tidak boleh di gabung dengan tahanan orang dewasa, hal ini untuk mencegah akibat negative dari pengaruh narapidana anak dan orang dewasa apabila si anak belum terbukti melakukan kesalahan atau tindak pidana.
Pada pasal 45 ayat (2) Undang-Undang No. 3 tahun 1997, pelanggaran dan kelalaian atas pasal tersebut tidak diatur secara tegas akibat hukumnya, sehingga dapat merugikan anak. Sanksi yang dapat diberikan kepada penyidik anak telah diatur tetapi akibat hukum dari tindakan penahanan tersebut tidak jelas. Perkembangan hukum di bidang pengadilan anak semakin menunjukkan adanya kelemahan KUHAP, terutama yang menyangkut masalah pra-peradilan.
Lalu pada pasal 45 ayat (3) Undang-Undang No. 3 tahun 1997, penahanan anak seharusnya di tempatkan secara terpisah dari narapidana anak yang lain dan tidak boleh di gabung dengan tahanan orang dewasa, hal ini untuk mencegah akibat negative dari pengaruh narapidana anak dan orang dewasa apabila si anak belum terbukti melakukan kesalahan atau tindak pidana.
E. Perlindungan Hukum Bagi Anak Pelaku Tindak Pidana Ditinjau dari Perspektif KUHP, Undang-undang Nomor 3 tahun 1997 dan The Beijing Rules
Peradilan pidana (juvenile justice) merupakan salah
satu bentuk perlindungan yang diberikan hukum kepada anak yang telah melakukan
tindak pidana. Orientasi dari keseluruhan proses peradilan pidana anak ini
harus ditujukan pada kesejahteraan anak itu sendiri, dengan dilandasi prinsip
kepentingan terbaik anak (the best interest for children).
Tujuan
utama dari sistem peradilan pidana ini telah ditegaskan dalam SMR-JJ (Beijing
Rules) dalam rule 5.1 bahwa:
“The
juvenile justice system shall emphasize the well – being of the
juvenileand shall ensure that any reaction to juvenile offenders shall always
be in proportion to the circumtances of both the offender and the offence”.(Rule
5.1. SMR JJ dalam Muladi, 1992:112).
Dari Aims of Juvenile Justice ini dapat disimpulkan
adanya dua sasaran dibentuknya peradilan anak, yaitu: (a) Memajukan
kesejahteraan anak (the promotion of the well being of the juvenile), Artinya,
Prinsip kesejahteraan anak ini harus dipandang sebagi fokus utama dalam sistem
peradilan anak. Prinsip ini dapat dijadikan dasar untuk tidak menerapkan
penggunaan sanksi yang semata-mata bersifat pidana, atau yang bersifat
menghukum. (Muladi, 1992:113). Sedapat mungkin sanksi pidana, terutama pidana
penjara harus dipandang sebagai ‘the last resort’ dalam peradilan
anak, seperti yang telah ditegaskan dalam Resolusi PBB 45/113 tentang Un
Rules For The Protection Of Juveniles Deprived Of Thei Liberty. (Barda
Nawawi Arief, 1996:13); (b) Mengedepankan prinsip proporsionalitas (the
principle of proporsionality). Prinsip yang kedua ini merupakan sarana
untuk mengekang penggunaan sanksi yang bersifat menghukum dalam arti memabalas.
Paul H. Hann dalam hal ini mengemukakan pendapatnya bahwa pengadilan anak
janganlan semata-mata sebagai suatu peradilan pidana bagi anak dan tidak pula
harus berfungsi semata-mata sebagai suatu lembaga sosial.(Muladi, 19992:114)
Sebagai subjek hukum yang dipandang khusus oleh hukum,
maka proses perlindungan hukum terhadap anak dalam peradilan anak memerlukan
perlakuan dan jaminan-jaminan khusus dari undang-undang. Jaminan-jaminan khusus
ini tentunya tidak mengesampingkan jaminan-jaminan umum yang berlaku bagi
setiap orang.
Jaminan umum yang dimaksud tersebut adalah jaminan-jaminan
yang bersifat prosedural yang paling mendasar, antara lain: (a) Hak untuk
diberitahukannya tuduhan (the right to be notified of the charges);
(b)Hak untuk tetap diam (the right to remain silent) ; (c) Hak untuk
memperoleh penasehat hukum (the right to councel); (d) Hak untuk
hadirnya orang tua/wali (the right to the presence of a parent of
guardian);(e) Hak untuk menghadapkan saksi dan pemeriksaan silang para
saksi (the right to confront and cross-examine witness); (f) Hak untuk
banding ke tingkat yang lebih tinggi (the right to appeal to a higher
authority). (Muladi, 1992:117).
Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya, bahwa keseluruhan perlindungan
terhadap anak, dalam hal ini anak sebagai pelaku tindak pidana, seyogyanya
dimulai dari ketentuan-ketentuan hukum yang seoptimal mungkin menjamin hak-hak
anak, dengan berdasarkan pada prinsip-prinsip dasar perlindungan anak yang
berlaku universal, yakni: (a) non-diskriminasi; (b) kepentingan terbaik bagi
anak; (c) hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan; dan (d)
penghargaan terhadap pendapat anak.
Dalam lingkup nasional, jaminan hukum secara khusus
yang diberikan kepada anak sebagai pelaku tindak pidana diatur dalam
Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Peradilan Anak. Sedangkan, secara
Internasional diatur dalam The Beijing Rules.
Sebagai peraturan yang secara khusus mengatur perlakuan dan
jaminan-jaminan khusus bagi anak yang melakukan tindak pidana, pada
kenyataannya substansi undang-undang peradilan anak tersebut belum cukup
memberikan jaminan perlindungan. Dalam hal ini, terdapat beberapa
ketentuan yang inkonsistensi dengan peraturan induknya (KUHP) dan Undang-undang
23 Tahun 2002 tentang Perlindungan anak, dan mengabaikan prinsip
kepentingan terbaik bagi anak (the best interest for children).
Berikut ini adalah beberapa catatan terhadap Undang-undang
Nomor 3 Tahun 1997 tentang Peradilan Anak: (1) Mengenai batasan minimum usia
minimal pertanggungjawaban pidana (the minimum age of criminal
responsibility) bagi anak yang terlampau rendah. Undang-undang Peradilan
Anak menetapkan batasan usia minimal anak untuk dapat dihadapkan ke
pengadilan adalah 8 (delapan) tahun (Pasal 4 Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997).
Meskipun sanksi yang ditetapkan bagi anak usia 8 – 12 tahun hanya berupa
tindakan, namun dengan batasan usia minimal pertanggunjawaban pidana yang
terlampau rendah ini memungkinkan timbulnya ekses-ekses negatif yang dirasakan
anak, yakni pengalaman selama proses diajukan ke persidangan
akan menimbulkan stigma dan trauma yang akan dirasakan anak.
Hal ini jelas merupakan dampak yang tidak dapat dihindari anak yang diajukan ke
persidangan, mengingat anak masih terus tumbuh berkembang dalam masyarakat,
sedangkan stigma “jahat” dari masyarakat akan terus dirasakan anak selama
tumbuh kembangnya tersebut. Di sinilah menurut penulis letak pengabaian prinsip
terbaik bagi anak; (2) Adanya inkonsistensi dengan peraturan induknya, yakni
KUHP. Dengan lahirnya Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997, maka ketentuan Pasal
45, 46, 47 KUHP dinyatakan tidak berlaku (Pasal 67 UU No. 3 Tahun 1997).
Ketentuan ini jelas akan menimbulkan implikasi yuridis tersendiri, mengingat
ketentuan yang terkait dengan anak sebagai pelaku tindak pidana dalam KUHP
tidak hanya terletak pada Pasal 45, 46, 47 KUHP saja, melainkan terkait pula
dengan pasal-pasal lain dalam buku II dan III KUHP. Dengan tidak adanya
penegasan dalam Undang-undang Pengadilan anak tersebut maka dapat dikatakan
bahwa ketentuan selain pasal 45, 46, 47 KUHP secara yuridis masih tetap berlaku
untuk anak. (Disarikan dalam Barda Nawawi Arief, 2005).
Di sini nampak adanya inkonsistensi dan ketidaksistematisan
Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997. Sebagai salah satu sub dari keseluruhan
aturan/sistem pemidanaan umum, Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 harus tetap
berpedoman pada aturan-aturan atau prinsip-prinsip umum yang diatur dalam
peraturan induknya (KUHP) sepanjang tidak diatur tersendiri dalam undang-undang
yang bersangkutan. Mengingat beberapa ketentuan dalam buku I (khususnya Bab II
dan Bab III) KUHP semisal ketentuan mengenai pidana, percobaan, konkursus,
recidive, dan ketentuan lainnya tidak diatur dalam Undang-undang Nomor 3 Tahun
1997, maka aturan dalam KUHP tetap berlaku bagi anak karena merupakan bagian
sistem yang tidak terpisahkan. Hal ini sungguh merugikan anak, karena untuk
beberapa ketentuan seperti yang disebutkan di atas, terhadap anak tetap
dikenakan ketentuan yang berlaku pula untuk orang dewasa pada umumnya.
Mengenai pidana penjara, Jenis Pidana ini masih merupakan
jenis pidana pokok yang dikenakan juga kepada anak. Yang dipermasalahkan di
sini bukan lah jenis ataupun bobot pidana penjara itu sendiri, melainkan tidak
adanya aturan yang menjadi pedoman bagi hakim untuk melaksanakan sanksi pidana
bagi anak.
Dalam undang-undang pengadilan anak tersebut juga tidak diatur mengenai
kewenangan hakim untuk tidak meneruskan atau menghentikan proses pemeriksaan
(seperti yang telah diatur dalam The Beijing Rules, Rule 17.4)
Seperti yang diatur dalam The Beijing Rules, adapun
prinsip-prinsip yang seharusnya diatur sebagai pedoman bagi hakim dalam
mengambil keputusan dalam perkara anak, adalah sebagai berikut:
Rule 17.1 : (a)
reaksi yang diambil (termasuk sanksi pidana) selalu harus diseimbangkan dengan
keadaan-keadaan dan bobot keseriusan tindak pidana; (b) pembatasan
kebebasan/kemerdekaan pribadi anak hanya dikenakan setelah pertimbangan yang
hati-hati dan dibatasi seminimal mungkin; (c) perampasan kemerdekaan pribadi
jangan dikenakan kecuali anak melakukan perbuatan serius (termasuk tindakan
kekerasan terhadap orang lain) atau terus menerus melakukan tindak pidana
serius, dan kecuali tidak ada bentuk respons/sanksi lain yang lebih tepat; (d)
kesejahteraan anak harus menjadi faktor pedoman dalam mempertimbangkan kasus
anak. Rule 17. 4 : Adanya
prinsip “diversi”, yakni hakim diberikan kewenangan untuk menghentikan
atau tidak melanjutkan proses pemeriksaan, atau dengan kata lain hakim
dapat tidak menjatuhkan sanksi apapun terhadap anak. Rule
19.1: penempatan seorang anak dalam lembaga Pemasyarakatan
(penjara. pen) harus selalu ditetapkan sebagai upaya terakhir (the last
resort) dan untuk jangka waktu minimal yang diperlukan. (Barda Nawawi
Arief, 1998:164-165).
Undang-undang Nomor 3 tahun 1997 tentang Peradilan Anak tidak mengatur
prinsip-prinsip yang diakui oleh The Beijing Rules di atas (terkhusus
prinsip diversi), sehingga yang dapat terjadi adalah hakim dapat
sewenang-wenang dalam menerapkan pidana penjara terhadap anak, tanpa
memperdulikan kepentingan terbaik anak. Beberapa ketentuan yang cenderung tidak
memperdulikan bahkan merugikan anak, adalah ketentuan mengenai:
a.
Ketentuan mengenai Pidana bersyarat.
Berdasarkan prinsip “lex specialis
derogat lege generalis” (aturan khusus akan menyimpangi aturan umum).
Ketentuan pidana bersyarat dalam pasal 29 Undang-undang Nomor 3 tahun 1997
(sebagai lex specialis) akan menyimpangi (berlaku) ketentuan pidana
bersyarat dalam Pasal 14 a hingga 14 f KUHP (sebagai lex generalis).
Padahal jika dicermati lebih lanjut, ketentuan pidana bersyarat dalam
KUHP lebih melindungi kepentingan anak sebagai pelaku daripada Pasal 29
Undang-undang Peradilan Anak terkait dengan pidana bersyarat. Beberapa permasalahan
(kelemahan) yang terdapat dalam formulasi Pasal 29 tersebut adalah sebagai
berikut: sebagai bentuk non-custodial measures dan strafmodus,
pidana bersyarat yang diberlakukan bagi anak hanya untuk pidana penjara saja
(tidak diperkenankan untuk pidana lainnya, semisal kurungan, denda dan pidana
tambahan lainnya). Hal ini berbeda dengan ketentuan dalam Pasal 14 a KUHP yang
mensyaratkan pidana bersyarat untuk pidana penjara maksimal 1 (satu) tahun atau
pidana kurungan (Pasal 14 a ayat (1)), dan denda (Pasal 14 a ayat (2)). Dari 2
(dua) ketentuan tersebut dapat disimpulkan bahwa kesempatan untuk memperoleh
pidana bersyarat bagi orang dewasa lebih besar daripada kesempatan bagi anak.
Ini jelas sangat diskriminatif, padahal prinsip yang seharusnya melandasi setiap
ketentuan untuk anak adalah “Prinsip Kepentingan Terbaik Anak”. Sungguh tidak
realistis kiranya jika kesempatan untuk mendapatkan pidana bersyarat bagi anak
yang seharusnya lebih besar, menjadi lebih kecil dibandingkan orang
dewasa. Dengan tidak diaturnya ketentuan pidana bersyarat untuk pidana
kurungan, denda dan pidana tambahan, maka otomatis ketentuan mengenai hal itu
kembali lagi harus mengacu pada ketentuan pidana bersyarat dalam KUHP (kecuali
pidana bersyarat dalam hal pidana penjara), padahal dalam hal ini KUHP tidak
mengenal pembayaran ganti rugi sebagai pidana tambahan. Sehingga tetap saja
tidak ada pidana bersyarat untuk pidana tambahan “ Pembayaran Ganti Rugi”.
b.
Ketentuan mengenai Pelepasan bersyarat
Permasalahan
yang timbul dari ketentuan Pelepasan bersyarat dalam Pasal 62 Undang-undang
Nomor 3 tahun 1997 adalah sebagai berikut: (a) ketentuan mana yang akan
diberlakukan kepada anak, apakah Pasal 15 KUHP ataukah Pasal 62
Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997, hal ini dikarenakan Pasal 15 KUHP tidak
dicabut oleh Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997; (b) Pasal 62 ini tidak
ditempatkan dalam Bab III UU Nol. 3/1997 (tentang “Pidana dan Tindakan”),
tetapi ditempatkan di dalam Bab VI tentang “Lembaga Pemasyarakatan Anak”.
Penempatan pasal pada bab yang tidak semestinya ini, selain menyebabkan
penafsiran yang berbeda mengenai peruntukkan pasal tersebut, juga menyebabkan
keberadaan pasal tersebut jarang diketahui oleh para aparat penegak hukum,
sehingga seringkali dianggap tidak pernah ada ketentuan mengenai pelepasan
bersyarat dalam undang-undang yang dimaksud; (c) Ketentuan jangka waktu
percobaan pelepasan bersyarat dalam Pasal 62 Undang-undang Nomor 3 Tahun
1997 sangat pendek jika dibandingkan dengan jangka waktu yang ditetapkan
KUHP. Masa percobaan pelepasan bersyarat dalam KUHP (Pasal 15) adalah
sisa waktu pidana penjara yang belum dijalani ditambah satu tahun. Sedangkan,
masa percobaan pelepasan bersyarat bagi adank dalam Pasal 62 Undang-undang
Nomor 3 Tahun 1997 adalah sama dengan sisa pidana yang harus
dijalankannya (tanpa penambahan apapun). Ketentuan ini tentunya juga tidak
masuk akal, berdasarkan prinsip kepentingan terbaik anak, seharusnya kesempatan
yang diberikan anak untuk menjalani pelepasan bersyarat/pembebasan bersyarat
lebih lama, dibandingkan kesempatan yang diberikan kepada orang dewasa, bukan
malah lebih dipersingkat sehingga peluang anak untuk kembali menjalani pidana
penjara lebih besar.
c.
Ketentuan mengenai pidana Pengawasan
Pidana pengawasan yang diatur dalam Pasal 30 Undang-undang
Nomor 3 Tahun 1997 pada prinsipnya sama dengan konsep pidana bersyarat.
Pidana Pengawasan ini merupakan jenis sanksi baru yang diperkenalkan
Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 untuk perkara-perkara pidana anak.
Permasalahan yang muncul adalah mengingat KUHP tidak mengenal pidana
pengawasan, maka Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 seharusnya mengatur
pula mengenai aturan pelaksanaannya (strafmodus). Kenyataannya,
Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 sama sekali tidak mengaturkan aturan
pelaksanaan dari pidana pengawasan ini, sehingga ekses yang muncul adalah
kesulitan dalam menerapkan pidana pengawasan ini untuk perkara anak karena
tidak ada aturan pelaksananya.
Dari beberapa catatan yang dikemukakan di atas, dapat
disimpulkan bahwa Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Peradilan Anak
belum cukup memberikan jaminan perlindungan hukum bagi anak yang melakukan
tindak pidana. Secara ekstrem dapat dikatakan bahwa dalam beberapa hal (pidana
bersyarat dan pelepasan bersyarat) KUHP lebih memberikan jaminan perlindungan
bagi anak.
Dengan adanya beberapa kelemahan dalam Undang-undang Nomor 3
Tahun 1997 tentang Peradilan Anak, wajar kiranya jika aparat penegak hukum
dalam menangani perkara anak seringkali keliru dalam menafsirkan dan menerapkan
undang-undang, sehingga pada tataran praktek yang muncul adalah ketidakadilan
bagi anak.
Demi
menghindari proses hukum yang semata-mata bersifat menghukum, degradasi mental
dan penurunan semangat (discouragement) serta menghindari proses stigmatisasi
yang dapat menghambat proses perkembangan, kematangan dan kemandirian anak
dalam arti yang wajar, maka dalam menangani masalah hukum dari anak-anak yang
telah melakukan perilaku yang menyimpang, para penegak hukum perlu memahami
bahwa: (a) anak yang melakukan tindak pidana (juvenile offender)
janganlah dipandang sebagai seorang penjahat, namun harus dilihat sebagai orang
yang memerlukan bantuan, pengertian dan kasih sayang.(Muladi, 1992:115),
pendekatan yuridis terhadap anak hendaknya lebih mengutamakan pendekatan
persuasif-edukatif dan pendekatan kejiwaan. (b) Kesejahteraan anak dalam hal
ini harus dijadikan guiding factor dalam penegakan hukum terhadap anak
pelaku tindak pidana.
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Adapun
kesimpulan yang dapat penulis kemukakan berdasarkan uraian pembahasan di atas
adalah sebagai berikut:
1. Anak
dipandang memiliki kedudukan khusus di mata hukum. Hal ini didasarkan atas
pertimbangan bahwa anak adalah manusia dengan segala keterbatasan biologis dan
psikisnya belum mampu memperjuangkan segala sesuatu yang menjadi hak-haknya.
Selain itu, juga disebabkan karena masa depan bangsa tergantung dari masa depan
dari anak-anak sebagai generasi penerus. Oleh karena itu, anak sebagai subjek
dari hukum negara harus dilindungi,
dipelihara dan dibina demi kesejahteraan anak itu sendiri;
2. Pada
dasarnya, Pengadilan anak yang senantiasa mengedepankan kesejahteraan anak
sebagai guiding factor dan disertai prinsip proporsionalitas merupakan bentuk
perlindungan hukum bagi anak sebagi pelaku tindak pidana. Dalam hal ini, secara
yuridis-formil Undang-undang Pengadilan anak tidak cukup memberikan jaminan
perlindungan hukum bagi anak sebagai pelaku kejahatan. Terdapat beberapa
peraturan dalam undang-undang tersebut yang inkonsistensi dengan KUHP dan The
Beijing Rules, sehingga yang terjadi adalah secara tidak langsung terjadi
pengabaian prinsip kepentingan terbaik anak seperti yang telah ditetapkan dalam
Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
B. Saran.
Karya Ilmiah
ini dalam penulisannya dan penyajiannya memang sangat jauh dari
kesempurnaan, untuk itu penulis sangat mengharapkan sekali sebuah kritikan atau
saran yang sekiranya membangun guna perbaikan makalah selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA
Nashriana.2012.Perlindungan Hukum Pidana bagi Anak di
Indonesia.Jakarta : PT. Raja Grapindo.
Arief,
Barda Nawawi, 2002.Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana,
Bandung: Citra Aditya Bakti.
Hasan,
Wadong, Maulana, 2000.Advokasi Dan Hukum Perlindungan Anak,
Jakarta: Grasindo.
Joni, M.,
dan Zulchaina Z.Tanamas, 1999.Aspek Hukum Perlindungan Anak dalam
Perspektif Konvensi Hak Anak, Bandung: Citra Adytia Bakti.
Soekanto,
Soerjono, Pokok-pokok Sosiologi Hukum,
Jakarta: RajaGrafindo, 1997..
Ediwarman,
2006.Peradilan Anak di Persimpangan Jalan dalam Prespektif
Victimology (belajar dari kasus Raju), Vol.18 No. 1, April 2006, Jurnal Mahkamah,
Pekan baru,
Sambas, Nandang
.2010.Pembaharuan Sistem Pemidanaan Anak di Indonesia, Yogyakarta:
Graha Ilmu,
Muladi,
1992Bunga Rampai Hukum
Pidana, Bandung: Penerbit Alumni.