KATA PENGANTAR
Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Tuhan yang
maha Esa atas ridho dan hidayahnya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas Karya
Ilmiah ini dengan penuh keyakinan serta usaha maksimal. Semoga dengan
terselesaikannya tugas ini dapat memberi pelajaran positif bagi kita semua.
Selanjutnya penulis juga ucapkan terima kasih kepada Ibu dosen mata kuliah yang telah memberikan tugas
ini kepada kami sehingga dapat memicu motifasi kami untuk senantiasa belajar
lebih giat dan menggali ilmu lebih dalam khususnya mengenai “Hukum Waris Perdata ” sehingga dengan kami dapat menemukan
hal-hal baru yang belum kami ketahui.
Terima kasih juga kami sampaikan atas petunjuk yang di
berikan sehingga kami dapat menyelasaikan tugas ini dengan usaha semaksimal
mungkin. Terima kasih pula atas dukungan para pihak yang turut membantu
terselesaikannya laporan ini, ayah bunda, teman-teman serta semua pihak yang
penuh kebaikan dan telah membantu penulis.
Terakhir kali sebagai seorang manusia biasa yang mencoba
berusaha sekuat tenaga dalam penyelesaian Karya Ilmiah ini, tetapi tetap saja tak luput dari
sifat manusiawi yang penuh khilaf dan salah, oleh karena itu segenap saran
penulis harapkan dari semua pihak guna perbaikan tugas-tugas serupa di masa
datang.
Medan, 17 Desember , 2016
Penyusun
Megayani Umry
BAB I
PENDAHULUAN
Hukum waris merupakan suatu hal yang
penting dan mendapat perhatian yang besar. Karena pembagian warisan sering
menimbulkan akibat-akibat yang tidak menguntungkan bagi keluarga yang di
tinggal mati pewarisnya. Hubungan persaudaraan bisa berantakan jika masalah
pembagian harta warisan seperti rumah atau tanah tidak dilakukan dengan adil.
Untuk menghindari masalah, sebaiknya pembagian warisan diselesaikan dengan
adil. Salah satu caranya adalah menggunakan Hukum Waris menurut Undang-Undang
(KUH Perdata).
Banyak permasalahan yang terjadi
seputar perebutan warisan, seperti masing-masing ahli waris merasa tidak menerima
harta waris dengan adil atau ada ketidaksepakatan antara masing-masing ahli
waris tentang hukum yang akan mereka gunakan dalam membagi harta warisan.
Naluriah manusia yang menyukai harta benda (QS. Ali Imran:14) tidak jarang
memotivasi seseorang untuk menghalalkan berbagai cara untuk mendapatkan harta
benda tersebut, termasuk didalamnya terhadap harta peninggalan pewarisnya
sendiri. Kenyataan demikian telah ada dalam sejarah umat manusia hingga
sekarang ini. Terjadinya kasus-kasus gugat waris di pengadilan, baik Pengadilan
Agama maupun Pengadilan Negeri menunjukkan fenomena ini.
Oleh karenanya, dalam pembagian
warisan harus di lihat terlebih dahulu hukum yang mana yang akan di gunakan
oleh para ahli waris dalam menyelesaikan sengketa waris yang terjadi.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Hukum Waris
Hukum waris adalah hukum yang
mengatur tentang peralihan harta kekayaan yang ditinggalkan seseorang yang
meninggal serta akibatnya bagi para ahli warisnya. Dalam terminologi fiqh
biasanya dikemukakan pengertian kebahasaan. Hal ini karena kata-kata warasa,
asal kata kewarisan yang berarti mengganti, memberi, dan mewarisi. Sedangkan
pengertian terminologi, hukum waris adalah hukum yang mengatur pembagian
warisan, mengetahui bagian-bagian yang diterima dari harta peninggalan itu
untuk setiap yang berhak.
Dalam hukum waris berlaku suatu
asas, bahwa hanyalah hak-hak dan kewajiban-kewajiban dalam lapangan hukum
kekayaan harta benda saja yang dapat diwariskan. Apabila seseorang meninggal
dunia, maka seketika itu juga segala hak dan kewajibannya beralih pada sekalian
ahliwarisnya. Asas tersebut tercantum dalam suatu pepatah perancis yang
berbunyi: “le mort saisit le vit”. Sedangkan pengoperan segala hak dan
kewajiban dari si meninggal oleh para ahliwaris itu dinamakan “saisine”.
Beberapa pengecualian, seperti hak seorang bapak untuk menyangkal sahnya
seorang anak dan hak seorang anak untuk menuntut supaya dinyatakan sebagai anak
sah dari bapak atau ibunya (kedua hak itu adalah dalam lapangan hukum
kekeluargaan), dinyatakan oleh undang-undang di warisi oleh ahli warisnya.
Pasal 830 menyebutkan, “pewarisan hanya berlangsung karena kematian”.
Jadi, harta peninggalan baru terbuka jika si pewaris
telah meninggal dunia saat ahli waris masih hidup ketika harta warisan terbuka.
Dalam hal ini, ada ketentuan khusus dalam pasal 2 KUHPdt, yaitu anak yang ada
dalam kandungan seorang perempuan dianggap telah dilahirkan bila kepentingan si
anak menghendakinya. Meninggal sewaktu dilahirkan dianggap ia tidak pernah ada.
Jelasnya, seorang anak yang lahir saat ayahnya telah meninggal, berhaka
mendapat warisan. Hal ini diatur dalam pasal 836, “dengan mengingat akan
ketentuan dalam pasal 2 Kitab ini, supaya dapat bertindak sebagai waris,
seorang harus telah ada pada saat warisn jatuh meluang”.
Dalam undang-undang terdapat dua cara untuk mendapat suatu warisan, yaitu:
1. Secara ab
intestato (ahli waris menurut undang-undang) dalam pasal 832
Menurut ketentuan undang-ungdang
ini, yang berhak menerima warisan adalah para keluarga sedarah, baik sah maupun
diluar kawin dan suami / istri yang hidup terlama.
Keluarga sedarah yang menjadi ahli waris ini dibagi
dalam empat golongan yang masing-masing merupakan ahli waris golongan pertama,
kedua, ketiga, dan golongan keempat.
2.
Secara
testamentair (ahli waris karena ditunjuk dalam surat wasiat = testamen) dalam
pasal 899.
Dalam hal
ini pemilik kekayaan membuat wasiat untuk para ahli warisnya yang ditunjuk
dalam surat wasiat/testamen.
B. Golongan Ahli Waris
Terdapat empat Golongan ahli
waris yaitu sebagai berikut :
1.
Golongan I
Golongan I
adalah suami atau istri yang hidup terlama serta anak-anak dan keturunannya.
Jadi dalam pewarisan tidak membedakan laki-laki atau perempuan dan dengan tidak
membedakan urutan kelahiran.
2.
Golongan II
Ahli waris
golongan II adalah orang tua (ayah dan ibu) dan saudara-saudara serta keturunan
saudara-saudaranya.
3.
Golongan III
Ahli waris
golongan III adalah keluarga dalam garis lurus ke atas sesudah bapak dan ibu,
seperti kakek dan nenek, baik dari pihak bapak maupun ibu.
4.
Golongan IV
Ahli waris
golongan IV adalah keluarga garis ke samping sampai derajat ke enam, seperti
paman dan bibi dan lainnya.
Ada beberapa ketentuan yang perlu
diperhatikan sehubungan dengan penggolongan ahli waris diantaranya:
a.
Jika tidak
ada ke empat golongan tersebut, maka harta peninggalan jatuh pada Negara.
b.
Golongan
yang terdahulu menutup golongan yang kemudian. Jadi jika ada ahli waris
golongan I, maka ahli waris golongan II, III dan IV tidak menjadi ahli waris.
c.
Jika
golongan I tidak ada, golongan II yang mewaris. Golongan III dan IV tidak
mewaris. Akan tetapi, golongan III dan IV adalah mungkin mewaris bersama-sama
kalau mereka berlainan garis.
d.
Dalam
golongan I termasuk anak-anak sah maupun luar kawin yang diakui sah dengan
tidak membedakan laki-laki/perempuan dan perbedaan umur.
e.
Apabila si
meninggal tidak meninggalkan keturunan maupun suami atau istri, atau juga
saudara-saudara, maka dengan tidak mengurangi ketentuan dalam pasal 859,
warisan harus dibagi dalam dua bagian yang sama pembagian itu berupa satu
bagian untuk sekalian keluarga sedarah dalam garis sibapak lurus ke atas dan
satu bagian lagi untuk sekalian keluarga yang sama dalam garis ibu.
C. Bagian Masing-masing Ahli Waris
Di atas telah dikemukakan bahwa BW
mengenal empat golongan ahli waris yang bergiliran berhak atas harta
peninggalan. Artinya, apabila golongan pertama masih ada, maka golongan kedua
dan seterusnya tidak berhak atas harta peninggalan, demikian pula jika golongan
pertama tidak ada sama sekali, yang berhak hanya golongan kedua, sedangkan
golongan ketiga dan keempat tidak berhak. Bagian masing-masing ahli waris
menurut BW adalah sebagai berikut:
a.
Bagian
golongan I yang meliputi anggota keluarga dalam garis lurus ke bawah, yaitu
anak-anak beserta keturunan mereka, dan janda atau duda yang hidup paling lama,
masing-masing memperoleh satu bagian yang sama. Jadi bila terdapat empat orang
anak dan janda, mereka masing-masing mendapat 1/5 bagian. Apabila salah seorang
anak telah meninggal dunia terlebih dahulu dari pewaris akan tetapi mempunyai
empat orang anak, yaitu cucu pewaris, maka bagian anak yang 1/5 dibagi di
antara anak-anak yang menggantikan kedudukan ayahnya yang telah meninggal itu (plaatsvervulling),
sehingga masing-masing cucu memperoleh 1/20 bagian. Jadi hakikat bagian
dari golongan pertama ini, jika pewaris hanya meninggalkan seorang anak dan dua
orang cucu, maka cucu tidak memperoleh warisan selama anak pewaris masih ada,
baru apabila anak pewaris itu telah meninggal lebih dahulu dari pewaris,
kedudukannya digantikan oleh anakanaknya atau cucu pewaris.
b.
Bagian
golongan II yang meliputi anggota keluarga dalam garis lurus ke atas yaitu
orang tua, ayah dan ibu, serta saudara, baik laki-laki maupun perempuan beserta
keturunan mereka. Menurut ketentuan BW, baik ayah, ibu maupun sudara-saudara
pewaris masing-masing mendapat bagian yang sama. Akan tetapi bagian ayah dan
ibu senantiasa diistimewakan karena mereka tidak boleh kurang dari ¼ bagian
dari seluruh harta warisan. Jadi apabila terdapat tiga orang saudara yang
mewaris bersama-sama dengan ayah dan ibu, maka ayah dan ibu masing-masing akan
memperoleh ¼ bagian dari seluruh harta warisan. Sedangkan separoh dari harta
warisan itu akan diwarisi oleh tiga orang saudara, masing-masing dari mereka
akan memperoleh 1/6 bagian. Jika ibu atau ayah salah seorang sudah meninggal
dunia, yang hidup paling lama akan memperoleh bagian sebagai berikut:
- ½
(setengah) bagian dari seluruh harta warisan, jika ia mewaris bersama dengan
seorang saudaranya, baik lakilaki maupun perempuan, sama saja;
- 1/3 bagian dari
seluruh harta warisan, jika ia mewaris bersama-sama dengan dua orang saudara
pewaris;
- ¼
(seperempat) bagian dari seluruh harta warisan, jika ia mewaris bersama-sama
dengan tiga orang atau lebih saudara pewaris.
Apabila ayah
dan ibu semuanya sudah meninggal dunia, maka harta peninggalan seluruhnya jatuh
pada saudara-saudara pewaris, sebagai ahli waris golongan dua yang masih ada.
Apabila di antara saudara-saudara yang masih ada itu ternyata hanya ada yang
seayah atau seibu saja dengan pewaris, maka harta warisan terlebih dahulu
dibagi dua, bagian yang satu bagian saudara seibu. Jika pewaris mempunyai
saudara seayah dan seibu di samping saudara kandung, maka bagian saudara
kandung itu diperoleh dari dua bagian yang dipisahkan tadi.
c. Bagian
golongan III yang meliputi kakek, nenek, dan leluhur selanjutnya ke atas dari
pewaris, apabila pewaris sama sekali tidak meninggalkan ahli waris golongan
pertama maupun kedua. Dalam keadaan seperti ini sebelum harta warisan dibuka,
terlebih dahulu harus dibagi dua (kloving). Selanjutnya separoh yang
satu merupakan bagian sanak keluarga dari pancer ayah pewaris, dan bagian yang
separohnya lagi merupakan bagian sanak keluarga dari pancer ibu pewaris. Bagian
yang masing-masing separoh hasil dari kloving itu harus diberikan pada
kakek pewaris untuk bagian dari pancer ayah, sedangkan untuk bagian dari pancer
ibu harus diberikan kepada nenek. Bagian golongan keempat yang meliputi anggota
keluarga dalam garis ke samping sampai derajat keenam, apabila pewaris tidak
meninggalkan ahli waris golongan ketiga sekalipun, maka cara pembagiannya,
bagian yang separoh dari pancer ayah atau dari pancer ibu jatuh kepada
saudarasaudara sepupu si pewaris yakni saudara sekakek atau saudara senenek
dengan pewaris.
Apabila dalam bagian pancer ibu sama sekali tidak ada
ahli waris sampai derajat keenam, maka bagian pancer ibu jatuh kepada para ahli
waris dari pancer ayah, demikian pula sebaliknya. Dalam pasal 832 ayat (2) BW
disebutkan: ”Apabila ahli waris yang berhak atas harta peninggalan sama sekali
tidak ada, maka seluruh harta peninggalan jatuh menjadi milik negara.
Selanjutnya negara wajib melunasi hutang-hutang peninggal warisan, sepanjang
harta warisan itu mencukupi.
Adapun anak yang dilahirkan di luar perkawinan yang
sah hanya mempunyai hubungan saling mewarisi dengan ibunya dan keluarga dari
pihak ibunya (pasal 186 KHI). Jadi misalnya, yang meninggal (pewaris) adalah
ayahnya, maka anak tersebut tidak memiliki hak untuk mewarisi. Akan tetapi
apabila pewarisnya adalah ibunya, maka ia berhak mewarisi.
D. Perbandingan Konsep Antara Hukum Islam, Hukum Perdata Dan Hukum Adat
Hukum kewarisan dalam hukum Islam
bersumber dari al-Qur’an dan al-Hadits, yang dalam penerapannya senantiasa
memperhatikan keadaan dan perkembangan di mana hukum Islam tersebut
dilaksanakan. Di Indonesia selain hukum kewarisan dalam Islam dikenal juga
hukum kewarisan menurut KHU Perdata/BW dan hukum kewarisan adat, yang ketiga
sistem hukum ini diakui dan dihormati dalam sistem hukum Indonesia.
Khusus kaitan dengan masalah hukum,
bangsa Indonesia bertekad akan menata sistem hukum nasional, tekad tersebut
tertuang dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN). Dalam Garis-Garis Besar
Haluan Negara (GBHN) 1999-2004 dalam arah kebijakan di bidang hukum di situ
dirumuskan, akan menata sistem hukum nasional yang menyeluruh dan terpadu
dengan mengakui dan menghormati hukum agama dan hukum adat serta
perundang-undangan warisan Kolonial dan hukum nasional yang diskriminatif,
termasuk ketidakadilan gender dan ketidaksesuaiannya dengan tuntutan reformasi
melalui program legislasi.
Dengan perkataan lain, untuk
membentuk hukum nasional yang selaras dengan kebutuhan hukum masyarakat
Indonesia modern, maka unsur-unsur atau komponen-komponen hukum adat, hukum
agama maupun hukum Barat yang hingga saat ini berlaku dalam masyarakat kita,
diakui dan dihormati, karenanya dapat dipakai sebagai bahan penyusunan hukum
nasional kita. Namun demikian, setiap bahan hukum yang digunakan untuk menyusun
hukum nasional tersebut terlebih dahulu harus sudah diuji dan diteliti, apakah
asas atau norma atau praktek hukum itu sesuai dengan nilai-nilai dan pandangan
hidup bangsa Indonesia, atau tidak. Dalam hal ini yang menjadi batu ujian
adalah nilai-nilai Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 serta wawasan
kebangsaan Indonesia.
Kemajemukan sistem hukum kewarisan
adalah suatu kenyataan, oleh karena itu asas-asas hukum dari ketiga sistem
hukum kewarisan saat ini merupakan khazanah hukum di dalam rangka pembentukan
hukum kewarisan nasional yang kita cita-citakan.
Sistem hukum adalah meliputi susunan
atau tatanan yang teratur, yang terdiri atas bagian-bagian yang saling
berkaitan satu dengan lainnya, tersusun menurut rencana atau pola sebagai hasil
suatu pemikiran untuk mencapai tujuan. Setiap sistem hukum mengandung beberapa
asas yang menjadi pedoman dalam pembentukannya, maka demikian juga adanya
sistem Hukum Kewarisan Nasional, diharapkan asas-asanya berasal dari sub sistem
Hukum Kewarisan uang turut andil di dalam proses pembentukannya, dan tentunya
adalah ketiga sistem hukum dimaksud di atas.
Meskipun ketiga sistem hukum di atas
berbeda sumber, latar belakang dan asal-usulnya serta kondisi masyarakat yang
mendukungnya, namun ketiga sistem hukum tersebut sama-sama mengakui bahwa
kewarisan adalah hukum kekeluargaan. Bahkan bukan hanya itu, ternyata beberapa
asasnya terdapat kesesuaian (kecocokan) antara ketiga sistem hukum tersebut
sepintas kelihatan saling berbeda bahkan bertolak belakang, namun bila diamati
secara seksama dan mendalam ternyata sangat memungkinkan untuk saling mengisi
dan melengkapi sesuai fungsi asas hukum pada umumnya.
Oleh karena itu, asas hukum
kewarisan dari ketiga sistem hukum tersebut akan memberi andil di dalam
pembentukan Hukum kewarisan Nasional, ini berarti ketiga sistem hukum kewarisan
tersebut berfungsi melengkapi dan membuat lebih luwes serta memberi dimensi
etis kepada Hukum kewarisan Nasional yang pada gilirannya berfungsi di dalam
menciptakan ketertiban dan kesejahteraan dalam hidup masyarakat. Sebab salah
satu fungsi dari Hukum Kewarisan, sebagaimana kesimpulan dari hasil-hasil
pertemuan ilmiah (BPHN tahun 1979 s/d 1983 adalah “agar harta warisan yang
diatur dalam Hukum Kewarisan dapat berperan sebagai modal atau bekal dasar
materil bagi pembinaan kehidupan dan mewujudkan keadilan sosial”.
Adapun asas-asas hukum kewarisan
dalm ketiga sistem hukum tersebut adalah sebagai berikut:
1. Asas
Kematian
Asas ini diatur berdasarkan pada
Pasal 830 KUH Perdata; “Pewarisan hanya berlangsung karena kematian”. Dengan
perpedoman pada ketentuan pasal di atas berarti tidak akan ada proses pewarisan
dari pewaris ke ahli waris kalau pewaris belum meninggal dunia.
Asas kematian dikenal dan berlaku
pula dalam hukum kewarisan Islam, dan hukum kewarisan menurut adat. Menurut
Muhammad Daud Ali bahwa dalam hukum kewarisan berdasarkan hukum Islam, juga
berlaku ketentuan, “Kewarisan ada kalau ada yang meninggal dunia”, atau seperti
yang diungkapkan Suhrawardi Dan Komis Simanjuntak bahwa, “Hukum kewarisan Islam
memandang bahwa terjadinya peralihan harta hanya semata-mata disebabkan adanya
kematian. Dengan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa harta seseorang
tidak dapat dialihkan sebagai warisan manakala pemilik harta tersebut masih
hidup.
Di dalam kewarisan adat asas ini
juga dikenal sebagaimana yang dikemukakan Muslimin Simar, Ketua Pengadilan
Agama kelas I-B Watampone bahwa “Asas kematian merupakan asas yang paling utama
dan dasar di dalam proses beralihnya harta seseorang sebagai harta warisan, dan
berlaku untuk semua sistem kewarisan”. Akan tetapi, meskipun asas ini dikenal
luas oleh masyarakat adat, namun pada sebagian masyarakat telah melakukan
penyimpangan dari asas ini. dikatakan Muslimin Simar. Bahwa, “dalam masyarakat
Bugis Bone meskipun asas ini dikenal lebih luas oleh masyarakatnya, namun pada
beberapa praktek masyarakatnya asas kematian ini disimpangi, seperti pewaris
lebih dahulu pembagian harta bendanya kepada semua ahli warisnya sebelum ia
meninggal dunia, atau seringkali pula terjadi bahwa harta warisan yang
ditinggalkan oleh si pewaris, baru dilakukan pembagian jauh setelah pewaris
meninggal dunia” .
Proses pewarisan seperti di atas
ini, dapat dibenarkan dalam hukum adat oleh karena, “Menurut hukum adat, bahwa
proses pewarisan dapat berlangsung sejak di pewaris masih hidup sampai pewaris
meninggal dunia, dan inilah yang membedakan proses pewarisan dalam hukum
meninggal dunia, dan inilah yang membedakan proses pewarisan dalam hukum
kewarisan Islam dan KUH Perdata”. Menurut Hilman dan Hadikusuma (1999: 10)
bahwa, “umumnya hukum adat tidak menentukan kapan waktu harta warisan dibagi
dan kapan sebaiknya diadakan pembagian, dan begitu pula siapa yang menjadi juru
bagi tidak ada ketentuannya”.
Baik dalam hukum kewarisan menurut
KUH Perdata, maupun menurut hukum Islam, bahwa asas kematian, juga tidak
konsisten diterapkan. Dalam hukum kewarisan menurut KUH Perdata, hibah atau
pemberian pewaris semasa hidupnya akan diperhitungkan, “pada saat pembagian
pewaris dan pemisahan harta peninggalan”.
Dalam
Kompilasi Hukum Islam sendiri, asas kematian tidak dijumpai ketentuannya secara
jelas, kecuali yang dapat ditangkap melalui pada rumusan pengertian-pengertian;
hukum kewarisan, pewaris, ahli waris dan harta peninggalan (Pasal 171 pada Ketentuan
Umum KHI), akan tetapi rumusan-rumusan tersebut tidak dapat dijadikan alasan
bahwa terjadinya peralihan harta peninggalan semata-mata karena adanya
kematian.
2.
Asas
Hubungan Darah dan Hubungan Perkawinan
Asas ini terdapat dalam pasal 832 ayat
(1) dan Pasal 852 a KUH Perdata. Asas hubungan daerah merupakan salah satu asas
yang esensial dalam setiap sistem Hukum Kewarisan, karena faktor hubungan darah
dan hubungan perkawinan menentukan kedekatan seseorang dengan pewaris, dan
menentukan tentang berhak atau tidaknya bagi seseorang menjadi ahli waris.
Dalam hubungan darah dan hubungan
perkawinan berlaku dalam ketiga sistem hukum kewarisan yang ada saat ini,
meskipun dalam sejarah perjalanannya, faktor perkawinan pernah tidak diakui
sebagai sebab adanya pewarisan, baik dalam hukum adat maupun dalam hukum
kewarisan menurut KUH Perdata.
Dalam hukum kewarisan menurut KUH
Perdata disebutkan oleh F. Tenker bahwa “isteri tidak mewaris kecuali bila
semua keluarga sedarah sampai derajat kedua belas sudah tidak ada”, sedangkan
dalam hukum kewarisan adat oleh Wirjono Prodjodikoro dan Hilman Hadikusuma
menyebutkan bahwa, “dalam hukum adat pernah ada ketentuan bahwa Ibu sebagai
janda bukan sebagai ahli waris dari ayah atau suami yang meninggal” akan tetapi
dalam kenyataan tak mungkin lagi diingkarinya bahwa “hubungan perkawinan
melahirkan hubungan lahir bathin antara seorang laki-laki sebagai suami dengan
seorang wanita sebagai isteri, dan di mana hubungan di antara keduanya demikian
eratnya, melebihi hubungan antara si wafat dengan saudara-saudara si wafat”.
(Prodjodikoro, 1983: 39-40). Akibat dari kedekatan secara lahir bathin yang
begitu erat, kemudian juga atas ketentuan hukum adat bahwa jika suami meninggal
dunia, maka isteri harus bertindak sebagai pengasuh dari anak-anaknya. “Kalau
si ibu menjalankan fungsinya yang sedemikian itu dengan sungguh-sungguh, maka
berhak pula mengurusi harta anak-anaknya”.
3. Asas
Perderajatan
Dalam KUH Perdata asas Hukum
Kewarisan ini didasarkan pada prinsip; de naaste in het bloed erf hetgoed.
Bila berpedoman pada prinsip di atas, maka yang berhak mewaris hanyalah
keluarga yang lebih dekat dengan pewaris, sekaligus menentukan pula bahwa
keluarga yang lebih dekat derajatnya dari pewaris akan menutup hak mewarisnya
bagi keluarga yang lebih jauh derajatnya.
Berpedoman pada asas perderajatan
berarti hukum kewarisan menurut KUH Perdata mengenal adanya kelompok keutamaan
ahli waris sebagaimana yang terdapat dalam sistem hukum kewarisan Islam dan
hukum adat. Dalam Hukum Kewarisan menurut Hukum Adat, anak, Bapak/ibu
berkedudukan sebagai ahli waris yang lebih dekat dari pewaris melebihi dari
paman/bibi, kakek/nenek, saudara-saudara pewaris, juga dalam hukum kewarisan
Islam, bahwa penentuan kelompok keutamaan sangat jelas, misalnya “anak lebih
utama dari cucu, ayah lebih utama (lebih dekat) kepada anak dari pada saudara:
ayah lebih utama kepada anak dari pada kakek. Bahkan kelompok keutamaan dalam
hukum kewarisan Islam menentukan juga kuatnya hubungan kekerabatan, misalnya
saudara kandung lebih utama dari pada saudara se ayah atau se ibu, sebab
saudara kandung mempunyai dua garis penghubung (dari ayah dan dari ibu),
sedangkan saudara sebapak atau saudara seibu hanya dihubungkan oleh satu garis
penghubung yaitu dari ayah atau dari ibu”.
Berdasarkan penjelasan di atas,
diketahui bahwa ketiga sistem Hukum Kewarisan sama-sama menempatkan anak,
suami/isteri, dan orang tua (Bapak/ibu) sebagai ahli waris yang memiliki
derajat keutamaan pertama, yaitu anak sebagai ahli waris derajat keutamaan
pertama dalam garis ke bawah, sedang orang tua (Bapak/ibu) sebagai ahli waris
dalam derajat keutamaan pertama dalam garis ke atas, melibih derajat ahli waris
lainnya seperti nenek, paman/bibi dan saudara.
Didalam Hukum Kewarisan Islam dan
hukum kewarisan adat tidak demikian halnya, karena anak-anak pewaris dapat
berbagai waris dengan Bapak/ibu pewaris, meskipun kedua sistem hukum kewarisan
tersebut mengenal juga golongan ahli waris yang dapat menutup (menghijab) ahli
waris tertentu.
4. Asas
Pergantian Tempat (Plaatsvervulling)
Mengingat asas ini merupakan
penerobosan asas ketentuan yang mengatakan bahwa “yang berhak menerima warisan
haruslah ahli waris yang masih hidup pada waktu si pewaris meninggal dunia
(Pasal 836 KUH Perdata), juga asas ini seolah-olah menyalahi ketentuan bahwa
“keluarga yang derajatnya lebih dekat akan menutup keluarga yang derajatnya
lebih jauh”, padahal sesungguhnya asas ini, malahan menjadi solusi atas kedua
ketentuan di atas, sebab bila kedua ketentuan di atas dijalankan secara ketat,
maka dipastikan menimbulkan ketidakadilan dan ketidakpatutan terhadap cucu yang
orang tuanya lebih dahulu meninggal dunia daripada pewaris, sehingga si cucu
tidak menerima harta warisan yang seharusnya orang tuanya terima sebagai ahli
waris, hanya karena orang tuanya meninggal dunia lebih dahulu.
Mengenai asas pengertian tempat
dalam hukum kewarisan Islam, menurut sebagian pendapat, seperti pendapat
Wirjono Prodjodikoro dan pendapat dari pakar hukum Islam, antara lain menurut
Mahmud Yunus menyebutkan bahwa pergantian dalam hukum Islam tidak dikenal.
Berbeda dengan pendapat Hazairin yang mengatakan bahwa hukum kewarisan Islam
mengenal asas pergantian tempat yang disebut dengan mawa’ly. Menurut Hazairin
bahwa ahli waris pengganti (mawa’ly) didasarkan pada al-Qur'an pada Surah
an-Nisa’ (IV) ayat 33, yang artinya: “Bagi tiap-tiap harta peninggalan dari
harta yang ditinggalkan ibu-bapak dan karib kerabat, Kami (Allah) jadikan
pewaris-pewarisnya”. Pendapat Hazairin di atas, kemudian diikuti oleh Sajuti Thalib
(Ramulyo, 199: 129). Tampaknya juga asas pergantian tempat ini menjadi salah
satu asas penting dalam Hukum Kewarisan menurut Kompolasi Hukum Islam (KHI)
sebagaimana yang terdapat ketentuannya dalam Pasal 185 KHI (INPRES Nomor 1
Tahun 1991).
Pasal 185 (1) Ahli waris yang
meninggal lebih dahulu daripada si pewaris maka kedudukannya dapat digantikan
oleh anaknya, kecuali mereka yang tersebut dalam Pasal 173. (2). Bagian bagi
ahli waris pengganti tidak boleh melebih dari bagian ahli waris yang sederajat
dengan yang diganti.
Bila asas pergantian tempat dilaksanakan akan mencermikan nilai keadilan dan penegakan hak-hak yang bersifat lebih manusiawi terhadap seluruh penyelesaian masalah waris mewaris di antara sesama ahli waris, termasuk masalah kewarisan cucu yang ditinggal mati oleh orang tuanya.
Bila asas pergantian tempat dilaksanakan akan mencermikan nilai keadilan dan penegakan hak-hak yang bersifat lebih manusiawi terhadap seluruh penyelesaian masalah waris mewaris di antara sesama ahli waris, termasuk masalah kewarisan cucu yang ditinggal mati oleh orang tuanya.
5.
Asas
Bilateral.
Asas ini berarti seseorang tidak
hanya mewarisi dari garis Bapak saja, akan tetapi juga mewaris menurut garis
ibu, demikian juga dari saudara laki-laki maupun saudara perempuan. Asas ini memberi
hak dan kedudukan yang sama antara anak laki-laki dan perempuan dalam hal
mewaris, bahkan dengan asas bilateral ini menetapkan juga suami isteri untuk
saling mewaris.
Asas Bilateral sama dengan asas
individu, selain berlaku dalam Hukum Kewarisan menurut KUH Perdata, juga
berlaku dalam Hukum Kewarisan menurut Hukum Islam, dan Hukum Adat yakni dalam
masyarakat yang menganut sistem kekerabatan parental.
6. Asas
Individual
Sesuai dengan namanya, maka asas ini
menentukan tampilnya ahli waris untuk mewarisi secara individu-individu
(perseorangan) bukan kelompok ahli waris dan bukan kelompok clan, suku atau
keluarga. Asas ini mengandung pengertian bahwa harta warisan dapat
dibagi-bagikan pada masing-masing ahli waris untuk dimiliki secara perseorangan,
sehingga dalam pelaksanaan seluruh harta warisan dinyatakan dalam nilai dan
setiap ahli waris berhak menurut kadar bagiannya tanpa harus terikat dengan
ahli waris lainnya. Konsekwensi dari ketentuan ini adalah harta warisan yang
sudah dibagi-bagikan atau dialihkan kepada ahli waris secara perseorangan itu
menjadi hak miliknya. Karena itu, asas ini sejalan dengan ketentuan pada Pasal
584 KUH Perdata bahwa salah satu cara memperoleh hak milik adalah melalui
pewaris.
Asas individual sangat popular pula
dalam sistem hukum kewarisan Islam dan sistem hukum kewarisan adat. Asas
individual dalam hukum kewarisan Islam berarti, “Setiap ahli waris secara
individu berhak atas bagian yang didapatnya tanpa terikat kepada ahil waris
lainnya”. Akan tetapi dalam hukum kewarisan adat, selain dikenal sistem pewaris
individual, juga dikenal adanya sistem kolektif, dan mayorat namun dari ketiga
macam sistem pewaris tersebut, maka sistem individual yang lebih umum berlaku
dalam masyarakat, terutama dalam masyarakat adat parental yang tersebar hampir
diseluruh daerah di Indonesia.
7. Asas
Segala Hak dan Kewajiban Pewaris Beralih Kepada Ahli Waris
Yang dimaksudkan segala hak dan
kewajiban pewaris dalam asas ini adalah hak dan kewajiban dalam lapangan harta
kekayaan.
Dalam Hukum Kewarisan menurut KUH
Perdata, asas ini berhubungan erat dengan hak saisine, sedang “hak saisine
sendiri bersumber dari pemeo hukum Perancis yang berbunyi: Le mort saisit Le
vif, yang maksudnya bahwa bagi yang meninggal dunia berpegang pada yang masih
hidup”. Dengan berpedoman pada prinsip hukum ini, berarti apabila seseorang
meninggal dunia, maka segala harta kekayaannya, baik aktiva maupun pasiva akan
berpindah kepada ahli warisnya.
Berpedoman pada prinsip di atas,
maka menurut Wirjono Prodjodikoro. “layak kalau BW mengenal tiga macam sikap
dari ahli waris terhadap harta warisan, dan dapat memilih salah satu dari tiga
sikap itu, yaitu :
1). Menerima seluruhnya menurut
hakikat yang tersebut dalam BW (hak dan kewajiban)
2). Menerima dengan syarat yaitu,
hutang-hutangnya
3). Menolak menerima harta warisan.
Dalam hukum adat berlaku ketentuan
bahwa, “harta kekayaan sebagai harta keluarga/kerabat diperuntukkan sebagai
dasar hidup materil dari generasi ke generasi berikutnya” (Sudijat, 1968: 158),
kemudian terdapat juga ketentuan yang menyebutkan bahwa, “Hutang-hutang yang
ada dan timbul pada dan karena kematian si pewaris juga merupakan bagian harta
peninggalan, meskipun dalam arti negatif”.
Dalam ketentuan undang-undang, para
ahli waris yang telah menerima warisan hanya diwajibkan memukul beban
(utang-utang, kewajiban-kewajiban) dari pewaris seimbang dengan yang diterima
dari warisan. Dalam Pasal 1100 KUH Perdata ditegaskan bahwa, “Para waris yang
telah menerima suatu warisan diwajibkan dalam hal pembayaran utang, hibah
wasiat dan lain-lain beban, memikul bagian yang seimbang dengan apa yang
diterima masing-masing dari warisan”. Kemudian dengan kewajiban melakukan
pembayaran yang dipukul secara perseorangan akan disesuaikan dengan jumlah
besar bagiannya dengan tetap tidak mengurangi hak-hak para berpiutang, termasuk
para berpiutang hipotik atas seluruh harta peninggalan pewaris selama belum
terbagi. (Pasal 1101 KUH Perdata). Ketentuan di atas ini bila dicermati, akan
sejalan dengan ketentuan pada Pasal 175 ayat (2) KHI seperti yang sudah
disebutkan.
Berdasarkan dengan berbagai
penjelasan dan ketentuan yang telah dikemukakan di atas tampaknya, bahwa
penjelasan dan ketentuan tersebut cenderung mendukung ke arah penerapan asas
segala hak dan kewajiban pewaris beralih kepada ahil waris, namun sifatnya
terbatas, artinya harta peninggalan pewaris yang bersifat aktiva secara
otomatis berpindah dari pewaris kepada ahli waris, akan tetapi bagi warisan
yang berupa pasiva (utang-utang, kewajiban-kewajiban) maka harus disesuaikan
dengan hak-hak yang diperoleh ahli waris agar melahirkan prinsip keadilan yang
seimbang. Seimbang dengan hak yang sepantasnya diterima dari barang aktiva
dengan kewajiban yang dipikulnya, berupa utang. Akan tetapi kalau ada ahli
waris yang bersedia membayarkan utang-utang pewaris melalui harga pribadi ahli
waris, maka itu tidak dilarang, bahkan merupakan perbuatan terpuji, dan cermin
dari akhlak yang baik.
Melalui penjelasan yang ada itu,
maka asas peralihan segala hak dan kewajiban pewaris kepada ahli waris menurut
hukum kewarisan KUH Perdata dalam prakteknya sama atau sejalan dengan asas yang
sama yang terdapat dalam hukum kewarisan Islam dan Adat.
E. Ahli waris yang tidak patut menerima harta warisan
Undang-undang menyebut empat hal
yang menyebabkan seseorang ahli waris menjadi tidak patut mewaris karena
kematian, yaitu sebagai berikut:
a.
seorang ahli
waris yang dengan putusan hakim telah dipidana karena dipersalahkan membunuh
atau setidaktidaknya mencoba membunuh pewaris;
b. seorang ahli
waris yang dengan putusan hakim telah dipidana karena dipersalahkan memfitnah
dan mengadukan pewarisbahwa pewaris difitnah melakukan kejahatan yang diancam
pidana penjara empat tahun atau lebih;
c.
ahli waris
yang dengan kekerasan telah nyata-nyata menghalangi atau mencegah pewaris untuk
membuat atau menarik kembali surat wasiat;
d. seorang ahli
waris yang telah menggelapkan, memusnahkan, dan memalsukan surat wasiat.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dengan adanya aturan-aturan yang
telah di nukilkan di dalam KUH-Perdata mengenai hal waris, maka kita dapat
menjadikannya sebagai acuan untuk menyelesaikan segala bentuk sengketa waris
yang terjadi.
Namun bila KUH-Perdata tidak dapat
menyelesaikan sengketa waris tersebut, maka dapat di gunakan alternative lain
yaitu dengan menggunakan referensi Hukum Islam ataupun Hukum Adat.
Seperti yang telah di papar kan di
atas, terdapat beberapa golongan orang yang berhak mendapatkan waris (ahli
waris). Dan setiap golongan menutup golongan yang lain. Dengan artian, golongan
I menutup hak waris golongan II dan begitu seterusnya.
DAFTAR PUSTAKA
Rofiq, Ahmad. 2003.Hukum Islam di Indonesia,
Jakarta: Raja Grafindo Persada,
Subekti, 2003 Pokok-Pokok Hukum Perdata, Jakarta:
Intermasa,
Perangin, Effendi. 2006Hukum Waris, Jakarta: Raja Grafindo Persada,
Chandra,Darusnal. 2009., Hukum Waris Perdata, Jakarta: Raja Grafindo
Persada,
Hadpiadi. Beberapa Asas Hukum Kewarisan (http://www.hukum
waris.com, 2011
Syarifuddin,
Amir.2004Hukum Kewarisan Islam, Jakarta: Kencana.
Manan, Abdul.
2006.Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana,
No comments:
Post a Comment