KATA PENGANTAR
Alhamdulillah
puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karunia
nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Hadit Tentang Jual Beli” pembuatan
makalah dengan tepat waktu. Tidak lupa shalawat dan berangkai salam selalu
tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW yang merupakan inspirator terbesar dalam
segala keteladanannya. Tidak lupa penulis sampaikan terima kasih kepada Dosen
mata kuliah Civic Education yang telah memberikan arahan dan bimbingan dalam
pembuatan makalah ini, orang tua yang selalu mendukung kelancaran tugas kami,
serta pada anggota tim yang selalu kompak dan konsisten dalam penyelesaian
tugas ini.
akhirnya penulis sampaikan terima kasih atas perhatiannya terhadap
makalah ini, dan penulis berharap semoga makalah ini bermanfaat bagi tim
penulis khususnya dan pembaca yang budiman pada umumnya. Tak ada gading yang
tak retak, begitulah adanya makalah ini. Dengan segala kerendahan hati,
saran-saran dan kritik yang konstruktif sangat penulis harapkan dari para
pembaca guna peningkatan pembuatan makalah pada tugas yang lain dan pada waktu
mendatang.
Tg. Pura. Desember
2016
Penyusun
Muhammad Apriandi
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Jual beli Adalah proses
pemindahan hak milik/barang atau harta kepada pihak lain dengan menggunakan
uang sebagai alat tukarnya. Menurut etimologi, jual beli adalah pertukaran
sesuatu dengan sesuatu (yang lain). Kata lain dari jual beli adalah al-ba’i,
asy-syira’, al-mubadah, dan at-tijarah.
Dalm proses jual beli ada
ketentuan-ketentuan yang harus dipenuhi oleh penjual dan pembeli sehingga, jika
proses jual beli sudah selesai tidak ada yang dirugikan. Bagaimana pandangan Islam dalam jual beli dan
apa saja dalil-dalilnya sehingga jual beli itu merupakan sesuatu yang halal
bukan sesuatu yang haram atau syubhat.
Dalam makalah ini akan diuraiakan beberapa hadist yang menjelaskan
tentang jual beli.
B. Rumusan Masalah
1.
Apa pengertian, syarat dan
rukun tentang jual beli?
2.
Apa saja hadist-hadist yang berkaitan
tentang jual beli, beserta penjelasannya?
3.
Apa ayat yang alQuran yang
menjelaskan tentang jual beli?
4.
Bagaimana hukum jual beli?
C. Tujuan Pembahasan
1.
Untuk mengetahui pengertian,
syarat dan rukun tentang jual beli
2.
Untuk mengetahui saja
hadist-hadist yang berkaitan tentang jual beli, beserta penjelasannya
3.
Untuk mengetahui ayat yang
alQuran yang menjelaskan tentang jual beli
4.
Untuk mengetahui hukum jual
beli
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Jual Beli
Al-Buyu’ jama’ dari al-bai’.
Kata ini merupakan mashdar, padahal mashdar tidak dapat di
jama’kan. Tapi kata ini tetap di
jama’kan karena jenisnya yang berbeda-beda. Maknanya menurut bahasa ialah
mengambil sesuatu dan memberi sesuatu.
Mereka juga mengambil kata ini dari al-ba’u, satu depan, entah dimaksudkan
untuk tepukan atau untuk ikatan harga dan barang yang dihargai menurut
persrtujuannnya. Lafazh al-ba’i
juga dapat diartikan membeli,yang termasuk makna kebalikan. Tapi jika diucapkan kata al-ba’i, maka makna
yang langsung bisa ditangkap darinya ialah orang yang mengeluarkan barang
dagangan atau penjual.
Adapun definisinya menurut syariat
ialah tukar-menukar harta dengan harta yang dimaksudkan untuk suatu
kepemilikan, yang ditunjukkan dengan perkataan dan perbuatan.[1]
Dalam literatur syari’ah Islam, jual
beli atau istilah modernnya bisnis termasuk dalam kategori mu’amalat yang
dibahas dalam bab Al-Buyu’, dalam Al Qur'an atau Al Hadis istilah yang
digunakan untuk muamalah ini adalah al bai', as syiro' dan at tijaroh.
Bagi seorang muslim yang menyibukan
diri dengan urusan ini, hendaknya mempelajari hukum-hukum yang bersangkutan
dengannya secara rinci dan seksama agar ia mampu berinteraksi dalam koridor
syariat dan terhindar dari tindakan-tindakan aniaya dan merugikan sesama
manusia, karenanya Umar bin Khottob berkata:
لاَ يَـبْـعُ فِيْ سـُوقـِـنَا
إِلَّا مـِنْ تـَفـَقـَهُ فِي الـدِّ يْـنِ
Artinya:
"Janganlah
melakukan jual beli di pasar kami melainkan orang yang memiliki pengetahuan
agama" (HR.Tirmidzi)
Dalam kitab Tafsir Al Allam syarah
umdatul ahkam karya Abdullah Al Bassam rahimahullah disebutkan, secara
etimologi (bahasa) jual beli adalah:
أَخُـذُ
شَـْيءُ وَإِعْـطَاءُ شَـيْءُ
Artinya: "Mengambil dan memberi sesuatu".
Adapun secara terminologinya:
مُـبَادَ لـَة مَـالَ
بـِمَالٍ لـقَـصْـدِ الــتـَمْـلِكِ بِـمَا يَـدُلُ عَـلَـيْـهِ مِـنْ صِيْـغَ
الـْقَوْلِ وَالـْفِـعْـلِ
Artinya:
"Pertukaran
harta benda dengan tujuan saling memiliki yang dibarengi dengan sesuatu yang
menunjukkan hal tersebut dengan perkataan dan perbuatan".
Syarat Jual Beli adalah Sebagai Berikut:
1.
Keadaan bendanya suci.
2.
Bendanya dapat diambil manfaatnya sesuai dengan yang dimaksudkan.
3.
Bendanya dapat diterimakan atau diserahkan kepada pihak pembeli.
Rukun Jual Beli adalah Sebagai Berikut:
1.
Barang yang dijual belikan.
2.
Orang yang membeli dan menjual barang.
3.
Ijab qobul.[2]
Adapun
shighah untuk mengikatnya, yang benar
ialah seperti yang dikatakan Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyah, bahwa hal itu
dapat dilakukan dengan perkataan atau perbuatan macam apa pun, yang memang
dianggap manusia sebagai jual-beli, baik secara langsung maupun tidak langsung,
karena Allah tidak bermaksud menjadikan kita sebagai hamba yang
melaksanakan ibadah dengan lafazh-lafazh
tertentu, tapi yang dimaksudkan adalah apa yang menunjukkan maknanya. Lafazh apa pun yang menunjukkannya, maka
tujuan sudah tercapai.
Manusia
saling berbeda-beda dalam dialog dan istilah yang mereka pergunakan, tergantung
kepada perbedaan tempat dan waktu.
Setiap zaman dan tempat memiliki bahasa dan istilah-istilah tersendiri,
dan yang dimaksudkan dari hal itu adalah makna.[3]
Manfaat
yang dapat kita ambil dari bab-bab muamalah ini ialah agar kita bisa memahami
kaidah yang sangat penting, yang memberi batasan muamalah-muamalah yang
diperbolehkan, di samping kita dapat memahami batasan-batasan muamalah yang
diharamkan, yang semua bagian-bagiannya kembali kesana. Kaidah itu ialah: Dasar hukum dalam muamalah,
berbagai jenis perniagaan dan mata pencaharian ialah halal dan diperbolehkan,
tidak ada yang mencegahnya kecuali apa yang telah diharamkan Allah dan
Rasul-Nya.
Ini
merupakan dasar hukum yang besar, menjadi sandaran dalam muamalah dan
tradisi. Siapa yang mengharamkan sesuatu
dari hal itu, maka dia dituntut untuk menunjukkan dalil, karena dia berseberang
dengan dasar hukum ini.
Dengan
begitu dapat diketahui keluwesan syariat dan keluasannya, relevansinya untuk
setiap waktu dan tempat serta segala perkembangannya, sesuai dengan tuntutan
manusia dan kemaslahatannya.
Ini
merupakan kaidah di tengah-tengah, yang pijakannya adalah keadilan dan
memperhatikan kemaslahatan kedua sisi.
Berdasarkan prinsip yang agung ini, muamalah tidak dapat dikeluarkan
dari mubah kepada haram kecuali jika ada sesuatu yang memang diperingatkan,
seperti karena menjurus kepada kezhaliman terhadap salah satu pihak, seperti
riba, kedustaan, penipuan, ketidaktahuan dan pengecohan. Inilah beberapa jenis muamalah, yang jika
kita perhatikan, hal itu menjurus kepada kezhaliman terhadap salah satu pihak. Muamalah-muamalah yang diharamkan kembali
kepada batasan ini, yang tidak diharamkan melainkan karena kerusakan dan
kezhalimannya. Pembuat syariat yang Maha
bijaksana lagi Maha Pengasih mendatangkan segala sesuatu yang di dalamnya ada
kemaslahatan dan memperingatkan segala hal di dalamnya ada kerusakan.
Alhasil,
muamalah-muamalah yang diharamkan kembali kepada beberapa batasan, yang paling
besar adalah tiga perkara berikut:
1.
Riba dengan tiga macamnya, yaitu riba al-fadhl, an-nasi’ah dan al-qardhu.
2.
Ketidaktahuan dan penipuan dengan berbagai macam ragam dan jenisnya.
3.
Membohongi dan memperdayai dengan segala ragam dan jenisnya.[4]
B. Hadits-hadits Tentang Jual Beli dan Penjelasannya
عَنِ عَبْدِ
اللهِ بْنِ عُمَرَ رَضيَ اللهُ عَنْهُمَا عَنْ رَسُوْلِ اللهِ صَلىَّ اللهُ
عَليْهِ وَ سَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ إِذَا تَبَايَعَ الرَّجُلاَننِ فَكُلُّ وَاحِدٍ
مِنْهُمَا بِالْخِيَارِ مَالَمْ يَتَفَرَّقَا وَ كَانَا جَمِيْعًا أَوْ يُخَيِّرُ
أَحَدُهُمَا الآخَرَفَتَبَايَعَا عَلَى ذَلِكَ فَقَدْ وَجَبَ الْبَيْعُ وَإِنْ
تَفَرَّقَا بَعْدَ أَنْ يَتَبَايَعَا وَلَمْ يَتْرُكْ وَاحِدٌ مِنْهُمَا الْبَيْعَ
فَقَدْ وَجَبَ الْبَيْعُ
“Dari
Abdullah bin Umar Radhiyallahu Anhuma, dari Rasulullah SAW, beliau bersabda,
jika dua orang saling berjual-beli, maka masing-masing di antara keduannya
mempunyai hak pilih selagi keduanya belum berpisah, dan keduanya sama-sama
mempunyai hak, atau salah seorang di antara keduanya membei pilihan kepada yang
lain, lalu keduanya menetapkan jual-beli atas dasar pilihan itu, maka jual-beli
menjadi wajib.”
عَنْ
حَكِيْمِ بْنِ حِزَامٍ رَاضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ رَسُوْلُ الله عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ الْبَيِّعَانِ بِالخِيَارِ مَالمْ يَتفَرَّقَا أَوْ قَالَ حَتتّى
يَتَفَرّقَا فَاِنْ صَدَقَ وَبَيّنَا بُورِكَ لَهُمَا فِي بَيْعِهِمَا وَإِنْ
كَتَمَا وَكَذَبَا مُحِقَتْ بَرَكَةُ بَيْعِهِمَا
“Ada
hadist yang semakna dari hadist Hakim bin Hizam, dia berkata, Rasulullah SAW
bersabda, Dua orang yang berjual beli mempunyai hak pilih selagi belum
berpisah, atau beliau bersabda, Hingga keduanya saling berpisah, jika keduannya
saling jujur dan menjelaskan, maka keduanya saling menyembunyikan dan berdusta,
maka barakah jual beli itu dihapuskan.[5]
Sebab-sebab Turunnya Hadist
Hadist ini dikeluarkan oleh Bukhari
dan Muslim, dan hadist ini shahih. Hadist tersebut dari Ibnu Umar Ra. Dari
Rasulullah Saw yang menjelaskan apabila ada dua orang melakukan
jual beli maka masing-masing keduamya mempunyai hak khiyar, selama mereka belum
berpisah. Dan hadist tersebut
ditunjukkan dengan perbuatan Ibnu Umar yang terkenal. Bila kedua pihak semuanya berdiri dan pergi
bersama-sama, maka hak khiyar tetap ada.
Kemudian Rasulullah SAW menyebutkan
sebagian dari sebab-sebab keberkahan dan pertumbuhan, sebagian dari sebab-sebab
kerugian dan kerusakan.
Sebab-sebab
barakah, keuntungan dan pertumbuhan adalah kejujuran dalam muamalah,
menjelaskan aib, cacat, dan kekurangan atau sejenisnya dalam barang yang
dijual. Adapaun sebab-sebab kerugian dan
ketiadaan barakah ialah yang menyembunyikan cacat, dusta dan memalsukan barang
dagangan. Yang demikian itu merupakan sebab-sebab yang hakiki tentang
keberkahan di dunia, yang memberikan nilai tambah dan ketenaran bagi dirinya,
karena dia bermuamalah dengan cara yang baik, sedangkan di akhirat dia
mendapatkan pahala dan balasan yang baik.
Sementara sifat kedua merupakan hakikat hilangnya mata pencaharian,
karena pelakunya bermuamalah dengan cara yang buruk, sehingga orang lain
menghindar darinya dan mencari orang yang lebih dapat dipercaya, sedangkan di
akhirat dia mendapatkan kerugian yang lebih besar, karena dia telah menipu
manusia. Rasulullah SAW, “Siapa yang
menipu kami, maka dia bukan termasuk golongan kami.”[6]
Penjelasan lafazh
1.
Bil-Khiyar merupakan
masdhar dari ikhtara, dari al-ikhtiyar, berarti meminta yang
terbaik dari dua hal, entah berupa pengesahan atau penolakan.
2.
Al-Bayyi’ani, artinya
penjual dan pembeli. Makna ini diberikan
kepada keduanya, yamg termasuk masalah kebiasaan. Seperti yang sudah dijelaskan, masing-masing
dari dua lafazh ini dapat diartikan pula bagi yang lainnya.
3.
Muhiqat merupakan mabny
lil-majhul, yang artinya, tambahan mata pencaharian dan laba keduanya
dihilangkan.
4.
Yukhayyiru
ahadahuma al-akhara, seperti ucapan, “Pilihlah pengesahan jual-beli.”
Makna Global
Karena
biasanya jual-beli terjadi tanpa berpikir lebih jauh, maka acapkali menimbulkan
penyesalan bagi penjual maupun pembeli, karena itulah pembuat syariat yang
bijaksana memberi tempo itu, yang memungkinkan terjadinya pembatalan akad selam
tempo itu. Tempo ini ialah selama masih
berada di tempat pelaksanaan akad.
Jika
kedua belah pihak (penjual dan pembeli) masih berada di tempat pelaksanaan jula
beli, maka masing-masing mempunyai hak pilih untuk mengesahkan atau membatalkan
jual beli. Jika keduanya saling berpisah, sesuai dengan perpisahan yang dikenal
manusia, atau jual beli disepakati tanpa ketetapan hak pilih di antara
keduanya, maka akad jual beli dianggap sah, sehingga salah seorang diantara
keduanya tidak boleh membatalkannya secara sepihak, kecuali dengan cara
pembatalan perjanjian yang disepakati.
1.
Penetapan hak pilih di tempat bagi penjual dan pembeli, untuk dilakukan
pengesahana jual-beli atau pembatalannya.
2.
Temponya ialah semenjak jual beli dilaksanakan hingga keduanya saling
berpisahdari tempat itu.
3.
Jual-beli mengharuskan pisah badan dari tempat dilaksanakan akad jual-beli.
4.
Jika penjual dan pembeli sepakat untuk membatalkan akad setelah akaddisepakati
sebelum berpisah, atau keduanya saling melakukan jual-beli tanpa menetapkan hak
pilih bagi keduanya, maka akad itu dianggap sah, karena hak itu menjadi milik
mereka berdua, bagaimana keduanya membuat kesepakatan, terserah kepada
keduanya.
5.
Perbedaan antara hak Allah dan yang semata merupakan hak anak Adam, bahwa apa
yang menjadi hak Allah, pembolehannya tidak cukup dengan keridhaan anak Adam,
seperti akad riba. Sedangkan yang
menjadi hak anak Adam diperbolehkan menurut keridhaannya yang diungkapkan,
karena hak itu tidak melanggarnya.
6.
Pembuat syariat tidak menetapkan batasan untuk perpisahan. Dasarnya adalah tradisi. Apa yang dikenal manusia sebagai perpisahan,
maka itulah ketetapan jual-beli.
7.
Para ulama’ mengharakan penjual atau pembeli meninggalkan tempat (sebelum akad
di tetapkan), karena dikhawatirkan akan terjadi pembatalan.
8.
Jujur dalam muamalah dan menjelaskan keadaan barang dagangan merupakan sebab
barakah di dunia dan akhirat, sebagaimana dusta, bohong dan menutup-nutupi
cacat merupakan sebab hilangnya barakah.
Perbedaan Pendapat di Kalangan Ulama:
Para ulama saling berbeda pendapat
tentang penetapan hak pilih di tempat.
Jumhur ulama dari kalangan sahabat dan tabi’in serta imam menetapkan hak
pilih di tempat. Dia antara mereka
adalah Ali bin Abu Thalib, Ibnu Abas, Abu Hurairah, Abu Barzah, thawus,
Sa’id bin Al-Musayyab, Atha’, Al-Hasan Al Bashry, Asy-Sya’by, Az-Zuhry,
Al-Auza’y, Al-Laits, sufyan bin Uyainah, Asy-Syafi’y, Ahmad bin hambal, Ishaq,
Abu Tsaur, Al-Bukhary dan para muhaqqiq lainnya. Dalil mereka adalah hadist-hadist shahih dan
jelas maknanya. Menurut Ibnu Abdil-Barr,
hadist Abdullah bin Umar merupakan hadist yang paling kuat dari hadist-hadist
ahad.
Sedangkan
Abu Hanifah, Malik dan mayoritas rekan mereka berdua tidak menetapkan hak pilih
di tempat. Mereka beralasan dengan beberapa hujjah yang bertentangan dengan
pengalaman hadist-hadist ini, namun hujjah-hujjah itu lemah, yang kemudian di
sanggah jumhu. Di antara hujjah-hujjah
yang lemah itu sebagai berikut:[8]
1.
Hadist ini bertentangan dengan pengalaman penduduk Madinah, dan amal mereka
dapat di jadikan hujjah.
2.
Yang dimaksudkan al-mutabayi’any dalam hadist di atas ialah dua orang (penjual
dan pembeli) yang saling tawar-menawar.
3.
Yang dimaksudkan perpisahan itu ialah perpisahan perkataan antara penjual dan pembeli
ketika dilakukan serah terima.
Hadits lain:
Hukum ‘Araya dan Menjual Buah dengan Buah
أَخْرَجَ الْبُخَارِيُّ وَمُسْلِمٌ
عَنْ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُوْلَ اللهّ صلى الله عليه وسلم نَهَى عَنْ بَيْعِ
الثَّمْرَةِ حَتّى يَبْدُوَ صَلَا حُهَا وَ نَهَى الْبَائِعَ وَالْمُشْتَرِيَ
Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim dari Ibnu Umar bahwa Rasulullah
SAW. Malarang menjual buah sehingga
tampak kalayakanya, Rasulullah saw. Melarang menjual dan pembelinya.
وَأَخْرَجَ مٌسْلِمٌ عَنْ أَبِي
هُرَيْرَةَ قَالَ :قَالَ رَسُوْلُ الله صلى الله عليه وسلم: لاَتَبْتَاعُوْا
الثّمَارَ حَتَّي يَبْدُوَ صَلَاحُهَا.
Diriwayatkam oleh Muslim dan Abu
Hurairah, ia berkata: “Rasulullah SAW. Bersabda: ‘Janganlah kalian menjual
Buah-buahan sehingga tampak kelayakannya.’”[9]
Asbabul Wurud
Hadits Pertama:
Diriwayatkan oleh Ahmad dan
al-Bukhari dari Zaid bin Tsabit, ia berkata: “Rasulullah SAW. Tiba di Madinah,
sedang (kabiasaan) kami adalah saling menjual buah-buahan sebelum tampak
kelayakannya, hingga Rasulullah SAW.
Mendengarkan suara orang bertengkar. Beliau berkata: “Ada apa ini?” lalu
dilaporkan pada beliau:”Mereka membeli buah-buahan, mereka berkata buah-buahan
itu terkena ad-daman (buahnya
membusuk) dan at-tasyam (berguguran).
Rasulullah SAW. Bersabda: “janganlah kalian saling menjualnya sehingga tampak
kelayakannya.”
Hadits Kedua:
a) Hadist tersebut lafazh milik Ahmad 5/190.
b) Diriwayatkan juga al-Bukhari dalam
kitab:al-Buyu’ bab: Bai’ ats-Tsimar qabl an Yabduwa Shalahuhan (menjual
buah-buahan sebelum nampak kelayakannya).
c) Dan Abu Dawud dalam kitab: al-Buyu’, bab: an-Nahyu ‘an Bai’ ats-Tsimar qabl an Yabduwa Shalahuha (tentang
menjual buah-buahan sebelum nampak kelayakannya, (2/227)) dengan maknanya.
Ditinjau dari Konteks Kebahasaan:
Ad-Daman (dengan
memfathahkan dal): adalah ad-damal: rusak
dan binasanya. At-Tasyam: gugur
sebelum menjadi balakh (kurma yang masih mengkal). Ada yang berpendapat:
serangga pemakan buah yang terdapat pada buah, terambil dari kata iltasyama yang bermakna makanan. Lihat al-faiq fi Gharibil hadist oleh
az-Zamahsyari 1/439.
Keterangan:
Hadist Pertama:[10]
1.
Hadis
pertama lafadznya milik Abu Dawud dalam kitab: al-Buyu’, bab: Fi Bai’ ats-Tsimar qobla an Yabduwa Shalahuha
(tentang menjual buah-buahan sebelum nampak kelayakannya, (2/227)).
2.
Bagian
pertama dari hadis tersebut diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam kitab: az-Zakah,
bab: Man Ba’a Tsimarhu (barang siapa menjual buah-buahannya), dari jalan. Dan
ia juga meriwayatkan dari jalan anas, bab: Bai’u
an-Nahl qabla an yabduwa Shalahuha (menjual
kurma sebelum tampak kelayakanya,(2/156)), dan dari hadist Ibnu Umar dan hadist
Jabir, bab: idza ba’a ats-Tsimar qobla an Yabduwa Shalahuha (apabila
menjual buah-buahan sebelum nampak kelayakannya, (8/101)) dengan lafadz-lafadz
yang saling berdekatan.
3.
Hadis ini
juga adalah satu bagian dari hadis al-Bukhari yang ia riwayatkan dalam kitab: al-Musaqat, bab: ar-Rajul yakunu lahu Mamarrun fi Ha’ith (seseorang yang memiliki tempat
lewat di kebun, (3/151)) dari hadis Jabir.
4.
Dan
diriwayatkan oleh Muslim dalam kitab: al-Buyu’, bab:
an-Nahyu ‘an al-Muhaqalah wa la-Muzabanah wa ‘an al-Mukhabarah wa bai’
ats-Tsamar qobla an Yabduwa Shalahuha (larangan al-Mukhabarah: (menjual buah-buahan yang belum layak dikonsumsi), la-Muzabanah (menjual sesuatu yang belum
diketahui ukuran, jumlah atau timbangannya), al-Mukhabarah, dan menjual buah sebelum manpak buahnya,(4/40)). Dan
ini juga adalah bagian hadist miliknya,selain itu ia juga meriwayatkan dari
hadist Jabir bab: an-Nahyu ‘an Bai’ qobla
Bidduwi Shalahuha bi Ghoiri Syarth al-Qath’i (larangan menjual buah-buahan sebelum nampak
kelayakannya tanpa ada syarat yang pasti), dengan lafazh-lafazh yang berdekatan
Hadist Kedua:
1. Diriwayakan
oleh Muslim dalam kitab: al-Buyu’, bab: an-Nahyu
‘an Bai’ ats-Tsamir qabla Bidduwi Shalahuha (larangan menjual buah-buahan
sebelum nampak kelayakannya, (4/29)).
2. At-Tirmidzi
dalam kitab: al-Buyu’, bab: Ma Ja’a fi
karahiyyati Bai’ ats-Tsamarah qabl an Yabduwa Shalahuha (hadis-hadis
tentang makruhnya menjual buah sebelum nampak kelayakannya, (2/348)) dengan
maknanya, ia berkata: “Hasan Sahih”.
3. Ibnu Majah
dalm kitab: at-Tijarat, bab: an-Nahyu ‘an
Bai’ ats-Tsamar qabla an Yabduwa Shalahuha (larangan menjual buah-buahan
sebelum manpak kelayakannya, (2/747)), dengan lafazh-lafazh yang berdekatan.
Dan ia juga meriwayatkan pada bagian awal dari hadist tersebut dari hadist Ibnu
Umar dengan lafazh-lafazh yang beragam.
4. Dan
diriwayatka oleh Ahmad 2/46,77, dengan lafazh-lafzh yang berdekatan.[11]
C. Ayat AlQuran yang Berkaitan dengan Jual Beli
Jual beli adalah perbuatan yang dihalalkan oleh Allah
SWT. Sebagaimana Allah berfirman dalam al-qur’an:
الَّذِينَ
يَأْكُلُونَ الرِّبَا لَا يَقُومُونَ إِلَّا كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ
الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ ۚ ذَٰلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوا إِنَّمَا الْبَيْعُ
مِثْلُ الرِّبَا ۗ وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا ۚ
Artinya:
Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat
berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran
(tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan
mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba,
padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba (QS.Al baqarah
ayat 275).[12]
D. Hukum Jual Beli
Dari kandungan ayat-ayat dan
hadist-hadist yang dikemukakan diatas sebagai dasar jual-bali, para ulama fiqih
mengambil suatau kesimpulan, bahwa jual beli itu hukumnya mubah (boleh).
Namun, menurut Imam asy-Syatibi (ahli fiqih Madzhab Imam Maliki), hukumnya bisa
berubah menjadi wajib dalam situasi tertentu.
Sebagai contoh dikemukakannya, bila suatu waktu terjadi praktek
ihtikar, yaitu penimbunan barang,sehingga persediaan hilang dari pasar dan
harga melonjak naik. Apabila terjadi
praktek semacam itu, maka pemerintah boleh memaksa para pedagang menjual
barang-barang sesuai dengan harga pasar sebelum terjadi pelonjakan harga barang
itu.para pedagang wajib memenuhi ketentuan pemerintah di dalam menentukan harga
di pasaran.[13]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Jual beli
adalah tukar-menukar harta dengan harta yang dimaksudkan untuk suatu
kepemilikan, yang ditunjukkan dengan perkataan dan perbuatan. Rasulullah menjelaskan bahwa hukum jual beli
adalah perbuatan yang dihalalkan selama penjual dan pembeli tidak ada yang
dirugikan dan tidak ada penipuan dalam jual beli.
Syarat Jual Beli adalah Sebagai Berikut:
1.
Keadaan bendanya suci.
2.
Bendanya dapat diambil manfaatnya sesuai dengan yang dimaksudkan.
3.
Bendanya dapat diterimakan atau diserahkan kepada pihak pembeli.
Rukun Jual Beli adalah Sebagai Berikut:
1.
Barang yang dijual belikan.
2.
Orang yang membeli dan menjual barang.
3.
Ijab qobul.
Manfaat yang
dapat kita ambil dari bab-bab muamalah ini ialah agar kita bisa memahami kaidah
yang sangat penting, yang memberi batasan muamalah-muamalah yang diperbolehkan,
di samping kita dapat memahami batasan-batasan muamalah yang diharamkan, yang
semua bagian-bagiannya kembali kesana.
Kaidah itu ialah: Dasar hukum dalam muamalah, berbagai jenis perniagaan
dan mata pencaharian ialah halal dan diperbolehkan, tidak ada yang mencegahnya
kecuali apa yang telah diharamkan Allah dan Rasul-Nya.
DAFTAR PUSTAKA
Abdulllah Abu Ahmad, Umdatul Ahkam, (Jogjakarta: Media Hidayah,
2006)
Abu Amar Imron, Edisi Indonesia: Fathul Qarib, (Kudus: Menara
Kudus, 1983)
AlQur’an dan Terjemahannya
Hadist Bukhari Muslim
Hasan Ali, Berbagai Macam Transaksi dalam Islam, (Jakarta: Rajawali
Press, 2004)
Ismail Yahya, Edisi Indonesia: Asbab Wurud Al-Hadist,
(Jakarta: Pustaka As-Sunnah, 2009)
Suhardi Kathur, Edisi Indonesia: Syarah Hadits
Pilihan Bukhari Muslim, (Jakarta: Darul Falah, 2002)
[1]
Kathur Suhardi, Edisi Indonesia: Syarah Hadist Pilihan Bukhari Muslim,
(Jakarta: Darul Falah, 2002), Hal. 57
[2]
Imron Abu Amar, Edisi Indonesia: Fathul Qarib, (Kudus: Menara Kudus,
1983), Hal. 229
[3] Ibid. Hal.229-230
[4]Kathur
Suhardi, Edisi Indonesia: Syarah Hadist Pilihan Bukhari Muslim,
(Jakarta: Darul Falah, 2002), Hal. 579
[5]
Kathur Suhardi, Edisi Indonesia: Syarah Hadist Pilihan Bukhari Muslim,
(Jakarta: Darul Falah, 2002), Hal. 580
[6]
Ibid.hlm.581
[7]
Ibid.hal.582
[8] Ibid hal.583
[9]
Hadits Bukhari Muslim
[10]
Yahya Ismail, Edisi Indonesia: Asbab
Wurud Al-Hadist, (Jakarta: Pustaka As-Sunnah, 2009), Hal. 243
[11]
Yahya Ismail, Edisi Indonesia: Asbab Wurud Al-Hadist, (Jakarta: Pustaka
As-Sunnah, 2009), Hal. 243
[12]AlQur’an
dan Terjemahannya
[13]
Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi dalam Islam, (Jakarta: Rajawali
Press, 2004), Hal. 117
No comments:
Post a Comment