Tentang Alam Semesta
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah swt karena berkat
rahmat Nya penyusunan makalah ini dapat diselesaikan.Makalah ini merupakan
makalah Tafsir yang
membahas “Ayat
tentang Alam Semesta ”.Secara khusus pembahasan dalam makalah ini diatur
sedemikian rupa sehingga materi yang disampaikan sesuai dengan mata kuliah.
Dalam penyusunan tugas atau materi ini, tidak sedikit hambatan yang kami
hadapi. Namun kami menyadari bahwa kelancaran dalam penyusunan makalah ini
tidak lain berkat bantuan, dorongan dan bimbingan orang tua, sehingga kendala-kendala
yang kami hadapi teratasi . oleh karena itu kami mengucapkan terimakasih
kepada:
1. Bapak dosen mata kuliah Tafsir 1 Bapak Ahmad Darlis,M.Pd.I yang telah memberikan tugas, petunjuk, kepada
kami sehingga kami termotivasi dan menyelesaikan tugas makalah ini.
2. Orang tua, teman dan kerabat yang
telah turut membantu,
membimbing, dan mengatasi berbagai kesulitan sehingga tugas makalah ini selesai.
Kami sadar, bahwa dalam pembuatan makalah ini terdapat banyak kesalahan.Untuk itu
kami meminta maaf apabila ada kekurangan. Kami sangat mengharapkan kritik dan saran
dari para pembaca guna meningkatkan kualitas makalah penulis selanjutnya.
Kebenaran dan kesempurnaan hanya Allah-lah yang punya dan maha kuasa
.Harapan kami, semoga makalah yang sederhana ini, dapat memberikan manfaat
tersendiri bagi generasi muda islam yang akan datang, khususnya dalam bidang Tafsir.
Tanjung
Pura, Maret, 2016
Tim Penyusun
Kelompok 5 ( Lima )
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Al-Quran
merupakan sumber segala ilmu. Al-Quran menyebutkan tentang kejadian alam
semesta dan berbagai proses kealaman lainnya, tentang penciptaan manusia,
termasuk manusia yang didorong hasrat ingin tahunya dan dipacu akalnya untuk
menyelidiki segala apa yang ada disekitarnya seperti keingintahuan tentang
rahasia alam semesta.
Alam
semesta merupakan sebuah bukti kebesaran Tuhan, karena penciptaan alan semesta
dari ketiadaan memerlukan adanya Sang Pencipta Yang Maha Kuasa. Tuhan telah
menciptakan alam semesta ini dengan segala isinya untuk manusia dan telah
menyatakan tentang penciptaan alam semesta dalam ayat-ayat-Nya. Meskipun demikian Al-Quran bukan buku kosmlogi atau
biologi, sebab ia hanya menyatakan bagian-bagian yang sangat penting saja dari
ilmu-ilmu yang dimaksud.
Keingin tahuan manusia tentang alam semesta
tidak hanya membaca Al-Quran saja, akan tetapi juga melakukan perintah Tuhan.
Sehingga ia dapat menemukan kebenaran yang dapat dipergunakan dalam pemahaman
serta penafsiran Al-Quran. Oleh karena itu tidak dapat diragukan lagi bahwa
penciptaan alam semesta bukanlah produk dari hasil pemikiran manusia, akan
tetapi produk dari hasil Tuhan.
B. Rumusan Masalah
1. Apa sajakah ayat-ayat al-quran yang
menjelaskan tentang penciptaan Alam Semesta?
2. Bagaiimanakan isi tafsiran surah Al-Baqarah
ayat 29?
3. Bagaimanakah isi tafsiran surah Al
Mulk Ayat 3 ?
4. Bagaimanakan isi tafsiran surah Al
A’raf Ayat 54?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Al Baqarah Ayat 29
1. Terjemahan Al Baqarah Ayat 29
فَسَوَّاهُنَّ السَّمَاءَ ا إِلَى سْتَوَىثُمَّ
جَمِيْعًا الْأَرْضِ فِي مَّا لَكُمْ خَلَقَ
الَّذِيْ هُوَ عَلِيْمٌ شَيْءٍ بِكُلِّ هُوَ وَ سَمَاوَاتٍ سَبْعَ
Dialah
Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan Dia berkehendak
(menciptakan) langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit. Dan Dia Maha Mengetahui
segala sesuatu.
2. Tafsiran Al BAqrah Ayat 29
ٱلۡأَرۡضِ فِى مَّا
لَكُم خَلَقَ ٱلَّذِى
هُوَ
(Dialah yang telah menciptakan bagimu segala yang terdapat di muka bumi) yaitu
menciptakan bumi beserta isinya, جَمِيعً۬ا (kesemuanya) agar kamu memperoleh
manfaat dan mengambil perbandingan darinya, ٱسۡتَوَىٰٓ
ثُمَّ
(kemudian Dia hendak menyengaja hendak menciptakan) Dalam penggalan terjemahan ayat tersebut yang berbunyi Kata kemudian
dalam ayat ini bukan berarti selang masa tapi dalam arti peringkat, yakni
peringkat sesuatu yang disebut sesudahnya yaitu langit dan apa yang
ditampungnya lebih agung, lebih besar, indah dan misterius daripada bumi. Maka
Dia, yakni Allah menyempurnakan mereka yakni menjadikan tujuh
langit dan menetapkan hukum-hukum yang mengatur perjalanannya
masing-masing, serta menyiapkan sarana yang sesuai bagi yang berada disana. Itu
semua diciptakannya dalam keadaan sempurna dan amat teliti. Dan itu semua
mudah bagi-Nya karena Dia Maha Mengetahui segala sesuatu[1]. artinya setelah menciptakan bumi
tadi Dia bermaksud hendak menciptakan pula ٮٰهُنَّ
فَسَوَّ ٱلسَّمَآءِ إِلَى (langit, maka dijadikan-Nya langit
itu) 'hunna' sebagai kata ganti benda yang dimaksud adalah langit itu.
Maksudnya
ialah dijadikan-Nya, sebagaimana didapati pada ayat yang lain, 'faqadhaahunna,'
yang berarti maka ditetapkan-Nya mereka, هُوَ وَ سَمَاوَاتٍ سَبْعَ عَلِيْمٌ
شَيْءٍ بِكُلِّ (tujuh langit dan Dia Maha
Mengetahui atas segala sesuatu) dikemukakan secara 'mujmal' ringkas atau secara
mufasshal terinci, maksudnya, "Tidakkah Allah yang mampu menciptakan semua
itu dari mula pertama, padahal Dia lebih besar dan lebih hebat daripada kamu,
akan mampu pula menghidupkan kamu kembali.[2]
Setelah Allah
menyebut peruntukan penciptaan segala yang ada di bumi, Dia kemudian
menggunakan kata sambung ثُمَّ
(tsumma, kemudian), yang menunjukkan adanya pengurutan (tartĭb),
yaitu—yang oleh ahli bahasa disebut—tartĭb infishāl (pengurutan
terpisah); artinya, kejadian berikutnya tidak terjadi dengan serta-merta. Di
belakang kata sambung ثُمَّ
(tsumma, kemudian) ini ialah kalimat اسْتَوَى إِلَى
السَّمَاء (istawā ilas-samāi,
beranjak ke langit). Maksudnya, pelaksanaan amanah tadi sekaligus
menjadi tangga-tangga ruhaniah yang starting point (titik anjak)-nya
bermula dari bumi, dari dunia material, dari tubuh biologis, untuk selanjutnya
menuju ke ‘langit’. Hanya individu-individu yang bisa melepaskan diri dari
jeratan bumi, dunia material, tubuh biologisnyalah yang bisa melanjutkan
perjalanannya menuju ke ‘langit’. Itu sebabnya kata sambungnya menggunakan ثُمَّ (tsumma, kemudian)—tartĭb
infishāl (pengurutan terpisah)—dan bukan فَ (fa', lantas)—tartĭb
ittishāl (pengurutan bersambung). Jadi yang Allah sampaikan di ayat ini
bukanlah proses penciptaan, melainkan rangkaian perjalanan spiritual (mi’raj
ruhani) yang sejatinya ditempuh oleh manusia.[3]
Penggunaan kata عَلِيمٌ ('alĭm,
Maha Mengetahui) di akhir ayat ini mengisyaratkan bahwa perjalanan ruhani
pada hakikatnya adalah sebuah napak tilas menelusuri ilmu Allah. Yang artinya,
progresifitas perjalanan itu berbanding lurus dengan makin bertambahnya ilmu
seseorang. Kian bertambah ilmu sesorang tentang Allah (seharusnya) kian
bertambah pula kapasitasnya dalam memikul amanah yang diembannya, dan
kian bertambah tinggi pula martabat ‘langit’ yang dicapainya, sehingga (pada
akhirnya) kian dekat yang bersangkutan kepada ‘arasy Rab-nya.
Setelah Allah Subhaanahu wa Ta’aala menyebutkan
bukti keberadaan dan kekuasaan-Nya kepada makhluk-Nya melalui apa yang mereka
saksikan sendiri pada diri mereka, lalu Dia menyebutkan bukti lain melalui apa
yang mereka saksikan, yaitu penciptaan langit dan bumi.
Istawaa ilas samaa (berkehendak atau bertujuan ke
langit), makna lafadz ini mengandung pengertian kedua lafadz tersebut, yakni
berkehendak atau bertujuan, karena ia di-muta’addi-kan dengan memakai
huruf ilaa. Fasawwaahunna sab’a samaawaat (lalu Dia menciptakan
tujuh langit), lafadz as-samaa dalam ayat ini merupakan isim jinis,
karena itu disebutkan sab’a samaawaat. Wahuwa bikulli syai-in ‘aliim
(Dia Maha Mengetahui segala sesuatu), yakni pengetahuan-Nya meliputi semua
makhluk yang telah Dia ciptakan.
Dari uraian diatas dapat diketahui, yakni
berkaitan dengan materi pendidikan yang terkandung dalam ayat tersebut,
menjelaskan bahwa segala sesuatu yang ada di alam semesta merupakan salah satu
dari beberpa bukti keagungan Allah SWT yang menuntut kita untuk mempelajarinya
sehingga dapat menambah keimanan kita terhadap kekuasaan Allah SWT.
Sebagaimana dalam buku karya DR. Nurwajah Ahmad
E.Q disitu disebutkan bahwa Alqur’an berulangkali menampilkan fenomena alam
semesta, yang target akhir dari itu semua adalah kesadaran atas eksistensi diri
sebagai makhluk yang tidak memiliki arti apa-apa dihadapan sang penguasa. Oleh
sebab itu dalam setiap ayat yang menjelaskan fenomena alam senantiasa dikaitkan
dengan dorongan terhadap manusia unrtuk melakukan pengamatan, penyelidikan yang
akan menambah pengetahuan manusia.[4]Maka
dengan demikian manusia harus menggunakan segala kekayaan alam bukan
semata-mata untuk kepentingan fisik dan intelektual tetapi lebih penting lagi
adalah untuk moral dan spiritual.
Ayat ini turun dalam rangka Al-Taubih
(ejekan) dan Al-Ta’ajjub (keanehan) yang disebabkan karena sifat ingkar
yang ditunjukkan oleh orang-orang fasik dengan menyebutkan bukti-bukti yang
mendorong mereka agar memiliki keimanan dan menjauhi kekafiran.[5]
Adapun diantara bukti-bukti tersebut adalah
adanya kenikmatan yang menunjukkan kekuasaan Allah SWT, yang diperlihatkan
dengan permulaan penciptaan makhluk-Nya hingga berakhirnya kehidupan ini.
Maka dari uraian-urain tersebut diatas dapat
difahami bahwasanya yang terkandung dalam Surat Al Baqarah ayat 29 adalah
berbicara tentang penciptaan alam semesta dalam rangka memberi peringatan orang
– orang fasik. kemudian Allah juga menciptakan segala apa yang ada di bumi dan
di langit untuk manusia, dengan demikian ayat tersebut tidak membicarakan
proses penciptaan alam, melainkan lebih ditunjukan untuk menjelaskan posisi
alam sebagai tempat yang penuh karunia tuhan yang dapat dimanfaatkan oleh
manusia sehingga manusia dapat bersyukur atas karunia tersebut dan meningkatkan
keimanannya.
B. Al mulk Ayat 3
1. Terjemahan Al Mulk Ayat 3
الَّذِي خَلَقَ سَبْعَ سَمَاوَاتٍ
طِبَاقًا ۖ مَا تَرَىٰ فِي خَلْقِ
الرَّحْمَٰنِ مِنْ تَفَاوُتٍ ۖ فَارْجِعِ
الْبَصَرَ هَلْ تَرَىٰ مِنْ فُطُورٍ [٦٧:٣]
Yang
telah menciptakan tujuh langit berlapis-lapis. Kamu sekali-kali tidak melihat
pada ciptaan Tuhan Yang Maha Pemurah sesuatu yang tidak seimbang. Maka lihatlah
berulang-ulang, adakah kamu lihat sesuatu yang tidak seimbang?
2. Tafsiran Al Mulk Ayat 3
الَّذِي
خَلَقَ سَبْعَ سَمَاوَاتٍ طِبَاقًا (Yang telah menciptakan tujuh langit berlapis-lapis) yakni
sebagian di antaranya berada di atas sebagian yang lain tanpa bersentuhan. Maksutnya hanya ujung-ujungnya saja yang melekat, karena
dikatakan sebagiannya melekat di atas sebagian yang lain. Seperti yang
diriwayatkan oleh Ibnu Abbas. Lafaz طِبَاقًا
adalah sifat
untuk سَبْعَ, sedangkan طِبَاقًا
adalah mashdar yang berarti al muthaabah (yang berlapis-lapis). [6]
Dia menciptakan langit tanpa adanya
tiang yang menyangga dan tanpa ikatan yang mengikatnya, padahal masing-masing
menempati waktu dan ruang tertentu yang begitu rapi, hanya daya
tarik-menariklah yang mengaturnya. Ada yang menafsirkan bahwa langit ketujuh
itu adalah bintang-bintang dari matahari. Ada pula yang menafsirkannya dengan
ditambah dongeng-dongeng yang tidak jelas sama sekali. Oleh karena itu,
cukuplah saja kita mengartikan langit ketujuh dengan iman kita, karena tidak bisa
langit ketujuh diartikan dengan ilmu pengetahuan.
Menurut pendapat ulama lain, Sibawaih
berkata طِبَاقًا
dinashabkan karena menjadi objek. Dan
menurut Al Qurthubi, خَلَقَ bermakna ja’ala (menjadikan)
dan shayara (membuat). Dan thibaaq adalah jamak dari thabaq
atau thabaqah. Seperti yang diriwayatkan oleh Aban bin Taghlib, “aku
mendengar sebagian orang Arab mencela seseorang. Dia berkata, ‘Syarruhu
thibaaqun wa khairu ghairu baaqin (keburukannya berlapis-lapis, sementara
kabaikannya tidak akan kekal). Atau menurut Quraish Shihab thibaqa
disini adalah mashdar yang artinya sangat bersesuaian. Jadi dalam bentuk
jamaknya ketujuh langit itu mempunyai kesamaan, ibaratnya seperti kue lapis
atau cangkang telur yang mengitari seluruh segi telur dari segala penjuru.
مَا تَرَىٰ
فِي خَلْقِ الرَّحْمَٰنِ (Kamu sekali-kali tidak melihat pada ciptaan Yang Maha Pemurah)
pada tujuh langit yang berlapis-lapis itu atau pada makhluk yang lain, تَفَاوُتٍ
مِنْ
(sesuatu yang tidak seimbang) Berdasarkan Qira’ah Hamzah, Al Kisa’i
dan Ibnu Mas’ud, lafaz مِنْ تَفوُّتٍ tanpa
alif dan bertasydid, namun ada pula yang membaca مِنْ
تَفاوُتٍ menggunakan huruf
alif dan tanpa tasydid. Berbeda lagi dengan qira’ah Abu Ubaid, dia membaca مِنْ تَفوُتٍ.
Tapi qira’ah yang paling ideal adalah تَفَاوُتٍ
(saling bertentangan) kalau saling bertentangan berarti saling meninggalkan
satu sama lain. Yang berarti kalian tidak akan menemukan ketidak-seimbangan
maupun kontradiksi pada ciptaan Allah. Semua itu Dia ciptakan dengan sempurna
hanya untuk makhluk-Nya sebagai manifestasi dari kehendak-Nya untuk melimpahkan
rahmat kepada seluruh makhluk, ini yang merujuk pada ar-Rahman.. فَارْجِعِ
الْبَصَرَ (Maka lihatlah berulang-ulang) artinya lihatlah kembali ke
langit هَلْ تَرَىٰ (adakah kamu lihat) padanya مِنْ
فُطُورٍ (keretakan?)
maksudnya retak dan berbelah-belah.[7] Disini
Allah menciptakan segala sesuatu tidak lepas dari hukum-hukum serta
peraturan-peraturan sehingga semuanya menjadi begitu rapi. Kita ambil contoh
yang diberikan Quraish Shihab, bagaimana payahnya penduduk sebuah planet jika
tidak ada keseimbangan antar planet sehingga terjadi tabrakan antar planet.
Diciptakannya berbagai makhluk dengan timbal balik satu dengan yang lain
seperti manusia & binatang-tumbuhan dalam proses fotosintesis.
Diciptakannya suara serta sidik jari milyaran manusia yang satupun tidak ada
yang sama. Jadi bagaimana kita makhluk yang berpikir tetap tidak mengakui
ke-sempurnaan ciptaan Tuhan, jika sudah terlalu banyak bukti kebesaran-Nya dengan
semua ciptaan-Nya yang begitu teratur.[8]
C. Surah Al A’raf Ayat 54
1. Terjemahan Ayat Al-A’raf ayat 54
إن ربكم الله الذي خلق السموات والأرض في ستة أيام ثم استوى على العرش
يغشي الليل النهار يطلبه حثيثا والشمس والقمر والنجوم مسخرات بأمره ألا له الخلق
والأمر تبارك الله رب العالمين
Sesungguhnya
Tuhan kamu ialah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa,
lalu Dia bersemayam di atas 'Arsy. Dia menutupkan malam kepada siang yang
mengikutinya dengan cepat, dan (diciptakan-Nya pula) matahari, bulan dan
bintang-bintang (masing-masing) tunduk kepada perintah-Nya. Ingatlah,
menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah. Maha Suci Allah, Tuhan semesta
alam.
2. Tafsiran Al A’raf Ayat 54
إن ربكم الله الذي خلق السموات والأرض في ستة أيام ثم (Sesungguhnya
Tuhan kamu ialah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa)
menurut ukuran hari dunia atau yang sepadan dengannya, sebab pada zaman itu
masih belum ada matahari. Akan tetapi jika Allah menghendakinya niscaya Ia
dapat menciptakannya dalam sekejap mata, adapun penyebutan hal ini dimaksud
guna mengajari makhluk-Nya agar tekun dan sabar dalam mengerjakan sesuatu ثم استوى
على العرش
(lalu Dia bersemayam di atas Arsy) Arsy menurut
istilah bahasa artinya singgasana raja, yang dimaksud dengan bersemayam ialah
yang sesuai dengan kebesaran Allah dan kesucian-Nya النَّهَارَ
اللَّيْلَ يُغْشِي (Dia menutupkan malam kepada
siang) bisa dibaca takhfif yakni yughsyii dan dibaca tasydid, yakni
yughasysyii, artinya: keduanya itu saling menutupi yang lain silih-berganti يَطْلُبُهُ
(yang mengikutinya) masing-masing di antara keduanya itu mengikuti yang lainnya
حَثِيثًا (dengan cepat) secara
cepat والشمس والقمر
والنجوم (dan
diciptakan-Nya pula matahari, bulan dan bintang-bintang) dengan dibaca nashab
diathafkan kepada as-samaawaat, dan dibaca rafa` sebagai mubtada sedangkan
khabarnya ialah مُسَخَّرَاتٍ
(masing-masing tunduk) patuh بأمره (kepada perintah-Nya) kepada
kekuasaan-Nya ألا له
الخلق
(ingatlah, menciptakan itu hanya hak Allah) semuanya ۗ
والأمرdan memerintah)
kesemuanya adalah hak-Nya pula تَبَارَكَ (Maha
Suci) Maha Besar رَبُّ اللَّهُ (Allah,
Tuhan) Pemelihara الْعَالَمِينَ
(semesta alam).[9]
Menurut
Sayyid Quthb: Akidah tauhid Islam tidak meninggalkan satu
pun lapangan bagi manusia untuk merenungkan zat Allah Yang Maha Suci dan
bagaimana ia berbuat, maka, Allah itu Maha Suci, tidak ada lapangan bagi
manusia untuk menggambarkan dan melukiskan zat Allah. Adapun enam hari saat
Allah menciptakan langit dan bumi, juga merupakan perkara ghaib yang tidak ada
seorang makhlukpun menyaksikannya. Allah telah menciptakan alam semesta ini
dengan segala kebesaran-Nya, yang menguasai alam ini mengaturnya dengan
perintah-Nya, mengendalikannya dengan kekuasaan-Nya. Dia menutupkan malam
kepada siang yang mengikutinya dengan cepat dalam putaran yang abadi ini yaitu
putaran malam mengikuti siang dalam peredaran planet ini. Dia menciptakan
matahari, bulan dan bintang, yang semuanya tunduk kepada perintah-Nya,
sesungguhnya Allah Maha Pencipta, Pelindung, Pengendali dan Pengatur. Dia
adalah Tuhan kalian yang memelihara kalian dengan manhaj-Nya, mempersatukan
kalian dengan peraturan-Nya, membuat syariat bagi kalian dengan izin-Nya dan
memutuskan perkara kalian dengan hukum-Nya. Dialah yang berhak menciptakan dan
memerintah. Inilah persoalan yang menjadi sasaran pemaparan ini yaitu persoalan
uluhiah, rububiyah dan hakimiyah, serta manunggalnya Allah SWT. Pada semuanya
ini ia juga merupakan persoalan ubudiyah manusia di dalam syariat hidup mereka.
Maka, ini pulalah tema yang dihadapkan konteks surat ini yang tercermin dalam
masalah pakaian sebagaimana yang dihadapi surat Al-An’am dalam masalah binatang
ternak, tanaman,nazar-nazar dan syiar-syiar.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Allah
telah menciptakan alam semesta ini dengan segala kebesarannya, yang menguasai
alam ini, mengaturnya dengan perintah-Nya ,mengendalikannya dengan
kekuasaan-Nya. Dia menutupkan malam kepada siang yang mengikutinya dengan cepat
dalam putaran yang abadi ini. Yaitu, putaran malam mengikuti siang dalam
peredaran planet ini. Dia menciptakan matahari, bulan dan bintang, yang semula
tunduk kepada perintah-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Pencipta dan Tuhan sekalian
alam.
Dari uraian pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa
materi pendidikan yang terkandung didalam Surat Al-Baqarah ayat 29 yaitu
tentang penciptaan segala apa yang ada di bumi dan di langit. Dengan demikian
ayat tersebut tidak membicarakan proses penciptaan alam, melainkan lebih
ditunjukkan untuk menjelaskan posisi alam sebagai tempat yang penuh kerunia
Tuhan yang dapat dimanfaatkan manusia. Lalu, dalam Surat Al-Mulk ayat 3
menjelaskan tentang posisi alam semesta dan segala isinya untuk dipelajari
supaya menusia dapat mengambil manfaatnya. Sedangkan dalam Surat Al-A’raf ayat
54 yaitu bahwa Allah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa.
DAFTAR FUSTAKA
Shihab ,M.
Quraish, Tafsir Al-Misbah.Jakarta: Lentera Hati, cet. X 2002.
Al-Mahalliy ,Jalalud– Din –dan Jalalud–
Din – Al-Mahalliy,Tafsir Jalalain Berikut
Asbabun Nuzul Terjemahan Mahyudin Syaf dan Bahrun Abubakar ( Bandung:Sinar
Baru,Cet 1,1990
http://www.mafatihuljinan.org/index.php?option=com_content&view=article&id=134:surat-al-baqarah-2-ayat-29&catid=50:tafsir-al-barru&Itemid=93. Diakses. 5 April 2016,Pukul 20:00
Wib
Ahmad, Nurwadjah.
Tafsir Ayat Ayat Pendidikan
Bandung : Marja, Cet. 1. 2007
Al Qurthubi/Syaikh Imam Al Qurthubi, Tafsir Al
Qurthubi, ed. Mukhlis B. Mukti, trans. Ahmad Khatib et al., vol. IX,.Jakarta:
PUSTAKA AZZAM, Cetakan ke-I 2009.
M. Quraish Shihab, TAFSIR AL-MISHBAH Pesan,
Kesan, Dan Keserasian al-Qur’an,Jakarata: Lentera Hati, vol. 15Cetakan
ke-II 2002
[2] Jalalud– Din – Al-Mahalliy dan Jalalud– Din – Al-Mahalliy,Tafsir Jalalain Berikut Asbabun Nuzul
Terjemahan Mahyudin Syaf dan Bahrun Abubakar ( Bandung:Sinar Baru,Cet
1,1990)hal.16-17
[3]http://www.mafatihuljinan.org/index.php?option=com_content&view=article&id=134:surat-al-baqarah-2-ayat-29&catid=50:tafsir-al-barru&Itemid=93. Diakses. 5 April 2016,Pukul 20:00 Wib
[6] Al Qurthubi / Syaikh Imam Al Qurthubi, Tafsir Al Qurthubi,
ed. Mukhlis B. Mukti, trans. Ahmad Khatib et al., vol. IX, Cetakan ke-I
(Jakarta: PUSTAKA AZZAM, 2009), hal. 12
[7] Jalalud– Din – Al-Mahalliy dan Jalalud– Din – Al-Mahalliy,Tafsir Jalalain Berikut Asbabun Nuzul
Terjemahan Mahyudin Syaf dan Bahrun Abubakar ( Bandung:Sinar Baru,Cet
1,1990)hal.2498
[8] M. Quraish Shihab, TAFSIR AL-MISHBAH Pesan, Kesan, Dan
Keserasian al-Qur’an, vol. 15, Cetakan ke-II (Jakarata: Lentera Hati,
2002), 201
[9] Jalalud– Din – Al-Mahalliy dan Jalalud– Din – Al-Mahalliy,Tafsir Jalalain Berikut Asbabun Nuzul
Terjemahan Mahyudin Syaf dan Bahrun Abubakar ( Bandung:Sinar Baru,Cet
1,1990)hal. 643
No comments:
Post a Comment