KATA PENGANTAR
Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Tuhan yang
maha Esa atas ridho dan hidayahnya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas Karya
Ilmiah ini dengan penuh keyakinan serta usaha maksimal. Semoga dengan
terselesaikannya tugas ini dapat memberi pelajaran positif bagi kita semua.
Selanjutnya penulis juga ucapkan terima kasih kepada Ibu dosen Prof.Dr.Hj.Alesyart,M.Pd.M.H mata kuliah Penulisan Karya Ilmiah yang telah memberikan tugas ini kepada kami
sehingga dapat memicu motifasi kami untuk senantiasa belajar lebih giat dan
menggali ilmu lebih dalam khususnya mengenai “Penyelesaian Sengketa Pedagangan Internasional ” sehingga dengan kami dapat menemukan
hal-hal baru yang belum kami ketahui.
Terima kasih juga kami sampaikan atas petunjuk yang di
berikan sehingga kami dapat menyelasaikan tugas ini dengan usaha semaksimal
mungkin. Terima kasih pula atas dukungan para pihak yang turut membantu
terselesaikannya laporan ini, ayah bunda, teman-teman serta semua pihak yang
penuh kebaikan dan telah membantu penulis.
Terakhir kali sebagai seorang manusia biasa yang mencoba
berusaha sekuat tenaga dalam penyelesaian Karya Ilmiah ini, tetapi tetap saja tak luput dari
sifat manusiawi yang penuh khilaf dan salah, oleh karena itu segenap saran
penulis harapkan dari semua pihak guna perbaikan tugas-tugas serupa di masa
datang.
Tanjung Pura, 28 ,November , 2016
Penyusun
Megayani Umri
DAFTAR ISI
ABSTRAK
Penyelesaian sengketa perdagangan
internasional tidak dapat dilepaskan dari kaidah – kaidah hukum internasional
yang telah berlaku secara umum. Pasal 33 ayat (1) Piagam PBB memberikan pedoman
yang cukup lengkap bagi para pihak yang bersengketa dalam lingkup hukum
internasional, yang dapat pula dijadikan pedoman dalam bidang sengketa
perdagangan internasional seperti yang dikemukakan oleh Cooke (1997 : 197)
“the parties to any dispute... shall... seek a solution by negotiation,
inquiry, mediation, conciliation, arbitration, judicial settlement resorting to
regional agencies or arrangements, or othe peaceful means of their own choice.”
Transaksi – transaksi atau hubungan dagang
banyak bentuknya, dari berupa hubungan jual beli barang, pengiriman dan
penerimaan barang, produksi barang dan jasa berdasarkan suatu kontrak, dan lain
– lain. Semua transaksi tersebut sarat dengan potensi melahirkan
sengketa. Rusli Pandika ( 2010:22) berpendapat bahwa “Umumnya, sengketa – sengketa perdagangan
internasional sering didahului oleh penyelesaian dengan negosiasi. Jika
penyelesaian ini gagal atau tidak berhasil, barulah ditempuh cara – cara
lainnya seperti penyelesaian melalui pengadilan atau arbitrase”.
Penyerahan sengketa, baik kepada pengadilan maupun ke arbitrasi seringkali
didasarkan pada suatu perjanjian di antara para pihak. Langkah biasa yang
ditempuh adalah dengan membuat suatu perjanjian atau memasukkan suatu klausul
penyelesaian sengketa ke dalam kontrak atau perjanjian yang mereka buat, baik
ke pengadilan atau badan arbitrase.
Dasar hukum bagi forum atau badan penyelesaian sengketa yang akan menangani sengketa adalah kesepakatan para pihak. Kesepakatan tersebut diletakkan, baik pada waktu kontrak ditandatangani atau setelah sengketa timbul. Biasanya pula kelalaian para pihak untuk menentukan forum ini akan berakibat pada kesulitan dalam penyelesaian sengketanya karena dengan adanya kekosongan pilihan forum tersebut akan menjadi ulasan yang kuat bagi setiap forum untuk menyatakan dirinya berwewenang untuk memeriksa suatu sengketa. Lazimnya dalam sistem hukum Common Law dikenal dengan konsep long arm jurisdiction, yaitu konsep yang menerapkan bahwa pengadilan dapat menyatakan kewenangannya untuk menerima setiap sengketa yang dibawa kehadapannya meskipun hubungan antara pengadilan dengan sengketa tersebut tipis sekali
Dasar hukum bagi forum atau badan penyelesaian sengketa yang akan menangani sengketa adalah kesepakatan para pihak. Kesepakatan tersebut diletakkan, baik pada waktu kontrak ditandatangani atau setelah sengketa timbul. Biasanya pula kelalaian para pihak untuk menentukan forum ini akan berakibat pada kesulitan dalam penyelesaian sengketanya karena dengan adanya kekosongan pilihan forum tersebut akan menjadi ulasan yang kuat bagi setiap forum untuk menyatakan dirinya berwewenang untuk memeriksa suatu sengketa. Lazimnya dalam sistem hukum Common Law dikenal dengan konsep long arm jurisdiction, yaitu konsep yang menerapkan bahwa pengadilan dapat menyatakan kewenangannya untuk menerima setiap sengketa yang dibawa kehadapannya meskipun hubungan antara pengadilan dengan sengketa tersebut tipis sekali
Setidak-tidaknya ada empat cara untuk menyelesaian sengketa. Pertama, satu
pihak atau lebih sepakat untuk menerima suatu situasi, dimana kepentingan
mereka tidak terpenuhi seluruhnya. Kedua, pihak-pihak mengajukan situasi atau
persyaratan secara lengkap kepada orang atau panel, yang akan memutuskan
kepentingan mana yang harus dipenuhi dan kepentingan mana yang tidak dipenuhi.
Pada umumnya, orang atau panel yang tidak memihak tersebut akan merujuk kepada
aturan-aturan atau pedoman yang telah ada dan yang telah disepakati oleh semua
pihak atau sedikitnya sudah diketahui oleh semua pihak. Ketiga, persepsi satu
pihak atau pihak lain berubah, sehingga tidak ada perbedaan kepentingan.
Keempat, kepentingan satu pihak atau pihak yang lain berubah, sehingga, tidak
ada perbedaan kepentingan.
Secara konvensional, penyelesaian sengketa dilakukan melalui litigasi (Pengadilan)
dimana posisi para pihak berlawanan satu sama lain. Proses ini
membutuhkan waktu yang amat lama, oleh karena itu penyelesaian secara litigasi
tidak diterima dalam dunia bisnis karena tidak sesuai dengan tuntutan
perkembangannya. Pengadilan dianggap sebagai lembaga yang tidak efektif
untuk penyelesaian sengketa bisnis. Disamping panjangnya waktu yang dibutuhkan
untuk menjalani proses persidangan, putusan pengadilan yang bersifat terbuka
juga dapat “mematikan” reputasi seorang pelaku bisnis. Sedangkan dalam dunia
bisnis, reputasi merupakan unsur yang sangat penting. Sebagaimana yang
dikemukakan oleh seorang ahli sosiologi hukum terkemuka Jepang bernama Takeyosi
Kawasima dalam Rusli Pandika (2010:23) ”membawa perkara ke pengadilan berarti
mengisukan suatu tantangan umum dan membakar suatu pertengkaran”.
Forum peradilan selama ini dianggap jauh dari ideal untuk menyelesaikan
sengketa bisnis yang muncul dikalangan dunia usaha, khususnya dengan mitra
usaha luar negeri . Seiring dengan makin tumbuhnya keperluan dunia usaha dan
kesadaran kalangan praktisi dan pemerintah akan suatu proses penyelesaian
sengketa di luar jalur pengadilan, dengan demikian diambil suatu cara sebagai
alternatif atau pelengkap terhadap proses penyelesaian sengketa sebagai suatu pola
yang dikenal dengan “alternatif penyelesaian sengketa” (Alternative Dispute
Resolution/ADR).
Namun di sisi lain, kemunculan berbagai organisasi internasional sebagai salam
subjek hukum internasional, membawa perluasan yang baru bagi lapangan hukum internasional
khususnya di bidang penyelesaian sengketa. Organisasi internasional sering
bersengketa baik dengan sesama organisasi internasional lainnya, negara, bahkan
dengan individu. Pembentukan dinas – dinas sipil internasional, atau
sekretariat – sekretariat, dimana anggota – anggotanya terikat pada organisasi
oleh hubungan kontraktual, menghendaki didirikannya pengadilan – pengadilan
khusus yang kompeten untuk memutus sengketa – sengketa yang timbul dari
hubungan – hubungan itu, apabila dipakai pandangan bahwa anggota – anggota itu
mendapat hak – hak hukum yang seharusnya dilindungi oleh sistem peradilan
administrasi, dan tidak diserahkan pada kebijaksanaan tanpa batas dari
eksekutif sebagaimana banyak dipraktekkan oleh sistem Anglo – Amerika.
Pengajuan langsung sengketa – sengketa demikian kepada ICJ adalah tidak mungkin
mengingat kenyataan bahwa para pihak yang terlibat itu di satu pihak adalah
orang – perorangan dan di pihak lainnya adalah organisasi internasional, yang
masik – masing tidak memiliki locus standi di muka Mahkamah – mahkamah tersebut
dalam perkara – perkara yang sifatnya contentious case. Pengajuan perkara
demikian kepada pengadilan negeri dipandang tidak memadai, karena hal itu
bertentangan dengan imunitas umum terhadap yurisdiksi lokal yang dituntut oleh
organisasi – organisasi itu, dan pada umumnya sengketa itu meliputi masalah
hukum internal dan hukum administrasi dari organisasi terkait dan bukan hukum
lokal.
Apabila
hak – hak yang diperoleh para anggota staf itu harus dilindungi oleh suatu
badan peradilan yang tidak memihak, maka harus dibentuk pengadilan – pengadilan
khusus (Stephan C. Smith 2004:19)
Pada periode setelah berlakunya Agreement on Trade Related Investment Measures
hasil perundingan Putaran Uruguay, bermunculan sengketa – sengketa perdagangan
yang lahir dari peraturan – penanaman modal, antara lain Brazil dengan kebijakan
investasi sektor otomotif, India dengan kebijakan local content requirement,
Indonesia dengan kebijakan mobil nasional, Filipina dengan kebijakan foreign
exchange limitation, dan berbagai negara lainnya. Sejumlah sengketa
tersebut menunjukkan bahwa peraturan penanaman modal suatu negara dapat
menimbulkan sengketa bidang perdagangan internasional, ketika peraturan
penanaman modal tersebut bertentangan dengan kewajiban internasional dari host
country berdasarkan prinsip – prinsip perdagangan internasional yang diatur dalam
GATT / WTO.
Berbagai lembaga
internasional dibentuk dan disepakati oleh masyarakat dunia untuk mencoba
menyelesaikan sengketa perdagangan internasional terkait dengan masalah
investasi. Rusli Pandika ( 2010 : 22) megutarakan bahwa “Masing – masing lembaga
memiliki mekanisme penyelesaian sengketa yang berbeda, namun memiliki
karakteristik yang hampir sama yaitu menerapkan prinsip – prinsip perdagangan
internasional yang sama, serta mengutamakan waktu penyelesaian yang secepat
mungkin dengan memperhatikan akibatnya bagi perdagangan internasional yang
ditimbulkan oleh sengketa yang dibawa.” Mekanisme penyelesaian sengketa, serta
penerapan prinsip – prinsip perdagangan internasional dalam menyelesaikan kasus
– kasus merupakan beberapa pedoman utama untuk berhasil mempertahankan hak
ketika bersengketa dengan pihak lain.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perdagangan
internasional adalah salah satu aktivitas ekonomi yang telah sangat tua dan
berperan penting dalam menjalankan roda kehidupan suatu negara. Nopirin
menyatakan bahwa perdagangan internasional mempunyai peranan yang cukup besar
bagi pertumbuhan ekonomi negara. Salvatore dalam Huala Adoulf (1994:19) menyatakan
bahwa “perdagangan dapat menjadi mesin bagi pertumbuhan. Jika aktifitas
perdagangan internasional adalah ekspor dan impor, maka salah satu dari
komponen tersebut atau kedua-duanya dapat menjadi motor penggerak bagi
pertumbuhan.”
Perkembangan ekonomi setiap negara dapat diwujudkan dengan adanya
hubungan perdagangan internasional dengan negara lain. Hubungan perdagangan
internasional ini sudah ada sejak lama, yaitu sejak adanya negara-negara dalam
dalam arti modern. Perjuangan negara-negara untuk mendapatkan pengawasan dan
kemandirian terhadap perekonomian internasional, memaksa mereka untuk melakukan
hubungan kerjasama perdagangan dengan negara lain. Negara menyadari bahwa
perdagangan adalah satu-satunya cara untuk pembangunan ekonomi mereka.
Perkembangan dunia perdagangan
internasional saat ini mengalami kemajuan yang sangat pesat. Negara sebagai
salah satu aktor utama dalam perdagangan internasional telah menyepakati sebuah
mekanisme atau aturan perdagangan yang dapat lancar dan efektif dan bersifat
global atau lintas negara, muncullah ide untuk membentuk aturan dalam bidang
perdagangan internasional yang berlaku secara global. Salah satu aturan yang
diterapkan adalah sistem free trade atau perdagangan bebas.
Perdagangan bebas akan bekerja lebih efektif dan menguntungkan melalui
pengurangan hingga penghilangan hambatan-hambatan berupa tarif dan non tarif.
Pemikiran ini disetujui oleh negara-negara pada saat itu dan dituangkan
dalam General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) pada tahun 1947.
GATT merupakan sebuah instrumen hukum sekaligus sebuah lembaga semu dalam
mengatur perdagangan internasional dengan tujuan menghilangkan
hambatan-hambatan dalam perdagangan internasional.(Huala Adoulf.2005:34).
Hingga pada tahun 1994 akhirnya terbentuk sebuah organisasi nyata dalam
perdagangan internasional yang dinamakan World Trade
Organization (WTO).
Transaksi
perdagangan internasional menimbulkan potensi sengketa dagang apabila salah
satu pihak melakukan wan prestasi atau tidak melaksanakan penuh kewajibannya
sebagaimana isi perjanjian yang telah dibuat sehingga memerlukan upaya,
mekanisme dan aturan mengenai penyelesaian sengketa perdagangan internasional.
Transaksi perdagangan internasional yang berpotensi menimbulkan sengketa
perdagangan internasional membutuhkan suatu mekanisme penyelesaian
yang disepakati akan digunakan oleh kedua belah pihak yang bersengketa, oleh
karena itu permasalahan dalam penulisan makalah ini adalah bagaimana bentuk penyelesaian
sengketa perdagangan internasional dilakukan?
Berdasarkan latar belakang yang diuraikan di
atas membuat membuat penulis tertarik untuk membahasnya dalam suatu karya
ilmiah yang berjudul" Penyelesaian
Sengketa dalam Perdagangan Internasional” dengan rumusan masalah sebagai
berikut :
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut
maka penulis merumuskan masalah sebagai berikut :
a.
Apa
pengertian perdangan Internasional?
b.
Siapa
pihak yang berada dalam sengketa perdangangan Internasional?
c.
Bagaimana
prinsip- prisip penyelesaian sengketa perdagangan Internasional?
d.
Forum
apa saja yang ada dalam sengketa perdagangan Internasional?
e.
Hukum
apa yang berlakau dalam sengketa perdagangan Internasional?
f.
Bagaimana
pelaksanaan sengketa dagang Internasional?
C. Uraian Singkat
Perdagangan
internasional adalah salah satu aktivitas ekonomi yang telah sangat tua dan
berperan penting dalam menjalankan roda kehidupan suatu negara. Nopirin
menyatakan bahwa perdagangan internasional mempunyai peranan yang cukup besar
bagi pertumbuhan ekonomi negara. Salvatore dalam Huala Adoulf (2005:19) menyatakan
bahwa “perdagangan dapat menjadi mesin bagi Pertumbuhan. Jika aktifitas
perdagangan internasional adalah ekspor dan impor, maka salah satu dari
komponen tersebut atau kedua-duanya dapat menjadi motor penggerak bagi
pertumbuhan.”
Penyelesaian sengketa
perdagangan internasional tidak dapat dilepaskan dari kaidah – kaidah hukum
internasional yang telah berlaku secara umum. Pasal 33 ayat (1) Piagam PBB
memberikan pedoman yang cukup lengkap bagi para pihak yang bersengketa dalam
lingkup hukum internasional, yang dapat pula dijadikan pedoman dalam bidang
sengketa perdagangan internasional seperti yang di ungkapkan oleh Cooke (1997 :
197) : “the parties to any dispute... shall... seek a solution by
negotiation, inquiry, mediation, conciliation, arbitration, judicial settlement
resorting to regional agencies or arrangements, or othe peaceful means of their
own choice.”
Transaksi – transaksi atau hubungan dagang banyak
bentuknya, dari berupa hubungan jual beli barang, pengiriman dan penerimaan
barang, produksi barang dan jasa berdasarkan suatu kontrak, dan lain – lain.
Semua transaksi tersebut sarat dengan potensi melahirkan sengketa.
Umumnya, sengketa – sengketa perdagangan internasional sering didahului oleh
penyelesaian dengan negosiasi. Jika penyelesaian ini gagal atau tidak berhasil,
barulah ditempuh cara – cara lainnya seperti penyelesaian melalui pengadilan
atau arbitrase. Penyerahan sengketa, baik kepada pengadilan maupun ke
arbitrasi seringkali didasarkan pada suatu perjanjian di antara para pihak.
Langkah biasa yang ditempuh adalah dengan membuat suatu perjanjian atau
memasukkan suatu klausul penyelesaian sengketa ke dalam kontrak atau perjanjian
yang mereka buat, baik ke pengadilan atau badan arbitrase.
Dasar hukum bagi forum atau badan penyelesaian sengketa yang akan menangani sengketa adalah kesepakatan para pihak. Kesepakatan tersebut diletakkan, baik pada waktu kontrak ditandatangani atau setelah sengketa timbul. Biasanya pula kelalaian para pihak untuk menentukan forum ini akan berakibat pada kesulitan dalam penyelesaian sengketanya karena dengan adanya kekosongan pilihan forum tersebut akan menjadi ulasan yang kuat bagi setiap forum untuk menyatakan dirinya berwewenang untuk memeriksa suatu sengketa. Lazimnya dalam sistem hukum Common Law dikenal dengan konsep long arm jurisdiction, yaitu konsep yang menerapkan bahwa pengadilan dapat menyatakan kewenangannya untuk menerima setiap sengketa yang dibawa kehadapannya meskipun hubungan antara pengadilan dengan sengketa tersebut tipis sekali
Dasar hukum bagi forum atau badan penyelesaian sengketa yang akan menangani sengketa adalah kesepakatan para pihak. Kesepakatan tersebut diletakkan, baik pada waktu kontrak ditandatangani atau setelah sengketa timbul. Biasanya pula kelalaian para pihak untuk menentukan forum ini akan berakibat pada kesulitan dalam penyelesaian sengketanya karena dengan adanya kekosongan pilihan forum tersebut akan menjadi ulasan yang kuat bagi setiap forum untuk menyatakan dirinya berwewenang untuk memeriksa suatu sengketa. Lazimnya dalam sistem hukum Common Law dikenal dengan konsep long arm jurisdiction, yaitu konsep yang menerapkan bahwa pengadilan dapat menyatakan kewenangannya untuk menerima setiap sengketa yang dibawa kehadapannya meskipun hubungan antara pengadilan dengan sengketa tersebut tipis sekali
Rusli
Pandika (2010:23) menyatakan setidak-tidaknya ada empat cara untuk menyelesaian
sengketa yaitu :
Pertama, satu pihak atau lebih sepakat untuk
menerima suatu situasi, dimana kepentingan mereka tidak terpenuhi seluruhnya.
Kedua, pihak-pihak mengajukan situasi atau persyaratan secara lengkap kepada
orang atau panel, yang akan memutuskan kepentingan mana yang harus dipenuhi dan
kepentingan mana yang tidak dipenuhi. Pada umumnya, orang atau panel yang tidak
memihak tersebut akan merujuk kepada aturan-aturan atau pedoman yang telah ada
dan yang telah disepakati oleh semua pihak atau sedikitnya sudah diketahui oleh
semua pihak. Ketiga, persepsi satu pihak atau pihak lain berubah, sehingga
tidak ada perbedaan kepentingan. Keempat, kepentingan satu pihak atau pihak
yang lain berubah, sehingga, tidak ada perbedaan kepentingan.
D. Tujuan dan Manfaat Pembahasan
Tujuan yang ingin dicapai dalam penulisan
karya ilmiah ini dapat diuraikan sebagai
berikut :
1.
Tujuan
penelitian
Tujuan umum penulisankarya ilmiah ini adalah guna :
a.
melaksanakan
Tri Dharma Perguruan Tinggi, khususnya pada bidang penelitian yang dilakukan oleh
mahasiswa;
b.
mengembangkan
ilmu pengetahuan hukum;
c.
melatih
mahasiswa dalam usaha menyatakan pikiran alamiah secara tertulis.
Tujuan Khusus dalam penelitian ini
adalah memberikan pandangan yang layak dan sesuai dalam hal :
a.
Untuk
mengetahui apa pengertian perdangan Internasional.
b.
Untuk
mengetahui siapa pihak yang berada dalam sengketa perdangangan Internasional.
c.
Untuk
mengetahui bagaimana prinsip- prisip penyelesaian sengketa perdagangan
Internasional.
d.
Untuk
mengetahui forum apa saja yang ada dalam sengketa perdagangan Internasional.
e.
Untuk
mengetahui hukum apa yang berlakau dalam
sengketa perdagangan Internasional.
f.
Untuk
mengetahui bagaimana pelaksanaan sengketa dagang Internasional.
2. Manfaat Penelitian
a.
Secara
teoritis
Tulisan ini dapat dijadikan
sebagai bahan masukan informasi awal dalam bidang ilmu hukum bagi kalangan
akademisi guna mengetahui lebih lanjut tentang penerapan sanksi atau kebijakan
dalam perdagangan internasional yang dibenarkan organisasi perdagangan dunia
terhadap negara-negara yang tergabung dalam oganisasi ini.
b.
Secara
praktis
Tulisan ini secara praktis dapat bermanfaat sebagai bahan masukan bagi
para pihak yang berkaitan dengan penerapan kebijakan-kebijakan dagang
internasional dalam kaitannya dengan bentuk-bentuk proses baru di dalam
menyelesaikan sengketa perdagangan internasional di bawah WTO.
E. Metode Penelitian
Metode penelitian yang dipakai dalam
penulisan skripsi ini dapat diuraikan sebagai berikut :
1.
Jenis
dan sifat penelitian
Penelitian ini adalah penelitian hukum
normatif atau penelitian hukum kepustakaan, yaitu penelitian hukum yang
dilakukan dengan cara meneliti bahan kepustakaan atau data sekunder belaka.
Dengan metode penelitian normatif, penelitian ini akan menganalisis hukum baik
yang tertulis dalam literatur – literatur. Adapun data yang digunakan dalam
menyusun penulisan ini diperoleh dari penelitian kepustakaan (library
research), yaitu teknik pengumpulan data dengan memanfaatkan berbagai literatur
berupa peraturan perundang-undangan, bukubuku, karya-karya ilmiah, majalah
serta sumber data sekunder lainnya.
Walaupun penelitian
yang dimaksud tidak lepas pula dari sumber lain selain sumber kepustakaan,
yakni penelitian terhadap bahan media massa ataupun internet. Penelitian ini
bersifat penelitian deskriptif normatif.
Deskriptif normatif berarti bahwa
penelitian ini menggambarkan suatu peraturan hukum dalam konteks teori-teori
hukum dan pelaksanaannya.
2. Data
Penilaian
Materi
dalam skripsi ini diambil dari data sekunder, adapun data-data sekunder yang
dimaksud seperti berikut :
a.
Bahan hukum primer, yaitu: Berbagai
dokumen peraturan perundangundangan yang tertulis yang ada dalam dunia
internasional yang mengikat dan ditetapkan oleh pihak yang berwenang.
b.
Bahan hukum sekunder, yaitu bahan-bahan
yang memiliki hubungan dengan bahan hukum primer dan dapat digunakan untuk
menganalisis dan memahami bahan hukum primer yang ada.
c.
Bahan hukum tertier, yaitu : Mencakup
kamus bahasa untuk pembenahan tata bahasa Indonesia dan juga sebagai alat bantu
pengalih bahasa beberapa istilah asing. Juga termasuk dokumen yang berisi
konsep-konsep dan keterangan yang mendukung hukum primer dan sekunder, seperti
ensiklopedia.
3. Teknik
pengumpulan data
Jenis
data dalam penelitian ini meliputi data sekunder. Teknik pengumpulan data yang
akan digunakan dalam penelitian ini dilakukan dengan cara studi kepustakaan
(library research). Studi kepustakaan dilakukan untuk mengumpulkan data melalui
pengkajian terhadap literatur, tulisan-tulisan para pakar hukum, bahan kuliah,
peraturan perundang-undangan, majalah, jurnal, surat kabar, hasil seminar, dan
sumber-sumber lain yang berkaitan dengan penelitian ini.
4. Analisis
data
Data yang diperoleh dari penelusuran
kepustakaan, dianalisis dengan cara deskriptif kualitatif yakni pemilihan
teori-teori, asas-asas, norma-norma, doktrin terpenting yang relevan dengan
permasalahan. Metode deskriptif yaitu menggambarkan secara menyeluruh tentang
apa yang menjadi pokok permasalahan. Kualitatif yaitu metode analisa data yang
mengelompokkan dan menyeleksi data yang diperoleh menurut kualitas dan
kebenarannya kemudian dihubungkan dengan teori yang diperoleh dari penelitian
kepustakaan. Data primer dan data sekunder yang telah disusun secara
sistematika dari data-data tersebut kemudian dianalisis secara perspektif
dengan menggunakan metode deduktif induktif.
Metode deduktif
dilakukan dengan membaca, menafsirkan dan membandingkan, sedangkan metode
induktif dilakukan dengan menerjemahkan berbagai sumber yang berhubungan dengan
topik dengan skripsi ini sehingga diperoleh kesimpulan yang sesuai dengan
tujuan penelitian yang telah dirumuskan.
BAB II
TELAAH PUSTAKA
A. Pengertian hukum perdagangan internasional
Hukum
perdagangan internasional merupakan bidang hukum yang berkembang cepat. Ruang
lingkup bidang hukum ini pun cukup luas. Hubungan hubungan dagang yang sifatnya
lintas batas dapat mencakup banyak jenisnya, dari bentuknya yang sederhana
hingga hubungan atau transaksi dagang yang kompleks. Perkembangannya bidang
hukum perdagangan internasional berjalan cepat, namun untuk membuat suatu
definisi terhadap bidang hukum ini berbedabeda satu sama lain. Laporan Sekjen
PBB yang telah diajukan untuk memenuhi resolusi sidang umum No.2102/XX/tgl.20
Desember 1965 menyebutkan bahwa hukum dagang internasional adalah “the body of
rules governing commercial relationship of a private law nature involving
different countries, yang diartikan bebas adalah keseluruhan kaidah yang
mengatur hubungan-hubungan dagang bersifat hukum perdata dan mencakup berbagai
negara (Huala Adolf.,2005 :1).
Menurut M. Rafiqul Islam(1999:57), Hukum
Perdagangan Internasional adalah : “...a wide ranging transnasional,
commercial, exchange of goods and services between individual business persons,
trading bodies and states”. Definisi tersebut menekankan keterkaitan antara
hubungan finansial dengan perdagangan internasional. Keterkaitan ini tampak
karena hubungan-hubungan keuangan ini mendampingi transaksi perdagangan antara
para perdagang. Paul Samuelson menyatakan perdagangan internasional memberi
peluang lebih baik bagi sebuah masyarakat dibandingkan dengan ekonomi yang
mengandalkan kekuatan sendiri. Penyelesaian
Perdaganan Internasional
Penyelesaian sengketa perdagangan internasional tidak
dapat dilepaskan dari kaidah – kaidah hukum internasional yang telah berlaku
secara umum. Pasal 33 ayat (1) Piagam PBB memberikan pedoman yang cukup lengkap
bagi para pihak yang bersengketa dalam lingkup hukum internasional, yang dapat
pula dijadikan pedoman dalam bidang sengketa perdagangan internasional. Gerald
Cooke (1997 : 197) Mengatakan : “the parties to any dispute... shall...
seek a solution by negotiation, inquiry, mediation, conciliation, arbitration,
judicial settlement resorting to regional agencies or arrangements, or othe
peaceful means of their own choice.”
Transaksi – transaksi atau
hubungan dagang banyak bentuknya, dari berupa hubungan jual beli barang,
pengiriman dan penerimaan barang, produksi barang dan jasa berdasarkan suatu
kontrak, dan lain – lain. Semua transaksi tersebut sarat dengan potensi
melahirkan sengketa. Rusli Pandika ( 2010:22) berpendapat bahwa “Umumnya, sengketa – sengketa perdagangan
internasional sering didahului oleh penyelesaian dengan negosiasi. Jika
penyelesaian ini gagal atau tidak berhasil, barulah ditempuh cara – cara
lainnya seperti penyelesaian melalui pengadilan atau arbitrase.” Penyerahan
sengketa, baik kepada pengadilan maupun ke arbitrasi seringkali didasarkan pada
suatu perjanjian di antara para pihak. Langkah biasa yang ditempuh adalah
dengan membuat suatu perjanjian atau memasukkan suatu klausul penyelesaian
sengketa ke dalam kontrak atau perjanjian yang mereka buat, baik ke pengadilan
atau badan arbitrase.
Dasar hukum bagi forum atau badan penyelesaian sengketa yang akan menangani sengketa adalah kesepakatan para pihak. Kesepakatan tersebut diletakkan, baik pada waktu kontrak ditandatangani atau setelah sengketa timbul. Biasanya pula kelalaian para pihak untuk menentukan forum ini akan berakibat pada kesulitan dalam penyelesaian sengketanya karena dengan adanya kekosongan pilihan forum tersebut akan menjadi ulasan yang kuat bagi setiap forum untuk menyatakan dirinya berwewenang untuk memeriksa suatu sengketa. Lazimnya dalam sistem hukum Common Law dikenal dengan konsep long arm jurisdiction, yaitu konsep yang menerapkan bahwa pengadilan dapat menyatakan kewenangannya untuk menerima setiap sengketa yang dibawa kehadapannya meskipun hubungan antara pengadilan dengan sengketa tersebut tipis sekali.
Di samping forum pengadilan , para pihak dapat pula menyerahkan sengketanya kepada cara alternatif penyelesaian sengketa, yang lazim dikenal sebagai ADR (Alternative Dispute Resolution). Pengaturan alternatif di sini dapat berupa cara alternatif di samping pengadilan, bisa juga berarti alternatif penyelesaian secara umum, yaitu berbagai alternatif penyelesaian sengketa yang dapat digunakan termasuk pengadilan. Dalam dunia transaksi bisnis internasional, berbagai jenis penyelesaian sengketa dipakai untuk dapat menjaga efektivitas dan efisiensi keberlangsungan bisnis yang diusahakan. Mekanisme penyelesaian sengketa dalam dunia perdagangan internasional dapat dibagi dalam beberapa bentuk yaitu negosiasi, mediasi, konsiliasi, dan arbitrase. Ada beberapa forum penyelesaian sengketa yang memiliki lebih dari satu fungsi di antara keempat fungsi yang disebutkan tadi. Beberapa karakteristik dari masing – masing penyelesaian sengketa ini memiliki kesamaan, namun berbeda dalam praktiknya.
Dasar hukum bagi forum atau badan penyelesaian sengketa yang akan menangani sengketa adalah kesepakatan para pihak. Kesepakatan tersebut diletakkan, baik pada waktu kontrak ditandatangani atau setelah sengketa timbul. Biasanya pula kelalaian para pihak untuk menentukan forum ini akan berakibat pada kesulitan dalam penyelesaian sengketanya karena dengan adanya kekosongan pilihan forum tersebut akan menjadi ulasan yang kuat bagi setiap forum untuk menyatakan dirinya berwewenang untuk memeriksa suatu sengketa. Lazimnya dalam sistem hukum Common Law dikenal dengan konsep long arm jurisdiction, yaitu konsep yang menerapkan bahwa pengadilan dapat menyatakan kewenangannya untuk menerima setiap sengketa yang dibawa kehadapannya meskipun hubungan antara pengadilan dengan sengketa tersebut tipis sekali.
Di samping forum pengadilan , para pihak dapat pula menyerahkan sengketanya kepada cara alternatif penyelesaian sengketa, yang lazim dikenal sebagai ADR (Alternative Dispute Resolution). Pengaturan alternatif di sini dapat berupa cara alternatif di samping pengadilan, bisa juga berarti alternatif penyelesaian secara umum, yaitu berbagai alternatif penyelesaian sengketa yang dapat digunakan termasuk pengadilan. Dalam dunia transaksi bisnis internasional, berbagai jenis penyelesaian sengketa dipakai untuk dapat menjaga efektivitas dan efisiensi keberlangsungan bisnis yang diusahakan. Mekanisme penyelesaian sengketa dalam dunia perdagangan internasional dapat dibagi dalam beberapa bentuk yaitu negosiasi, mediasi, konsiliasi, dan arbitrase. Ada beberapa forum penyelesaian sengketa yang memiliki lebih dari satu fungsi di antara keempat fungsi yang disebutkan tadi. Beberapa karakteristik dari masing – masing penyelesaian sengketa ini memiliki kesamaan, namun berbeda dalam praktiknya.
B. Sanksi perdagangan internasional
Sanksi pada hakikatnya merupakan
suatu tindakan atau kebijakan yang bersifat penghukuman sebagai reaksi atas
pelanggaran terhadap suatu norma tingkah
laku sosial atau tata aturan tertentu. Syahmin AK (2006:66) berpendapat bahwa Sanksi
adalah akibat dari suatu perbuatan atau reaksi atas suatu perbuatan “Sanction
in the contex of a legal system is negative measures which seek to influence
conduct by threatening and, if necessary, imposing penalties for non-conformity
with law” Margaret Doxey berpendapat yang dikutip Pieter Jan Kuyper (1987 :126)
bahwa “Metode Penelitian . (diartikan bebas bahwa sanksi dalam konteks suatu
sistem hukum adalah suatu tindakan negatif yang bertujuan mempengaruhi tindakan
dengan ancaman, dan jika perlu menerapkan hukuman atas ketakpatuhan terhadap
hukum)”. Sanksi demikian biasanya bersifat ekonomi dalam bentuk pembatasan
ekspor dan impor terhadap negara sasaran. Setelah perang dunia kedua, peran
sanksi ekonomi sebagai instrumen untuk menegakkan hukum internasional semakin
besar, karena penggunaan kekuatan militer secara essensial terlarang dan setiap
sengketa internasional harus diselesaikan dengan cara-cara damai.
BAB III
ANANILIS DAN SINTESIS ( ISI)
A. Pengantar
Transaksi-tansaksi atau hubungan dagang banyak
bentuknya. Dari berupa hubungan jual beli barang, pengiriman dan penerimaan
barang, produksi barang dan jasa berdasarkan suatu kontrak, dll. Semua
transaksi tersebut sarat dengan potensi melahirkan sengketa.
Rusli Pandika ( 2010:22) berpendapat bahwa “umumnya
sengketa-sengketa dagang kerap didahului oleh penyelesaian oleh negosiasi.
Manakala cara penyelesaian ini gagal atau tidak berhasil, barulah ditempuh
cara-cara lainnya seperti penyelesaian melalui pengadilan atau arbitrase.”
Penyerahan sengketa baik kepada pengadilan maupun
kearbitrase kerap kali didasarkan pada suatu perjanjian di antara para pihak.
Langkah yang biasa ditempuh adalah dengan membuat suatu perjanjian atau
memasukkan suatu klausul penyelesaian sengketa ke dalam kontrak atau perjanjian
yang mereka buat, baik ke pengadilan atau ke badan arbitrase.
Yang menjadi dasar hukum bagi forum atau badan
penyelesaian
sengketa yang akan menangani sengketa adalah kesepakatan para pihak. Kesepakatan inilah hukum. Kesepakatan tersebut diletakkan baik pada waktu kontrak ditandatangani atau setelah sengketa timbul.
sengketa yang akan menangani sengketa adalah kesepakatan para pihak. Kesepakatan inilah hukum. Kesepakatan tersebut diletakkan baik pada waktu kontrak ditandatangani atau setelah sengketa timbul.
Biasanya pula kelalaian para pihak untuk menentukan
forum ini akan berakibat pada kesulitan dalam penyelesaian sengketanya. Karena,
dengan adanya kekosongan pilihan forum tersebut akan menjadi alasan yang kuat
bagi setiap forum untuk menyatakandirinya berwewenang untuk memeriksa suatu
sengketa.
Lazimnya dalam sistem hukum (Common Law) dikenal dengan konsep 'long arm' jurisdiction. Dengan konsep ini, pengadilan dapat menyatakan kewenangannya untuk menerima setiap sengketa yang dibawa ke hadapannya meskipun hubungan antara pengadilan dengan sengketa tersebut tipis sekali. Misalnya, badan peradilan di Amerika Serikat dan Inggris kerapkali selalu menerima sengketa yang para pihak serahkan kehadapannya meskipun hubungan atau keterkaitan sengketa dengan badan peradilan sangatlah kecil. Misalnya, pihak termohon memiliki usaha di Amerika Serikat atau dalam kontrak tersebut secara tegas atau diam-diam mengacu kepada salah satu negara bagian Amerika Serikat atau hukum Inggris.
Di samping forum pengadilan atau badan arbitrase, para pihak
dapat pula menyerahkan sengketanya kepada cara alternatif penyelesaian sengketa, yang lazim dikenal sebagai ADR (alternative dispute resolution) atau APS (alternatif penyelesaian sengketa) (Gerarld Cooke, 1997:194)
Lazimnya dalam sistem hukum (Common Law) dikenal dengan konsep 'long arm' jurisdiction. Dengan konsep ini, pengadilan dapat menyatakan kewenangannya untuk menerima setiap sengketa yang dibawa ke hadapannya meskipun hubungan antara pengadilan dengan sengketa tersebut tipis sekali. Misalnya, badan peradilan di Amerika Serikat dan Inggris kerapkali selalu menerima sengketa yang para pihak serahkan kehadapannya meskipun hubungan atau keterkaitan sengketa dengan badan peradilan sangatlah kecil. Misalnya, pihak termohon memiliki usaha di Amerika Serikat atau dalam kontrak tersebut secara tegas atau diam-diam mengacu kepada salah satu negara bagian Amerika Serikat atau hukum Inggris.
Di samping forum pengadilan atau badan arbitrase, para pihak
dapat pula menyerahkan sengketanya kepada cara alternatif penyelesaian sengketa, yang lazim dikenal sebagai ADR (alternative dispute resolution) atau APS (alternatif penyelesaian sengketa) (Gerarld Cooke, 1997:194)
Pengaturan alternatif di sini dapat berupa cara
altrnatif di samping pengadilan. Bisa juga berarti alternatif penyelesaian
secara umum, yaitu berbagai alternatif penyelesaian sengketa yang para pihak
dapat gunakan, termasuk alternatif penyelesaian melalui pengadilan.
Biasanya pula dalam klausul tersebut dimasukkan atau
dinyatakan pula hukum yang akan diterapkan oleh badan penyelesaian sengketa.
dinyatakan pula hukum yang akan diterapkan oleh badan penyelesaian sengketa.
B. Para Pihak dalam Sengketa
Bab 3 memuat beberapa stake-holders atau subyek hukum
dalam hukum perdagangan internasional, yaitu negara, perusahaan atau individu,
dll. Dalam uraian berikut, para pihak yang menjadi pembahasan dibatasi pada
pihak pedagang (badan hukum atau individu) dan negara. Karena sifat dari hukum
perdagangan internasional adalah lintas batas, pembahasan pun dibatasi hanya
antara pedagang dan pedagang; dan
Pedagang dan negara asing.
1. Sengketa antara pedagang dan pedagang.
Sengketa antara dua pedagang adalah sengketa yang
sering dan paling banyak terjadi. Sengketa seperti ini terjadi hampir setiap
hari. Sengketanya diselesaikan melalui berbagai cara. Cara tersebut semuanya
bergantung pada kebebasan dan kesepakatan para pihak.
Kesepakatan dan kebebasan akan pula menentukan forum
pengadilan apa yang akan menyelesaian sengketa mereka. Kesepakatan dan kebebasan pula yang akan menentukan hukum apa yang akan diberlakukan dan diterapkan oleh badan pengadilan yang mengadili sengketanya.
Kesepakatan dan kebebasan para pihak adalah esensil. Hukum menghormati kesepakatan dan kebebasan tersebut. Sudah barang tentu, kesepakatan dan kebebasan tersebut ada batas-batasnya. Biasanya batas-batas tersebut adalah tidak melanggar UU dan ketertiban umum.
pengadilan apa yang akan menyelesaian sengketa mereka. Kesepakatan dan kebebasan pula yang akan menentukan hukum apa yang akan diberlakukan dan diterapkan oleh badan pengadilan yang mengadili sengketanya.
Kesepakatan dan kebebasan para pihak adalah esensil. Hukum menghormati kesepakatan dan kebebasan tersebut. Sudah barang tentu, kesepakatan dan kebebasan tersebut ada batas-batasnya. Biasanya batas-batas tersebut adalah tidak melanggar UU dan ketertiban umum.
2. Sengketa antara pedagang dan negara asing
Sengketa antara pedagang dan negara juga bukan
merupakan kekecualian. Kontrak-kontrak dagang antara pedagang dan negara sudah
lazim ditandatangani. Kontrak-kontrak seperti ini biasanya dalam jumlah (nilai)
yang relatif besar. Termasuk di dalamnya adalah kontrak-kontrak pembangunan
(development contracts). Misalnya, kontrak di bidang pertambangan.yang menjadi
masalah adalah adanya konsep imunitas negara yang diakui hukum internasional.
Dengan adanya konsep iimunitas inilah yang sedikit banyak berpengaruh terhadap
keputusan pedagang untuk menentukan penyelesain sengketanya. Masalah utamnya
adalah dengan adanya konsep imunitas ini, suatu negara dalam situasi apapun,
tidak akan pernah dapat diadili di hadapan badan-badan peradilan asing.
Namun demikian hukum internasional ternyata fleksibel. Hukum internasional tidak semata-mata mengakui atribut negara sebagai subyek hukum internasional yang sempurna (par excellence). Hukum internasional menghormati pula individu (pedagang) sebagai subyek hukum internasional terbatas.
Namun demikian hukum internasional ternyata fleksibel. Hukum internasional tidak semata-mata mengakui atribut negara sebagai subyek hukum internasional yang sempurna (par excellence). Hukum internasional menghormati pula individu (pedagang) sebagai subyek hukum internasional terbatas.
Karena itu dalam hukum internasional berkembang
pengertian jure imperii dan jure gestiones. Yang pertama adalah tindakan-
tindakan negara di bidang publik dalam kapasitasnya sebagai suatu negara yang
berdaulat. Karena itu tindakan-tindakan seperti itu tidak akan pernah dapat
diuji atau diadili di hadapan badan peradilan.
Konsep kedua, jure gesiones, yaitu tindakan-tindaka
negara di
bidang keperdataan atau dagang. Karena itu, tindakan-tindakan seperti itu tidak lain adalah tindakan-tindakan negara dalam kapasitasnya seperti orang-perorangan (pedagang atau privat). Sehingga tindakan-tindakan seperti itu dapat dianggap sebagai tindakan-tindakan sebagaimana layaknya para pedagang biasa. Karena itu tindakan-tindakan seperti itu yang kemudian menimbulkan sengketa, dapat saja diselesaikan di hadapan badan-badan peradilan umum, arbitrase, dll.
bidang keperdataan atau dagang. Karena itu, tindakan-tindakan seperti itu tidak lain adalah tindakan-tindakan negara dalam kapasitasnya seperti orang-perorangan (pedagang atau privat). Sehingga tindakan-tindakan seperti itu dapat dianggap sebagai tindakan-tindakan sebagaimana layaknya para pedagang biasa. Karena itu tindakan-tindakan seperti itu yang kemudian menimbulkan sengketa, dapat saja diselesaikan di hadapan badan-badan peradilan umum, arbitrase, dll.
Sebaliknya negara-negara yang mengajukan bantahannya
bahwa
suatu badan peradilan tidak memiliki jurisdiksi untuk mengadili neggara sebagai pihak dalam sengketa bisnis, biasanya ditolak. Badan peradilan umumnya menganut adanya konsep jure gestiones ini ( Huala Adolf,2002:255).
suatu badan peradilan tidak memiliki jurisdiksi untuk mengadili neggara sebagai pihak dalam sengketa bisnis, biasanya ditolak. Badan peradilan umumnya menganut adanya konsep jure gestiones ini ( Huala Adolf,2002:255).
C. Prinsip-prinsip Penyelesaian Sengketa
Dalam
hukum perdagangan internasional, dapat dikemukakan di sini prinsip-prinsip
mengenai penyelesaian sengketa perdagangan internasional.
1. Prinsip Kesepakatan Para Pihak (Konsensus)
Prinsip
kesepakatan para pihak merupakan prinsip fundamental dalam penyelesaian
sengketa perdagangan internasional. Prinsip inilah yang menjadi dasar untuk
dilaksanakan atau tidaknya suatu proses penyelesaian sengketa.
Prinsip ini pula dapat menjadi dasar apakah suatu proses penyelesaian sengketa yang sudah berlangsung diakhiri. Jadi prinsip ini sangat esensial. Badan-badan peradilan (termasuk arbitrase) harus menghormati apa yang para pihak sepakati.
Termasuk dalam lingkup pengertian kesepaktan ini yang tertuang dalam (Cf ., Pasal 1338 KUH Perdata Indonesia) adalah:
Prinsip ini pula dapat menjadi dasar apakah suatu proses penyelesaian sengketa yang sudah berlangsung diakhiri. Jadi prinsip ini sangat esensial. Badan-badan peradilan (termasuk arbitrase) harus menghormati apa yang para pihak sepakati.
Termasuk dalam lingkup pengertian kesepaktan ini yang tertuang dalam (Cf ., Pasal 1338 KUH Perdata Indonesia) adalah:
a.
bahwa salah satu pihak
atau kedua belah pihak tidak berupaya menipu, menekan atau menyesatkan pihak
lainnya;
b.
bahwa perubahan atas
kesepakatan harus berasal dari kesepakatan kedua belah pihak. Artinya,
pengakhiran kesepakatan atau revisi terhadap muatan kesepakatan harus pula
berdasarkan pada kesepakatan kedua belah pihak.
2. Prinsip Kebebasan Memilih Cara-cara Penyelesaian Sengketa
Prinsip penting kedua adalah prinsip dimana para pihak
memiliki kebebasan penuh untuk menentukan dan memilih cara atau mekanisme
bagaimana sengketanya diselesaikan (principle of free choice of means).
Prinsip ini termuat antara lain dalam Pasal 7 The
UNCITRAL Model Law on International Commercial Arbitration. Pasal ini memuat
definisi mengenai perjanjian arbitrase, yaitu perjanjian penyerahan sengketa ke
suatu badan arbitrase. Menurut pasal ini penyerahan sengketa kepada arbitrase merupakan
kesepakatan atau perjanjian para pihak. Artinya, penyerahan suatu sengketa ke
badan arbitrase haruslah berdasarkan pada kebebasan para pihak untuk
memilihnya.(Hoala Adolf., 2005:196).
3. Prinsip Kebebasan Memilih Hukum
Prinsip penting lainnya adalah prinsip kebebasan para
pihak untuk menentukan sendiri hukum apa yang akan diterapkan (bila sengketanya
diselesaikan) oleh badan peradilan (arbitrase) terhadap pokok sengketa.
Kebebasan para pihak untuk menentukan hukum ini termasuk kebebasan untuk memilih
kepatutan dan kelayakan (ex aequo et bono).
Yang terakhir ini adalah sumber di mana pengadilan akan
memutus sengketa berdasarkan prinsip-prinsip keadilan, kepatutan atau kelayakan
suatu penyelesaian sengketa. Contoh kebebasan memilih ini yang harus dihormati
oleh badan peradilan adalah pasal 28 ayat (1) dalam Huala Adolf (2005:196) UNCITRAL Model
Law on International Commercial Arbitration:
“The arbitral tribunal shall decide the dispute in
accordance with such rules of law as are chosen by the parties as applicable to
the substance of the dispute. Any designation of the law or legal system of a
given State shall be construed, unless otherwise expressed, as directly
referring to the substantive law of that State and not to its conflict of laws
rules.”
4. Prinsip Itikad Baik (Good
Faith)
Prinsip itikad baik dapat dikatakan
sebagai prinsip fundamental dan paling sentral dalam penyelesaian sengketa.
Prinsip ini mensyaratkan dan mewajibkan adanya itikad baik dari para pihak
dalam menyelesaikan sengketanya.Nopirin (2000:163) mengemukakan dalam
penyelesaian sengketa, prinsip ini tercemin dalam dua tahap.
Pertama, prinsip itikad baik disyaratkan untuk
mencegah timbulnya sengketa yang dapat mempengaruhi hubungan-hubungan baik di
antara negara.
Kedua,
prinsip ini disyaratkan harus ada ketika para pihak menyelesaikan sengketanya
melalui cara-cara penyelesaian sengketa yang dikenal dalam hukum (perdagangan)
internasional, yakni negosiasi, mediasi, konsiliasi, arbitrase, pengadilan atau
cara- cara pilihan para pihak lainnya.
5. Prinsip Exhaustion of
Local Remedies
Prinsip Exhaustion of Local Remedies
sebenarnya semula lahir dari prinsip hukum kebiasaan internasional. Dalam
upayanya merumuskan pengaturan mengenai prinsip ini, Komisi Hukum Internasional
PBB (International Law Commission) memuat aturan khusus mengenai prinsip ini
dalam pasal 22 mengenai ILC Draft Articles on State Responsibility. Pasal 22
ini menyatakan sebagai berikut:
“When the conduct of a State
has created a situation not in
conformity with the result of it by an international
obligation concerning the treatment too be accorded to
aliens, whether natural or juridical persons, but the obligation allows that this or an equivalent result may nevertheless be achieved by subsequent conduct of the State, there is a breach of the obligation only if the aliens concerned have exhausted the effective local remedies available to them without obtaining the treatment called for by the obligation or, where that is not possible, an equivalent treatment.”(Dikutip dari D.J Haris .,1998:617).
conformity with the result of it by an international
obligation concerning the treatment too be accorded to
aliens, whether natural or juridical persons, but the obligation allows that this or an equivalent result may nevertheless be achieved by subsequent conduct of the State, there is a breach of the obligation only if the aliens concerned have exhausted the effective local remedies available to them without obtaining the treatment called for by the obligation or, where that is not possible, an equivalent treatment.”(Dikutip dari D.J Haris .,1998:617).
Menurut prinsip ini, hukum kebiasaan
internasional menetapkan bahwa sebelum para pihak mengajukan sengketanya ke
pengadilan internasional, maka langkah-langkah penyelesaian sengketa yang
tersedia atau diberikan oleh hukum nasional suatu negara harus terlebih dahulu
ditempuh (exhausted). Dalam sengketa the Interhandel Case (1959), Mahkamah
Internasional menegaskan dalam buku Huala Adolf ( 2002:276).
"Before resort may be had to an international court...
the state where the violation occured should have an opportunity to redress it
by its own means, within the framework of its own domestic legal system."
D. Forum Penyelesaian Sengketa
Forum penyelesaian sengketa dalam
hukum perdagangan internasional pada prinsipnya juga sama dengan forum yang
dikenal dalam hukum penyelesaian sengketa (internasional) pada umumnya. Forum
tersebut adalah negosiasi, penyelidikan fakta-fakta (inquiry), mediasi,
konsiliasi, arbitrase, penyelesaian melalui hukum atau melalui pengadilan, atau
cara-cara penyelesaian sengketa lainnya yang dipilih dan disepakati para pihak.
Cara-cara sengketa di atas telah
dikenal dalam berbagai
negara dan sistem hukum di dunia. Cara-cara tersebut dipandang sebagai bagian integral dari penyelesaian sengketa yang diakui dalam sistem hukumnya. Misalnya, hukum nasional RI yang dapat ditemukan dalam pasal 6 UU Nomor 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Negara lainnya adalah Amerika Serikat, Inggris dan Australia ( Gerald Cooke.,1997:200).
negara dan sistem hukum di dunia. Cara-cara tersebut dipandang sebagai bagian integral dari penyelesaian sengketa yang diakui dalam sistem hukumnya. Misalnya, hukum nasional RI yang dapat ditemukan dalam pasal 6 UU Nomor 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Negara lainnya adalah Amerika Serikat, Inggris dan Australia ( Gerald Cooke.,1997:200).
Berikut adalah uraian singkat
mengenai forum-forum tersebut.
Tidak semua forum dibahas, tetapi akan dibatasi pada negosiasi, mediasi, konsiliasi, pengadilan dan arbitrase. Sedangkan penyelidikan fakta (inquiry) atau cara-cara lainnya yang para pihak sepakati tidak termasuk dalam bahasan.
Tidak semua forum dibahas, tetapi akan dibatasi pada negosiasi, mediasi, konsiliasi, pengadilan dan arbitrase. Sedangkan penyelidikan fakta (inquiry) atau cara-cara lainnya yang para pihak sepakati tidak termasuk dalam bahasan.
1. Negosiasi
Soerjano Soekanto( 2003:181)
menyatakan bahwa “Negosiasi adalah cara penyelesaian sengketa yang paling dasar
dan yang paling tua digunakan”. Penyelesaian melalui negosiasi merupakan cara
yang paling penting. Banyak sengketa diselesaikan setiap hari oleh negosiasi
ini tanpa adanya publisitas atau menarik perhatian publik.
Alasan utamanya adalah karena dengan cara ini, para
pihak dapat mengawasi prosedur penyelesaian sengketanya. Setiap penyelesaiannya
pun didasarkan pada kesepakatan atau konsensus para pihak. Senada dengan itu
Kohona dalam Sudargo Gautama ( 2010 :37) mengatakan bahwa negosiasi adalah "an
efficacious means of settling disputes relating to an agreement, because they
enable parties to arrive at conclusions having regard to the wishes of all the
disputants."
Kelemahan utama dalam penggunaan cara ini dalam
menyelesaikan sengketa adalah: pertama, manakala para pihak berkedudukan tidak
seimbang. Salah satu pihak kuat, yang lain lemah. Dalam keadaan ini, salah satu
pihak kuat berada dalam posisi untuk menekan pihak lainnya. Hal ini acapkali
terjadi manakala dua pihak bernegosiasi untuk menyelesaikan sengketanya di
antara mereka.
Kelemahan kedua adalah bahwa proses berlangsungnya negosiasi acapkali lambat dan bisa memakan waktu lama. Ini terutama karena sulitnya permasalahan-prmasalahan yang timbul di antara para pihak. Selain itu jarang sekali adanya persyaratan penatapan batas waktu bagi para pihak untuk menyelesaian sengketanya melalui negosiasi ini.
Kelemahan kedua adalah bahwa proses berlangsungnya negosiasi acapkali lambat dan bisa memakan waktu lama. Ini terutama karena sulitnya permasalahan-prmasalahan yang timbul di antara para pihak. Selain itu jarang sekali adanya persyaratan penatapan batas waktu bagi para pihak untuk menyelesaian sengketanya melalui negosiasi ini.
Kelemahan ketiga, adalah manakala suatu pihak terlalu
keras dengan pendiriannya. Keadaan ini dapat mengakibatkan proses negosiasi ini
menjadi tidak produktif.
Mengenai pelaksanaan
negosiasi, prosedur-prosedur yang terdapat di dalamnya perlu dibedakan sebagai
berikut: pertama, negosiasi digunakan manakala suatu sengketa belum lahir
(disebut pula sebagai konsultasi); dan kedua, negosiasi digunakan manakala
suatu sengketa telah lahir, maka prosedur negosiasi ini merupakan proses
penyelesaian sengketa oleh para pihak (dalam arti
negosiasi).
negosiasi).
2. Mediasi
Soerjano Soekanto( 2003:185) menyatakan bahwa “mediasi
adalah suatu cara penyelesaian melalui pihak ketiga. Ia bisa individu
(pengusaha) atau lembaga atau organisasi profesi atau dagang. Mediator ikut
serta secara aktif dalam proses negosiasi. Biasanya ia dengan kapasitasnya
sebagai pihak yang netral berupa mendamaikan para pihak dengan memberikan saran
penyelesaian sengketa.”
Usulah-usulan penyelesaian melalui mediasi dibuat agak
tidak resmi (informal). Usulan ini dibuat berdasarkan informasi- informasi yang
diberikan oleh para pihak. Bukan atas penyelidikannya.
Jika usulan tersebut tidak diterima, mediator masih
dapat tetap melanjutkan fungsi mediasinya dengan membuat usulan-usulan baru.
Karena itu, salah satu fungsi utama mediator adalah mencari berbagai solusi
(penyelesaian), mengidentifikasi hal-hal yang dapat disepakati para pihak serta
membuat usulah-usulan yang dapat mengakhiri sengketa.
Seperti halnya dalam negosiasi, tidak ada
prosedur-prosedur khusus yang harus ditempuh dalam proses mediasi. Para pihak
bebas menentukan prosedurnya. Yang penting adalah kesepakatan para pihak mulai
dari proses (pemilihan) cara mediasi, menerima atau tidaknya usulah-usulan yang
diberikan oleh mediator, sampai kepada pengakhiran tugas mediator.
Gerald Cooke (1997:200) menggambarkan kelebihan mediasi ini sebagai
berikut:
“Where mediation is successfully used, it generally provides a quick, cheap and effective result. It is clearly appropriate, therefore, to consider providing for mediation or other alternative dispute resolution techniques in the contractual dispute resolution clause.” (Huruf tebal oleh penulis).
Cooke juga dengan benar mengingatkan bahwa penyelesaian melalui mediasi ini tidaklah mengikat. Artinya, para pihak meski telah sepakat untuk menyelesaikan senketanya melalui mendiasi, namun mereka tidak wajib atau harus menyelesaikan sengketanya melalui mediasi.
berikut:
“Where mediation is successfully used, it generally provides a quick, cheap and effective result. It is clearly appropriate, therefore, to consider providing for mediation or other alternative dispute resolution techniques in the contractual dispute resolution clause.” (Huruf tebal oleh penulis).
Cooke juga dengan benar mengingatkan bahwa penyelesaian melalui mediasi ini tidaklah mengikat. Artinya, para pihak meski telah sepakat untuk menyelesaikan senketanya melalui mendiasi, namun mereka tidak wajib atau harus menyelesaikan sengketanya melalui mediasi.
Manakala para pihak gagal menyelesaikan sengketanya
melalui mediasi, mereka masih dapat menyerahkan ke forum yang mengikat
yaitu penyelesaian melalui hukum, yaitu pengadilan atau arbitrase.
yaitu penyelesaian melalui hukum, yaitu pengadilan atau arbitrase.
3. Konsiliasi
Konsiliasi memiliki kesamaan dengan mediasi. Kedua cara
ini adalah melibatkan pihak ketiga untuk menyelesaikan sengketanya secara
damai. Konsiliasi dan mediasi sulit untuk dibedakan. Istilahnya acapkali
digunakan dengan bergantian. Namun menurut Behrens, dalam Syahmin AK (2006:86) ada
perbedaan antara kedua istilah ini: konsiliasi lebih formal daripada mediasi.
Konsiliasi bisa juga diselesaikan oleh seroang individu
atau suatu badan yang disebut dengan badan atau komisi konsiliasi. Komisi
konsiliasi bisa yang sudah terlembaga atau ad hoc (sementara) yang berfungsi
untuk menetapkan persyaratan- persyaratan penyelesaian yang diterima oleh para
pihak. Namun putusannya tidaklah mengikat para pihak.
Persidangan suatu komisi konsiliasi biasanya terdiri
dari dua tahap: tahap tertulis dan tahap lisan. Pertama, sengketa (yang
diuraikan secara tertulis) diserahkan kepada badan konsiliasi. Kemudian badan
ini akan mendengarkan keterangan lisan dari para pihak. Para pihak dapat hadir
pada tahap pendengaran tersebut, tetapi bisa juga diwakili oleh kuasanya.
Berdasarkan fakta-fakta yang diperolehnya, konsiliator
atau badan konsiliasi akan menyerahkan laporannya kepada para pihak disertai
dengan kesimpulan dan usulan-usulan penyelesaian sengketanya. Sekali lagi,
usulan ini sifatnya tidaklah mengikat. Karenanya diterima tidaknya usulan
tersebut bergantung sepenuhnya kepada para pihak. (Syahmin AK.,2006:86)
Contoh komisi konsiliasi
yang terlembaga adalah badan yang
dibentuk oleh Bank Dunia untuk menyelesaikan sengketa-sengketa penanaman modal asing, yaitu the ICSID Rules of Procedure for Conciliaiton Proceedings (Conciliaiton Rules).31 Namun dalam prakteknya, penggunaan cara ini kurang populer.
Sejak berdiri (1966), badan konsiliasi ICSID hanya menerima dua kasus. Kasus pertama diterima pada 5 Oktober 1982. (Jadi selama 16 tahun kosong). Namun sebelum badan konsiliasi terbentuk, para pihak sepakat mengakhiri persengketaannya.
Kasus kedua yaitu Tesoro Petroleum Corp. v. Government of Trinidad and Tobago diterima tahun 1983. Kasus ini berhasil diselesaikan pada tahun 1985 setelah para pihak sepakat untukmenerima usulan-usulan yang diberikan oleh konsiliator.(Huala Adolf., 2002 :246)
dibentuk oleh Bank Dunia untuk menyelesaikan sengketa-sengketa penanaman modal asing, yaitu the ICSID Rules of Procedure for Conciliaiton Proceedings (Conciliaiton Rules).31 Namun dalam prakteknya, penggunaan cara ini kurang populer.
Sejak berdiri (1966), badan konsiliasi ICSID hanya menerima dua kasus. Kasus pertama diterima pada 5 Oktober 1982. (Jadi selama 16 tahun kosong). Namun sebelum badan konsiliasi terbentuk, para pihak sepakat mengakhiri persengketaannya.
Kasus kedua yaitu Tesoro Petroleum Corp. v. Government of Trinidad and Tobago diterima tahun 1983. Kasus ini berhasil diselesaikan pada tahun 1985 setelah para pihak sepakat untukmenerima usulan-usulan yang diberikan oleh konsiliator.(Huala Adolf., 2002 :246)
4. Arbitrase.
a. Mengapa Arbitrase Dipilih?
Huala Adolf (2002 : 249) menyatakan Arbitrase
adalah penyerahan sengketa secara sukarela kepada pihak ketiga yang netral.
Pihak ketiga ini bisa individu, arbitrase terlembaga atau arbitrase sementara
(ad hoc). Badan arbitrase dewasa ini sudah semakin populer. Dewasa ini
arbitrase semakin banyak digunakan dalam menyelesaikan sengketa-sengketa dagang
nasional maupun internasional.
Adapun alasan utama mengapa badan arbitrase ini semakin
banyak dimanfaatkan menurut Hans Bagner dalam Micheal P.Todaro ( 2004 : 40) adalah
sebagai berikut:
1)
kelebihan penyelesaian sengketa melalui arbitrase yang
pertama dan terpenting adalah penyelesaiannya yang relatif lebih cepat daripada
proses berperkara melalui pengadilan. Dalam arbitrase tidak dikenal upaya
banding, kasasi atau peninjauan kembali seperti yang kita kenal dalam sistem
peradilan kita. Putusan arbitrase sifatnya final dan mengikat. Kecepatan
penyelesaian ini sangat dibutuhkan oleh dunia usaha.
2)
Keuntungan lainnya
dari penyelesaian sengketa melalui arbitrase ini adalah sifat kerahasiaannya.
Baik kerahasiaan mengenai persidangannya maupun kerahasiaan putusan
arbitrasenya.
3)
Dalam penyelesaian melalui arbitrase, para pihak memiliki
kebebasan untuk memilih ‘hakimnya’ (arbiter) yang menurut mereka netral dan
akhli atau spesialis mengenai pokok sengketa yang mereka hadapi. Pemilihan
arbiter sepenuhnya berada pada kesepakatan para pihak. Biasanya arbiter yang
dipilih adalah mereka yang tidak saja ahli tetapi juga ia tidak selalu harus ahli
hukum. Bisa saja ia menguasai bidang-bidang lainnya. Ia bisa insinyur, pimpinan
perusahaan (manajer), ahli asuransi, ahli perbankan, dll.
4)
Keuntungan lainnya
dari badan arbitrase ini adalah dimungkinkannya para arbiter untuk menerapkan
sengketanya berdasarkan kelayakan dan kepatutan (apabila memang para pihak
menghendakinya).
5)
Dalam hal arbitrase
internasional, putusan arbitrasenya relatif lebih dapat dilaksanakan di negara
lain dibandingkan apabila sengketa tersebut diselesaikan melalui misalnya
pengadilan. Hal ini dapat terwujud antara lain karena dalam lingkup arbitrase
internasional ada perjanjian khusus mengenai hal ini, yaitu Konvensi New York
1958 mengenai Pengakuan dan Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing.
b. Perjanjian Arbitrase
Dalam praktik, biasanya penyerahan
sengketa ke suatu badan peradilan tertentu, termasuk arbitrase, termuat dalam
klausul penyelesaian sengketa dalam suatu kontrak. Biasanya judul klausul
tersebut ditulis secara langsung dengan ‘Arbitrase’. Kadang-kadang istilah lain
yang digunakan adalah ‘choice of forum’ atau ‘choice of jurisdiction’.
Kedua istilah tersebut mengandung
pengertian yang agak berbeda. Istilah choice of forum berarti pilihan cara
untuk menadili sengketa, dalam hal ini pengadilan atau badan arbitrase.
Istilah choice of jurisdiction,
menurut Gerald Cooke (1997:208) “berarti
pilihan tempat dimana pengadilan memiliki kewenangan untuk menangani sengketa.”
Tempat yang dimaksud misalnya Inggris, Belanda, Indonesia, dll.
Penyerahan suatu sengketa kepada
arbitrase dapat dilakukan dengan pembuatan suatu submission clause, yaitu
penyerahan kepada arbitrase suatu sengketa yang telah lahir. Alternatif
lainnya, atau melalui pembuatan suatu klausul arbitrase dalam suatu perjanjian
sebelum sengketanya lahir (klausul arbitrase atau arbitration clause).
Baik submission clause atau
arbitration clause harus tertulis. Syarat ini sangat esensial. Sistem hukum
nasional dan internasional mensyaratkan ini sebagai suatu syarat utama untuk
arbitrase. Dalam hukum nasional kita, syarat ini tertuang dalam pasal 1 (3) UU
Nomor 3 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.
Dalam instrumen hukum internasional, termuat dalam Pasal 7 ayat (2) UNCITRAL
Model Law on International Commercial Arbitration 1985, atau pasal II Konvensi
New York 1958.
Yang perlu ditekankan di sini adalah bahwa klausul
arbitrase melahirkan jurisdiksi arbitrase. Artinya, klausul tersebut memberi
kewenangan kepada arbitrator untuk menyelesaikan sengketa. Apabila pengadilan
menerima suatu sengketa yang di dalam kontraknya terdapat klausul arbitrase,
maka pengadilan harus menolak untuk menangani sengketa.
c. Lembaga-lembaga Arbitrase
Peran arbitrase difasilitasi oleh
adanya lembaga-lembaga arbitrase internasional terkemuka. Badan-badan tersebut
misalnya adalah the London Court of International Arbitration (LCIA), the Court
of Arbitration of the International Chamber of Commerce (ICC) dan the
Arbitration Institute of the Stockholm Chamber of Commerce (SCC).Di samping
kelembagaan, pengaturan arbitrase sekarang ini ditunjang pula oleh adanya sutau
aturan berabitrase yang menjadi acuan bagi banyak negara di dunia, yaitu Model
Law on International Commercial Arbitration yang dibuat oleh the UnitedNations
Commission on International Trade Law (UNCITRAL) (Gerald Cooke.,1997:209)
5. Pengadilan (Nasional dan
Internasional)
Metode yang memungkinkan untuk
menyelesaikan sengketa selain cara-cara tersebut di atas adalah melalui
pengadilan nasional atau internasional. Penggunaan cara ini biasanya ditempuh
apabila cara- cara penyelesaian yang ada ternyata tidak berhasil.
Penyelesaian sengketa dagang melalui
badan peradilan biasanya hanya dimungkinkan manakala para pihak sepakat.
Kesepakatan ini tertuang dalam klausul penyelesaian sengketa dalam kontrak
dagang para pihak. Dalam klausul tersebut biasanya ditegaskan bahwa manakala
timbul sengketa dari hubungan dagang mereka, maka mereka sepakat untuk
menyerahkan sengketanya kepada suatu pengadilan (negeri) suatu negara tertentu.
Kemungkinan kedua, para pihak dapat
menyerahkan sengketanya kepada badan pengadilan internasional. Salah satu badan
peradilan yang menangani sengketa dagang ini misalnya saja adalah WTO. Namun
perlu ditekankan di sini, WTO hanya menangani sengketa antar negara anggota
WTO. Umumnya pun sengketanya lahir karena adanya suatu pihak (pengusaha atau
negara) yang dirugikan karena adanya kebijakan perdagangan negara lain anggota
WTO yang merugikannya.
Alternatif badan peradilan lain adalah Mahkamah Internasional (International Court of Justice). Namun penyerahan sengketa ke Mahkamah Internasional, menurut hasil pengamatan beberapa sarjana, kurang begitu diminati oleh negara-negara.
Alternatif badan peradilan lain adalah Mahkamah Internasional (International Court of Justice). Namun penyerahan sengketa ke Mahkamah Internasional, menurut hasil pengamatan beberapa sarjana, kurang begitu diminati oleh negara-negara.
Sebagai ilustrasi adalah peranan
Mahkamah Internasional (the
International Court of Justice). Peranan Mahkamah dalam menyelesaikan sengketa-sengketa ekonomi (termasuk perdagangan), menurut Mann, sangatlah 'suram'. Selama berdiri (sejak 1945)sampai tulisan ini dibuat, Mahkamah Internasional hanya mengadili 2 kasus di bidang ekonomi internasional, yakni the ELSI Case antara Amerika Serikat melawan Italia, dan the Barcelona Traction Case antara Belgia melawan Spanyol.
International Court of Justice). Peranan Mahkamah dalam menyelesaikan sengketa-sengketa ekonomi (termasuk perdagangan), menurut Mann, sangatlah 'suram'. Selama berdiri (sejak 1945)sampai tulisan ini dibuat, Mahkamah Internasional hanya mengadili 2 kasus di bidang ekonomi internasional, yakni the ELSI Case antara Amerika Serikat melawan Italia, dan the Barcelona Traction Case antara Belgia melawan Spanyol.
Sengketa The Barcelona Traction
adalah sengketa terkenal. Dalam sengketa ini sebuah perusahaan Kanada,
Barcelona Traction, Light and Power, Co., didirikan pada tahun 1911. Perusahaan
ini mengoperasilan pembangunan dan pengadaan tenaga listrik di Spanyol. (Gerald
Cooke.,1997:210-211)
Pada tahun 1968, pengadilan Spanyol
memutuskan perusahaan tersebut pailit. Keputusan ini ditindak-lanjuti oleh
serangkaian tindakan dalam rangka kepailitan tersebut. Pemerintah Kanada
kemudian turut campur dalam sengketa ini dalam upayanya melindungi kepentingan
warga negaranya. Masalahnya menjadi rumit karena ternyata pemegang saham
mayoritas dalam perusahaan tersebut dimiliki warga negara Belgia, yaitu sebesar
88 %. Pemerintah Belgia dalam upaya melindungi warga negaranya yang dirugikan
oleh tindakan pemerintah Spanyol itu membawa sengketanya ke Mahkamah
Internasional. Spanyol menolak gugatan pemerintah Belgia dengan dalil bahwa
Belgia tidak memiliki dasar hukum yang sah (locus standi) untuk membawa kasus
ini. Dalam putusannya, Mahkamah Internasional setuju dengan Spanyol.
F.A. Mann dalam Huala Adolf
(2005:212) menyatakan 'hasil kerja'
Mahkamah Internasional ini 'suram', pada dasarnya karena dua alasan. Pertama,
kurang adanya penghargaan terhadap fakta-fakta spesifik mengenai duduk
perkaranya. Kedua, kurangnya keahlian atau kemampuan Mahkamah pada
permasalahan-permasalahan bidang (hukum) ekonomi atau perdagangan
internasional.
Selain itu, pengadilan-pengadilan
permanen internasional ini juga jurisdiksinya kadangkala terbatas hanya kepada
negara saja, misalnya Mahkamah Internasional. Sedangkan kegiatan-kegiatan atau
hubungan-hubungan perdagangan internasional dewasa ini peranan subyek-subyek
hukum perdagangan internasional non-negara juga penting. (Huala Adolf.,
2005:212)
Bentuk kedua adalah pengadilan ad hoc
atau pengadilan khusus. Dibandingkan dengan pengadilan permanen, pengadilan ad
hoc atau khusus ini lebih populer, terutama dalam kerangka suatu organisasi
perdagangan internasional. Badan pengadilan ini berfungsi cukup penting dalam
menyelesaikan sengketa-sengketa yang timbul dari perjanjian-perjanjian perdagangan
internasional.
Contoh yang menonjol adalah peranan badan-badan pengadilan khusus dalam kerangka GATT (kemudian digantikan oleh WTO), yakni dengan adanya badan-badan panel yang menyelesaikan sengketa- sengketa ekonomi internasional antar negara-negara anggota GATT/WTO.
Contoh yang menonjol adalah peranan badan-badan pengadilan khusus dalam kerangka GATT (kemudian digantikan oleh WTO), yakni dengan adanya badan-badan panel yang menyelesaikan sengketa- sengketa ekonomi internasional antar negara-negara anggota GATT/WTO.
Faktor penting yang mendorong
negara-negara untuk menyerahkan sengketanya kepada badan-badan peradilan
seperti ini adalah karena hakim-hakimnya yang tidak harus seorang ahli hukum.
Ia bisa saja seorang ahli atau spesialis mengenai pokok sengketa. Kedua, adanya
perasaan dari sebagian besar negara yang kurang percaya kepada suatu badan
peradilan (internasional) yang dianggap kurang tepat untuk menyelesaikan
sengketa-sengketa dalam bidang perdagangan internasional.
E. . Hukum yang Berlaku
1. Pengantar
Masalah
hukum yang akan diberlakukan atau diterapkan oleh badan peradilan termasuk
arbitrase adalah salah satu masalah krusial dalam hukum kontrak internasional,
termasuk dalam hukum perdagangan internasional.
Masalahnya adalah hukum yang berlaku ini menjadi penentu
kepastian hukum terutama bagi badan peradilan bahwa ia telah menerapkan hukumnya dengan benar. Dalam hal ini, badan peradilan tidak mengambil jalan pintas dalam menerapkan suatu hukum terhadap suatu sengketa yang dibawa ke hadapannya.
Perlu ditegaskan di sini bahwa pilihan hukum (choice of law, proper law atau applicable law) suatu hukum nasional dari suatu negara tertentu tidak berarti bahwa badan peradilan negara tesebut secara otomatis yang berwenang menyelesaikan sengketanya. Yang terakhir ini disebut juga choice of forum (pembahasan di atas). Artinya, choice of law tidak sama dengan choice of forum.
Peran choice of law menurut Geerald Cooke (1997 : 195) di sini adalah hukum yang akan digunakanoleh badan peradilan (pengadilan atau arbitrase) untuk:
Masalahnya adalah hukum yang berlaku ini menjadi penentu
kepastian hukum terutama bagi badan peradilan bahwa ia telah menerapkan hukumnya dengan benar. Dalam hal ini, badan peradilan tidak mengambil jalan pintas dalam menerapkan suatu hukum terhadap suatu sengketa yang dibawa ke hadapannya.
Perlu ditegaskan di sini bahwa pilihan hukum (choice of law, proper law atau applicable law) suatu hukum nasional dari suatu negara tertentu tidak berarti bahwa badan peradilan negara tesebut secara otomatis yang berwenang menyelesaikan sengketanya. Yang terakhir ini disebut juga choice of forum (pembahasan di atas). Artinya, choice of law tidak sama dengan choice of forum.
Peran choice of law menurut Geerald Cooke (1997 : 195) di sini adalah hukum yang akan digunakanoleh badan peradilan (pengadilan atau arbitrase) untuk:
a.
menentukan keabsahan suatu kontrak dagang;
b.
menafsirkan suatu kesepakatan-kesepakatan dalam kontrak;
c.
menentukan telah
dilaksanakan atau tidak dilaksanakannya suatu prestasi (pelaksanaan suatu
kontrak dagang); dan
d.
menentukan akibat-akibat hukum dari adanya pelanggaran
terhadap
kontrak.
kontrak.
Hukum
yang akan berlaku ini dapat mencakup beberapa macam hukum. Hukum-hukum tersebut
adalah:
(1)
hukum yang akan diterapkan terhadap pokok sengketa
(applicable
substantive law atau lex causae);
substantive law atau lex causae);
(2)
hukum yang akan
berlaku untuk persidangan (procedural law); Hukum yang akan berlaku akan
sedikit banyak bergantung pada
kesepakatan para pihak. Hukum yang akan berlaku tersebut dapat
berupa hukum nasional suatu negara tertentu. Biasanya hukum nasional tersebut ada atau terkait dengan nasionalitas salah satu pihak.
kesepakatan para pihak. Hukum yang akan berlaku tersebut dapat
berupa hukum nasional suatu negara tertentu. Biasanya hukum nasional tersebut ada atau terkait dengan nasionalitas salah satu pihak.
Cara
pemilihan inilah yang lazim diterapkan dewasa ini.pabila salah satu pihak atau
kedua belah pihak tidak sepakat mengenai salah satu hukum nasional tersebut,
biasanya kemudian mereka akan berupaya mencari hukum nasional yang relatif
lebih netral.Alternatif lainnya yang memungkinkan dalam hukum
perdaganganinternasional adalah menerapkan prinsip-prinsip kepatutan dan
kelayakan (ex aequo et bono). Namun demikian penerapan prinsip ini pun harus
berdasarkan pada kesepakatan para pihak. (Huala Adolf., 2005:214)
2.
Kebebasan Para Pihak
Di
atas telah dikemukakan bahwa dalam menentukan hukum yang akan berlaku, prinsip
yang berlaku adalah kesepakatan para pihak yang didasarkan pada kebebasan para pihak
dalam membuat perjanjian atau kesepakatan (party autonomy).
Kebebasan para pihak ini tampaknya sudah menjadi prinsip
hukum umum. Artinya, hampir setiap sistem hukum di dunia, yaitu
Common Law, Civil Law, dll., mengakui eksistensinya.
Kebebasan para pihak ini tampaknya sudah menjadi prinsip
hukum umum. Artinya, hampir setiap sistem hukum di dunia, yaitu
Common Law, Civil Law, dll., mengakui eksistensinya.
Bahkan, praktek para pelaku bisnis
atau pedagang melihat prinsip kebebasan para pihak untuk menetapkan
aturan-aturan dagang yang berlaku di antara mereka, merupakan suatu prinsip
yang telah terkristalisasi. Prinsip inilah yang antara lain melahirkan Kebebasan
dalam memilih hukum yang berlaku ini (lex causae) sudah barang tentu ada
batas-batasnya. Yang paling umum dikenal menurut Gerald Cooke ( 1997 :199) adalah
bahwa kebebasan memilih hukum tersebut adalah:
a.
tidak bertentangan dengan UU atau ketertiban umum;
b.
kebebasan tersebut harus dilaksanakan dengan itikad baik;
c.
hanya berlaku untuk hubungan dagang;
d.
hanya berlaku dalam bidang hukum kontrak (dagang);
e.
tidak berlaku untuk menyelesaikan sengketa tanah; dan
f.
tidak untuk menyelundupkan hukum.
Menurut
Cooke, kebebasan para pihak ini pun akan banyak dipengaruhi oleh sistem hukum
nasional yang akan dipilih (baik oleh salah satu pihak atau kedua pihak). Tidak
sekedar hanya menentukan hukum suatu negara, tetapi juga mempertimbangkan
apakah hukum di negara tersebut konsisten atau tidak. Artinya, apakah hukum di
sesuatu negara tertentu sering berubah-ubah tidak. Gerald Cooke dengan tepas
menyatakan sebagai berikut:
“The significance of needing to provide for the 'proper' law
is that the parties will frequently prefer to have their disputes dealt with by
a legal system which is perhaps independent of each of the parties or which is
recognised to have highly sophisticated and consistent trading laws.”
Dalam
hukum nasional Indonesia mengenai arbitrase, yaitu UU Nomor 30 tahun 1999
mengenai Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, hukum yang akan
diberlakukan oleh para pihak diserahkan sepenuhnya kepada mereka. Pasal 56 UU
tersebut menyatakan: Gerald Cooke ( 1997 :195)
a.
Arbiter atau majelis
arbitrase mengambil putusan berdasarkan ketentuan hukum, atau berdasarkan
keadilan dan kepatutan.
b.
Para pihak berhak
menentukan pilihan hukum yang akan berlaku terhadap penyelesaian sengketa yang
mungkin telah timbul antara para pihak."
Model
Arbitration Law 1985 juga menghormati kebebasan para pihak untuk memilih hukum
yang akan berlaku. Pasal 28 Model Law menggariskan sebagai berikut:Huala Adolf
(2005:218)
a.
The arbitral tribunal
shall decide the dispute in accordance with such rules of law as are chosen by
the parties as applicable to the substance of the dispute. Any designation of
the law or legal system of a given State shall be construed, unless otherwise
expressed, as directly referring to the substantive law of that State and not
to its conflict of laws rules."
b.
Failing any
designation by the parties, the arbitral tribunal shall apply the law
determined by the conflict of laws rules which it considers applicable.
c.
The arbitral tribunal
shall decide ex aequo et bono or amiable compositeur only if the parties
expressly authorized to do so.
d.
In all cases, the
arbitral tribunal shall decide in accordance with the terms of the contract and
shall take into account the usages of the trade applicable to the transaction.'
Dari
kedua instrumen hukum di atas, terdapat beberapa catatan pinggir yang cukup
penting. Pertama, yang menonjol adalah bahwa kedua instrumen berbeda di dalam
hal prioritas pengaturan mengenai hukum yang berlaku terhadap kontrak. UU Nomor
30 tahun 1999 menekankan bahwa arbitrator atau badan arbitrase harus
menyandarkan pada hukum untuk mengambil putusan. Pasal ini tidak menentukan
atau mensyaratkan bahwa hukum yang akan diterapkan tersebut haruslah pilihan
hukum para pihak. Sedangkan Model Law dengan tegas menyatakan bahwa badan
arbitrase harus menerapkan hukum yang dipilih para pihak. Tampaknya, ketentuan
UU Nomor 30 tahun 1999 ini perlu disempurnakan dengan mengacu atau mencantumkan
klausul Model Law ini.
Kedua, UU Nomor 30 tahun 1999 membolehkan arbitrator atau badan arbitrase untuk menerapkan ex aequo et bono (pasal 56 ayat
1). Ketentuan yang sama dalam Model Law tercantum dalam pasal 28 ayat 3. Bedanya adalah, UU nasional kita tidak tegas bahwa penerapan keadilan dan kepatutan ini hanya akan boleh dilakukan apabila para pihak dengan tegas diperintahkan oleh para pihak. Penjelasan pasal 56 hanya menyebut: 'Dalam hal arbiter diberi kebebasan...'). Rumusan ini tidak tegas siapa yang memberi kebebasan untuk memberikan putusan berdasarkan keadilan dan kepatutan.
Ketiga, adalah masalah manakala para pihak tidak memilih hukum yang akan berlaku terhadap kontrak. Dalam hal ini, UU nasional kita dan Model Law memuat aturan yang berbeda. UU nasional kita tampaknya menganut jalan pintas. Penjelasan pasal 56UU Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa menyebutkan, apabila para pihak tidak menentukan pilihan hukum, maka arbitrator atau badan arbitrase harus menerapkan hukum tempat arbitrase dilakukan.(Huala Adolf.,1994:218-219)
Kedua, UU Nomor 30 tahun 1999 membolehkan arbitrator atau badan arbitrase untuk menerapkan ex aequo et bono (pasal 56 ayat
1). Ketentuan yang sama dalam Model Law tercantum dalam pasal 28 ayat 3. Bedanya adalah, UU nasional kita tidak tegas bahwa penerapan keadilan dan kepatutan ini hanya akan boleh dilakukan apabila para pihak dengan tegas diperintahkan oleh para pihak. Penjelasan pasal 56 hanya menyebut: 'Dalam hal arbiter diberi kebebasan...'). Rumusan ini tidak tegas siapa yang memberi kebebasan untuk memberikan putusan berdasarkan keadilan dan kepatutan.
Ketiga, adalah masalah manakala para pihak tidak memilih hukum yang akan berlaku terhadap kontrak. Dalam hal ini, UU nasional kita dan Model Law memuat aturan yang berbeda. UU nasional kita tampaknya menganut jalan pintas. Penjelasan pasal 56UU Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa menyebutkan, apabila para pihak tidak menentukan pilihan hukum, maka arbitrator atau badan arbitrase harus menerapkan hukum tempat arbitrase dilakukan.(Huala Adolf.,1994:218-219)
Sedangkan Model Law menyatakan bahwa apabila para pihak
tidak memilih hukum, maka badan arbitrase atau arbitrator harus mengacu kepada
hukum yang ditentukan berdasarkan aturan-aturan hukum perdata internasional
(conflict of laws rules) yang oleh arbitrator atau badan arbitrase dianggap
berlaku.
F. Pelaksanaan Putusan Sengketa Dagang
1. Pengantar
Masalah pelaksanaan putusan
penyelesaian sengketa (khususnya yang dibuat di luar negeri) hingga kini masih
menjadi suatu masalah yang tidak mudah. Hal ini disebabkan karena pihak yang
kalah di dalam suatu sengketa tidak jarang merasa keberatan melaksanakan
putusan tersebut. Bersamaan dengan itu, pengadilan di dalam negeri tersebut
yang diharapkan dapat membantu proses pelaksanaan putusan ternyata kurang
memberikan respon yang konstruktif.
Masalah ini pula yang saat ini menjadi ciri utama kelemahan
dari putusan-putusan penyelesaian sengketa oleh badan-badan penyelesaian sengketa asing. Inti masalahnya adalah dilaksanakan sutau putusan mencerminkan efektivitas suatu putusan.
Masalah ini pula yang saat ini menjadi ciri utama kelemahan
dari putusan-putusan penyelesaian sengketa oleh badan-badan penyelesaian sengketa asing. Inti masalahnya adalah dilaksanakan sutau putusan mencerminkan efektivitas suatu putusan.
Dalam bagian ini, uraian akan melihat
secara singkat
pelaksanaan putusan dari masing-masing cara penyelesaian sengketa, yaitu putusan melalui alternatif penyelesaian sengketa, arbitrase asing dan pengadilan (asing).
2. Pelaksanaan Putusan APS
pelaksanaan putusan dari masing-masing cara penyelesaian sengketa, yaitu putusan melalui alternatif penyelesaian sengketa, arbitrase asing dan pengadilan (asing).
2. Pelaksanaan Putusan APS
Penyelesaian
sengketa melalui alternatif penyelesaian sengketa (APS) memiliki risiko yang
cukup tinggi dalam hal pihak yang kalah tidak mau melaksanakan putusan yang
dikeluarkan. Pelaksanaan putusan melalui APS lebih banyak bergantung kepada
itikad baik para pihaknya. Hal ini semata-mata karena sifat putusannya yang
sejak awal dilandasi oleh asas konsensuil.
Masalahnya akan menjadi lebih sulit apabila putusan APS tersebut dibuat di luar negeri. Upaya pihak yang menang yang berupaya agar putusan APS dapat dilaksanakan semakin sangat bergantung kepada itikad baik ini. Tidak ada kepastian hukum kapandan apakah pihak yang kalah mau melaksanakan putusan APS tersebut.
Masalahnya akan menjadi lebih sulit apabila putusan APS tersebut dibuat di luar negeri. Upaya pihak yang menang yang berupaya agar putusan APS dapat dilaksanakan semakin sangat bergantung kepada itikad baik ini. Tidak ada kepastian hukum kapandan apakah pihak yang kalah mau melaksanakan putusan APS tersebut.
3. Pelaksanaan Putusan
Arbitrase (Asing)
Pelaksanaan putusan arbitrase asing
sudah menjadi isu yang lama. Masalah ini pula yang menjadi kelemahan utama dari
cara penyelesaian melalui pengadilan atau hakim partikelir ini. Seperti telah
disebut di muka, umumnya yang menjadi kendala dalam masalah ini adalah
pelaksanaan (eksekusi) putusan oleh pihak yang kalah.
Upaya masyarakat internasional dalam
mengurangi dan
memperbaiki kelemahan ini telah lama dilakukan, yaitu sejak tahun
1927. Waktu itu masyarakat internasional mengeluarkan Konvensi Jenewa tentang Pengakuan dan Pelaksanaan Putusan Arbitrase. Konvensi ini kemudian direvisi oleh Konvensi New York 1958.(Huala Adolf.,1994:220)
memperbaiki kelemahan ini telah lama dilakukan, yaitu sejak tahun
1927. Waktu itu masyarakat internasional mengeluarkan Konvensi Jenewa tentang Pengakuan dan Pelaksanaan Putusan Arbitrase. Konvensi ini kemudian direvisi oleh Konvensi New York 1958.(Huala Adolf.,1994:220)
Sebenarnya timbulnya masalah ini
merupakan refleksi dari konvensi-konvensi internasional pada umumnya, termasuk
Konvensi New York 1958 ini. Masalahnya adalah konvensi internasional seperti
ini tidak mengatur peraturan-peraturan yang detail. Ia hanya mengatur hal-hal
pokoknya saja. Dalam lingkup nasional, Konvensi internasional ini ibarat
Undang-undang Pokok yang pelaksanaannya dijabarkan oleh Peraturan Pemerintah,
Keputusan Presiden, dan seterusnya (implementing legislation-nya).
Kalau di dalam lingkup nasional ada
hierarki pengaturan yang jelas, sebaliknya dalam lingkup internasional tidak
ada. Masin- masing negara memiliki cara melaksanakan implementing legislation-
nya. Keadaan demikian jelas menambah ruwetnya masalah pelaksanaan suatu putusan
arbitrase asing.
Konvensi New York 1958 (Convention on the Recognition and
Enforcement of Foreign Arbitral Awards) ditandatangani 10 Juni
1958 di kota New York. Konvensi New York mulai berlaku pada 2 Juni
1959. Konvensi ini hanya mensyaratkan tiga ratifikasi agar
berlaku. Selanjutnya Konvensi akan berlaku tiga bulan sejak jumlah ratifikasi ketiga terpenuhi.
Konvensi New York 1958 (Convention on the Recognition and
Enforcement of Foreign Arbitral Awards) ditandatangani 10 Juni
1958 di kota New York. Konvensi New York mulai berlaku pada 2 Juni
1959. Konvensi ini hanya mensyaratkan tiga ratifikasi agar
berlaku. Selanjutnya Konvensi akan berlaku tiga bulan sejak jumlah ratifikasi ketiga terpenuhi.
Konvensimenurut Stephan C.Smith (2004
: 86) mengandung 16 pasal. Dari
pasal-pasal ini dapat ditarik 5 (lima) prinsip berikut di bawah ini:
a.
Konvensi ini menerapkan prinsip pengakuan dan pelaksanaan
putusan arbitrase luar negeri dan menempatkan putusan tersebut pada kedudukan
yang sama dengan putusan peradilan nasional.
b.
Konvensi ini mengakui
prinsip putusan arbitrase yang mengikat tanpa perlu dicantumkan dalam
putusannya.
c.
Konvensi ini
menghindari proses pelaksanaan ganda (double enforcement process).
d.
Konvensi New York
mensyaratkan penyederhanaan dokumentasi yang diberikan oleh pihak yang mencari
pengakuan dan pelaksanaan putusan. Dalam hal ini Konvensi hanya mensyaratkan
dua dokumen saja untuk dapat melaksanakan suatu putusan, yaitu: (a) Dokumen
putusan atau salinannya yang sah dan (b) dokumen perjanjian arbitrase atau
salinannya yang sah (pasal IV).
e.
Konvensi New York
lebih lengkap dan komprehensif daripada hukum
nasional pada umumnya. Konvensi New York di samping mengatur pelaksanaan, juga mengatur pengakuan (recognition) terhadap suatu putusan arbirase asing.Indonesia adalah anggota Konvensi New York dengan aksesi melalui Keputusan Presiden No. 34 tahun 1981, 5 Agustus 1981.Aksesi ini didaftar di Sekretaris Jenderal PBB 7 Oktober 1981.
nasional pada umumnya. Konvensi New York di samping mengatur pelaksanaan, juga mengatur pengakuan (recognition) terhadap suatu putusan arbirase asing.Indonesia adalah anggota Konvensi New York dengan aksesi melalui Keputusan Presiden No. 34 tahun 1981, 5 Agustus 1981.Aksesi ini didaftar di Sekretaris Jenderal PBB 7 Oktober 1981.
4. Pelaksanaan Putusan Pengadilan
Masalah pelaksanaan putusan
pengadilan juga masih menjadi masalah yang cukup serius. Pengadilan adalah
refleksi kedaulatan negara dalam mengadili sesuatu sengketa. Putusan pengadilan
karenanya tidak secara otomatis dapat dilaksanakan di wilayah kedaulatan negara
lain.
Untuk supaya putusan tersebut dapat
dilaksanakan di suatu
negara lain, menurut Soerjano Soekanto ( 2003: 125)ada dua kemungkinan berikut:
negara lain, menurut Soerjano Soekanto ( 2003: 125)ada dua kemungkinan berikut:
a.
menyidangkan kembali kasus tersebut dari awal sebagai suatu
sengketa baru di pengadilan tersebut (di mana putusan dimintakan
pelaksanaannya);
b.
pelaksanaan putusan
pengadilan di suatu negara dapat dilaksanakan apabila negara-negara yang
terkait (ke-dua negara, dimana pelaksanaa putusan dimintakan) terikat baik apda
suatu perjanjian bilateral atau perjanjian multilateral mengenai pelaksanaan
putusan pengadilan di bidang sengketa- sengketa dagang (padanan kata asingnya
yaitu sengketa-sengketa komersial).
Untuk hal yang pertama, sudah barang tentu sulit. Prosesnya
Untuk hal yang pertama, sudah barang tentu sulit. Prosesnya
jadi
panjang dan berlarut-larut. Belum lagi pertimbangan biaya yang akan dikeluarkan
untuk proses tersebut. Biasanya proses berperkara di pengadilan di luar negeri
tidaklah murah. Belum lagi timbul ketidak-pastian apakah putusannya akan sama
dengan putusan yang dikeluarkan oleh badan peradilan sebelumnya.
Untuk hal yang kedua, adalah alternatif yang cukup layak. Sayangnya, perjanjian-perjanjian seperti ini baru berupa perjanjian bilateral dan regional di Eropa Barat. Perjanjian bilateral dapat ditemukan di antara negara-negara Eropa Barat dalam hal pengakuan dan pelaksanaan putusan pengadilan secara bilateral.
Untuk hal yang kedua, adalah alternatif yang cukup layak. Sayangnya, perjanjian-perjanjian seperti ini baru berupa perjanjian bilateral dan regional di Eropa Barat. Perjanjian bilateral dapat ditemukan di antara negara-negara Eropa Barat dalam hal pengakuan dan pelaksanaan putusan pengadilan secara bilateral.
a. Konvensi Brussel 1968
Perjanjian
regional di Eropa Barat mengenai pelaksanaan putusan pengadilan ini adalah the
Convention on Jurisdiction and the Enforcement of Judgment in Civil and
Commercial Matters (Konvensi Brussel), 27 september 1968. Konvensi Brussel ini beranggotakan
Belgia, Belanda, Luxembourg, Perancis, Jerman, dan Italia). Selanjutnya
negara-negara yang bergabung adalah Inggris, Irlandia, dan Denmark (1978),
Spanyol dan Portugal (26 Mei 1989).
Konvensi Brussel bertujuan:(Gerald Cooke.,1997;207).
Konvensi Brussel bertujuan:(Gerald Cooke.,1997;207).
1.
mengatur jurisdiksi
pengadilan di negara-negara anggotanya;
2.
memperkenalkan
prosedur sederhana untuk pengakuan dan pelaksanaan putusan; dan
3.
mengatur pengakuan
terhadap dokumen-dokumen otentik dari negara-negara anggotanya.
b.
Konvensi Lugano 1988
Konvensi kedua yaitu the Convention
on Jurisdiction and the Enforcement of Judgment in Civil and Commercial Matters
(Konvensi Lugano) ditandatangani di Lugano, 16 September 1988. Negara anggota
Konvensi ini adalah 12 negara Masyarakat Eropa dan 6 negara anggota European
Free Trade Area (EFTA) yaitu Finlandia, Islandia, Norwegia, Austria, Swedia dan
Swis.
Tujuan Konvensi ini adalah sama
dengan Konvensi Brussel, yaitu mendorong pengakuan dan pelaksanaan putusan
pengadilan di antara negara anggotanya. Fungsi ini umumnya berkaitan dengan
hal-hal yang tidak diatur dalam Konvensi Brussel.
BAB IV
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari uraian di atas tampak bahwa hukum perdagagan internasional memberi kebebasan dan peluang yang cukup besar kepada para pihak untuk menyelesaikan sengketanya. Dalam kebebasan memilih cara-cara penyelesaian sengketa termasuk pula kebebasan untuk memilih hukum yang akan diterapkan untuk menyelesaikan sengketa. Untuk kedua hal ini badan peradilan harus menghormatinya.
Mengenai forum penyelesaian sengketa yang tersedia, tampak masing-masing memiliki kekuatan dan kelemahannya. Baik itu APS atau pengadilan masing-masing memiliki cirinya. Hal inilah yang perlu dipertimbangkan dengan seksama oleh para pihak yang hendak menyelesaikan sengketanya.
Mengenai kebebasan para pihak untuk menentukan hukumnya, faktor yang penting adalah kestabilan hukum tersebut. Di dalam pengertian ini adalah pengetahuan para pihak terhadap hukum tersebut. Selain itu pula perlu diperhatikan praktik dan pendekatan yang diterapkan badan peradilan yang akan menyelesaikannya. Seperti diuraikan di atas, para pihak perlu menyadari adanya praktik yang berbeda-beda antara badan peradilan di suatu negara dengan badan peradilan di negara lainnya.
Dari uraian di atas tampak bahwa hukum perdagagan internasional memberi kebebasan dan peluang yang cukup besar kepada para pihak untuk menyelesaikan sengketanya. Dalam kebebasan memilih cara-cara penyelesaian sengketa termasuk pula kebebasan untuk memilih hukum yang akan diterapkan untuk menyelesaikan sengketa. Untuk kedua hal ini badan peradilan harus menghormatinya.
Mengenai forum penyelesaian sengketa yang tersedia, tampak masing-masing memiliki kekuatan dan kelemahannya. Baik itu APS atau pengadilan masing-masing memiliki cirinya. Hal inilah yang perlu dipertimbangkan dengan seksama oleh para pihak yang hendak menyelesaikan sengketanya.
Mengenai kebebasan para pihak untuk menentukan hukumnya, faktor yang penting adalah kestabilan hukum tersebut. Di dalam pengertian ini adalah pengetahuan para pihak terhadap hukum tersebut. Selain itu pula perlu diperhatikan praktik dan pendekatan yang diterapkan badan peradilan yang akan menyelesaikannya. Seperti diuraikan di atas, para pihak perlu menyadari adanya praktik yang berbeda-beda antara badan peradilan di suatu negara dengan badan peradilan di negara lainnya.
Pertimbangan penting lainnya yang
justru sangat esensial adalah pertimbangan kemungkinan dapat atau tidak
dapatnya dilaksanakannya putusan (ekseskusi). Kegagalan atau kealpaan untuk
mempertimbangkan faktor ini akan membuat upaya-upaya penyelesaian sengketa yang
dipilih berdasarkan kebebasan para pihak menjadi tidak berarti.
B. Saran
Karya Ilmiah
ini dalam penulisannya dan penyajiannya memang sangat jauh dari
kesempurnaan, untuk itu penulis sangat mengharapkan sekali sebuah kritikan atau
saran yang sekiranya membangun guna perbaikan makalah selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA
Adolf, Huala. 1994 .Arbitrase Komersial Internasional, cet.2, Jakarta: Rajawali Pers.
Adolf, Huala. 2002. Aspek-aspek Negara dalam Hukum Internasional, cet. 3, Jakarta:
Rajawali Pers.
Adolf,Huala. 2005. Hukum Perdangan Internasional.cet 3.
Jakarta :Rajawali Pers.
Ak,Syahmin.2006.Hukum Dagang Internasional (dalam Kerangka
Studi Analisis.Jakarta: Rajawali Pers.
Cooke,Gerald.1997.Disputes resolution in International Trading”dalam
Jonathan Reuvid(ed.),The Strategic Guide
to International Trade.London: Kogan Page
Gautama,Sudargo.2010.Hukum dagang Internasional.Bandung :
PT.Alumni.
Nopirin,2010.Ekonomi Internasional.ed.3 .Yogyakarta
BPE-UGM
Pandika,Rusli.2010.Sanksi Dagang Unilateral di Bawah Sistem
Hukum WTO.Bandung : PT.Alumni.
Soekanto,Soerjono dan Sri
Mamudji.2003. Penelitian Hukum
Normatif:Suatu Tinjauan Singkat .cet 7.ed.1.Jakarta :PT.Raja
Grapindo.Persada.
Tidaro,Micheal P.dan Stephan
C.Smith. 2004.Perkembangan Ekonomi
diDunia Ketiga 2.Terjemahan Haris Munandar .Jakarta: Penerbit Erlangga.
No comments:
Post a Comment