Tuesday 31 January 2017

MAKALAH HADIST TENTANG JUAL BELI



HADIST TENTANG JUAL BELI


KATA PENGANTAR

 

            Alhamdulillah puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karunia nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Hadit Tentang Jual Beli” pembuatan makalah dengan tepat waktu. Tidak lupa shalawat dan berangkai salam selalu tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW yang merupakan inspirator terbesar dalam segala keteladanannya. Tidak lupa penulis sampaikan terima kasih kepada Dosen mata kuliah Civic Education yang telah memberikan arahan dan bimbingan dalam pembuatan makalah ini, orang tua yang selalu mendukung kelancaran tugas kami, serta pada anggota tim yang selalu kompak dan konsisten dalam penyelesaian tugas ini.
            akhirnya penulis sampaikan terima kasih atas perhatiannya terhadap makalah ini, dan penulis berharap semoga makalah ini bermanfaat bagi tim penulis khususnya dan pembaca yang budiman pada umumnya. Tak ada gading yang tak retak, begitulah adanya makalah ini. Dengan segala kerendahan hati, saran-saran dan kritik yang konstruktif sangat penulis harapkan dari para pembaca guna peningkatan pembuatan makalah pada tugas yang lain dan pada waktu mendatang.



Tg. Pura. Desember   2016

      Penyusun
          Muhammad Apriandi


DAFTAR ISI

 


 


BAB I

PENDAHULUAN

A.     Latar Belakang

Jual beli Adalah proses pemindahan hak milik/barang atau harta kepada pihak lain dengan menggunakan uang sebagai alat tukarnya. Menurut etimologi, jual beli adalah pertukaran sesuatu dengan sesuatu (yang lain). Kata lain dari jual beli adalah al-ba’i, asy-syira’, al-mubadah, dan at-tijarah.  
Dalm proses jual beli ada ketentuan-ketentuan yang harus dipenuhi oleh penjual dan pembeli sehingga, jika proses jual beli sudah selesai tidak ada yang dirugikan.  Bagaimana pandangan Islam dalam jual beli dan apa saja dalil-dalilnya sehingga jual beli itu merupakan sesuatu yang halal bukan sesuatu yang haram atau syubhat.  Dalam makalah ini akan diuraiakan beberapa hadist yang menjelaskan tentang  jual beli.

B.     Rumusan Masalah

1.      Apa pengertian, syarat dan rukun tentang jual beli?
2.      Apa saja hadist-hadist yang berkaitan tentang jual beli, beserta penjelasannya?
3.      Apa ayat yang alQuran yang menjelaskan tentang jual beli?
4.      Bagaimana hukum jual beli?

C.     Tujuan Pembahasan

1.      Untuk mengetahui pengertian, syarat dan rukun tentang jual beli
2.      Untuk mengetahui saja hadist-hadist yang berkaitan tentang jual beli, beserta penjelasannya
3.      Untuk mengetahui ayat yang alQuran yang menjelaskan tentang jual beli
4.      Untuk mengetahui hukum jual beli






BAB II

PEMBAHASAN

A.     Pengertian Jual Beli

Al-Buyu’ jama’ dari al-bai’. Kata ini merupakan mashdar, padahal mashdar tidak dapat di jama’kan.  Tapi kata ini tetap di jama’kan karena jenisnya yang berbeda-beda. Maknanya menurut bahasa ialah mengambil sesuatu dan memberi sesuatu.  Mereka juga mengambil kata ini dari al-ba’u, satu depan, entah dimaksudkan untuk tepukan atau untuk ikatan harga dan barang yang dihargai menurut persrtujuannnya.  Lafazh al-ba’i juga dapat diartikan membeli,yang termasuk makna kebalikan.  Tapi jika diucapkan kata al-ba’i, maka makna yang langsung bisa ditangkap darinya ialah orang yang mengeluarkan barang dagangan atau penjual.
Adapun definisinya menurut syariat ialah tukar-menukar harta dengan harta yang dimaksudkan untuk suatu kepemilikan, yang ditunjukkan dengan perkataan dan perbuatan.[1]
Dalam literatur syari’ah Islam, jual beli atau istilah modernnya bisnis termasuk dalam kategori mu’amalat yang dibahas dalam bab Al-Buyu’, dalam Al Qur'an atau Al Hadis istilah yang digunakan untuk muamalah ini adalah al bai', as syiro' dan at tijaroh.
Bagi seorang muslim yang menyibukan diri dengan urusan ini, hendaknya mempelajari hukum-hukum yang bersangkutan dengannya secara rinci dan seksama agar ia mampu berinteraksi dalam koridor syariat dan terhindar dari tindakan-tindakan aniaya dan merugikan sesama manusia, karenanya Umar bin Khottob berkata:
لاَ يَـبْـعُ فِيْ سـُوقـِـنَا إِلَّا مـِنْ تـَفـَقـَهُ فِي الـدِّ يْـنِ

Artinya:
"Janganlah melakukan jual beli di pasar kami melainkan orang yang memiliki pengetahuan agama" (HR.Tirmidzi) 

Dalam kitab Tafsir Al Allam syarah umdatul ahkam karya Abdullah Al Bassam rahimahullah disebutkan, secara etimologi (bahasa) jual beli adalah:
أَخُـذُ شَـْيءُ وَإِعْـطَاءُ شَـيْءُ  

Artinya: "Mengambil dan memberi sesuatu".

Adapun secara terminologinya:
مُـبَادَ لـَة مَـالَ بـِمَالٍ لـقَـصْـدِ الــتـَمْـلِكِ بِـمَا يَـدُلُ عَـلَـيْـهِ مِـنْ صِيْـغَ الـْقَوْلِ وَالـْفِـعْـلِ
Artinya:
"Pertukaran harta benda dengan tujuan saling memiliki yang dibarengi dengan sesuatu yang menunjukkan hal tersebut dengan perkataan dan perbuatan".

Syarat Jual Beli adalah Sebagai Berikut:
1.      Keadaan bendanya suci.
2.      Bendanya dapat diambil manfaatnya sesuai dengan yang dimaksudkan.
3.      Bendanya dapat diterimakan atau diserahkan kepada pihak pembeli.
Rukun Jual Beli adalah Sebagai Berikut:
1.      Barang yang dijual belikan.
2.      Orang yang membeli dan menjual barang.
3.      Ijab qobul.[2]

Adapun shighah untuk mengikatnya, yang benar  ialah seperti yang dikatakan Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyah, bahwa hal itu dapat dilakukan dengan perkataan atau perbuatan macam apa pun, yang memang dianggap manusia sebagai jual-beli, baik secara langsung maupun tidak langsung, karena Allah tidak bermaksud menjadikan kita sebagai hamba yang melaksanakan  ibadah dengan lafazh-lafazh tertentu, tapi yang dimaksudkan adalah apa yang menunjukkan maknanya.  Lafazh apa pun yang menunjukkannya, maka tujuan sudah tercapai.
            Manusia saling berbeda-beda dalam dialog dan istilah yang mereka pergunakan, tergantung kepada perbedaan tempat dan waktu.  Setiap zaman dan tempat memiliki bahasa dan istilah-istilah tersendiri, dan yang dimaksudkan dari hal itu adalah makna.[3]
            Manfaat yang dapat kita ambil dari bab-bab muamalah ini ialah agar kita bisa memahami kaidah yang sangat penting, yang memberi batasan muamalah-muamalah yang diperbolehkan, di samping kita dapat memahami batasan-batasan muamalah yang diharamkan, yang semua bagian-bagiannya kembali kesana.  Kaidah itu ialah: Dasar hukum dalam muamalah, berbagai jenis perniagaan dan mata pencaharian ialah halal dan diperbolehkan, tidak ada yang mencegahnya kecuali apa yang telah diharamkan Allah dan Rasul-Nya.
            Ini merupakan dasar hukum yang besar, menjadi sandaran dalam muamalah dan tradisi.  Siapa yang mengharamkan sesuatu dari hal itu, maka dia dituntut untuk menunjukkan dalil, karena dia berseberang dengan dasar hukum ini.
            Dengan begitu dapat diketahui keluwesan syariat dan keluasannya, relevansinya untuk setiap waktu dan tempat serta segala perkembangannya, sesuai dengan tuntutan manusia dan kemaslahatannya.
            Ini merupakan kaidah di tengah-tengah, yang pijakannya adalah keadilan dan memperhatikan kemaslahatan kedua sisi.  Berdasarkan prinsip yang agung ini, muamalah tidak dapat dikeluarkan dari mubah kepada haram kecuali jika ada sesuatu yang memang diperingatkan, seperti karena menjurus kepada kezhaliman terhadap salah satu pihak, seperti riba, kedustaan, penipuan, ketidaktahuan dan pengecohan.  Inilah beberapa jenis muamalah, yang jika kita perhatikan, hal itu menjurus kepada kezhaliman terhadap salah satu pihak.  Muamalah-muamalah yang diharamkan kembali kepada batasan ini, yang tidak diharamkan melainkan karena kerusakan dan kezhalimannya.  Pembuat syariat yang Maha bijaksana lagi Maha Pengasih mendatangkan segala sesuatu yang di dalamnya ada kemaslahatan dan memperingatkan segala hal di dalamnya ada kerusakan.
            Alhasil, muamalah-muamalah yang diharamkan kembali kepada beberapa batasan, yang paling besar adalah tiga perkara berikut:
1.      Riba dengan tiga macamnya, yaitu riba al-fadhl, an-nasi’ah dan al-qardhu.
2.      Ketidaktahuan dan penipuan dengan berbagai macam ragam dan jenisnya.
3.      Membohongi dan memperdayai dengan segala ragam dan jenisnya.[4]

B.     Hadits-hadits Tentang Jual Beli dan Penjelasannya

عَنِ عَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَرَ رَضيَ اللهُ عَنْهُمَا عَنْ رَسُوْلِ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَليْهِ وَ سَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ إِذَا تَبَايَعَ الرَّجُلاَننِ فَكُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا بِالْخِيَارِ مَالَمْ يَتَفَرَّقَا وَ كَانَا جَمِيْعًا أَوْ يُخَيِّرُ أَحَدُهُمَا الآخَرَفَتَبَايَعَا عَلَى ذَلِكَ فَقَدْ وَجَبَ الْبَيْعُ وَإِنْ تَفَرَّقَا بَعْدَ أَنْ يَتَبَايَعَا وَلَمْ يَتْرُكْ وَاحِدٌ مِنْهُمَا الْبَيْعَ فَقَدْ وَجَبَ الْبَيْعُ
“Dari Abdullah bin Umar Radhiyallahu Anhuma, dari Rasulullah SAW, beliau bersabda, jika dua orang saling berjual-beli, maka masing-masing di antara keduannya mempunyai hak pilih selagi keduanya belum berpisah, dan keduanya sama-sama mempunyai hak, atau salah seorang di antara keduanya membei pilihan kepada yang lain, lalu keduanya menetapkan jual-beli atas dasar pilihan itu, maka jual-beli menjadi wajib.”

عَنْ حَكِيْمِ بْنِ حِزَامٍ رَاضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ رَسُوْلُ الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْبَيِّعَانِ بِالخِيَارِ مَالمْ يَتفَرَّقَا أَوْ قَالَ حَتتّى يَتَفَرّقَا فَاِنْ صَدَقَ وَبَيّنَا بُورِكَ لَهُمَا فِي بَيْعِهِمَا وَإِنْ كَتَمَا وَكَذَبَا مُحِقَتْ بَرَكَةُ بَيْعِهِمَا
Ada hadist yang semakna dari hadist Hakim bin Hizam, dia berkata, Rasulullah SAW bersabda, Dua orang yang berjual beli mempunyai hak pilih selagi belum berpisah, atau beliau bersabda, Hingga keduanya saling berpisah, jika keduannya saling jujur dan menjelaskan, maka keduanya saling menyembunyikan dan berdusta, maka barakah jual beli itu dihapuskan.[5]
Sebab-sebab Turunnya Hadist
Hadist ini dikeluarkan oleh Bukhari dan Muslim, dan  hadist ini shahih.  Hadist tersebut dari Ibnu Umar Ra. Dari Rasulullah Saw  yang  menjelaskan apabila ada dua orang melakukan jual beli maka masing-masing keduamya mempunyai hak khiyar, selama mereka belum berpisah.  Dan hadist tersebut ditunjukkan dengan perbuatan Ibnu Umar yang terkenal.  Bila kedua pihak semuanya berdiri dan pergi bersama-sama, maka hak khiyar tetap ada.
Kemudian Rasulullah SAW menyebutkan sebagian dari sebab-sebab keberkahan dan pertumbuhan, sebagian dari sebab-sebab kerugian dan kerusakan.
            Sebab-sebab barakah, keuntungan dan pertumbuhan adalah kejujuran dalam muamalah, menjelaskan aib, cacat, dan kekurangan atau sejenisnya dalam barang yang dijual.  Adapaun sebab-sebab kerugian dan ketiadaan barakah ialah yang menyembunyikan cacat, dusta dan memalsukan barang dagangan. Yang demikian itu merupakan sebab-sebab yang hakiki tentang keberkahan di dunia, yang memberikan nilai tambah dan ketenaran bagi dirinya, karena dia bermuamalah dengan cara yang baik, sedangkan di akhirat dia mendapatkan pahala dan balasan yang baik.  Sementara sifat kedua merupakan hakikat hilangnya mata pencaharian, karena pelakunya bermuamalah dengan cara yang buruk, sehingga orang lain menghindar darinya dan mencari orang yang lebih dapat dipercaya, sedangkan di akhirat dia mendapatkan kerugian yang lebih besar, karena dia telah menipu manusia.  Rasulullah SAW, “Siapa yang menipu kami, maka dia bukan termasuk golongan kami.”[6]
Penjelasan lafazh
1.      Bil-Khiyar merupakan masdhar dari ikhtara, dari al-ikhtiyar, berarti meminta yang terbaik dari dua hal, entah berupa pengesahan atau penolakan.
2.      Al-Bayyi’ani, artinya penjual dan pembeli.  Makna ini diberikan kepada keduanya, yamg termasuk masalah kebiasaan.  Seperti yang sudah dijelaskan, masing-masing dari dua lafazh ini dapat diartikan pula bagi yang lainnya.
3.      Muhiqat merupakan mabny lil-majhul, yang artinya, tambahan mata pencaharian dan laba keduanya dihilangkan.
4.      Yukhayyiru ahadahuma al-akhara, seperti ucapan, “Pilihlah pengesahan jual-beli.”
Makna Global
            Karena biasanya jual-beli terjadi tanpa berpikir lebih jauh, maka acapkali menimbulkan penyesalan bagi penjual maupun pembeli, karena itulah pembuat syariat yang bijaksana memberi tempo itu, yang memungkinkan terjadinya pembatalan akad selam tempo itu.  Tempo ini ialah selama masih berada di tempat pelaksanaan akad.
            Jika kedua belah pihak (penjual dan pembeli) masih berada di tempat pelaksanaan jula beli, maka masing-masing mempunyai hak pilih untuk mengesahkan atau membatalkan jual beli. Jika keduanya saling berpisah, sesuai dengan perpisahan yang dikenal manusia, atau jual beli disepakati tanpa ketetapan hak pilih di antara keduanya, maka akad jual beli dianggap sah, sehingga salah seorang diantara keduanya tidak boleh membatalkannya secara sepihak, kecuali dengan cara pembatalan perjanjian yang disepakati.
Kesimpulan Hadits:   [7]  
1.      Penetapan hak pilih di tempat bagi penjual dan pembeli, untuk dilakukan pengesahana jual-beli atau pembatalannya.
2.      Temponya ialah semenjak jual beli dilaksanakan hingga keduanya saling berpisahdari tempat itu.
3.      Jual-beli mengharuskan pisah badan dari tempat dilaksanakan akad jual-beli.
4.      Jika penjual dan pembeli sepakat untuk membatalkan akad setelah akaddisepakati sebelum berpisah, atau keduanya saling melakukan jual-beli tanpa menetapkan hak pilih bagi keduanya, maka akad itu dianggap sah, karena hak itu menjadi milik mereka berdua, bagaimana keduanya membuat kesepakatan, terserah kepada keduanya.
5.      Perbedaan antara hak Allah dan yang semata merupakan hak anak Adam, bahwa apa yang menjadi hak Allah, pembolehannya tidak cukup dengan keridhaan anak Adam, seperti akad riba.  Sedangkan yang menjadi hak anak Adam diperbolehkan menurut keridhaannya yang diungkapkan, karena hak itu tidak melanggarnya.
6.      Pembuat syariat tidak menetapkan batasan untuk perpisahan.  Dasarnya adalah tradisi.  Apa yang dikenal manusia sebagai perpisahan, maka itulah ketetapan jual-beli.
7.      Para ulama’ mengharakan penjual atau pembeli meninggalkan tempat (sebelum akad di tetapkan), karena dikhawatirkan akan terjadi pembatalan.
8.      Jujur dalam muamalah dan menjelaskan keadaan barang dagangan merupakan sebab barakah di dunia dan akhirat, sebagaimana dusta, bohong dan menutup-nutupi cacat merupakan sebab hilangnya barakah.
Perbedaan Pendapat di Kalangan Ulama:
Para ulama saling berbeda pendapat tentang penetapan hak pilih di tempat.  Jumhur ulama dari kalangan sahabat dan tabi’in serta imam menetapkan hak pilih di tempat.  Dia antara mereka adalah Ali bin Abu Thalib, Ibnu Abas, Abu Hurairah, Abu Barzah, thawus, Sa’id bin Al-Musayyab, Atha’, Al-Hasan Al Bashry, Asy-Sya’by, Az-Zuhry, Al-Auza’y, Al-Laits, sufyan bin Uyainah, Asy-Syafi’y, Ahmad bin hambal, Ishaq, Abu Tsaur, Al-Bukhary dan para muhaqqiq lainnya.  Dalil mereka adalah hadist-hadist shahih dan jelas maknanya.  Menurut Ibnu Abdil-Barr, hadist Abdullah bin Umar merupakan hadist yang paling kuat dari hadist-hadist ahad.
            Sedangkan Abu Hanifah, Malik dan mayoritas rekan mereka berdua tidak menetapkan hak pilih di tempat. Mereka beralasan dengan beberapa hujjah yang bertentangan dengan pengalaman hadist-hadist ini, namun hujjah-hujjah itu lemah, yang kemudian di sanggah jumhu.  Di antara hujjah-hujjah yang lemah itu sebagai berikut:[8]
1.      Hadist ini bertentangan dengan pengalaman penduduk Madinah, dan amal mereka dapat di jadikan hujjah.
2.      Yang dimaksudkan al-mutabayi’any dalam hadist di atas ialah dua orang (penjual dan pembeli) yang saling tawar-menawar.
3.      Yang dimaksudkan perpisahan itu ialah perpisahan perkataan antara penjual dan pembeli ketika dilakukan serah terima.

Hadits lain:
Hukum ‘Araya dan Menjual Buah dengan Buah
أَخْرَجَ الْبُخَارِيُّ وَمُسْلِمٌ عَنْ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُوْلَ اللهّ صلى الله عليه وسلم نَهَى عَنْ بَيْعِ الثَّمْرَةِ حَتّى يَبْدُوَ صَلَا حُهَا وَ نَهَى الْبَائِعَ وَالْمُشْتَرِيَ
Diriwayatkan oleh al-Bukhari  dan Muslim dari Ibnu Umar bahwa Rasulullah SAW.  Malarang menjual buah sehingga tampak kalayakanya, Rasulullah saw. Melarang menjual dan pembelinya.
وَأَخْرَجَ مٌسْلِمٌ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ :قَالَ رَسُوْلُ الله صلى الله عليه وسلم: لاَتَبْتَاعُوْا الثّمَارَ حَتَّي يَبْدُوَ صَلَاحُهَا.
Diriwayatkam oleh Muslim dan Abu Hurairah, ia berkata: “Rasulullah SAW. Bersabda: ‘Janganlah kalian menjual Buah-buahan sehingga tampak kelayakannya.’”[9]
Asbabul Wurud
Hadits Pertama:
Diriwayatkan oleh Ahmad dan al-Bukhari dari Zaid bin Tsabit, ia berkata: “Rasulullah SAW. Tiba di Madinah, sedang (kabiasaan) kami adalah saling menjual buah-buahan sebelum tampak kelayakannya, hingga Rasulullah SAW.  Mendengarkan suara orang bertengkar. Beliau berkata: “Ada apa ini?” lalu dilaporkan pada beliau:”Mereka membeli buah-buahan, mereka berkata buah-buahan itu terkena ad-daman (buahnya membusuk) dan at-tasyam (berguguran). Rasulullah SAW. Bersabda: “janganlah kalian saling menjualnya sehingga tampak kelayakannya.”
Hadits Kedua:
a)      Hadist tersebut lafazh milik Ahmad 5/190.
b)      Diriwayatkan juga al-Bukhari dalam kitab:al-Buyu’ bab: Bai’ ats-Tsimar qabl an Yabduwa Shalahuhan (menjual buah-buahan sebelum nampak kelayakannya).
c)      Dan Abu Dawud dalam kitab: al-Buyu’, bab: an-Nahyu ‘an Bai’ ats-Tsimar qabl an Yabduwa Shalahuha (tentang menjual buah-buahan sebelum nampak kelayakannya, (2/227)) dengan maknanya.
Ditinjau dari Konteks Kebahasaan:
Ad-Daman (dengan memfathahkan dal): adalah ad-damal: rusak dan binasanya. At-Tasyam: gugur sebelum menjadi balakh (kurma yang masih mengkal). Ada yang berpendapat: serangga pemakan buah yang terdapat pada buah, terambil dari kata iltasyama yang bermakna makanan. Lihat al-faiq fi Gharibil hadist oleh az-Zamahsyari 1/439.
Keterangan:
Hadist Pertama:[10]
1.      Hadis pertama lafadznya milik Abu Dawud dalam kitab: al-Buyu’, bab: Fi Bai’ ats-Tsimar qobla an Yabduwa Shalahuha (tentang menjual buah-buahan sebelum nampak kelayakannya, (2/227)).
2.      Bagian pertama dari hadis tersebut diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam kitab: az-Zakah, bab: Man Ba’a Tsimarhu (barang siapa menjual buah-buahannya), dari jalan. Dan ia juga meriwayatkan dari jalan anas, bab: Bai’u an-Nahl qabla an yabduwa  Shalahuha (menjual kurma sebelum tampak kelayakanya,(2/156)), dan dari hadist Ibnu Umar dan hadist Jabir, bab: idza ba’a ats-Tsimar qobla an Yabduwa Shalahuha (apabila menjual buah-buahan sebelum nampak kelayakannya, (8/101)) dengan lafadz-lafadz yang saling berdekatan.
3.      Hadis ini juga adalah satu bagian dari hadis al-Bukhari yang ia riwayatkan dalam kitab: al-Musaqat, bab: ar-Rajul yakunu lahu Mamarrun fi Ha’ith (seseorang yang memiliki tempat lewat di kebun, (3/151)) dari hadis Jabir.
4.      Dan diriwayatkan oleh Muslim dalam kitab: al-Buyu’,  bab: an-Nahyu ‘an al-Muhaqalah wa la-Muzabanah wa ‘an al-Mukhabarah wa bai’ ats-Tsamar qobla an Yabduwa Shalahuha (larangan al-Mukhabarah: (menjual buah-buahan yang belum layak dikonsumsi), la-Muzabanah (menjual sesuatu yang belum diketahui ukuran, jumlah atau timbangannya), al-Mukhabarah, dan menjual buah sebelum manpak buahnya,(4/40)). Dan ini juga adalah bagian hadist miliknya,selain itu ia juga meriwayatkan dari hadist Jabir bab: an-Nahyu ‘an Bai’ qobla Bidduwi Shalahuha bi Ghoiri Syarth al-Qath’i  (larangan menjual buah-buahan sebelum nampak kelayakannya tanpa ada syarat yang pasti), dengan lafazh-lafazh yang berdekatan
Hadist Kedua:
1.      Diriwayakan oleh Muslim dalam kitab: al-Buyu’, bab: an-Nahyu ‘an Bai’ ats-Tsamir qabla Bidduwi Shalahuha (larangan menjual buah-buahan sebelum nampak kelayakannya, (4/29)).
2.      At-Tirmidzi dalam kitab: al-Buyu’, bab: Ma Ja’a fi karahiyyati Bai’ ats-Tsamarah qabl an Yabduwa Shalahuha (hadis-hadis tentang makruhnya menjual buah sebelum nampak kelayakannya, (2/348)) dengan maknanya, ia berkata: “Hasan Sahih”.
3.      Ibnu Majah dalm kitab: at-Tijarat, bab: an-Nahyu ‘an Bai’ ats-Tsamar qabla an Yabduwa Shalahuha (larangan menjual buah-buahan sebelum manpak kelayakannya, (2/747)), dengan lafazh-lafazh yang berdekatan. Dan ia juga meriwayatkan pada bagian awal dari hadist tersebut dari hadist Ibnu Umar dengan lafazh-lafazh yang beragam.
4.      Dan diriwayatka oleh Ahmad 2/46,77, dengan lafazh-lafzh yang berdekatan.[11]

C.     Ayat AlQuran yang Berkaitan dengan Jual Beli

            Jual beli adalah perbuatan yang dihalalkan oleh Allah SWT. Sebagaimana Allah berfirman dalam al-qur’an:

الَّذِينَ يَأْكُلُونَ الرِّبَا لَا يَقُومُونَ إِلَّا كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ ۚ ذَٰلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوا إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا ۗ وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا ۚ
Artinya:
  Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba (QS.Al baqarah ayat 275).[12]

D.    Hukum Jual Beli

Dari kandungan ayat-ayat dan hadist-hadist yang dikemukakan diatas sebagai dasar jual-bali, para ulama fiqih mengambil suatau kesimpulan, bahwa jual beli itu hukumnya mubah (boleh). Namun, menurut Imam asy-Syatibi (ahli fiqih Madzhab Imam Maliki), hukumnya bisa berubah menjadi wajib dalam situasi tertentu.  Sebagai contoh dikemukakannya, bila suatu waktu terjadi praktek ihtikar, yaitu penimbunan barang,sehingga persediaan hilang dari pasar dan harga melonjak naik.  Apabila terjadi praktek semacam itu, maka pemerintah boleh memaksa para pedagang menjual barang-barang sesuai dengan harga pasar sebelum terjadi pelonjakan harga barang itu.para pedagang wajib memenuhi ketentuan pemerintah di dalam menentukan harga di pasaran.[13]




BAB III

PENUTUP

A.      Kesimpulan

            Jual beli adalah tukar-menukar harta dengan harta yang dimaksudkan untuk suatu kepemilikan, yang ditunjukkan dengan perkataan dan perbuatan.  Rasulullah menjelaskan bahwa hukum jual beli adalah perbuatan yang dihalalkan selama penjual dan pembeli tidak ada yang dirugikan dan tidak ada penipuan dalam jual beli.
Syarat Jual Beli adalah Sebagai Berikut:
1.      Keadaan bendanya suci.
2.      Bendanya dapat diambil manfaatnya sesuai dengan yang dimaksudkan.
3.      Bendanya dapat diterimakan atau diserahkan kepada pihak pembeli.
Rukun Jual Beli adalah Sebagai Berikut:
1.      Barang yang dijual belikan.
2.      Orang yang membeli dan menjual barang.
3.      Ijab qobul.
Manfaat yang dapat kita ambil dari bab-bab muamalah ini ialah agar kita bisa memahami kaidah yang sangat penting, yang memberi batasan muamalah-muamalah yang diperbolehkan, di samping kita dapat memahami batasan-batasan muamalah yang diharamkan, yang semua bagian-bagiannya kembali kesana.  Kaidah itu ialah: Dasar hukum dalam muamalah, berbagai jenis perniagaan dan mata pencaharian ialah halal dan diperbolehkan, tidak ada yang mencegahnya kecuali apa yang telah diharamkan Allah dan Rasul-Nya.





DAFTAR PUSTAKA

Abdulllah Abu Ahmad, Umdatul Ahkam, (Jogjakarta: Media Hidayah, 2006)
Abu Amar Imron, Edisi Indonesia: Fathul Qarib, (Kudus: Menara Kudus, 1983)
AlQur’an dan Terjemahannya
Hadist Bukhari Muslim
Hasan Ali, Berbagai Macam Transaksi dalam Islam, (Jakarta: Rajawali Press, 2004)
Ismail Yahya, Edisi Indonesia: Asbab Wurud Al-Hadist, (Jakarta: Pustaka As-Sunnah, 2009)
Suhardi Kathur, Edisi Indonesia: Syarah Hadits Pilihan Bukhari Muslim, (Jakarta: Darul Falah, 2002)




[1] Kathur Suhardi, Edisi Indonesia: Syarah Hadist Pilihan Bukhari Muslim, (Jakarta: Darul Falah, 2002), Hal. 57
[2] Imron Abu Amar, Edisi Indonesia: Fathul Qarib, (Kudus: Menara Kudus, 1983), Hal. 229
[3] Ibid. Hal.229-230
[4]Kathur Suhardi, Edisi Indonesia: Syarah Hadist Pilihan Bukhari Muslim, (Jakarta: Darul Falah, 2002), Hal. 579
[5] Kathur Suhardi, Edisi Indonesia: Syarah Hadist Pilihan Bukhari Muslim, (Jakarta: Darul Falah, 2002), Hal. 580
[6] Ibid.hlm.581
[7] Ibid.hal.582
[8] Ibid hal.583
[9] Hadits Bukhari Muslim
[10] Yahya Ismail, Edisi Indonesia: Asbab Wurud Al-Hadist, (Jakarta: Pustaka As-Sunnah, 2009), Hal. 243
[11] Yahya Ismail, Edisi Indonesia: Asbab Wurud Al-Hadist, (Jakarta: Pustaka As-Sunnah, 2009), Hal. 243
[12]AlQur’an dan Terjemahannya
[13] Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi dalam Islam, (Jakarta: Rajawali Press, 2004), Hal. 117

No comments:

Post a Comment

PENERAPAN STRATEGI PEMBELAJARAN KOPERATIF DALAM PEMBELAJARAN FIQIH

  BAB I PENDAHULUAN A.      Latar Belakang Salah satu strategi yang dapat diterapkan dalam pembelajaran di kelas adalah pembe...