Sunday 26 February 2017

“AL AHKAM ASY- SYARI’AH




“AL AHKAM ASY- SYARI’AH



BAB I

PENDAHULUAN

A.     Larat Belakang Masalah

Ilmu Ushul Fiqih adalah ilmu yang mempelajari tentang kaidah-kaiadah atau bahasan-bahasan sebagai metodologi untuk memperoleh hukum-hukum syara yang bersifat praktis dari dalil-dalil yang rinci. Pokok-pokok bahasan dalm Ilmu Ushul Fiqih ini adalah dalil-dalil syara yang secara garis besar pula. Sedangkan sumber hukum syara adalah syariyah yang daripadanya diistinbatkan hukum-hukum syariah. Pengetahuan fiqih itu lahir melalui proses pembahasan yang digariskan dalam Ilmu Ushul Fiqih, menurut aslinya kata Ushul Fiqih adalah kata yang berasal dari kata bahasa arab Ushulul Fiqih yang berarti kata asal-usul fiqih. Ushul Fiqih terasa penting bilamana dihadapkan pada masalah-masalah yang hakumnya tidak terdapat dalam pembendaraaan fiqh lama.
Adapun semua itu untuk memahami syari’at Islam yang dibawa Rasulullah, para ulama ushul fiqh mengemukakan dua bentuk pendekatan, yaitu melalui kaidah-kaidah kebahasan dan melalui pendekatan maqashid al-syari’ah (tujuan syar’a dalam menetapkan hukum).

B.     Rumusan Masalah

1.      Apa Pengertian Hukum?
2.      Apa Pengertian Hakim?
3.      Apa Pengertian Mahkum fih?
4.      Apa Pengertian Mahkum Alaih
5.       Apasaja pembagian  Hukum?



 

BAB II

PEMBAHASAN

A.     Hukum

Mayoritas ulama ushul mendefinisikan hukum sebagai berikut :
“Kalam Allah yang menyangkut perbuatan orang dewasa dan berakal sehat,baik bersifat imperative,fakultatif atau menempatkan sesuatu sebagai sebab,syarat dan penghalang “
Yang dimaksud khitab Allah yakni semua bentuk dalil. Dan yang dimaksud mukallaf adalah perbuatan manusia yang berakal sehat meliputi perbuatan hati,ucapan dan perbuatan.
Contoh hukum
1. Tuntutan mengerjakan suatu perbuatan : berpuasa pada bulan Ramadhan. QS Al-Baqarah : 183.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (QS Al-Baqarah/2 : 183)
2. Tuntutan meninggalkan suatu perbuatan : Berkata tidak sopan kepada orang tua.
…فَلَا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا ….
…Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka… (QS Al-Isra’/17 : 23)
3. Tuntutan memilih: mengerjakan atau meninggalkan perbuatan : Mengqashar shalat ketika bepergian jauh : QS. An-Nisa : 101.

وَإِذَا ضَرَبْتُمْ فِي الْأَرْضِ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَقْصُرُوا مِنَ الصَّلَاةِ إِنْ خِفْتُمْ أَنْ يَفْتِنَكُمُ الَّذِينَ كَفَرُوا

“Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, Maka tidaklah mengapa kamu men-qashar sembahyang(mu), jika kamu takut diserang orang-orang kafir” (QS An-

B.     Hakim

Hakim Adalah Pembuat Hukum ( Sumber hokum, Yaitu allah Sawt( Baik yang ada dalam Alqur’an maupun yang terdapat pada Sunna . sedangkan aqal manusia tidak boleh dijadikan sebagai sumber hokum yang utama
Dalam definisi ini dapat dipahami bahwa “Pembuat Hukum” dalam pengertian islam adalah Allah SWT. Dia menciptakan manusia di atas bumi ini dan Dia pula yang menetapkan aturan-aturan bagi kehidupan manusia, baik dengan hubungnnya dengan kepentingan hidup dunia maupun untuk kepentingan hidup diakhrat, baik aturan yang menyangkut hubungan manusia dengan Allah, maupun hubungan manusia dengan sesamanya dan alam sekitar.
Dari uraian di atas dapat pula dipahami bahwa Pembuat Hukum satu satunya bagi umat islam adalah Allah. Hal ini manifestasi dari iman kepada Allah ,sebagaimana dditegaskan firman Allah dalam surat Al-An’am (6):57, Yusuf (12), 40 dan 67.
“Sesungguhnya tidak ada hukum kecuali bagi Allah”.[1]

C.     Mahkum Fih

Mahkum fih adalah obyek hukum,yaitu perbuatan seorang mukalllaf yang terkait dengan perintah syari’(Alloh dan Rosul-Nya), baik yang bersifat tuntutan mengerjakan; tuntutan meninggalkan; tuntutan memilih suatu pekerjaan.
Para ulama pun sepakat bahwa seluruh perintah syari’ itu ada objeknya yaitu perbuatan mukallaf. Dan terhadap perbuatan mukallaf tersebut ditetapkannya suatu hukum: Yang dimaksud dengan objek hukum atau mahkum bih ialah sesuatu yang dikehendaki oleh pembuat hukum untuk dilakukan atau ditinggalkan oleh manusia, atau dibiarkan oleh pembuat hukum untuk dilakukan atau tidak. Dalam istilah ulama ushul fiqih, yang dimaksud mahkum bih atau objek hukum yaitu sesuatu yang berlaku padanya hukum syara’. Objek hukum adalah “perbuatan” itu sendiri. Hukum itu berlaku pada perbuatan dan bukan pada zat. Contohnya ”daging babi”.
Para ahli Ushul fiqih menetapkan beberapa syarat untuk suatu perbuatan sebagai objek hukum,yaitu:
1.      Perbuatan itu sah dan jelas adanya;
2.      Perbuatan itu tertentu adanya dan dapat diketahui oleh orang yang akan mengerjakan serta dapat dibedakan dengan perbuatan lainnya.
3.      Perbuatan itu sesuatu yang mungkin dilakukan oleh mukallaf dan berada dalam keampuannya untuk melakukannya
Persyaratan ketiga yaitu bahwa perbuatan itu berada dalam batas kemampuan mukallafmenjadi pokok pembicaraan ahli Ushul Fiqih dalam hal objek hukum. Mereka sepakat dalam hal tidak dituntutnya seorang mukallaf melakukan sesuatu perbuatan kecuali terhadap perbuatan yang ia mampu melaksanakannya. Seorang hamba tidak akan dituntut melakukan sesuatu yang ia tidak mungkin melakukannya. Yang menjadi dasar ketentuan ini adalah firman Allah,
“Allah tidak membebani seseorang kecuali semampunya.”
Dengan penjelasan ayat tersebut dapat dipahami bahwa Tuhan tidak menginginkan manusia dalam kesulitan. Selanjutnya menjadi pembahasan pula “kesulitan”atau masyaqqah dalam hubungannya dengan objek hukum.

D. Mahkum Alaih

Mahkum ‘alaihi (مَحْكُوْمٌ عَلَيْهِ) = yang dikenai hukum ialah: orang-orang mukallaf, artinya orang-orang muslim yang sudah dewasa dan berakal, dengan syarat ia mengerti apa yang dijadikan beban baginya. Orang gila, orang yang sedang tidur nyenyak, dan anak-anak yang belum dewasa dan orang yang terlupa tidak dikenai taklif (tuntutan)
Syarat-syarat orang mukallaf itu ada dua bagian:
1.    Harus sanggup dan dapat memahami khitah atau ketentuan yang dihadapkan kepadanya.
2.    Ahli dan patut ditaklifi. Yang dimaksud dengan ahli adalah pantas atau patut ditaklifi. Yang dimaksud mukallaf itu pantas atau patut dibebani dengan taklif. Ahli yang dimaksud terdiri dari dua bagian antara lain:
a.       Ahli Wajib (Ahliyyatul Wujub)
        اَهْلِيَّةُ الوُجُوْبِadalah kepantasan seseorang mempunyai hak dan kewajiban.
Ø  Yang dimaksud dengan hak adalah sesuatu yang harus diterimanya dari orang lain.
Ø  Kewajiban adalah sesuatu yang harus diberikan kepada orang lain.
Jadi ahliyyatul wujub itu adalah kelayakan seseorang untuk ada padanya dalam  keputusan seseorang untuk menerima haknya dari orang lain dan memenuhi kewajiban kepada orang lain.
b.      Ahli Melaksanakan (Ahliyyatul Ada’)
 اَهْلِيَّةُ اْلاَدَاءِ    adalah kepantasan seorang mukallaf yang ucapan dan perbuatannya diperhitungkan oleh syara’. Sekira apabila keluar dari padanya akad (contract) tasharruf (pengelolaan ), maka menurut syara akad  atau tasharruf itu bisa diperhitungkan adanya, dan terjadi tertib hukum atasnya. Apabila mukallaf mendirikan shalat, atau puasa atau mengerjakan kewajiban apa saja, maka semua itu menurut syara’ bisa diperhitungkan, dan bisa menggugurkan kewajiban mukallaf. Dan apabila mukallaf membuat pidana atas orang lain dalm soal jiwa, harta, kehormatan, maka dia dihukum sesuai dengan pidananya itu dengan bentuk fisik dan harta

E.     Pembagian Hukum

1.      Hukum Taklifi
Hukum taklifi adalah hukum syar’i yang mengandung tuntutan ( untuk dikerjakan atau ditinggalkan oleh para mukallaf  ) atau yang mengandung pilihan antara yang dikerjakan dan ditinggalkan
                                    Hukum TaklifiAdalah firman Allah yang menuntut manusia untuk memilih anatara melakukan atau meninggalkan.
·         Contoh firman Allah yang bersifat menuntut melakukan perbuatan
“ Dan dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zakat, dan ta`atlah kepada rasul, supaya kamu diberi rahmat.”
·         Contoh Firman Allah yang bersifat menuntut meninggalkan perbuatan
“Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui”.
·         Contoh Firman Allah yang bersifat memilih
Dalam ayat Al-Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 187 yang artinya :
“...dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar...”
Hukum taklifi terbagi menjadi lima bagian yaitu:
a)      Wajib
Secara etimologi kata wajib berarti tetap atau pasti.secara terminologi,seperti yang dikemukakan Abd. Al-karim Zaidan, ahli hukum islam berkebangsaan Irak, wajib berarti:Sesuatu yang diperintahkan (diharuskan) oleh Allah dan Rasul-Nya untuk dilaksanakan oleh orang mukalaf, dan apabila dilaksanakanakan mendapat pahala dari Allah, sebaliknya apabila tidak dilaksanakan diancam dengan dosa.
b)      Mandub
mandub secara etimologi berarti “sesuatu yang dianjurkan”. Secara terminologi yaitu suatu perbuatan yang dianjurkan oleh Allah dan Rasul-nya dimana akan diberi pahala jika melaksanakannya. Namun tidak mendapat dosa orang yang meninggalkannya.
c)      Haram
Pengertian haram menurut bahasa berarti yang dilarang. Menurut istilah ahli syara’ haram ialah: “pekerjaan yang pasti mendapat siksaan karena mengerjakanya”. Sedaangkan secara terminologi ushul fiqh kata haram berarti sesuatu yang dilarang oleh Allah dan Rasul-Nya,dimana orang yang melanggarnya dianggap durhaka dan diancam dengan dosa, dan orang yang meninggalkannya karena menaati Allah, diberi pahala. Misalnya larangan berzina dalam firman Allah:ولاتقربواالزنائنه كان فاحشه وساءسبيلا                                                      “Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buru”k.(QS.Al-isra’:32)
e)      Mubah
Secara bahasa berarti”sesuatu yang diperbolehkan atau diijinkan”, menurut para ahli ushul adalah sesuatu yang diberikan kepada mukalaf untuk memilih antara melakukan atau meninggalkannya. Misalnya, ketika didalam rumah tangga terjadi cekcok yang berkepanjangan dan dikhawatirkan tidak dapatlagi hidup bersama maka boleh (mubah)bagi seorang istri membayar sejumlah uang kepada suami agar suaminya itu menceraikannya,sesuai dengan QS.Al-Baqarah:229). Dan juga termasuk mudah bila syar’i memerintahkan suatu perbuatan dan terdapat alasan yang emnunjukkan bahwa perintah itu berarti mubah. Misalnya, dalam QS. Al Maidah : 2

وإذا حللتم فاصطادوا
“Dan apabila kamu telah menyelesaikan ibadah haji maka kamu boleh berburu”
2.      Hukum Wadh’i
Hukum wadh’i sebagaimana telah di sebutkan dalam kitab  Al-wadhih fii Usulil Fiqih, yang di tulis oleh Muhammad Sulaiman Abdullah al-Assqar. Bahwasannya Allah SWT dalam kitabnya, dengan menjadikan sebuah perintah, menjadi tanda atas perintah yang lainnya.
Adapun menurut pendapat yang lainnya, dalam buku Ushul Fikih Bagi Pemula yang ditulis oleh; Abdul Mughits, M.Aghukum wadh’i adalah hukum yang berhubungan dengan dua hal, yakni antara dua sebab (sabab) dan yang disebabi (musabbab), antara syarat dan disyarati (masyrut), antara penghalang (mani’) dan yang menghalangi (mamnu), antara hukum yang sah dan hukum yang tidak sah.
Menurut Dr. Abdul Karim ibnu Ali An-namlah, dalam karyanya yang berjudul Al-Jaamiu Limasili Usulil Fiqh, bahwasannya hokum wadh’i adalah sebagaimana Allah berfirman yang berhubungan dengan menjadikan sesuatu sebab kepada sesuatu yang lainnya, syaratnya,  larangannya, kemudahannya,  hokum asal yang telah ditetapkan oleh Syari’ (Allah).
Hukum ini dinamakan hokum wadh’i karena dalam hokum tersebut terdapat dua hal yang saling berhubungan dan berkaitan. Seperti hubungan sebab akibat, syarat, dan lain-lain.Tapi pendapat lain mengatakan bahwa definisi hokum wadh’i adalah hukum yang menghendaki dan menjadikan sesuatu sebagai sebab (al-sabab), syarat (al-syarthu), pencegah (al-mani’), atau menganggapnya sebagai sesuatu yang sah (shahîh), rusak atau batal (fasid), ‘azimah atau rukhshah. Definisi ini adalah menurut Imam Amidi, Ghazali, danSyathibi.
Hukum wadh’I adalah titah Allah yang menjadikan sesuatu sebagai sebab bagi adanya sesuatu yang lain, atau sebagai syarat bagi sesuatu yang lain atau juga sebagai penghalang bagi adanya sesuatu yang lain tersebut.
Jadi, dapat kita simpulkan bahwa hokum wadh’i adalah hukum yang yangberkaitan dengan dua hal, yaitu sebab dan yang disebabi. Seperti contonya: orang yang junub menyebabkan orang tersebut harus mandi, dan adanya orang yang memiliki harta yang sudah mencapai Nisab menyebabkan orang tersebut harus berzakat.

     1.    Sebab
Sebab menurut bahasa berarti,”sesuatu yang bisa menyampaikan seseorang kepada sesuatu yang lain”. Menurut istilah Ushul Fiqh, seperti dikemukakan oleh Abdul Karim Zaidan, sebab yaitu: “sesuatu yang dijadikan oleh syari’at sebagai tanda bagi adanya hukum, dan tidak adanya sebab sebagai tanda bagi tidak adanya hokum. Misalya, tindakan perzinahan menjadi sebab (alasan) bagi wajib dilaksanakan hukuman atas pelakunya, tindakan perampokan sebagai sebab bagi kewajibannya mengembalikan benda yang dirampok kepada pemiliknya, melihat anak bulan Ramadan menyebabkan wajibnya berpuasa. Ia berdasarkan firman Allah SWT yang artinya, “ Oleh itu, sesiapa dari antara kamu yang menyaksikan anak bulan Ramadan (atau mengetahuinya), maka hendaklah dia berpuasa bulan itu…”(al-Baqarah: 185).
2.        Syarat
Hukum wad'i yang kedua adalah syarat. Syarat secara bahasa yaitu, “sesuatu yang menghendaki adannya sesuatu yang lain” atau “sbagai tanda”. Sedangkan menurut istilah Ushul fiqh sprti dikemukakan oleh Abdul Karim Zaidan syarat adalah: “sesuatu yang tergantung kepadanya ada ssuatu yang lain, dan berada di luar dari hakikat sesuatu itu”. Seperti: wudhu adalah  syarat bagi sahnya sholat apabila ada wudhu maka sholatnya sah, namun adanya wudhu belom pasti adanya sholat, adanya pernikahan merupakan syarat adanya talaq, jika tidak ada pernikahan maka tentu saja talaq tidak akan terjadi.
Para ulama Ushul Fiqh membagi syarat kepada dua macam:
Ø  Syarat syar’i, yaitu syarat yang datang langsung dari syari’at sendiri. Contoh,semua syarat yang ditetapkan olh syar’i dalam perkawinan, jual beli,hibah, dan wasiat.
Ø  Syarat ja’li, yaitu syarat yang datang dari kemauan orang mukalaf itu sendiri. Cotoh Syarat yang ditetapkan suami untuk menjatuhkan talaq kepada istrinya  dan ketetapan majikan untuk memerdekakan budaknya. Artinya jatuhnya talaq atau merdeka itu tergantung pada  adanya syarat, tidak adanya syarat pasti tidak akan  ada talaq atau merdeka. Bentuk kalimat talak adalah sebab timbulnya talaq, tetapi jika telah memenuhi syarat. 
              
3.        Mani’ (penghalang)
Mani’ adalah sesuatu yang adannya meniadakan hukum atau membatalkan sebab. Dalam suatu masalah, kadang sebab syara’ sudah jelas dan memenuhi syarat-syaratnya, tetapi ditemukan adanya mani’ (penghalang) yang menghalangi konsekuensi hukum atas masalah tersebut. Sebuah akad misalnya dianggap sah bilamana telaah memenuhi syarat-syaratnya dan akad yang itu mempunyai akibat hukumselama tidak terdapat padanya suatu penghalang(mani’). Misalnya akad perkawinan yang sah karena telah mncukupi syarat dan rukunnya adalah sebagai sebab waris-mewarisi. Tetapi masalah waris mewarisi itu bisa jadi terhalang jika suami membunuh istrinya atau sebaliknya. Di dalam sebauah hadist dijelaskan bahwa tidak ada waris-mewarisi antara pembunuh dan terbunuh.
Para ahli ushul fiqh membagi mani’ kepada dua macam:
Ø  Mani’ al-hukm, yaitu sesuatu yang ditetapkan srari’at sebagai penghalang bagi adanya hukum. Misalnya, keadaan haidnya wanita itu merupakan mani’ bagi kecakapan wanita untuk melakukan sholat, oleh karena itu sholat tidak wajib dilakukannya pada waktu haid.
Ø  Mani’ as-sabab, yaitu suatu yag ditetapkan syariat sbagai penghalang bagi berfungsinya suatu sebab sehingga dengan demikian sebab itu tidak lagi mempunyai akibat hukum. Contohnya, bahwa sampainya harta minimal satu nisab, menjadi sebab bagi wajib mengeluarkan zakat harta itu karena pemiliknya sudah tergolong orang kaya. Namun jika pemilik harta itu dalam keadaan berhutang dimana hutang itu bila dibayar akan mengurangi hartanya dari satu nisab, maka dalam kajian fiqih keadaan berhutang itu menjadi mani’ bagi wajib zahat pada harta yang dimilikinya itu. Dalam hal ini, keadaan berhutang telah mnghilangkan predikat orang kaya sehingga tidak lagi dikenakan kewajiban zakat harta



BAB III

PENUTUP

A.    Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan yang telah tersaji dalam bentuk tulisan ini, maka dapat dikemukakan kesipulan sebagai berikut:
Mayoritas ulama ushul mendefinisikan hukum sebagai berikut :
“Kalam Allah yang menyangkut perbuatan orang dewasa dan berakal sehat,baik bersifat imperative,fakultatif atau menempatkan sesuatu sebagai sebab,syarat dan penghalang
Hokum terbagi menjadi dua yaitu hokum takhlifi dan wadh’i
Hukum taklifi adalah hukum syar’i yang mengandung tuntutan ( untuk dikerjakan atau ditinggalkan oleh para mukallaf  ) atau yang mengandung pilihan antara yang dikerjakan dan ditinggalkan
hokum wadh’i adalah hukum yang yangberkaitan dengan dua hal, yaitu sebab dan yang disebabi
Hakim Adalah Pembuat Hukum ( Sumber hokum, Yaitu allah Sawt( Baik yang ada dalam Alqur’an maupun yang terdapat pada Sunna . sedangkan aqal manusia tidak boleh dijadikan sebagai sumber hokum yang utama
Mahkum fih adalah obyek hukum,yaitu perbuatan seorang mukalllaf yang terkait dengan perintah syari’(Alloh dan Rosul-Nya), baik yang bersifat tuntutan mengerjakan; tuntutan meninggalkan; tuntutan memilih suatu pekerjaan.
Mahkum ‘alaihi (مَحْكُوْمٌ عَلَيْهِ) = yang dikenai hukum ialah: orang-orang mukallaf, artinya orang-orang muslim yang sudah dewasa dan berakal, dengan syarat ia mengerti apa yang dijadikan beban baginya. Orang gila, orang yang sedang tidur nyenyak, dan anak-anak yang belum dewasa dan orang yang terlupa tidak dikenai taklif (tuntutan)


DAFTAR FUSTAKA


Syafi'i, Karim. 2001Fiqih Ushul Fiqih, Pustaka Setia, Bandung,
Jumantoro, Totok. dkk. 2005,Kamus Ilmu Ushul Fiqih,(Jakarta:  Amzah, T.t,
Khallaf , Abdul Wahhab, 1996Kaidah-kaidah Hukum Islam, Cet ke.6, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta,
Syafe’i. Rachmat.2007Ilmu Ushul Fiqih, Cet.3. Bandung:CV.Pustaka Setia
Azhar, 2015Ushul Fiqih.Medan : Fakultas Tarbiyah IAIN SU.
Ali Muhammad. As-Shabuni 2001Ushul Fiqih Praktis. Jakarta: Pustaka Amani.



[1] Rachmat Syafe’i,.Ilmu Ushul Fiqih, Cet.3.(Bandung:CV.Pustaka Setia.2007) hal.346

No comments:

Post a Comment

PENERAPAN STRATEGI PEMBELAJARAN KOPERATIF DALAM PEMBELAJARAN FIQIH

  BAB I PENDAHULUAN A.      Latar Belakang Salah satu strategi yang dapat diterapkan dalam pembelajaran di kelas adalah pembe...