BAB I
PENDAHULUAN
A. Larat Belakang Masalah
Ilmu Ushul Fiqih
adalah ilmu yang mempelajari tentang kaidah-kaiadah atau bahasan-bahasan
sebagai metodologi untuk memperoleh hukum-hukum syara yang bersifat praktis
dari dalil-dalil yang rinci. Pokok-pokok bahasan dalm Ilmu Ushul Fiqih ini
adalah dalil-dalil syara yang secara garis besar pula. Sedangkan sumber hukum
syara adalah syariyah yang daripadanya diistinbatkan hukum-hukum syariah.
Pengetahuan fiqih itu lahir melalui proses pembahasan yang digariskan dalam
Ilmu Ushul Fiqih, menurut aslinya kata Ushul Fiqih adalah kata yang berasal
dari kata bahasa arab Ushulul Fiqih yang berarti kata asal-usul fiqih. Ushul
Fiqih terasa penting bilamana dihadapkan pada masalah-masalah yang hakumnya
tidak terdapat dalam pembendaraaan fiqh lama.
Adapun semua itu untuk memahami syari’at Islam yang dibawa Rasulullah,
para ulama ushul fiqh mengemukakan dua bentuk pendekatan, yaitu melalui
kaidah-kaidah kebahasan dan melalui pendekatan maqashid al-syari’ah (tujuan
syar’a dalam menetapkan hukum).
B. Rumusan Masalah
1.
Apa
Pengertian Hukum?
2.
Apa
Pengertian Hakim?
3.
Apa
Pengertian Mahkum fih?
4.
Apa
Pengertian Mahkum Alaih
5.
Apasaja
pembagian Hukum?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Hukum
Mayoritas ulama ushul mendefinisikan hukum sebagai berikut :
“Kalam
Allah yang menyangkut perbuatan orang dewasa dan berakal sehat,baik bersifat
imperative,fakultatif atau menempatkan sesuatu sebagai sebab,syarat dan
penghalang “
Yang dimaksud khitab Allah yakni semua bentuk dalil. Dan
yang dimaksud mukallaf adalah perbuatan manusia yang berakal sehat meliputi
perbuatan hati,ucapan dan perbuatan.
Contoh hukum
1. Tuntutan mengerjakan suatu perbuatan : berpuasa pada bulan Ramadhan. QS Al-Baqarah : 183.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (QS Al-Baqarah/2 : 183)
1. Tuntutan mengerjakan suatu perbuatan : berpuasa pada bulan Ramadhan. QS Al-Baqarah : 183.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (QS Al-Baqarah/2 : 183)
2. Tuntutan meninggalkan suatu
perbuatan : Berkata tidak sopan kepada orang tua.
…فَلَا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا ….
…Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka… (QS Al-Isra’/17 : 23)
3. Tuntutan memilih: mengerjakan atau meninggalkan perbuatan : Mengqashar shalat ketika bepergian jauh : QS. An-Nisa : 101.
…فَلَا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا ….
…Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka… (QS Al-Isra’/17 : 23)
3. Tuntutan memilih: mengerjakan atau meninggalkan perbuatan : Mengqashar shalat ketika bepergian jauh : QS. An-Nisa : 101.
وَإِذَا ضَرَبْتُمْ فِي الْأَرْضِ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَقْصُرُوا مِنَ الصَّلَاةِ إِنْ خِفْتُمْ أَنْ يَفْتِنَكُمُ الَّذِينَ كَفَرُوا…
“Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, Maka tidaklah mengapa kamu men-qashar sembahyang(mu), jika kamu takut diserang orang-orang kafir” (QS An-
B. Hakim
Hakim
Adalah Pembuat Hukum ( Sumber hokum, Yaitu allah Sawt( Baik yang ada dalam
Alqur’an maupun yang terdapat pada Sunna . sedangkan aqal manusia tidak boleh
dijadikan sebagai sumber hokum yang utama
Dalam definisi ini dapat dipahami bahwa “Pembuat Hukum”
dalam pengertian islam adalah Allah SWT. Dia menciptakan manusia di atas bumi
ini dan Dia pula yang menetapkan aturan-aturan bagi kehidupan manusia, baik
dengan hubungnnya dengan kepentingan hidup dunia maupun untuk kepentingan hidup
diakhrat, baik aturan yang menyangkut hubungan manusia dengan Allah, maupun
hubungan manusia dengan sesamanya dan alam sekitar.
Dari uraian di atas dapat pula dipahami bahwa Pembuat Hukum
satu satunya bagi umat islam adalah Allah. Hal ini manifestasi dari iman kepada
Allah ,sebagaimana dditegaskan firman Allah dalam surat Al-An’am (6):57, Yusuf
(12), 40 dan 67.
“Sesungguhnya
tidak ada hukum kecuali bagi Allah”.[1]
C. Mahkum Fih
Mahkum fih adalah obyek hukum,yaitu
perbuatan seorang mukalllaf yang terkait dengan perintah syari’(Alloh dan
Rosul-Nya), baik yang bersifat tuntutan mengerjakan; tuntutan meninggalkan;
tuntutan memilih suatu pekerjaan.
Para
ulama pun sepakat bahwa seluruh perintah syari’ itu ada objeknya yaitu
perbuatan mukallaf. Dan terhadap perbuatan mukallaf tersebut ditetapkannya
suatu hukum: Yang dimaksud dengan objek hukum atau mahkum bih ialah sesuatu
yang dikehendaki oleh pembuat hukum untuk dilakukan atau ditinggalkan oleh
manusia, atau dibiarkan oleh pembuat hukum untuk dilakukan atau tidak. Dalam
istilah ulama ushul fiqih, yang dimaksud mahkum bih atau objek hukum yaitu
sesuatu yang berlaku padanya hukum syara’.
Objek hukum adalah “perbuatan” itu sendiri. Hukum itu berlaku pada perbuatan
dan bukan pada zat. Contohnya ”daging babi”.
Para
ahli Ushul fiqih menetapkan beberapa syarat untuk suatu perbuatan sebagai objek
hukum,yaitu:
1.
Perbuatan itu sah dan jelas adanya;
2.
Perbuatan itu tertentu adanya dan dapat diketahui oleh orang yang akan
mengerjakan serta dapat dibedakan dengan perbuatan lainnya.
3.
Perbuatan itu sesuatu yang mungkin dilakukan oleh mukallaf dan berada dalam
keampuannya untuk melakukannya
Persyaratan ketiga yaitu bahwa perbuatan itu berada dalam
batas kemampuan mukallafmenjadi pokok pembicaraan ahli Ushul Fiqih dalam hal
objek hukum. Mereka sepakat dalam hal tidak dituntutnya seorang mukallaf
melakukan sesuatu perbuatan kecuali terhadap perbuatan yang ia mampu
melaksanakannya. Seorang hamba tidak akan dituntut melakukan sesuatu yang ia
tidak mungkin melakukannya. Yang menjadi dasar ketentuan ini adalah firman
Allah,
“Allah
tidak membebani seseorang kecuali semampunya.”
Dengan penjelasan ayat tersebut dapat dipahami bahwa Tuhan
tidak menginginkan manusia dalam kesulitan. Selanjutnya menjadi pembahasan pula
“kesulitan”atau masyaqqah dalam hubungannya dengan objek hukum.
D. Mahkum Alaih
Mahkum ‘alaihi (مَحْكُوْمٌ
عَلَيْهِ) = yang dikenai hukum ialah: orang-orang mukallaf, artinya
orang-orang muslim yang sudah dewasa dan berakal, dengan syarat ia mengerti apa
yang dijadikan beban baginya. Orang gila, orang yang sedang tidur nyenyak, dan
anak-anak yang belum dewasa dan orang yang terlupa tidak dikenai taklif
(tuntutan)
Syarat-syarat
orang mukallaf itu ada dua bagian:
1. Harus sanggup
dan dapat memahami khitah atau ketentuan yang dihadapkan kepadanya.
2. Ahli dan patut
ditaklifi. Yang dimaksud dengan ahli adalah pantas atau patut ditaklifi. Yang
dimaksud mukallaf itu pantas atau patut dibebani dengan taklif. Ahli yang
dimaksud terdiri dari dua bagian antara lain:
a.
Ahli Wajib
(Ahliyyatul Wujub)
اَهْلِيَّةُ الوُجُوْبِadalah
kepantasan seseorang mempunyai hak dan kewajiban.
Ø Yang dimaksud
dengan hak adalah sesuatu yang harus diterimanya dari orang lain.
Ø Kewajiban
adalah sesuatu yang harus diberikan kepada orang lain.
Jadi ahliyyatul
wujub itu adalah kelayakan seseorang untuk ada padanya dalam keputusan seseorang untuk menerima haknya
dari orang lain dan memenuhi kewajiban kepada orang lain.
b.
Ahli
Melaksanakan (Ahliyyatul Ada’)
اَهْلِيَّةُ اْلاَدَاءِ adalah kepantasan seorang mukallaf yang
ucapan dan perbuatannya diperhitungkan oleh syara’. Sekira apabila keluar dari
padanya akad (contract) tasharruf (pengelolaan ), maka menurut syara akad atau tasharruf itu bisa diperhitungkan
adanya, dan terjadi tertib hukum atasnya. Apabila mukallaf mendirikan shalat,
atau puasa atau mengerjakan kewajiban apa saja, maka semua itu menurut syara’
bisa diperhitungkan, dan bisa menggugurkan kewajiban mukallaf. Dan apabila
mukallaf membuat pidana atas orang lain dalm soal jiwa, harta, kehormatan, maka
dia dihukum sesuai dengan pidananya itu dengan bentuk fisik dan harta
E. Pembagian Hukum
1.
Hukum
Taklifi
Hukum taklifi adalah hukum
syar’i yang mengandung tuntutan ( untuk dikerjakan atau ditinggalkan oleh para
mukallaf ) atau yang mengandung pilihan
antara yang dikerjakan dan ditinggalkan
Hukum
TaklifiAdalah firman Allah yang menuntut manusia untuk memilih anatara
melakukan atau meninggalkan.
·
Contoh firman Allah yang bersifat menuntut melakukan
perbuatan
“
Dan dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zakat, dan ta`atlah kepada rasul, supaya
kamu diberi rahmat.”
·
Contoh Firman Allah yang bersifat menuntut
meninggalkan perbuatan
“Dan
janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu
dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada
hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu
dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui”.
·
Contoh Firman Allah yang bersifat memilih
Dalam
ayat Al-Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 187 yang artinya :
“...dan
makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu
fajar...”
Hukum taklifi terbagi menjadi
lima bagian yaitu:
a) Wajib
Secara etimologi kata wajib berarti tetap atau pasti.secara
terminologi,seperti yang dikemukakan Abd. Al-karim Zaidan, ahli hukum islam berkebangsaan
Irak, wajib berarti:Sesuatu yang diperintahkan (diharuskan) oleh Allah dan
Rasul-Nya untuk dilaksanakan oleh orang mukalaf, dan apabila dilaksanakanakan
mendapat pahala dari Allah, sebaliknya apabila tidak dilaksanakan diancam
dengan dosa.
b) Mandub
mandub secara etimologi berarti “sesuatu yang
dianjurkan”. Secara terminologi yaitu suatu perbuatan yang dianjurkan oleh
Allah dan Rasul-nya dimana akan diberi pahala jika melaksanakannya. Namun tidak
mendapat dosa orang yang meninggalkannya.
c) Haram
Pengertian
haram menurut bahasa berarti yang dilarang. Menurut istilah ahli syara’ haram
ialah: “pekerjaan yang pasti mendapat siksaan karena mengerjakanya”. Sedaangkan
secara terminologi ushul fiqh kata haram berarti sesuatu yang dilarang oleh
Allah dan Rasul-Nya,dimana orang yang melanggarnya dianggap durhaka dan diancam
dengan dosa, dan orang yang meninggalkannya karena menaati Allah, diberi
pahala. Misalnya larangan berzina dalam firman Allah:ولاتقربواالزنائنه كان فاحشه وساءسبيلا “Dan
janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan
yang keji dan suatu jalan yang buru”k.(QS.Al-isra’:32)
e)
Mubah
Secara bahasa berarti”sesuatu yang
diperbolehkan atau diijinkan”, menurut para ahli ushul adalah sesuatu yang
diberikan kepada mukalaf untuk memilih antara melakukan atau meninggalkannya.
Misalnya, ketika didalam rumah tangga terjadi cekcok yang berkepanjangan dan
dikhawatirkan tidak dapatlagi hidup bersama maka boleh (mubah)bagi seorang
istri membayar sejumlah uang kepada suami agar suaminya itu
menceraikannya,sesuai dengan QS.Al-Baqarah:229). Dan juga termasuk mudah bila
syar’i memerintahkan suatu perbuatan dan terdapat alasan yang emnunjukkan bahwa
perintah itu berarti mubah. Misalnya, dalam QS. Al Maidah : 2
وإذا حللتم
فاصطادوا…
“Dan apabila kamu telah
menyelesaikan ibadah haji maka kamu boleh berburu”
2.
Hukum Wadh’i
Hukum wadh’i sebagaimana telah di sebutkan dalam
kitab Al-wadhih fii Usulil Fiqih, yang
di tulis oleh Muhammad Sulaiman Abdullah al-Assqar. Bahwasannya Allah SWT dalam
kitabnya, dengan menjadikan sebuah perintah, menjadi tanda atas perintah yang
lainnya.
Adapun menurut pendapat yang lainnya, dalam buku Ushul
Fikih Bagi Pemula yang ditulis oleh; Abdul Mughits, M.Aghukum wadh’i adalah
hukum yang berhubungan dengan dua hal, yakni antara dua sebab (sabab) dan yang
disebabi (musabbab), antara syarat dan disyarati (masyrut), antara penghalang
(mani’) dan yang menghalangi (mamnu), antara hukum yang sah dan hukum yang
tidak sah.
Menurut Dr. Abdul Karim ibnu Ali An-namlah, dalam
karyanya yang berjudul Al-Jaamiu Limasili Usulil Fiqh, bahwasannya hokum wadh’i
adalah sebagaimana Allah berfirman yang berhubungan dengan menjadikan sesuatu
sebab kepada sesuatu yang lainnya, syaratnya,
larangannya, kemudahannya, hokum
asal yang telah ditetapkan oleh Syari’ (Allah).
Hukum ini dinamakan hokum wadh’i karena dalam hokum tersebut
terdapat dua hal yang saling berhubungan dan berkaitan. Seperti hubungan sebab
akibat, syarat, dan lain-lain.Tapi pendapat lain mengatakan bahwa definisi
hokum wadh’i adalah hukum yang menghendaki dan menjadikan sesuatu sebagai sebab
(al-sabab), syarat (al-syarthu), pencegah (al-mani’), atau menganggapnya
sebagai sesuatu yang sah (shahîh), rusak atau batal (fasid), ‘azimah atau
rukhshah. Definisi ini adalah menurut Imam Amidi, Ghazali, danSyathibi.
Hukum wadh’I adalah
titah Allah yang menjadikan sesuatu sebagai sebab bagi adanya sesuatu yang
lain, atau sebagai syarat bagi sesuatu yang lain atau juga sebagai penghalang
bagi adanya sesuatu yang lain tersebut.
Jadi, dapat kita simpulkan bahwa hokum
wadh’i adalah hukum yang yangberkaitan dengan dua hal, yaitu sebab dan yang
disebabi. Seperti
contonya: orang yang junub menyebabkan orang tersebut harus mandi, dan adanya
orang yang memiliki harta yang sudah mencapai Nisab menyebabkan orang tersebut
harus berzakat.
1. Sebab
Sebab menurut bahasa berarti,”sesuatu yang bisa
menyampaikan seseorang kepada sesuatu yang lain”. Menurut istilah Ushul Fiqh,
seperti dikemukakan oleh Abdul Karim Zaidan, sebab yaitu: “sesuatu yang
dijadikan oleh syari’at sebagai tanda bagi adanya hukum, dan tidak adanya sebab
sebagai tanda bagi tidak adanya hokum. Misalya, tindakan perzinahan menjadi
sebab (alasan) bagi wajib dilaksanakan hukuman atas pelakunya, tindakan
perampokan sebagai sebab bagi kewajibannya mengembalikan benda yang dirampok
kepada pemiliknya, melihat anak bulan
Ramadan menyebabkan wajibnya berpuasa. Ia berdasarkan firman Allah SWT yang
artinya, “ Oleh itu, sesiapa dari antara kamu yang menyaksikan anak
bulan Ramadan (atau mengetahuinya), maka hendaklah dia berpuasa bulan itu…”(al-Baqarah:
185).
2.
Syarat
Hukum wad'i yang kedua adalah syarat. Syarat secara bahasa yaitu, “sesuatu
yang menghendaki adannya sesuatu yang lain” atau “sbagai tanda”. Sedangkan
menurut istilah Ushul fiqh sprti dikemukakan oleh Abdul Karim Zaidan syarat
adalah: “sesuatu yang tergantung kepadanya ada ssuatu yang lain, dan berada di
luar dari hakikat sesuatu itu”. Seperti: wudhu adalah syarat bagi sahnya sholat apabila ada wudhu
maka sholatnya sah, namun adanya wudhu belom pasti adanya sholat, adanya
pernikahan merupakan syarat adanya talaq, jika tidak ada pernikahan maka tentu
saja talaq tidak akan terjadi.
Para ulama Ushul Fiqh
membagi syarat kepada dua macam:
Ø Syarat syar’i, yaitu syarat yang datang langsung dari syari’at sendiri.
Contoh,semua syarat yang ditetapkan olh syar’i dalam perkawinan, jual
beli,hibah, dan wasiat.
Ø Syarat ja’li, yaitu syarat yang datang dari kemauan orang mukalaf itu
sendiri. Cotoh Syarat yang ditetapkan suami untuk menjatuhkan talaq kepada
istrinya dan ketetapan majikan untuk
memerdekakan budaknya. Artinya jatuhnya talaq atau merdeka itu tergantung
pada adanya syarat, tidak adanya syarat
pasti tidak akan ada talaq atau merdeka.
Bentuk kalimat talak adalah sebab timbulnya talaq, tetapi jika telah memenuhi
syarat.
3. Mani’ (penghalang)
Mani’ adalah sesuatu yang adannya meniadakan hukum atau membatalkan sebab.
Dalam suatu masalah, kadang sebab syara’ sudah jelas dan memenuhi
syarat-syaratnya, tetapi ditemukan adanya mani’ (penghalang) yang menghalangi
konsekuensi hukum atas masalah tersebut. Sebuah akad misalnya dianggap sah
bilamana telaah memenuhi syarat-syaratnya dan akad yang itu mempunyai akibat
hukumselama tidak terdapat padanya suatu penghalang(mani’). Misalnya akad
perkawinan yang sah karena telah mncukupi syarat dan rukunnya adalah sebagai
sebab waris-mewarisi. Tetapi masalah waris mewarisi itu bisa jadi terhalang
jika suami membunuh istrinya atau sebaliknya. Di dalam sebauah hadist
dijelaskan bahwa tidak ada waris-mewarisi antara pembunuh dan terbunuh.
Para ahli ushul fiqh membagi mani’ kepada dua macam:
Ø Mani’ al-hukm, yaitu sesuatu yang ditetapkan srari’at sebagai penghalang
bagi adanya hukum. Misalnya, keadaan haidnya wanita itu merupakan mani’ bagi
kecakapan wanita untuk melakukan sholat, oleh karena itu sholat tidak wajib
dilakukannya pada waktu haid.
Ø Mani’ as-sabab, yaitu suatu yag ditetapkan syariat sbagai penghalang bagi
berfungsinya suatu sebab sehingga dengan demikian sebab itu tidak lagi
mempunyai akibat hukum. Contohnya, bahwa sampainya harta minimal satu nisab,
menjadi sebab bagi wajib mengeluarkan zakat harta itu karena pemiliknya sudah
tergolong orang kaya. Namun jika pemilik harta itu dalam keadaan berhutang
dimana hutang itu bila dibayar akan mengurangi hartanya dari satu nisab, maka
dalam kajian fiqih keadaan berhutang itu menjadi mani’ bagi wajib zahat pada
harta yang dimilikinya itu. Dalam hal ini, keadaan berhutang telah mnghilangkan
predikat orang kaya sehingga tidak lagi dikenakan kewajiban zakat harta
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan yang telah
tersaji dalam bentuk tulisan ini, maka dapat dikemukakan kesipulan sebagai
berikut:
Mayoritas ulama ushul mendefinisikan hukum sebagai berikut :
“Kalam Allah yang menyangkut perbuatan orang dewasa dan
berakal sehat,baik bersifat imperative,fakultatif atau menempatkan sesuatu
sebagai sebab,syarat dan penghalang
Hokum terbagi menjadi dua yaitu hokum takhlifi dan wadh’i
“Hukum taklifi adalah hukum
syar’i yang mengandung tuntutan ( untuk dikerjakan atau ditinggalkan oleh para
mukallaf ) atau yang mengandung pilihan
antara yang dikerjakan dan ditinggalkan
hokum wadh’i adalah hukum yang
yangberkaitan dengan dua hal, yaitu sebab dan yang disebabi
Hakim Adalah Pembuat Hukum ( Sumber hokum, Yaitu
allah Sawt( Baik yang ada dalam Alqur’an maupun yang terdapat pada Sunna .
sedangkan aqal manusia tidak boleh dijadikan sebagai sumber hokum yang utama
Mahkum fih adalah obyek hukum,yaitu
perbuatan seorang mukalllaf yang terkait dengan perintah syari’(Alloh dan
Rosul-Nya), baik yang bersifat tuntutan mengerjakan; tuntutan meninggalkan;
tuntutan memilih suatu pekerjaan.
Mahkum ‘alaihi (مَحْكُوْمٌ
عَلَيْهِ) = yang dikenai hukum ialah: orang-orang mukallaf, artinya
orang-orang muslim yang sudah dewasa dan berakal, dengan syarat ia mengerti apa
yang dijadikan beban baginya. Orang gila, orang yang sedang tidur nyenyak, dan
anak-anak yang belum dewasa dan orang yang terlupa tidak dikenai taklif
(tuntutan)
DAFTAR FUSTAKA
Syafi'i,
Karim.
2001Fiqih Ushul Fiqih, Pustaka Setia, Bandung,
Jumantoro, Totok. dkk. 2005,Kamus Ilmu Ushul Fiqih,(Jakarta:
Amzah,
T.t,
Khallaf , Abdul Wahhab, 1996Kaidah-kaidah Hukum Islam, Cet
ke.6, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta,
Syafe’i.
Rachmat.2007Ilmu Ushul Fiqih, Cet.3. Bandung:CV.Pustaka
Setia
Azhar, 2015Ushul Fiqih.Medan : Fakultas Tarbiyah
IAIN SU.
Ali Muhammad. As-Shabuni 2001Ushul Fiqih
Praktis. Jakarta: Pustaka Amani.
No comments:
Post a Comment