BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Setiap
individu Muslim diperintahkan untuk mengikuti syariat Islam dan melaksanakan
hukum-hukumnya. Akan tetapi setelah wafatnya Rasululloh SAW tidak mudah
memahami hukum-hukum dalam Al-Quran. Oleh karena itu diperlukan suatu kaidah
metode penyimpulan hukum. Di antaranya adalah kaidah bahasa.Kaidah
bahasa yang dimaksud adalah kaedah bahasa yang mempunyai otoritas tertinggi
dalam pelbagai aspek bahasa Arab klasik yaitu bahasa Al Quran dan Assunnah. Kaidah bahasa dimaksudkan untuk mengetahui maknateks guna meraih maksud teks tersebut. Yang dimaksud teks
disini adalah Al Quran dan Hadits. Berdasarkan tingkat validitas dan sifat
mengikatnya sumber makna dibagi menjadi tiga, pertama, yang sudah jelas
otentisitasnya tak diragukan lagi kebenaran sumbernya maupun makna dan
maksudnya yaitu Al Quran kalamullah, kedua, kahbar yang sudah dipastikan
kebenaran sumbernya namun belum bisa dipastikan makna dan maksud yang
dikandungnya contohnya adalah ayat-ayat Al Quran yang
mutasyabihaat dan khabar mutawatir yang bermakna ganda, dan ketiga adalah
khabar yang bukan hanya sumbernya masih dipersoalkan tapi maksudnya juga masih
diperdebatkan Secara epistemologis makna yang sudah jelas otentisitas dan signifikansi
lafadnya bersifat sah mengikat dan tsabit. Adapun
selain dari yang pertama terbuka pintu ijtihad untuk menafsirkannya.
B. Rumusan Masalah
a. Bagaiman
Lafaz dari Segi Kejelasan Artinya?
b. Bagaiman
Lafaz dari Segi ketidak Kejelasan Artinya?
c. Bagaiman
Lafaz dari Segi Penggunaanya?
d. Bagaiman
Lafaz dari Segi Sighat Takhlifi?
e. Bagaiman
Lafaz dari Segi Kandungan Pengertianya?
f.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Lafaz Dari Kejelasan Artinya
a.
Zhahir
Dzahir
secara bahasa adalah lafadz yang bisa dipahami maknanya secara langsung tanpa
ada kesamaran. Atau dzahir adalah lafadz yang jelas maknanya tanpa memerlukan
qorinah untuk menafsirkannya, atau menjelaskan maksudnya, maknanya jelas dengan
hanya mendengarkan bunyi lafadnya.
Menurut Al-Sarkhisi, zhâhir
adalah “ sesuatu yang dapat diketahui maksudnya dari pendengaran itu sendiri
tanpa harus difikirkan terlebih dahulu” [1]jadi
memahami zahir tidak tergantung pada
petunjuk lain ,tetapi bisa diambil langsungdari rumusan lafaz itu
sendiri.
Misalnya adalah firman Allah SWT :
وَأَحَلَّ اللّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ
الرِّبَا ﴿٢٧٥ (
Artinya :
“ padahal
Allah menghalalkan jual beli dan
mengharamkan riba ”.
(QS.
2/Al-Baqarah : 275).
Firman Allah
tersebut adalah zhahir dalam menghalalkan segala macam jual beli dan mengharamkan
segala macam riba ,karena ini adalah makna yang segera dapat di pahami dari
kedua lafadz(menghalakan dan mengharamkan ) tanpa membutuhkan suatu qarinah.
b.
Nash
Definisi nash menurut al Sarkhasi adalah :
lafadz yang mempunyai derajat kejelasan diatas dzahir dengan qorinah yang
menyertai lafadz dari mutakallim, ditunjukkan dengan sighot sendiri atas makna
yang dimaksud dalam konteks, mengandung kemungkinan takwil, menerima naskh dan
takhsis.
Dari definisi ini menjadi jelaslah bagi kita bahwa
nash mempunyai dalalah yang jelas sebagaimana dzahir. Pemahaman maknanya tidak
bergantung pada petunjuk dari luar sighotnya. Demikian juga makna nash tidak
memerlukan penelitian akan tetapi bisa langsung dipahami dengan sighotnya. Nash
lebih jelas daripada dzahir. Sebab menjadi lebih jelasnya nash dari dzahir
adalah disebabkan qorinah yang terdapat dalam kalam. Seperti firman Allah SWT,
ذَلِك بِأَنَّهُمْ قَالُواْ إِنَّمَا الْبَيْعُ
مِثْلُ الرِّبَا
’’ sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba’’[2]
Qorinah ini
menunjukkan bahwasannya yang dimaksud dengan konteks ayatواحل الله
البيع وحرم الربا adalah
menafikan persamaan antara jual beli dan riba dan menegaskan perbedaan diantara
keduanya sebagai bantahan terhadap orang kafir yang mempersamakan kedua jenis
transaksi tersebut. Ayat ini yaitu واحل الله
البيع وحرم الربا secara dzahir penghalalan jual beli dan pengharaman
riba dan nash terhadap perbedaan diantara keduanya. Qorinah kadang-kadang juga
datang setelah kalam sebagai mana yang ada dalam Al Quran,
Hukum nash
sama dengan hukum dzahir yaitu wajib melaksanakannya sesuai dengan makna yang
langsung dipahami dan konteks kalam dengan mengandung kemungkinan takwil
takhsis dan naskh. Namun apabila kemungkinan-kemungkinan ini tidak bersandar
pada dalil maka hukum nash adalah qot’i atau yakin.
c.
Mufassar
Dengan
ditempatkannya Al Mufassar pada urutan ketiga menunjukkan ia lebih jelas dari
dua lafadz sebelumnya. Ada beberapa definisi tentang mufassar, diantaranya :
Al
Sarkhisi memberi definisi : Nama bagi sesuatu yang terbuka yang dikenal
dengannya secara terbuka dalam bentuk yang tidak ada kemungkinan mengandung
makna lain.
Abdul Wahab Khalaf memberikan definisi : Suatu lafadz
yang dengan sighotnya sendiri memberi petunjuk kepada maknanya yang terinci
begitu terincinya sehingga tidak dapat dipahami adanya makna lain dari lafadz
tersebut.Al Uddah memberikan definisi : suatu lafadz yang dapat diketahui
maknanya dari lafadznya sendiri tanpa memerlukan qorinah yang menafsirkanya.
Dari definisi-definisi yang dipaparkan menjadi
jelaslah bagi kita bahwa hakikat lafadz mufassar itu:
Contohnya firman Allah tentang had
zina
الزَّانِيَةُ
وَالزَّانِي فَاجْلِدُوا كُلَّ وَاحِدٍ مِّنْهُمَا مِئَةَ جَلْدَة
“Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap
seorang dari keduanya seratus kali dera”. (QS. Annur 2)
وَالَّذِينَ يَرْمُونَ الْمُحْصَنَاتِ ثُمَّ لَمْ يَأْتُوا
بِأَرْبَعَةِ شُهَدَاء فَاجْلِدُوهُمْ ثَمَانِينَ جَلْدَةً ﴿٤﴾
004. Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat
zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka
(yang menuduh itu) delapan puluh kali dera,
Masing-masing lafadz yaitu : ((مئة dan ثمانين)) mufassar karena ia adalah
bilangan tertentu. Lafadz tersebut tidak mengandung pengurangan dan penambahan.
Hukum mufassar harus di amalkan
sebagaimana penjelasan terhadapnya ,ia tidak mempunyai kemungkinan untuk di
palingkan dari makna lahirnya
d. Muhkam
Muhkam dalam
ulama ushul fiqh ialah :sesuatu yang menunjukan terhadap maknanya yang tidak
menerima pembatalan dan penggantian dengan sendirinya,dengan suatu dalalah yang
jelas .
Nash muhkam tidak tidak mengandung kemungkinan takwil,artinya memaksudkan
makna lain yang tidak dzahir dari padanya,karena nash tersebut telah di perinci
dan di tafsirksn dengan suatu penafsiran yang tidak memberikan lagi peluang
bagi pentakwilan.
Muhkam
adalah lafadz yang menunjukkan makna yang dimaksud,yang memang didatangkan
untuk makna itu. Lafadz ini jelas pengertiannya, tidak menerima lagi adanya
takwil dan takhsis. Bahkan terkadang disertai dengan ungkapan yang menunjukkan
bahwa lafadz itu tidak menerima adanya nasakh. Seperti
sabda Nabi SAW,” Jihad itu terus menerus sampai hari kiamat.” Dan seperti
firman Allah, “ dan janganlah kamu menerima kesaksian mereka buat
selama-lamanya. QS. a-Nnur :4
Misalnya adalah firman Allah
SWT
Dengan firman Allah SWT dalam surat
an;nisa :3 .
فا نكحوا ما
طا ب لكم من النساءء (النساء : 3)
artinya :
“maka kawinilah wanita-wanita lain yang kamu senangi dua, tiga atau empat”.
B. Lafaz dari Ketidak Jelasan Artinya
a.
Khafi
Lafal khafi ialah:
ما خفي معناه فى بعض مدلولاته لعا رض
غيرالصغة
Suatu lafal yang samar artinya dalam sebagian penunjukkan (dilalah)nya
yang disebabkan oleh faktor luar, bukan dari segi lafaz.[3]
Lafal Khafi itu sebenarnya bisa menunjukkan kepada artinya secara jelas, tetapi
dalam menerapkan arti itu kepada kasus tertentu merupakan bentuk yang samar dan
tidak jelas. Ketidakjelasan ini timbul karena bentuk kasus tersebut tidak
persis sama dengan kasus yang ditunjukkan oleh dalil yang ada, untuk
menghilangkan kesamaran itu diperlukan penalaran dan takwil. Contoh
lafaz khafi ini adalah lafaz السارق (pencuri) pada
ayat 38 surat al- Maidah:
السارق والسارقة فاقطعوا ايديهما
Pencuri
laki-laki dan pencuri perempuan, potonglah tangan keduanya.
Pengertian pencuri secara umum sangat jelas, yaitu orang yang mengambil harta
milik orang lain secara sembunyi dari tempat penyimpanan yang layak. Kemudian
timbul ketidakjelasan ketika menerapkan ayat 38 surat al- Maidah tersebut
kepada tukang copet yang melakukan pencurian tanpa bersembunyi. Demikian pula
pencuri kain kafan di kuburan yang tidak jelas siapa pemiliknya, lantaran mayat
tidak mempunyai hak milik. Karena kesamaran inilah maka terdapat perbedaan
pendapat dikalangan ulama’ dalam menetapkan hukum dari dua kasus
tersebut. Dalam hal ini Abu hanifah tidak memasukkn dua kasus tersebut pada
السارق ,
sedangkan Syafii memasukannya[4]
b. Musykil
ما خفي معناه بسبب فى ذات اللفظ
Suatu
lafaz yang samar artinya, disebabkan oleh lafaz itu sendiri.
Musykil adalah lafal yang tidak jelas pengertiannya karena banyak makna yang
digunakan untuk mengartikan lafal tersebut, sehingga dalam upaya mengetahui
pengertian mana yang dimaksud dalam sebuah redaksi memerlukan indikasi atau
dalil dari luar.
Umpamanya lafaz Quru’ (قروء) dalam surat al-Baqarah (2):228:
والمطلقات يتربصن بأنفسهن ثلاثة قروء
Perempuan-perempuan
yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’….Lafal قروء pada ayat tersebut dalam pemakaian bahasa arab bisa berarti
masa suci bisa pula berarti masa haidh. Adanya arti ganda itu menghasilkan
hukum yang berbeda, karenanya lafaz tersebut termasuk dalam lafz musykil. Untuk
mengetahui maksudnya secara pasti diperlukan adanya qorinah yang akan
menjelaskannya. Kelihatannya dalam hal ini ulama’ mengemukakan dalil atau
qorinah yang berbeda, sehingga menghasilkan hukum yang berbeda.
c. Mujmal
Mujmal
adalah lafadz yang tidak jelas makna yang dikehendakinya pada bentuk lafadz itu
sendiri, dengan kata lain kesamaran itu hanya bisa dipahami dengan penjelasan mutakallim,
sehingga tidak mungkin bisa memahaminya hanya dengan mengandalkan akal tetapi
perlu juga melibatkan dalil naqli (penjelasan Allah atau rasulullah).
Sebagai contoh, lafadz (حق) pada ayat 141 surat al-An’am:.
Artinya: “dan tunaikanlah
haknya di hari memetik hasilnya” (QS. 6:141)
Lafadz حق Pada ayat di atas
pengertiannya tidak jelas, sehingga perlu dalil-dalil lain untuk
menperjelasnya. Penjelasan dari lafadz mujmal ini disebut dengan al-Bayan.
Al-Bayan dalam istilah Usul Fiqh adalah dalil yang mengeluarkan suatu
lafadz dari tidak jelas pengertiannya kepada pengertian yang jelas.
d. Mutasyabih
Lafaz
mutasyabih secara bahasa adalah lafaz yang meragukan pengertiannya karena
mengandung beberapa persamaan . Dalam istilah hukum, Lafaz mutasyabih adalah:
اللفظ الذى يخفى معناه ولاسبيل لأن
تدركه عقول العلماء
Lafaz
yang samar artinya dan tidak ada cara yang dapat digunakan untuk mencapainya[5].
Ketidakjelasan lafaz mutasyabih ini adalah karena shigatnya sendiri tidak
memberikan arti yang dimaksud, tidak ada pula qorinah yang akan menjelasakan
maksudnya; sedangkan syar’i membiarkan saja kesamaran tersebut tanpa ada
penjelasan. Dalam hal ini akal manusia tidak dapat berbuat sesuatu kecuali
menyerahkan dan melimpahkannya kepada Allah sambil mengakui kelemahan dan
kekurangmampuan manusia. Lafaz mutasyabih itu ada dua bentuk[6]:
Mustasyabih hanyalah di temukan pada tempat-tempat lain dari pafa
nash,seperti potongan-potongan huruf
pada permulaan sebagian surat alquran : Alif
Lam Min.Qaf ,Shad, Ha’, Mim dan
seperti ayat-ayat yang dzahirnya bahwaanya Allah menyerupai makhluknya dalam
hal bahwa mempunyai tangan,mata dan tempat. Misalnya firman Allah SWT dalam
surat al fath : 10
يدا الله فوق
ايديهم . ( اافتتح : 10. )
artinya : ’’ Tangan Allah di atas tangan mereka ........’’
Takwilnya adalah :kekuasaan Allah berada di atas kekuasaan mereka .
Sedangkan menurut pendapat ulama’ khalaf (modren) adalah bahwa
ayat-ayat itu lahirnya adalah mustahil, karena allah tidak memiliki tangan,
mata dan bertempat. Dan setiap ayat yang lahirnya mustahil untuk di beri makna,
maka ia harus di takwil dan makna harus di belokkan dari makna lahirnya.
Kemudian dikeluarkan makna yang di kandung oleh lafaz meskipun dengan cara majas.
C. Lafaz Dari Segi Penggunaan Lafaznya
a. Hakikat dan Majaz
Menurut al Sarkashi,
hakikat adalah suatu lafaz yang ditentukan menurut asalnya untuk sesuatu secara
tertentu, maksudnya adalah bahwa suatu
lafaz digunakan oleh perumus bahasa memeang untuk manyatakan sesuatu secara
tertentu. Contohnya kata “ kursi” menurut asalnya kursi adalah tempat duduk,
meskipun walaupun terkadang kata kursi diartikan lain dan disebut dengan
majaz.Makna majas aadalah lafaz yang bukan arti sebenarnya dari makna
tersebut(sebagai perumpamaan).
b.
Sharih Kinayah
Sharih adalah lafaz yang maknanya jelas
sekali, lantaran sudah masyhurb dalam pemakainya baik secara hakiki maupun
majazi.sedangkan Kinayah adalah lafaz yang bersifat tertutup hingga dijelaskan
oleh dalil/qarinah.
c.
Zahir dan Takwil
Zahir
adalah lafaz yang tertuju pada dua arti atau lebih, tetapi berat pada salah
satunya, atau lafaz yang mempunyai arti yang jelas, tetapi memungkinkan untuk
diartikan yang lain( ditakwil), seperti kata “yadun” artinya adalah tangan
tetapi bisa diartikan kekeuasaan.
Takwil
berarti memalingkan lafaz dari makna zahir kepada arti lain, contohnya lafaz
“yadun” yang artinya tangan yang kuat dan jelas tetapi bisa diartikan kekuasaan
ketika mentakwil suatu lafaz harus ada dalil alqur’an atau hadis dan mengikuti
kaidah bahasa arab.
D. Lafaz Dari Sighat Takhlifi
a. Amr
Lafaz Amar secara bahasa الامر
yang berarti perintah atau suruhan. Amar adalah kebalikan dari Nahi yaitu yang
berarti larangan. Sedangkan secara istilah, para ulama banyak yang
mendefinisikan Amar tersebut diantaranya:
امر هو يطلب به الآعلى ممن هوأدنى منه فعلا غير
كفٍ
Amar adalah suatu lafaz yang dipergunakan oleh
orang yang lebih tinggi derajatnya kepada orang yang lebih rendah untuk meminta
bawahannya mengerjakan suatu pekerjaan yang
tidak boleh ditolak[7].
Berdasarkan beberapa definisi amar dapat kita simpulkan adalah lafaz
amar yaitu suatu lafaz yang dipergunakan oleh orang yang lebih tinggi
derajatnya kepada orang yang lebih rendah untuk meminta bawahannya mengerjakan
suatu pekerjaan yang harus dikerjakannya.
b.
Nahi
Lafaz nahi secara bahasa adalah النهي
yang berarti larangan[8]Sedangkan
menurut istilah para ulama mendefinisikan nahi sebagai berikut:
النهي هو طلب الترك من الاعلى الى ادنى
Nahi adalah tuntutan meninggalkan sesuatu yang datangnya
dari orang yang lebih tinggi tingkatannya kepada orang yang lebih rendah
tingkatannya
Jadi, Nahi adalah suatu lafaz yang mengandung makna tuntutan
meninggalkan sesuatu perbuatan. Nahi yaitu larangan, meninggalkan suatu
perbuatan yang dilarang untuk melakukannya.
E. Lafaz Dari Segi Kandungan Penegertianya
a. Amm
Lafadz
‘amm ialah suatu lafadz yang menunjukan satu makna yang mencakup seluruh satuan
yang tidak terbatas dalam jumlah tertentu. Para ulama Usul Fiqih
memberikan definisi ‘amm antara lain sebagai berikut :
1. Menurut ulama
Hanafiyah adalah setiap lafadz yang mencakup banyak, baik secara lafadz maupun
makna
2. Menurut ulama
Syafi’iyyah, diantaranya Al-Ghazali adalah satu lafadz yang dari
satu segi menunjukan dua makna atau lebih.
Para ulama sepakat bahwa lafadz ‘amm
yang disertai qarinah (indikasi) yang menunjukan penolakan adanya takhsis
adalah qath’i dilalah. Begitu juga lafadz ‘amm yang disertai qarinah
yang menunjukan bahwa yang dimaksudkannya itu kusus, mempunyai dilalah yang
khusus pula.
Menurut Hanafiyah dilalah ‘amm itu
qath’i, yang dimaksud qat’i menurut Hanafiyah ialah tidak mencakup suatu
kandungan, yang menimbulkan suatu dalil.”
b.
Khas
Khas adalah suatu lafazh
yang dipasangkan pada satu arti yang sudah diketahui (ma’lum) dan manunggal.
Menurut Prof. Dr. Abdul Wahab Khallaf, ia mendefinisikan
lafal Khash, sebagai berikut : “Lafadz Khash ialah lafadz yang dibuat untuk
menunjukkan satu satuan tertentu; berupa orang, seperti Muhammad atau satu
jenis, seperti laki-laki, atau beberapa satuan yang bermacam-macam dan
terbatas, seperti tigabelas, seratus, kaum, golongan, jama’ah, kelompok,dan
lafal lain yang menujukkan jumlah satuan atau tidak menunjukkan cakupan kepada
seluruh satuannya”.
Dapat disimpulkan bahwa khas ialah perkataan atau susunan yang menunjukkan arti sesuatu yang
tertentu, tidak meliputi arti umum atau menunjukkan satu jenis, seperti perempuan.
Jadi khas itu kebalikan dari ‘am.
Ketentuan
Lafadh khas
·
Secara umum
lafadz Khash hukumnya ialah jika ada dalam nash syara’, yang menunjukkan secara
qaht’i terhadap maknanya maka hukumnya dari lafadz tersebut ialah Qath’i
(pasti), bukan dugaan.
·
Jika dari
lafadz khash terdapat dalil yang menghendaki (pemahaman lain) terhadap arti
lain, maka dialihkan terhadap arti yang dikehendaki oleh dalil itu.
·
Jika dalam
suatu kasus hukumnya khash dan ditemukan ‘am dalam kasus lain, maka lafadz
khash membatasi pemberlakuan ‘am.
·
Bila ditemukan
perbenturan antara dalil khash dengan dalil ‘am, maka dalil yang khash
mentakhshishkan yang ‘am, atau memberi penjelasan terhadap yang ‘am
c. Mutlaq
Para ulama ushul memberikan definisi
muthlaq dengan berbagai definis, namun semuanya bertemu pada satu pengertian
yaitu muthlaq adalah suatu lafadz yang menunjukkan hakikat suatu tanpa
pembatasan yang dapat mempersempit keluasan. Secara istilah, lafadz muthlaq
didefinisikan sebagai lafadz yang menunjukkan arti yang sebenarnya tanpa qayd
(dibatasi) oleh suatu hal yang lain.
Contoh-contoh lafadh mutlaq
·
Contoh lafadz
muthlaq dalam nash ( Al Qur'an) dapat diamati dari lafadz raqabah yang terdapat
dalam firman Allah surat al-Mujadilah ayat 3 :
“ Orang-orang
yang menzhihar isteri mereka, kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang
mereka ucapkan, maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak sebelum kedua
suami isteri itu bercampur. Demikianlah yang diajarkan kepada kamu, dan Allah Maha Mengetahui
apa yang kamu kerjakan”
Ayat ini menjelaskan tentang
kaffarat zihar bagi suami yang menyerupakan isterinya dengan ibunya dengan
memerdekakan budak. Ini dipahami dari ungkapan ayat "maka merdekakanlah
seorang budak" mengingat lafadz raqabah (budak) merupakan lafadz muthlaq,
maka perintah untuk membebaskan budak sebagai kaffarat zihar tersebut meliputi
pembebasan seorang budak yang mencakup segala jenis budak, baik yang mukmin
atau yang kafir. Pemahaman ini didukung pula pemakaian kata raqabah pada ayat
di atas merupakan bentuk nakirah.
Hukum mutlak
Lafadz muthlaq yang terdapat dalam nash
harus diamalkan sesuai dengan kemuthlaqannya kecuali bila ada dalil yang
menunjukkan sebagai muqayyad, karena mengamalkan nash-nash Al Qur'an dan As
Sunnah hukumnya wajib seperti apa yang dituntut oleh nash-nash tersebut sampai
ada dalil yang berbeda dengan dengan hal tersebut. Dalam kondisi seperti ini, muthlaq
adalah qath'i al-dalalah.
d. Muqayyad
Secara bahasa, kata muqayyad berarti terikat. Sementara
secara istilah, Syekh Al Utsaimin mendifinisikan bahwa "muqayyad adalah
lafadz yang menunjukkan arti yang sebenarnya dengan (adanya) qayd (pembatasan)
oleh suatu hal yang lain". Sementara Firdaus mengutip pendapat Abdul Karim
Zaidan bahwa "muqayyad adalah lafadz yang menunjukkan suatu satuan dalam
jenisnya yang dikaitkan dengan sifat tertentu". Misalnya, ungkapan rajulun
Iraki (Seorang laki-laki asal Irak), dan raqabah mu'minah (hamba sahaya yang
beriman).
Menurut Abu Zahrah sebagaimana dikutip oleh Firdaus dalam Ushul
Fiqh bahwa: "pembatasan ini terdiri dari sifat, hal (keadaan), ghayah,
syarat, atau dengan bentuk pembatasan yang lainnya." Penggunaan sifat
sebagai pembatasan dapat diamati dari firman Allah surat al-Nisa', 4:92 : ”
Barangsiapa membunuh seorang mu'min karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan
seorang hamba sahaya yang beriman.”
Kata raqabah dalam ayat ini memakai qayyid dalam bentuk
sifat, yaitu mu'minah (beriman). Jadi, ayat ini memerintahkan kepada orang yag
membunuh seorang mukmin secara tidak sengaja untuk memerdekakan hamba sahaya
yang beriman dan tidak sah memerdekakan hamba sahaya yang tidak beriman.
Contoh-contoh muqayyad
Contoh qayyid dalam bentuk syarat dapat
diamati dalam kasus kaffarat sumpah, seperti pada firman Allah surat al-Maidah,
5:89.
“Allah tidak menghukum kamu disebabkan
sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi Dia menghukum
kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu sengaja, maka kaffarat (melanggar)
sumpah itu, ialah memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang
biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi pakaian kepada mereka atau
memerdekakan seorang budak. Barangsiapa tidak sanggup melakukan yang demikian, maka
kaffaratnya puasa selama tiga hari. Yang demikian itu adalah kaffarat sumpah-sumpahmu
bila kamu bersumpah (dan kamu langgar). Dan jagalah sumpahmu. Demikianlah Allah
menerangkan kepadamu hukum-hukum-Nya agar kamu bersyukur (kepada-Nya)”.
Ayat ini menjadi landasan tentang bolehnya puasa tiga hari
untuk membayar kaffarat sumpah dengan ada qayyid dalam bentuk syarat. Sebab,
hal ini baru boleh dilakukan ketika tidak mampu memberi makan sepuluh orang
miskin, atau memberi pakaian kepada mereka atau memerdekakan seorang budak.
Hukum muqayyad
Dalam pandangan ahli ushul fiqh, mereka menetapkan hukum
wajib mengamalkan muqayyad. Misalnya, firman Allah pada surat al-Mujadilah,
58:4
“Barangsiapa yang tidak mendapatkan (budak), maka (wajib
atasnya) berpuasa dua bulan berturut-turut sebelum keduanya bercampur”.
Berdasarkan ayat diatas kewajiban melakukan puasa selama dua
bulan pada ayat tentang kaffarat zhihar diatas ditaqyidkan dengan cara
berturut-turut dan harus dilakukan sebelum suami isteri bercampur. Sehubungan
dengan itu, tidak boleh puasa dua bulan tersebut dilakukan dengan tidak
berturut-turut dan tidak boleh dilakukan sesudah bercampur.
e. Mantuq
Mantuq
secara bahasa adalah “sesuatu yang
diucapkan”, sedangkan menurut istilah yaitu pengertian harfiah atau makna yang
ditunjukkan oleh lafadz yang diucapkan itu sendiri. Pada dasarnya mantuq itu
dibedakan berupa nash dan zahir.
Kalangan
ulama Syafi’iyah, dilâlah lafal nash
dibagi kepada dua macam, yaitu dilâlat
al-mantûq (دلالـة
الـمـنطوق) dan
dilâlat al-mafhûm دلالـة
الـمـفـهـوم)). Yang dimaksud dengan dilalat al-mantuq ialah :
دلالـة الـمـنطوق
هى دلا لـة اللـفـظ عـلى حـكـم شـئ ذكـر فى الـكلآ م ونـطـق بـه.
“Dilalat
al-mantuq ialah penunjukkan lafal nash atas suatu ketetapan hukum (pengertian)
sesuai dengan apa yang diucapkan dan dituturkan langsung oleh lafal.”
Dari
definisi ini dapat dipahami bahwa dilâlat al-mantûq ialah suatu ketetapan hukum
yang dapat dipahami dari penuturan langsung lafal nash secara tekstual. Sebagai
contoh dapat dilihat pada Q.S An-Nisa’ (4): 23:
اللاتِي فِي حُجُورِكُمْ مِنْ نِسَائِكُمُ اللاتِي
دَخَلْتُمْ
“… Diharamkan
bagi kamu (menikahi) anak-anak tiri yang berada dalam asuhan kamu dari
isteri-isteri yang telah kamu gauli…”
Berdasarkan
ayat ini dapat dipahami
bahwa mantuq-nya ialah menunjukkan secara jelas bahwa haram menikahi
anak-anak tiri yang berada dalam asuhan suami dari isteri-isteri yang sudah
digauli.
f.
Mafhum
Mafhum
secara bahasa adalah sesuatu yang dipahami dari suatu teks, sedangkan menurut
istilah adalah “pengertian tersirat dari suatu lafal (mahfum muwafaqah) atau
pengertian kebalikan dari pengertian lafal yang diucapkan (mafhum mukhalafah).
Tegasnya,
dilālat al-mafhūm itu adalah penunjukkan lafal nash atas suatu ketentuan hukum
yang didasarkan atas pemahaman dibalik yang tersurat.
Contohnya
Q.S al-Isra’ ayat 23:
فَلا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلا تَنْهَرْهُمَا
“Jangan kamu
mengucapkan kepada kedua ibu bapakmu ucapan “uf” dan janganlah kamu membentak
keduanya”.
Hukum yang
tersurat dalam ayat tersebut adalah larangan mengucapkan kata kasar “uf” dan
menghardik orang tua. Dari ayat itu juga dapat dipahami adanya ketentuan hukum
yang tidak disebutkan (tersirat) dalam ayat tersebut, yaitu haramnya memukul
orang tua dan perbuatan lain yang menyakiti orang tua.
Mafhum dapat
dibagi kepada dua macam, yaitu mafhum muwafaqah dan mafhum mukhalafah.
1. Mafhum
Muwafaqah
Adalah suatu
petunjuk kalimat yang menunjukkan bahwa hukum yang tertulis pada kalimat itu
berlaku pada masalah yang tidak tertulis, dan hukum yang tertulis ini sesuai
dengan masalah yang tidak tertulis karena ada persamaan dalam maknanya. Disebut
mafhum muwafaqah karena hukum yang tidak tertulis sesuai dengan hukum yang
tertulis.
2. Mafhum
mukhalafah
Adalah
pengertian yang dipahami berbeda dengan ucapan, baik dalam istinbat
(menetapkan) maupun nafi (meniadakan). Oleh karena itu, hal yang dipahami
selalu kebalikannya daripada bunyi lafal yang diucapkan. Seperti dalam firman
Allah swt pada QS. al-Jum’ah ayat 9:
إِذَا نُودِيَ لِلصَّلاةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ
فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ
“Apabila
kamu dipanggil untuk mengerjakan sholat pada hari jum’at, maka bersegeralah
kamu mengerjakan dan tinggalkan jual beli.”
Dapat
dipahami dari ayat ini, bahwa boleh jual beli di hari jum’at sebelum adzan si
mu’adzin dan sesudah mengerjakan sholat.
Mafhum
mukhalafah sendiri terbagi menjadi :
a.
Mafhum al-Washfi (pemahaman dengan sifat) adalah petunjuk yang dibatasi
oleh sifat, menghubungkan hukum sesuatu kepada syah satu sifatnya.
Dalam mafhum
sifat terdapat tiga bagian, yaitu mushtaq, hal (keterangan keadaan) dan ‘adad
(bilangan). Misalnya pada sabda Rasulullah saw.:
فِي السَّائِمَةِ زَكاَةِ
“para
binatang yang digembalakan itu ada kewajiban zakat”
Mafhum
mukhalafahnya adalah binatang yang diberi makan, bukan yang digembalakan.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari
Penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa
Prin sip Prinsip kebahasaan dalam alqur’an dalam memahami nash dan
alqur’an dan as – sunnah terbagi dari bebarapa jal diantaranya
Setiap individu
Muslim diperintahkan untuk mengikuti syariat Islam dan melaksanakan
hukum-hukumnya. Di antaranya adalah kaidah bahasa.Kaidah bahasa yang dimaksud
adalah kaedah bahasa yang mempunyai otoritas tertinggi dalam pelbagai aspek
bahasa Arab klasik yaitu bahasa Al Quran dan Assunnah. Kaidah bahasa dimaksudkan
untuk mengetahui maknateks guna meraih maksud teks tersebut.
Ø Lafaz
dari segi kejelasan artinya terbagi 4 yaitu:Zahir,Nash, Muffasar,Muhkam.
Ø Lafaz
dari ketidak jelasan artinya adalah; Khafi,Musykil,Mujmal,Mutaysabih
Ø Lafaz
dari segi penggunaaya adalah :Hakikat dan majaz,Sarih dan kinayah,Zahir dan
takwil.
Ø Lafaz
dari segi sighat takhlifi adalah:Amr,dan Nahi
Ø Lafaz
Dari segi kandungan Pengertianya adalah:Amm,Khas,Mutlaq ,Muqayad, Mantuq dan
Mafhum
DAFTAR FUSTAKA
Azhar,Ushul Fiqih 2015 ( Medan : Fakultas Tarbiyah IAIN SU,
Amir
Syarifudin2009, Ushul Fiqih (Jakarta:
kencana,
Kasuwi
Saiban2005, Metode Ijtihad Ibnu Rusdy(Malang
: kutub minar,
Wahbah Zuhaili2000, Ushul Fiqih
Islami ( Darul fikr,
Ridwan,dkk, 2008 Fiqih Modul
Hikmah (Sragen:Akik Pusaka,
Abdul Wahab Khalaf, 1997 Ilmu Ushul Fiqh (Bandung:Gema
Insani Risalah Press,
No comments:
Post a Comment