Sunday 26 February 2017

“Prinsip- Prinsip Kebahasaan Dalam Memahami Nash Alqur’an Dan As- Sunnah




“Prinsip- Prinsip Kebahasaan Dalam Memahami Nash Alqur’an Dan As- Sunnah

.. 17


BAB I

PENDAHULUAN

A.     Latar Belakang

            Setiap individu Muslim diperintahkan untuk mengikuti syariat Islam dan melaksanakan hukum-hukumnya. Akan tetapi setelah wafatnya Rasululloh SAW tidak mudah memahami hukum-hukum dalam Al-Quran. Oleh karena itu diperlukan suatu kaidah metode penyimpulan hukum. Di antaranya adalah kaidah bahasa.Kaidah bahasa yang dimaksud adalah kaedah bahasa yang mempunyai otoritas tertinggi dalam pelbagai aspek bahasa Arab klasik yaitu bahasa Al Quran dan Assunnah. Kaidah bahasa dimaksudkan untuk mengetahui maknateks guna meraih maksud teks tersebut. Yang dimaksud teks disini adalah Al Quran dan Hadits. Berdasarkan tingkat validitas dan sifat mengikatnya sumber makna dibagi menjadi tiga, pertama, yang sudah jelas otentisitasnya tak diragukan lagi kebenaran sumbernya maupun makna dan maksudnya yaitu Al Quran kalamullah, kedua, kahbar yang sudah dipastikan kebenaran sumbernya namun belum bisa dipastikan makna dan maksud yang dikandungnya  contohnya adalah ayat-ayat Al Quran yang mutasyabihaat dan khabar mutawatir yang bermakna ganda, dan ketiga adalah khabar yang bukan hanya sumbernya masih dipersoalkan tapi maksudnya juga masih diperdebatkan Secara epistemologis makna yang sudah jelas otentisitas dan signifikansi lafadnya bersifat sah  mengikat dan tsabit. Adapun selain dari yang pertama terbuka pintu ijtihad untuk menafsirkannya.

B.    Rumusan Masalah

a.      Bagaiman Lafaz dari Segi Kejelasan Artinya?
b.      Bagaiman Lafaz dari Segi ketidak Kejelasan Artinya?
c.       Bagaiman Lafaz dari Segi Penggunaanya?
d.      Bagaiman Lafaz dari Segi Sighat Takhlifi?
e.      Bagaiman Lafaz dari Segi Kandungan Pengertianya?

f.         

BAB II

PEMBAHASAN

A. Lafaz Dari Kejelasan Artinya

a.    Zhahir
                  Dzahir secara bahasa adalah lafadz yang bisa dipahami maknanya secara langsung tanpa ada kesamaran. Atau dzahir adalah lafadz yang jelas maknanya tanpa memerlukan qorinah untuk menafsirkannya, atau menjelaskan maksudnya, maknanya jelas dengan hanya mendengarkan bunyi lafadnya.
Menurut Al-Sarkhisi, zhâhir adalah “ sesuatu yang dapat diketahui maksudnya dari pendengaran itu sendiri tanpa harus difikirkan terlebih dahulu” [1]jadi memahami zahir tidak tergantung pada  petunjuk lain ,tetapi bisa diambil langsungdari rumusan lafaz itu sendiri.
Misalnya adalah firman Allah SWT  :
وَأَحَلَّ اللّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا ﴿٢٧٥ (
Artinya :
  padahal  Allah menghalalkan  jual beli dan mengharamkan riba ”.
(QS. 2/Al-Baqarah : 275).
Firman Allah tersebut adalah zhahir dalam menghalalkan segala macam jual beli dan mengharamkan segala macam riba ,karena ini adalah makna yang segera dapat di pahami dari kedua lafadz(menghalakan dan mengharamkan ) tanpa membutuhkan suatu qarinah.
b.    Nash
Definisi nash menurut al Sarkhasi adalah :  lafadz yang mempunyai derajat kejelasan diatas dzahir dengan qorinah yang menyertai lafadz dari mutakallim, ditunjukkan dengan sighot sendiri atas makna yang dimaksud dalam konteks, mengandung kemungkinan takwil, menerima naskh dan takhsis.
Dari definisi ini menjadi jelaslah bagi kita bahwa nash mempunyai dalalah yang jelas sebagaimana dzahir. Pemahaman maknanya tidak bergantung pada petunjuk dari luar sighotnya. Demikian juga makna nash tidak memerlukan penelitian akan tetapi bisa langsung dipahami dengan sighotnya. Nash lebih jelas daripada dzahir. Sebab menjadi lebih jelasnya nash dari dzahir adalah disebabkan qorinah yang terdapat dalam kalam. Seperti firman Allah SWT,

 ذَلِك بِأَنَّهُمْ قَالُواْ إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا
’’ sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba’’[2]
Qorinah ini menunjukkan bahwasannya yang dimaksud dengan konteks ayatواحل الله البيع وحرم الربا  adalah menafikan persamaan antara jual beli dan riba dan menegaskan perbedaan diantara keduanya sebagai bantahan terhadap orang kafir yang mempersamakan kedua jenis transaksi tersebut. Ayat ini yaitu  واحل الله البيع وحرم الربا secara dzahir penghalalan jual beli dan pengharaman riba dan nash terhadap perbedaan diantara keduanya. Qorinah kadang-kadang juga datang setelah kalam sebagai mana yang ada dalam Al Quran,
Hukum nash sama dengan hukum dzahir yaitu wajib melaksanakannya sesuai dengan makna yang langsung dipahami dan konteks kalam dengan mengandung kemungkinan takwil  takhsis dan naskh. Namun apabila kemungkinan-kemungkinan ini tidak bersandar pada dalil maka hukum nash adalah qot’i atau yakin.
c.    Mufassar
Dengan ditempatkannya Al Mufassar pada urutan ketiga menunjukkan ia lebih jelas dari dua lafadz sebelumnya. Ada beberapa definisi tentang mufassar, diantaranya :
 Al Sarkhisi memberi definisi :  Nama bagi sesuatu yang terbuka yang dikenal dengannya secara terbuka dalam bentuk yang tidak ada kemungkinan mengandung makna lain.
Abdul Wahab Khalaf memberikan definisi : Suatu lafadz yang dengan sighotnya sendiri memberi petunjuk kepada maknanya yang terinci begitu terincinya sehingga tidak dapat dipahami adanya makna lain dari lafadz tersebut.Al Uddah memberikan definisi : suatu lafadz yang dapat diketahui maknanya dari lafadznya sendiri tanpa memerlukan qorinah yang menafsirkanya.
Dari definisi-definisi yang dipaparkan menjadi jelaslah bagi kita bahwa hakikat lafadz mufassar itu:
Contohnya firman Allah tentang had zina                                                  
الزَّانِيَةُ وَالزَّانِي فَاجْلِدُوا كُلَّ وَاحِدٍ مِّنْهُمَا مِئَةَ جَلْدَة                                           
“Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera”. (QS. Annur 2)
 وَالَّذِينَ يَرْمُونَ الْمُحْصَنَاتِ ثُمَّ لَمْ يَأْتُوا بِأَرْبَعَةِ شُهَدَاء فَاجْلِدُوهُمْ ثَمَانِينَ جَلْدَةً ﴿٤﴾
004. Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera,
Masing-masing lafadz yaitu : ((مئة dan ثمانين)) mufassar karena ia adalah bilangan tertentu. Lafadz tersebut tidak mengandung pengurangan dan penambahan.
Hukum mufassar harus di amalkan sebagaimana penjelasan terhadapnya ,ia tidak mempunyai kemungkinan untuk di palingkan dari makna lahirnya
d.   Muhkam
Muhkam dalam ulama ushul fiqh ialah :sesuatu yang menunjukan terhadap maknanya yang tidak menerima pembatalan dan penggantian dengan sendirinya,dengan suatu dalalah yang jelas .
Nash muhkam tidak tidak mengandung kemungkinan takwil,artinya memaksudkan makna lain yang tidak dzahir dari padanya,karena nash tersebut telah di perinci dan di tafsirksn dengan suatu penafsiran yang tidak memberikan lagi peluang bagi pentakwilan.
Muhkam adalah lafadz yang menunjukkan makna yang dimaksud,yang memang didatangkan untuk makna itu. Lafadz ini jelas pengertiannya, tidak menerima lagi adanya takwil dan takhsis. Bahkan terkadang disertai dengan ungkapan yang menunjukkan bahwa lafadz itu tidak menerima adanya nasakh. Seperti sabda Nabi SAW,” Jihad itu terus menerus sampai hari kiamat.” Dan seperti firman Allah, “ dan janganlah kamu menerima kesaksian mereka buat selama-lamanya. QS. a-Nnur :4
 Misalnya adalah firman Allah SWT 
 Dengan firman Allah SWT dalam surat an;nisa :3 .
فا نكحوا ما طا ب لكم من النساءء (النساء : 3)

 artinya : “maka kawinilah wanita-wanita lain yang kamu senangi dua, tiga atau empat”.

B. Lafaz dari Ketidak Jelasan Artinya

a.     Khafi
            Lafal khafi ialah:
ما خفي معناه فى بعض مدلولاته لعا رض غيرالصغة
            Suatu lafal yang samar  artinya dalam sebagian penunjukkan (dilalah)nya yang disebabkan oleh faktor luar, bukan dari segi lafaz.[3]
                Lafal Khafi itu sebenarnya bisa menunjukkan kepada artinya secara jelas, tetapi dalam menerapkan arti itu kepada kasus tertentu merupakan bentuk yang samar dan tidak jelas. Ketidakjelasan ini timbul karena bentuk kasus tersebut tidak persis sama dengan kasus yang ditunjukkan oleh dalil yang ada, untuk menghilangkan kesamaran itu diperlukan penalaran dan takwil. Contoh lafaz khafi ini adalah lafaz السارق (pencuri) pada ayat 38 surat al- Maidah:
السارق والسارقة فاقطعوا ايديهما
Pencuri laki-laki dan pencuri perempuan, potonglah tangan keduanya.
            Pengertian pencuri secara umum sangat jelas, yaitu orang yang mengambil harta milik orang lain secara sembunyi dari tempat penyimpanan yang layak. Kemudian timbul ketidakjelasan ketika menerapkan ayat 38 surat al- Maidah  tersebut kepada tukang copet yang melakukan pencurian tanpa bersembunyi. Demikian pula pencuri kain kafan di kuburan yang tidak jelas siapa pemiliknya, lantaran mayat tidak mempunyai hak milik. Karena kesamaran inilah maka terdapat perbedaan pendapat dikalangan ulama’ dalam menetapkan  hukum dari dua kasus tersebut. Dalam hal ini Abu hanifah tidak memasukkn dua kasus tersebut pada   السارق , sedangkan Syafii memasukannya[4]
b.      Musykil
ما خفي معناه بسبب فى ذات اللفظ
Suatu lafaz yang samar artinya, disebabkan oleh lafaz  itu sendiri.
            Musykil adalah lafal yang tidak jelas pengertiannya karena banyak makna yang digunakan untuk mengartikan lafal tersebut, sehingga dalam upaya mengetahui pengertian mana yang dimaksud dalam sebuah redaksi memerlukan indikasi atau dalil dari luar.
Umpamanya lafaz Quru’ (قروء) dalam surat al-Baqarah (2):228:
والمطلقات يتربصن بأنفسهن ثلاثة قروء
Perempuan-perempuan yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’….Lafal قروء pada ayat tersebut dalam pemakaian bahasa arab bisa berarti masa suci bisa pula berarti masa haidh. Adanya arti ganda itu menghasilkan hukum yang berbeda, karenanya lafaz tersebut termasuk dalam lafz musykil. Untuk mengetahui maksudnya secara pasti diperlukan adanya qorinah yang akan menjelaskannya. Kelihatannya dalam hal ini ulama’ mengemukakan dalil atau qorinah yang berbeda, sehingga menghasilkan hukum yang berbeda.
c.    Mujmal
            Mujmal adalah lafadz yang tidak jelas makna yang dikehendakinya pada bentuk lafadz itu sendiri, dengan kata lain kesamaran itu hanya bisa dipahami dengan penjelasan mutakallim, sehingga tidak mungkin bisa memahaminya hanya dengan mengandalkan akal tetapi perlu juga melibatkan dalil naqli (penjelasan Allah atau rasulullah). Sebagai contoh, lafadz (حق) pada ayat 141 surat al-An’am:.
Artinya: “dan tunaikanlah haknya di hari memetik hasilnya” (QS. 6:141)
Lafadz حق Pada ayat di atas pengertiannya tidak jelas, sehingga perlu dalil-dalil lain untuk menperjelasnya. Penjelasan dari lafadz mujmal ini disebut dengan al-Bayan. Al-Bayan dalam istilah Usul Fiqh adalah dalil yang mengeluarkan suatu lafadz dari tidak jelas pengertiannya kepada pengertian yang jelas.
d.    Mutasyabih
            Lafaz mutasyabih secara bahasa adalah lafaz yang meragukan pengertiannya karena mengandung beberapa persamaan . Dalam istilah hukum, Lafaz mutasyabih adalah:
اللفظ الذى يخفى معناه ولاسبيل لأن تدركه عقول العلماء
Lafaz yang samar artinya dan tidak ada cara yang dapat digunakan untuk mencapainya[5].
            Ketidakjelasan lafaz mutasyabih ini adalah karena shigatnya sendiri tidak memberikan arti yang dimaksud, tidak ada pula qorinah yang akan menjelasakan maksudnya; sedangkan syar’i membiarkan saja kesamaran tersebut tanpa ada penjelasan. Dalam hal ini akal manusia tidak dapat berbuat sesuatu kecuali menyerahkan dan melimpahkannya kepada Allah sambil mengakui kelemahan dan kekurangmampuan manusia. Lafaz mutasyabih itu ada dua bentuk[6]:
Mustasyabih hanyalah di temukan pada tempat-tempat lain dari pafa nash,seperti  potongan-potongan huruf pada permulaan sebagian surat alquran : Alif  Lam Min.Qaf ,Shad,  Ha’, Mim dan seperti ayat-ayat yang dzahirnya bahwaanya Allah menyerupai makhluknya dalam hal bahwa mempunyai tangan,mata dan tempat. Misalnya firman Allah SWT dalam surat al fath : 10
يدا الله فوق ايديهم . ( اافتتح : 10. )
 artinya : ’’ Tangan Allah di atas tangan mereka ........’’
Takwilnya adalah :kekuasaan Allah berada di atas kekuasaan mereka .
Sedangkan menurut pendapat ulama’ khalaf (modren) adalah bahwa ayat-ayat itu lahirnya adalah mustahil, karena allah tidak memiliki tangan, mata dan bertempat. Dan setiap ayat yang lahirnya mustahil untuk di beri makna, maka ia harus di takwil dan makna harus di belokkan dari makna lahirnya. Kemudian dikeluarkan makna yang di kandung oleh lafaz meskipun dengan cara majas.

C. Lafaz Dari Segi Penggunaan Lafaznya

a.      Hakikat dan Majaz
            Menurut al Sarkashi, hakikat adalah suatu lafaz yang ditentukan menurut asalnya untuk sesuatu secara tertentu, maksudnya adalah  bahwa suatu lafaz digunakan oleh perumus bahasa memeang untuk manyatakan sesuatu secara tertentu. Contohnya kata “ kursi” menurut asalnya kursi adalah tempat duduk, meskipun walaupun terkadang kata kursi diartikan lain dan disebut dengan majaz.Makna majas aadalah lafaz yang bukan arti sebenarnya dari makna tersebut(sebagai perumpamaan).
b.      Sharih Kinayah
      Sharih adalah lafaz yang maknanya jelas sekali, lantaran sudah masyhurb dalam pemakainya baik secara hakiki maupun majazi.sedangkan Kinayah adalah lafaz yang bersifat tertutup hingga dijelaskan oleh dalil/qarinah.

c.       Zahir dan Takwil
            Zahir adalah lafaz yang tertuju pada dua arti atau lebih, tetapi berat pada salah satunya, atau lafaz yang mempunyai arti yang jelas, tetapi memungkinkan untuk diartikan yang lain( ditakwil), seperti kata “yadun” artinya adalah tangan tetapi bisa diartikan kekeuasaan.
            Takwil berarti memalingkan lafaz dari makna zahir kepada arti lain, contohnya lafaz “yadun” yang artinya tangan yang kuat dan jelas tetapi bisa diartikan kekuasaan ketika mentakwil suatu lafaz harus ada dalil alqur’an atau hadis dan mengikuti kaidah bahasa arab.

D. Lafaz Dari Sighat Takhlifi

a. Amr
            Lafaz Amar secara bahasa الامر yang berarti perintah atau suruhan. Amar adalah kebalikan dari Nahi yaitu yang berarti larangan. Sedangkan secara istilah, para ulama banyak yang mendefinisikan Amar tersebut diantaranya:
امر هو يطلب به الآعلى ممن هوأدنى منه فعلا غير كفٍ
Amar adalah suatu lafaz yang dipergunakan oleh orang yang lebih tinggi derajatnya kepada orang yang lebih rendah untuk meminta bawahannya mengerjakan suatu pekerjaan yang  tidak boleh ditolak[7].
         Berdasarkan beberapa definisi amar dapat kita simpulkan adalah lafaz amar yaitu suatu lafaz yang dipergunakan oleh orang yang lebih tinggi derajatnya kepada orang yang lebih rendah untuk meminta bawahannya mengerjakan suatu pekerjaan yang harus dikerjakannya.
b. Nahi
       Lafaz nahi secara bahasa adalah النهي yang berarti larangan[8]Sedangkan menurut istilah para ulama mendefinisikan nahi sebagai berikut:
    النهي هو طلب الترك من الاعلى الى ادنى
Nahi adalah tuntutan meninggalkan sesuatu yang datangnya dari orang yang lebih tinggi tingkatannya kepada orang yang lebih rendah tingkatannya
   
            Jadi, Nahi adalah suatu lafaz yang mengandung makna tuntutan meninggalkan sesuatu perbuatan. Nahi yaitu larangan, meninggalkan suatu perbuatan yang dilarang untuk melakukannya.

E. Lafaz Dari Segi Kandungan Penegertianya

a. Amm
Lafadz ‘amm ialah suatu lafadz yang menunjukan satu makna yang mencakup seluruh satuan yang tidak terbatas dalam jumlah tertentu. Para  ulama Usul Fiqih memberikan definisi ‘amm antara lain sebagai berikut :
1.      Menurut ulama Hanafiyah adalah setiap lafadz yang mencakup banyak, baik secara lafadz maupun makna
2.      Menurut ulama Syafi’iyyah, diantaranya Al-Ghazali adalah satu lafadz yang  dari satu segi menunjukan dua makna atau lebih.
Para ulama sepakat bahwa lafadz ‘amm yang disertai qarinah (indikasi) yang menunjukan penolakan adanya takhsis adalah qath’i dilalah. Begitu juga lafadz ‘amm yang  disertai qarinah yang menunjukan bahwa yang dimaksudkannya itu kusus, mempunyai dilalah yang khusus pula.
Menurut Hanafiyah dilalah ‘amm itu qath’i, yang dimaksud qat’i menurut Hanafiyah ialah tidak mencakup suatu kandungan, yang menimbulkan suatu dalil.”

b.            Khas
Khas adalah suatu lafazh yang dipasangkan pada satu arti yang sudah diketahui (ma’lum) dan manunggal.
Menurut Prof. Dr. Abdul Wahab Khallaf, ia mendefinisikan lafal Khash, sebagai berikut : “Lafadz Khash ialah lafadz yang dibuat untuk menunjukkan satu satuan tertentu; berupa orang, seperti Muhammad atau satu jenis, seperti laki-laki, atau beberapa satuan yang bermacam-macam dan terbatas, seperti tigabelas, seratus, kaum, golongan, jama’ah, kelompok,dan lafal lain yang menujukkan jumlah satuan atau tidak menunjukkan cakupan kepada seluruh satuannya”.  
Dapat disimpulkan bahwa khas ialah perkataan atau susunan yang menunjukkan arti sesuatu yang tertentu, tidak meliputi arti umum atau menunjukkan satu jenis, seperti perempuan. Jadi khas itu kebalikan dari ‘am.
Ketentuan Lafadh khas
·           Secara umum lafadz Khash hukumnya ialah jika ada dalam nash syara’, yang menunjukkan secara qaht’i terhadap maknanya maka hukumnya dari lafadz tersebut ialah Qath’i (pasti), bukan dugaan.
·           Jika dari lafadz khash terdapat dalil yang menghendaki (pemahaman lain) terhadap arti lain, maka dialihkan terhadap arti yang dikehendaki oleh dalil itu.
·           Jika dalam suatu kasus hukumnya khash dan ditemukan ‘am dalam kasus lain, maka lafadz khash membatasi pemberlakuan ‘am.
·           Bila ditemukan perbenturan antara dalil khash dengan dalil ‘am, maka dalil yang khash mentakhshishkan yang ‘am, atau memberi penjelasan terhadap yang ‘am
    c. Mutlaq

Para ulama ushul memberikan definisi muthlaq dengan berbagai definis, namun semuanya bertemu pada satu pengertian yaitu muthlaq adalah suatu lafadz yang menunjukkan hakikat suatu tanpa pembatasan yang dapat mempersempit keluasan. Secara istilah, lafadz muthlaq didefinisikan sebagai lafadz yang menunjukkan arti yang sebenarnya tanpa qayd (dibatasi) oleh suatu hal yang lain.
Contoh-contoh lafadh mutlaq
·           Contoh lafadz muthlaq dalam nash ( Al Qur'an) dapat diamati dari lafadz raqabah yang terdapat dalam firman Allah surat al-Mujadilah ayat 3 :
“ Orang-orang yang menzhihar isteri mereka, kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan, maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami isteri itu bercampur. Demikianlah yang diajarkan kepada kamu, dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”
Ayat ini menjelaskan tentang kaffarat zihar bagi suami yang menyerupakan isterinya dengan ibunya dengan memerdekakan budak. Ini dipahami dari ungkapan ayat "maka merdekakanlah seorang budak" mengingat lafadz raqabah (budak) merupakan lafadz muthlaq, maka perintah untuk membebaskan budak sebagai kaffarat zihar tersebut meliputi pembebasan seorang budak yang mencakup segala jenis budak, baik yang mukmin atau yang kafir. Pemahaman ini didukung pula pemakaian kata raqabah pada ayat di atas merupakan bentuk nakirah.
Hukum mutlak
Lafadz muthlaq yang terdapat dalam nash harus diamalkan sesuai dengan kemuthlaqannya kecuali bila ada dalil yang menunjukkan sebagai muqayyad, karena mengamalkan nash-nash Al Qur'an dan As Sunnah hukumnya wajib seperti apa yang dituntut oleh nash-nash tersebut sampai ada dalil yang berbeda dengan dengan hal tersebut. Dalam kondisi seperti ini, muthlaq adalah qath'i al-dalalah.
d.     Muqayyad
Secara bahasa, kata muqayyad berarti terikat. Sementara secara istilah, Syekh Al Utsaimin mendifinisikan bahwa "muqayyad adalah lafadz yang menunjukkan arti yang sebenarnya dengan (adanya) qayd (pembatasan) oleh suatu hal yang lain". Sementara Firdaus mengutip pendapat Abdul Karim Zaidan bahwa "muqayyad adalah lafadz yang menunjukkan suatu satuan dalam jenisnya yang dikaitkan dengan sifat tertentu". Misalnya, ungkapan rajulun Iraki (Seorang laki-laki asal Irak), dan raqabah mu'minah (hamba sahaya yang beriman). 
Menurut Abu Zahrah sebagaimana dikutip oleh Firdaus dalam Ushul Fiqh bahwa: "pembatasan ini terdiri dari sifat, hal (keadaan), ghayah, syarat, atau dengan bentuk pembatasan yang lainnya." Penggunaan sifat sebagai pembatasan dapat diamati dari firman Allah surat al-Nisa', 4:92 : ” Barangsiapa membunuh seorang mu'min karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman.”
Kata raqabah dalam ayat ini memakai qayyid dalam bentuk sifat, yaitu mu'minah (beriman). Jadi, ayat ini memerintahkan kepada orang yag membunuh seorang mukmin secara tidak sengaja untuk memerdekakan hamba sahaya yang beriman dan tidak sah memerdekakan hamba sahaya yang tidak beriman.
Contoh-contoh muqayyad
Contoh qayyid dalam bentuk syarat dapat diamati dalam kasus kaffarat sumpah, seperti pada firman Allah surat al-Maidah, 5:89.
“Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi Dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu sengaja, maka kaffarat (melanggar) sumpah itu, ialah memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi pakaian kepada mereka atau memerdekakan seorang budak. Barangsiapa tidak sanggup melakukan yang demikian, maka kaffaratnya puasa selama tiga hari. Yang demikian itu adalah kaffarat sumpah-sumpahmu bila kamu bersumpah (dan kamu langgar). Dan jagalah sumpahmu. Demikianlah Allah menerangkan kepadamu hukum-hukum-Nya agar kamu bersyukur (kepada-Nya)”.
Ayat ini menjadi landasan tentang bolehnya puasa tiga hari untuk membayar kaffarat sumpah dengan ada qayyid dalam bentuk syarat. Sebab, hal ini baru boleh dilakukan ketika tidak mampu memberi makan sepuluh orang miskin, atau memberi pakaian kepada mereka atau memerdekakan seorang budak.
Hukum muqayyad
Dalam pandangan ahli ushul fiqh, mereka menetapkan hukum wajib mengamalkan muqayyad. Misalnya, firman Allah pada surat al-Mujadilah, 58:4
“Barangsiapa yang tidak mendapatkan (budak), maka (wajib atasnya) berpuasa dua bulan berturut-turut sebelum keduanya bercampur”.
Berdasarkan ayat diatas kewajiban melakukan puasa selama dua bulan pada ayat tentang kaffarat zhihar diatas ditaqyidkan dengan cara berturut-turut dan harus dilakukan sebelum suami isteri bercampur. Sehubungan dengan itu, tidak boleh puasa dua bulan tersebut dilakukan dengan tidak berturut-turut dan tidak boleh dilakukan sesudah bercampur.
e.       Mantuq
Mantuq secara bahasa  adalah “sesuatu yang diucapkan”, sedangkan menurut istilah yaitu pengertian harfiah atau makna yang ditunjukkan oleh lafadz yang diucapkan itu sendiri. Pada dasarnya mantuq itu dibedakan berupa nash dan zahir.
Kalangan ulama Syafi’iyah, dilâlah  lafal nash dibagi kepada dua macam,  yaitu  dilâlat  al-mantûq  (دلالـة الـمـنطوق)  dan  dilâlat  al-mafhûm دلالـة الـمـفـهـوم)). Yang dimaksud dengan dilalat al-mantuq ialah :
دلالـة الـمـنطوق هى دلا لـة اللـفـظ عـلى حـكـم شـئ ذكـر فى الـكلآ م ونـطـق بـه.
“Dilalat al-mantuq ialah penunjukkan lafal nash atas suatu ketetapan hukum (pengertian) sesuai dengan apa yang diucapkan dan dituturkan langsung oleh lafal.”
Dari definisi ini dapat dipahami bahwa dilâlat al-mantûq ialah suatu ketetapan hukum yang dapat dipahami dari penuturan langsung lafal nash secara tekstual. Sebagai contoh dapat dilihat pada Q.S An-Nisa’ (4): 23:
اللاتِي فِي حُجُورِكُمْ مِنْ نِسَائِكُمُ اللاتِي دَخَلْتُمْ
“… Diharamkan bagi kamu (menikahi) anak-anak tiri yang berada dalam asuhan kamu dari isteri-isteri yang telah kamu gauli…”
Berdasarkan ayat ini dapat dipahami bahwa mantuq-nya ialah menunjukkan secara jelas bahwa haram menikahi anak-anak tiri yang berada dalam asuhan suami dari isteri-isteri yang sudah digauli.
f.       Mafhum
Mafhum secara bahasa adalah sesuatu yang dipahami dari suatu teks, sedangkan menurut istilah adalah “pengertian tersirat dari suatu lafal (mahfum muwafaqah) atau pengertian kebalikan dari pengertian lafal yang diucapkan (mafhum mukhalafah).
Tegasnya, dilālat al-mafhūm itu adalah penunjukkan lafal nash atas suatu ketentuan hukum yang didasarkan atas pemahaman dibalik yang tersurat.
      Contohnya Q.S al-Isra’ ayat 23:
فَلا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلا تَنْهَرْهُمَا
“Jangan kamu mengucapkan kepada kedua ibu bapakmu ucapan “uf” dan janganlah kamu membentak keduanya”.
Hukum yang tersurat dalam ayat tersebut adalah larangan mengucapkan kata kasar “uf” dan menghardik orang tua. Dari ayat itu juga dapat dipahami adanya ketentuan hukum yang tidak disebutkan (tersirat) dalam ayat tersebut, yaitu haramnya memukul orang tua dan perbuatan lain yang menyakiti orang tua.
Mafhum dapat dibagi kepada dua macam, yaitu mafhum muwafaqah dan mafhum mukhalafah.
1.   Mafhum Muwafaqah
Adalah suatu petunjuk kalimat yang menunjukkan bahwa hukum yang tertulis pada kalimat itu berlaku pada masalah yang tidak tertulis, dan hukum yang tertulis ini sesuai dengan masalah yang tidak tertulis karena ada persamaan dalam maknanya. Disebut mafhum muwafaqah karena hukum yang tidak tertulis sesuai dengan hukum yang tertulis.
2.   Mafhum mukhalafah
Adalah pengertian yang dipahami berbeda dengan ucapan, baik dalam istinbat (menetapkan) maupun nafi (meniadakan). Oleh karena itu, hal yang dipahami selalu kebalikannya daripada bunyi lafal yang diucapkan. Seperti dalam firman Allah swt pada QS. al-Jum’ah ayat 9:
إِذَا نُودِيَ لِلصَّلاةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ
“Apabila kamu dipanggil untuk mengerjakan sholat pada hari jum’at, maka bersegeralah kamu mengerjakan dan tinggalkan jual beli.”
Dapat dipahami dari ayat ini, bahwa boleh jual beli di hari jum’at sebelum adzan si mu’adzin dan sesudah mengerjakan sholat.
Mafhum mukhalafah sendiri terbagi menjadi :
a.    Mafhum al-Washfi (pemahaman dengan sifat) adalah petunjuk yang dibatasi oleh sifat, menghubungkan hukum sesuatu kepada syah satu sifatnya.

Dalam mafhum sifat terdapat tiga bagian, yaitu mushtaq, hal (keterangan keadaan) dan ‘adad (bilangan). Misalnya pada sabda Rasulullah saw.:
فِي السَّائِمَةِ زَكاَةِ
“para binatang yang digembalakan itu ada kewajiban zakat”
Mafhum mukhalafahnya adalah binatang yang diberi makan, bukan yang digembalakan.


BAB III

PENUTUP

A.     Kesimpulan

            Dari Penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa  Prin sip Prinsip kebahasaan dalam alqur’an dalam memahami nash dan alqur’an dan as – sunnah terbagi dari bebarapa jal diantaranya
Setiap individu Muslim diperintahkan untuk mengikuti syariat Islam dan melaksanakan hukum-hukumnya. Di antaranya adalah kaidah bahasa.Kaidah bahasa yang dimaksud adalah kaedah bahasa yang mempunyai otoritas tertinggi dalam pelbagai aspek bahasa Arab klasik yaitu bahasa Al Quran dan Assunnah. Kaidah bahasa dimaksudkan untuk mengetahui maknateks guna meraih maksud teks tersebut.

Ø  Lafaz dari segi kejelasan artinya terbagi 4 yaitu:Zahir,Nash, Muffasar,Muhkam.
Ø  Lafaz dari ketidak jelasan artinya adalah; Khafi,Musykil,Mujmal,Mutaysabih
Ø  Lafaz dari segi penggunaaya adalah :Hakikat dan majaz,Sarih dan kinayah,Zahir dan takwil.
Ø  Lafaz dari segi sighat takhlifi adalah:Amr,dan Nahi
Ø  Lafaz Dari segi kandungan Pengertianya adalah:Amm,Khas,Mutlaq ,Muqayad, Mantuq dan Mafhum


DAFTAR FUSTAKA


Azhar,Ushul Fiqih 2015 ( Medan : Fakultas Tarbiyah IAIN SU,
Amir Syarifudin2009, Ushul Fiqih (Jakarta: kencana,
Kasuwi Saiban2005, Metode Ijtihad Ibnu Rusdy(Malang : kutub minar,
Wahbah Zuhaili2000, Ushul Fiqih Islami ( Darul fikr,
Ridwan,dkk, 2008 Fiqih Modul Hikmah (Sragen:Akik Pusaka,
Abdul Wahab Khalaf, 1997 Ilmu Ushul Fiqh (Bandung:Gema Insani Risalah Press,




[1] Azhar,Ushul Fiqih ( Medan : Fakultas Tarbiyah IAIN SU,2015,) hal. 83
[2] Ibid. hal 84
[3] Amir Syarifudin, Ushul Fiqih (Jakarta: kencana,2009), hal:13
[4] Kasuwi Saiban, Metode Ijtihad Ibnu Rusdy(Malang : kutub minar,2005), hal:67
[5] Wahbah Zuhaili, Ushul Fiqih Islami ( Darul fikr,2000), hal: 236

[6] Amir Syarifudin. Ushul Fiqih (Jakarta:kencana, 2009), hal: 22

 [7]Ridwan,dkk, Fiqih Modul Hikmah (Sragen:Akik Pusaka,2008), h.16.
  [8]Abdul Wahab Khalaf,Ilmu Ushul Fiqh (Bandung:Gema Insani Risalah Press,1997), h.199.

No comments:

Post a Comment

PENERAPAN STRATEGI PEMBELAJARAN KOPERATIF DALAM PEMBELAJARAN FIQIH

  BAB I PENDAHULUAN A.      Latar Belakang Salah satu strategi yang dapat diterapkan dalam pembelajaran di kelas adalah pembe...