Sunday 26 February 2017

“Sejarah Pertumbuhan & Perkembangan Ushul Fiqih”


 


BAB I

PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang

Sebagaimana ilmu keagamaan lain dalam Islam, ilmu ushul fiqih tumbuh dan berkembang dengan tetap berpijak pada Al-Quran dan Sunnah, ushul fiqih tidak timbul dengan sendirinya, tetapi benih-benihnya sudah ada sejak zaman Rosulullah dan sahabat. Dan di masa Rasulullah SAW, umat Islam tidak memerlukan kaidah-kaidah tertentu dalam memahami hukum-hukum syar’i, semua permasalahan dapat langsung merujuk kepada Rasulullah saw lewat penjelasan beliau mengenai Al-Qur’an, atau melalui sunnah beliau saw. Pada masa tabi’in cara mengistinbath hukum semakin berkembang.
Apa yang dikemukakan diatas menunjukkan bahwa sejak zaman Rasulullah SAW, sahabat, tabi’in dan sesudahnya, pemikiran hukum Islam mengalami perkembangan. Namun demikian, corak atau metode pemikiran belum terbukukan dalam tulisan yang sistematis. Dengan kata lain, belum terbentuk sebagai suatu disiplin ilmu tersendiri.

B.   Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang dan pembatasan tersebut, masalah-masalah yang dibahas dapat dirumuskan sebagai berikut :
1.  Bagaimana pertumbuhan & erkembangan  ushul fiqih Sebelum dibukukan?
2.  Bagaimana pembukuan ushul fiqih?
3.  Bagaimana perkembangan ushul fiqih Pasca Syafi’i?
4.  Aliran Aliran Ushul Fiqh



BAB II

PEMBAHASAN

A.   Sejarah Pertumbuhan Ushul Fiqh

Secara pasti, tumbuhnya ilmu Ushul Fiqih bersamaan dengan tumbuhnya ilmu fiqih, meskipun pembukuannya lebih dahulu ilmu fiqih. Sebab tumbuhnya ilmu fiqih tidak terlepas dari kaidah atau metode yang digunakan dalam penggalian hukum fiqih itu sendiri. Metode penggalian hukum ini tidak lain adalah ilmu Ushul Fiqih.
1.   Masa Nabi SAW
Pertumbuhan Ushuul Fiqh tidak terlepas dari perkembangan hukum Islam sejak zaman Rasulullah SAW.sampai pada zaman tersusunnya ushul fiqh sebagai salah satu bidang ilmu pada abad ke-2 Hijriah. Di zaman Rasulullha SAW., sumber hukum islam hanya dua, yaitu al-Qur’an dan sunnah. Apabila ia muncul suatu kasus, Rasulullah SAW. Menunggu turunnya waahyu yang menjelaskan hukum kasus tersebut.Apabila wahyu tidak turun, maka beliau menetapkan hukum kasus tersebut melalui sabdanya, yang kemudian dikenal dengan hadits atau Sunnah.
            Dala menetapkan hukum dari berbagai kasus di zaman Rasulullah SAW.Yang tidak ada ketentuannya dalam Al-Qur’an, para ulama ushul fiqh menyimpulkan bahwa ada isyarat bahwa Rasulullah SAW. Menetapakannya melalui ijtihad.
            Dalam beberapa kasus, Rasulullah SAW. Juga menggunakan qiyas ketika menjawab pertanyaan para sahabat.Misalnya, beliau qiyas ketika mejawab pertanyaan ‘Umar ibn al-Khaththab tentang batal-tidaknya puasa seseorang yang mencium istrinya. Rasulullah SAW. Ketika itu bersabda :
Artinya :“Apabila kamu berkumur-kumur dalam keadaan puasa, apakah puasamu batal ?” ‘Umar menjawab, ‘Tidak apa-apa’ (tidak batal). Rasulullah SAW. Kemudian bersabda, “Maka teruskan puasamu.” (H.R. al-Bukhari, Muslim, dan Abu Daud)
            RAsulullah SAW. Dalam hadits ini, menurut para ushul fiqh, mengqiyaskan hukum mencium istri dalam keadaan berpuasa.Jika berkumur-kumur tidak membatalkan puasa, maka mencium istri pun tidak membatalkan puasa.[1]
2.   Pada Masa Sahabat
Pada masa ini kajian tentang fiqih mulai dirumuskan, yaitu setelah wafatnya Rasulullah SAW.Menurut Muhammad Abu Zahra,Ushul Fiqh dalam praktiknya telah muncul berbarengan dengan munculnya fiqh.Alasanya karena secara metodelogis,fiqh tidak akan terwujud tanpa ada metode istinbath dan metode istinbath itulah inti dari ushul fiqh[2] .Pemikiran dalam Ushul Fiqih telah ada pada waktu perumusuan Fiqh itu.Para sahabat diantaranya ‘Umar Ibn Khatab,Ibnu Mas’ud,Ali Ibnu Abi Talib umpamanya pada wktu mengemukakan pendapatnya tentang  hukum sebenarnya sudah menggunakan aturan atau Pedoman dalam merumuskan hukum,meskipun secara jelas mereka tidak mengemukakan demikian.
Contoh : Sewaktu ‘Ali ibn Abi Thalib melakukan ijtihad dengan menggunakan qiyas yaitu meng-qiyas-kan hukuman orang yang meminum khamar dengan hukuman orang yang melakukan qadzaf  (menuduh orang lain berbuat zina). Alasan ‘Ali ibn Abi Thalib adalah bahwa seseorang yang mabuk karena meminum khamar akan mengigau. Apabila ia mengigau, maka ucapannya tidak bisa dikontrol, dan akan menuduh orang lain berbuat zina. Hukuman bagi pelaku qadzaf adalah 80 kali dera. Oleh sebab itu, hukuman orang meminum khamar sama dengan hukuman menuduh orang lain berbuat zina. Ali rupanya dalam berpendapat menggunakan  kaidah menutup pintu kejahatan yang akan timbul atau” Sad al Dzari’ah[3] Perkembangan permasalahan di zaman sahabat ini memerlukan upaya ijtihad yang semakin luas.
Dengan Demikian,Menurut Abd Wahab Abu Sulaiman ,Para Sahabat telah memperaktikan  Ijma’Qiyas  dan Istislah (maslaha mursalah) bilamana tidak ditemukan secara tertulis di alqur’an dan Sunnah.[4]


3.   Pada Masa Tabi’in
Pada masa tabi’in penggalian hukum syara’ semakin meluas dan banyak para ulama’ tabi’in yang memberikan fatwa seperti Said bin Muayyat, Al-qammah bin Qaiys dan Ibrahim An-Nasyai di Irak sebagai pemberi fatwa mereka menggunakan Al-Quran dan Hadist dan fatwa sahabat. Jika tidak terdapat keterangan dari Naskh maka mereka menetapkan hukum dengan mempertimbangkan kemashlahatan dan dengan jalan Qiyas. Jalan yang ditempuh oleh Ibrahim An-Nakha’i dan Fuqaha’ Irak dalam menetapkan hukum adalah dengan menetapkan illat (titik persamaan) yang digunakan untuk mengkiyaskan permasalahan yang bermacam-macam
4.  Masa Tabi’ Tabi’in (Periode Imam Madzhab)
Pada periode ini, metode penggalian hukum bertambah banyak, baik corak maupun ragamnya. Dengan demikian bertambah banyak pula kaidah-kaidah istinbat hukum dan teknis penerapannya. Sebagai contoh Imam Abu Hanifah dalam memutuskan perkara membatasi ijtihadnya dengan menggunakan al-Quran, Hadis, fatwa-fatwa sahabat yang telah disepakati dan berijtihad dengan menggunakan penalarannya sendiri, seperti istihsan. Abu Hanifah tidak mau menggunakan fatwa ulama pada zamannya. Sebab ia berpandangan bahwa mereka sederajat dengan dirinya. Imam Maliki –setelah al-Quran dan Hadis- lebih banyak menggunakan amal (tradisi) ahli madinah dalam memutuskan hukum, dan maslahah mursalah. Demikian pula imam-imam yang lain.
Pada periode inilah ilmu Ushul Fiqih dibukukan. Ulama pertama yang merintis pembukuan ilmu ini adalah Imam Syafi’i, ilmuan berkebangsaan Quraish. Ia memulai menyusun metode-metode penggalian hukum Islam, sumber-sumbernya serta petunjuk-petunjuk Ushul Fiqih. Dalam penyusunannya ini, Imam Syafi’i bermodalkan peninggalan hukum-hukum fiqih yang diwariskan oleh generasi pendahulunya, di samping juga rekaman hasil diskusi antara berbagai aliran fiqih yang bermacam-macam, sehingga ia memperoleh gambaran yang konkrit antara fiqih ahli Madinah dan fiqih ahli Irak. Berbekal pengalaman beliau yang pernah “nyantri” kepada Imam Malik (ulama Madinah), Imam Muhammad bin Hasan (ulama Irak dan salah seorang murid Abu Hanifah) serta fiqih Makkah yang dipelajarinya ketika berdomisili di Makkah menjadikannya seorang yang berwawasan luas, yang dengan kecerdasannya menyusun kaidah-kaidah yang menjelaskan tentang ijtihad yang benar dan ijtihad yang salah. Kaidah-kaidah inilah yang di kemudian hari dikenal dengan nama Ushul Fiqih. Oleh sebab itu Imam Syafi’i adalah orang pertama yang membukukan ilmu Ushul Fiqih, yang diberi nama “al-Risalah”. [5]

B.  Pembukuan Ushul Fiqh

            Pada penghujung abad kedua dan awal abad ketiga, Imam Muhammad bin Idris Asy-syafi’I (150-204H). pendiri mazhab Syafi’i. Tampil dalam meramu, mensistematisasi dan membukukan ushul fiqh. Pada masa ini ditandai dengan pesatnya perkembangan ilmu pengetahunan keislaman dengan ditandai didirikannya “Baitul-Hikmah”, yaitu perpustakaan terbesar di kota Baghdad pada masa itu.Dengan berkembang pesatnya ilmu pengetahuan, Imam Syafi’I yang datang kemudian, banyak mengetahui tentang metode istinbat para mujtahid sebelumnya, sehingga beliau mengetahui di mana keunggulan dan di mana kelemahannya. Beliau merumuskan ushul fiqh untuk mewujudkan metode istinbat yang jelas dan dapat dipedomani oleh peminat hukum islam, untuk mengembangkan mazhab fiqhnya, serta untuk mengukur kebenaran hasil ijtihad di masa sebelumnya.
Beliau merupakan orang pertama yang membukukan ilmu ushul fiqh. Kitabnya yang berjudul Al-risalah (sepucuk surat) menjadi bukti bahwa beliau telah membukukan ilmu Ushul fiqh. Dalam kitabnya Imam Syafi’I berusaha memperlihatkan pendapat yang shahi dan pendapat yang tidak shahih, setelah melakukan analisis dari pandangan kedua aliran, Irak dan Madinah. Kitabnya tersebut juga membahas mengenai landasan-landasan pembentukan fiqh,yaitu Al – Qur’an ,Sunnah,Ijma’dan Qiyas.

C. Ushul Fiqh Pasca Syafi’i

Kandungan kitab Al-Risalah ini pada masa sesudah Imam Syafi’I menjadi bahan pembahasan para ulama usghul fiqh secara luas. Ada yang membahas secara men-syarh (menjelaskan) tanpa mengubah atau mengurangi yang dikemukakan Imam Syafi’I dalam kitabnya. Tapi, ada juga yang membahas bersufit analisis terhadap pendapat dan teori Imam Syafi’i.
            Masih dalam abad ketiga, banyak bermunculan karya-karya ilmiah dalam bidang ini. Salah satunya buku Al-Nasikh wa Al-Mansukh oleh Ahmad bin Hanbal (164-241H) pendiri mazhab Hanbali[6].  Selanjutnya ,menurut pendapat Abd al – Wahab Khalaf,dalam bukunya Khulasat Tarikh al – Tasyri al – Islam   pada Pertengahan abad keempat ditandai dengan kemunduran dalam kegiatan ijtihad di bidang fiqh, dengan pengertian tidak ada lagi orang yang mengkhususkan diri membentuk mazhab baru. Namun kegiatan ijtihad dalam bidang ushul fiqh berkembang pesat. Para ahli analisis ushul fiqh mengatakan bahwa pada masa keempat imam mazhab tersebut, ushil fiqh menemukan bentuknya yang sempurna, sehingga generasi-generasi sesudahnya cenderung memilih dan menggunakan metode yang sesuai dengan kasus yang dihadapi pada zaman masing-masing

D. Aliran – Aliran Ushul Fiqh

Dalam sejarah perkembangan ushul fiqih dikenal tiga aliran yang berbeda. Masing-masing aliran memiliki cara pandang yang berbeda dalam menyusun dan membangun teori yang terdapat dalam ushul fiqih. Ketiga aliran itu ialah:
1.      ALIRAN MUTAKALLIMIN
Aliran mutakallimin bisa juga disebut aliran Jumhur Ulama dan aliran Syafi’iyah.Disebut aliran Mutakallimin karena para pakar dibidang ini setelah Imam Syafi’i adalah dari kalangan mutakallimin (Para ahli ilmu kalam) seperti Imam Al- Juwaeni, Al- Qadhi Abdul Jabbar dan Imam Al- Ghazali.Disebut juga aliran Jumhur Ulama karena aliran ini dianut oleh mayoritas ulama yang terdiri dari kalangan ulama malikiyyah,syafi’iyah dan hanabillah.[7]Disebut pula aliran syafi’iyah karena orang yang pertama kali mewujudkan cara penulisan ushul fikih seperti ini adalah imam syafi’i.
Para ulama dalam aliran ini dalam pembahasannya dengan menggunakan cara – cara yang digunakan dalam ilmu kalam,yakni menetapkan ka’idah ditopang dengan alasan – alasan yang kuat baik naqliy (dengan nash) maupun ‘aqliy (dengan akal fikiran) tanpa terikat dalam hukum – hukum furu’ yang telah ada dari madzab manapun.Aliran ini di ikutin oleh para ulama dari golongan mu’tazilah,malikiyah,dan syafi’iyah.
Dalam kenyataanya,ada ulama mazhab syafi’i yang berupaya menyusun teori sendiri,sehingga terdapat pertentangan dengan teori yang telah ada.Misalnya,Imam al Amidi (ahli Ushul Fikih Syafi’i),menyatakan bahwa Ijma’ al Sukuti dapat dijadikan hujjah dalam menetapkan hukum islam.Imam Syafi’i sendiri tidak mengakui keabsahan ijma’ sukuti sebagai hujjah.Karena ijma’ yang dia terima hanyalah ijma’ para sahabat secara jelas.
Teori yang dibangun aliran Syafi’iyah/mutakallimin sering tidak membawa pengaruh pada keperluan praktis.Sesuai dengan namanya,aliran mutakallimin(ahli kalam),maka aspek-aspek bahasa sangat dominan dalam pembahasan ushul Fikih mereka.
Ada beberapa ciri khas penulisan ushul fiqh aliran Mutakallimin, antara lain:
1.    Penggunaan deduksi di dalamnya. Ushul fiqh mutakallimin  membahas kaidah-kaidah, baik disertai contoh maupun tidak. Kaidah-kaidah itulah yang menjadi pilar untuk pengambilan hukum. Jadi, kaidah dibuat dahulu sebelum digunakan dalam istimbath. Kaidah-kaidah tersebut utamanya berisi kaidah kebahasaan.
2.    Adanya pembahasan mengenai teori kalam dan teori pengetahuan,    seperti terdapat dalam al-Luma karya al-Syirazi dan al-Ihkam karya al-Amidi. Teori kalam yang sering dibahas adalah tentang tahsin dan taqbih. Sementara itu, dalam pembahasan mengenai teori pengetahuan tersebut, dimasukkan pengertian ilmu dan terkadang dimasukkan pula muqaddimah mantiqiyyah (pengantar logika), sebagaimana terdapat dalam al-Mustashfa karya al-Ghazali, Rawdlah al-Nadzir karya Ibnu Qudamah, dan Muntaha al-Wushul (al-Sul) karya Ibnu Hajib.
Aliran ini berusaha menjadikan ushul Fikih sebagai teori yang independen,yang dapat diaplikasikan terhadap segala persoalan dan tidak terfokus pada masalah fiqh saja.Tokoh dari aliran ini antara lain : Syafi’iyah,Malikiyah,Hanabilah,dan Jumhur mutakallimin.
Kitab Ushul Fikih standar dalam aliran Syafi’iyah/Mutakillimin ini adalah :
1.      Al Risalah dirancang oleh Imam Al Syafi’i.
2.      Al Mu’tamad dirancang oleh Abu Al Husain Muhammad bin ‘Ali Al Bashri.
3.      Al Burhan Fi Ushul Al Fiqh dirancang oleh Imam Al Haramain al juwaini.

2.      ALIRAN HANAFIYAH
     Aliran ini juga disebut aliran fuqaha.Aliran ini disebut dengan fuqaha karena aliran ini dalam membangun teori ushul fikihnya hanya dipengaruhioleh masalah furu’ dalam mazhab mereka.Metode ini dicetuskan oleh Imam Abu Hanifah dan dikemukakan oleh ulama hanifah.Cara yang digunakan oleh aliran ini dengan menggunakan istiqra’ (induksi),terhadap pendapat – pendapat imam sebelumnya dan mengumpulkan pengertian makna dan batasan – batasan yang mereka gunakan.
     Para ulama dalam aliran ini,dalam pembahasannya berangkat dari hukum – hukum furu’ yang diterima dari imam – imam (madhzab) mereka ,yakni dalam menetapkan ka’idah selalu berdasarkan kepada hukum – hukum furu’ yang diterima dari imam – imam mereka.Jika terdapat ka’idah yang bertentangan dengan hukum – hukum furu’yang diterima dari imam – imam mereka.Maka ka’idah itu diubah sedemikian rupa dan disesuaikan denganhukum – hukum furu’ tersebut.Jadi para ulama dalam aliran ini selalu menjaga persesuaian antara ka’idah dengan hukum furu’ yang diterima dari imam – imam mereka.
Adapun Ciri khas penulisan madzhab Hanafi dalam mengarang   kitab ushul adalah :
     1.    Persoalan-persoalan hukum yang furu yang dibahas oleh para imam mereka, lalu membuat kesimpulan metodologis berdasarkan pemecahan hukum furu tersebut. Jadi, kaidah-kaidah dibuat secara induktif dari kasus-kasus hukum.
2.    Kaidah-kaidah yang sudah dibuat bisa berubah dengan munculnya kasus-kasus hukum yang menuntut pemecahan hukum yang lain.
3.     Ushul fiqh Hanafi dipenuhi dengan persoalan hukum yang nyata.
Kitab kitab yang ada di aliran fuqara/hanafiyah,yaitu :[8]
1.    Al-ushul (Imam Abu Hasan Al-karkhi),
2.    Al-ushul (Abu Bakar Al-Jashshash),
3.    Ushul Al-sarakhsi (Imam Al-sarakhsi),
4.    ta’sis n-nazhar (Imam Abu Zaid Al-Dabusi) dan
5.    Al-kasyaf Al-Asrar (Imam Al-Bazdawi)

3.       ALIRAN MUTA’AKHIRIN
Metode ini merupakan gabungan antara Metode Mutakallimin dan metode fuqaha.Metode yang ditempuh ialah dengan cara mengombinasi kedua aliran tersebut.Mereka memerhatikan kaidah – kaidah ushuliyah dan mengemukakan dalil – dalil atas kaidah ini juga memerhatikan penerapannya terhadap masalah fikih far’iyah dan relevansinya dengan kaidah – kaidah tersebut,
Para ulama’ yang menggunakan aliran muta’akhirin ini berasal dari kalangan Syafi’iayah dan Hanafiyah. Aliran ini muncul setelah aliran Syafi’iyah dan Hanafiyah sehingga disebut sebagai aliran muta’akhirin.

Kitab-kitab ushul yang menggabungkan kedua teori :
1. At-tahrir disusun oleh kalam Ad-din Ibnu Al-Humam Al-Hanafi.
2. Tanqih al-ushul ,disusun oleh Shadr Asy-Syari’ah .
3. Jam’u Al-Jawami , disusun oleh Taj Ad-din Abdul Al-Wahab As-Subki Asy-Syafi’i.
             4. Musallam Ats-tsubut, disusun oleh Muhibullah Ibnu Abd.Al- Syakur.


BAB III

PENUTUP

A.  Kesimpulan

Pada dasanya ushul fiqh telah ada bahkan ketika Rasulullah masih hidup,
Sedangkan pada masa sahabat. dimulai pada tahun 11 H sampai pertengahan abad 1 H (50 H). Pembinaan hukum Islam dipegang oleh para pembesar sahabat, seperti Umar bin Khattab, Ali bin Abi Tholib dan Ibn Mas’ud. Pada masa ini pintu ijtihad/istimbat telah mulai dikembangkan
                Pada penghujung abad kedua dan awal abad ketiga, Imam Muhammad bin Idris Asy-syafi’I (150-204H). pendiri mazhab Syafi’i. Tampil dalam meramu, mensistematisasi dan membukukan ushul fiqh.
Dalam sejarah perkembangan ushul fiqih dikenal tiga aliran yang berbeda. Masing-masing aliran memiliki cara pandang yang berbeda dalam menyusun dan membangun teori yang terdapat dalam ushul fiqih. Ketiga aliran itu ialah:


DAFTAR FUSTAKA


Koto ,Alaidin. 2009.Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh, Ed.Revisi,cet.3. Jakarta: Pt Rajagrafindo Prasada,
Syarifuddin, Amir.2008 Ushul Fiqh Jilid 1, cet.3Jakarta: Kencana,.
Azhar. 2015Ushul Fiqih Medan : Fakultas Tarbiyah IAIN SU, ,)
.



[1] . Alaidin Koto,Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh,( Jakarta:Pt Rajagrafindo Prasada,Ed.Revisi,cet.3,2009)hal:27
[2]  Azhar,Ushul Fiqih ( Medan : Fakultas Tarbiyah IAIN SU,2015,) hal. 9
[3] .Amir Syarifuddin,Ushul Fiqh Jilid 1,( Jakarta: Kencana,cet.3,2008) hal.40
[4]  Azhar,op,cit hal.10
[5] Amir Syarifuddin,Ushul Fiqh Jilid 1,( Jakarta: Kencana,cet.3,2008) hal.43

[6]  Azhar,Ushul Fiqih ( Medan : Fakultas Tarbiyah IAIN SU,2015,) hal. 14

[7]  Ibid. hal.17
[8]  Ibid Hal 18

No comments:

Post a Comment

PENERAPAN STRATEGI PEMBELAJARAN KOPERATIF DALAM PEMBELAJARAN FIQIH

  BAB I PENDAHULUAN A.      Latar Belakang Salah satu strategi yang dapat diterapkan dalam pembelajaran di kelas adalah pembe...