BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sebagai umat Islam, kita mengakui bahwa banyak
masalah baru yang tidak terdapat penyelesaiannya di dalam al-Qur’an dan
as-Sunnah sehingga para pakar hokum Islam harus berijtihad untuk memecahkannya.
Meskipun demikian, perlu diingat bahwa mereka itu dalam berijtihad tidaklah
secara acak, tetapi selalu berpegang kepada dasar-dasar umum yang terdapat
dalam kitab suci itu sehingga hukum-hukum yang mereka rumuskan melalui ijtihad
itu tidak boleh menyimpang dari dasar-dasar umum tersebut.
Untuk menjawab masalah-masalah baru yang belum
ada penegasan hokum-hukumnya di dalam al-Qur’an dan as-Sunnah, maka para pakar
hokum Islam (fuqaha) berupaya memecahkan dan mencari hukum-hukumnya dengan
menggunakan ijtihad. Namun ijtihad itu tidak boleh lepas dari al-Qur’an dan
as-Sunnah. Dikatakan demikian, karena ijtihad tersebut dilaksanakan dengan cara
mengkiaskan kepada yang sudah ada di dalam al-Qur’an dan as-sunnah, menggalinya
dari aturan-aturan umum (al-qawanin al-‘ammah) dan prinsip-prinsip yang
universal (al mabadi’ al-kulliyah) yang terdapat dalam al-Qur’an dan
as-sunnah dan menyesuaikannya dengan maksud dan tujuan syariat (al-maqashid
al-syari’ah) yang juga terkandung dalam al-Qur’an dan as-Sunnah.
Aturan-aturan umum dan prinsip-prinsip yang
universal itulah yamg disebut dengan al-qawanin al-fiqhiyyah
(kaidah-kaidah fiqh). Dalam pembahasan
kaidah-kaidah fiqh banyak terdapat macam-macam kaidah salah satunya tentang
kaidah-kaidah asasi ( al-Qawaid al-Khamsah). Dalam kaidah-kaidah asasi
terdapat 5 macam kaidah, sehingga untuk lebih mengetahui macam-macam kaidah
dalam al-Qawaid al-Khamsah akan dibahas dalam bab selan jutnya.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Kaidah Fiqiyah
Kaidah aertinya pook , patokan. Fiqiyah artinya
masalah yang dihubungkan dengan fiqih ( Hukum Fiqih) Jadi kaidah fiqiyah
maksudnya Kaidah Fiqiyah yakni kaidah pokok dari segala kaidah fiqhiyah yang
ada.[1] Setiap
permasalahan furu’iyah dapat diselesaikan dengan kalimat kaidah tersebut
walaupun seorang mujtahid belum sempat memperhatikan dasar-dasar hukum secara
tafshili.
Kaidah Asasi itu digali dari sumber-sumber
hukum baik melalui al-Qur’an dan as-Sunnah maupun dalil-dalil istinbath. Karena
itu, setiap kaidah didasarkan atas nash-nash pokok yang dapat dinilai sebagai
standar hukum fiqih, sehingga sampai dari nash itu dapat diwakili dari sekian
populasi nash-nash ahkam.
B. Kaidah Pertama ( Kaidah yang berkaitan dengan niat)
a.
Teks
kaidahnya
الأُمُوْرُبِمِقَا صِدِهَا
Artinya: “Segala perkara tergantung kepada
niatnya”.
b.
Dasar-dasar
nash kaidah
Firman Allah SWT:
Artinya: “ Padahal mereka tidak disuruh
kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam
(menjalankan) agama yang lurus…” (QS. al-Bayyinah [98]: 5).
Sabda Nabi SAW:
إِنَّمَا الْاَ عْمَا لُ بِا لنِّبَا تِ وَاِ
نَّمَا لِكُلِّ امْرِ ئٍ مَا نَوَ ى
Artinya: “Sesungguhnya segala amal
tergantung pada niat, dan sesungguhnya bagi seseorang itu hanyalah apa yang ia
niati.”
c.
Eksistensi
niat
Niat dikalangan ulama-ulama Syafi’iyah
diartikan dengan bermaksud melakukan sesuatu disertai dengan pelaksanaannya.
قَصْرُالشَيْئِ مُقْتَرِنًا بِفِعْلِهِ
أَوالقَصْرُالمُقَارِنُ لِلْفِعْلِ
Didalam shalat misalnya yang dimaksud dengan
niat adalah bermaksud didalam hati dan wajib niat disertai dengan takbirat
al-ihram
القَصْدُ بِا لقَلْبِ وَيَجِبَ أَنْ تَكُوْنَ
النِّيَةُ مُقَارُ نَةً للتَكْبِيْرِ
Dikalangan mazhab Hambali juga menyatakan bahwa
tempat niat ada didalam hati karena niat adalah perwujudan dari maksud dan
tempat dari maksud adalah hati. Jadi apabila meyakini/beritikad didalam
hatinya. Itu pun sudah cukup dan wajib niat didahulukan dari perbuatan. Yang
lebih utama, niat bersama-sama dengan takbirat al-ihram didalam shalat, agar
niat ikhlas menyertainya dalam ibadah.
Dikalangan para ulama ada kesepakatan bahwa
suatu perbuatan ibadah adalah tidak sah tanpa disertai niat, kecuali untuk
beberapa hal saja, yang termasuk kekecualian dari kaidah-kaidah tersebut
diatas.
Dari penjelasan diatas bisa disimpulkan bahwa
fungsi niat adalah:
1.
Untuk
membedakan antara ibadah dan adat kebiasaan.
2.
Untuk
membedakan kualitas perbuatan, baik kebaikan ataupun kejahatan.
3.
Untuk
menentukan sah tidaknya suatu perbuatan ibadah tertentu serta membedakan yang
wajib dari yang sunah.[2]
C. Kaidah Kedua ( Kaidah yang berkenaan dengan keyakinan)
a.
Teks
kaidahnya
اَلْيَقِيْنُ لاَيُزَالُ بِا لشَكِ
Artinya: “Keyakinan itu tidak dapat
dihilangkan dengan keragian”.
Yakin
Adalah sesuatu yang pasti ,dengan dasar pemeriksaan atau bukti. Keraguan adalah
sesuatu yang tidak pasti ,berada di tengah tebfah antara adabya dan tidakn
adanya tanpa dapat dimenangkan satupun daiantaranya
b.
Dasar-dasar
nash kaidah
Sabda Nabi SAW:
اِذَاوَجَدَ
أَحَدُ كُمْ فِي بَصْنِهِ شَيْئًا فَآَ شْكَلَ عَلَيْهِ اَخَرَجَ مِنْهُ شَيْ
ءٌأَمْ لاَفَلاَ يَخْرُجَنَ مِنَ الْمَسْجِدِ حَتَى يَسْمَعَ صَوْتًاأَوْيَجِدْرِيْحًا
(رواه مسلم عن أبى هريرة)
Artinya: “Apabila seseorang diantara kalian
merasakan sesuatu dalam perutnya. Kemudian dia ragu apakah sesuatu itu telah
keluar dari perutnya atau belum. Maka orang tersebut tidak boleh keluar dari
mesjid sampai dia mendengar suara (kentut) atau mencium baunya”. (HR.
Muslim dari Abu Hurairah).
دَعْ مَايُرِيْبُكَ إِلَى مَالاَيُرِيْبُكَ
Artinya: “Tinggalkanlah apa yang
meragukanmu, berpindahlah kepada yang tidak meragukanmu”. (HR. al-Nasai dan
al-Turmudzi dari Hasan bi Ali).
Yang dimaksud dengan yakin disini adalah:
هُوَمَاكَانَ ثَابِتًابِالنَظَرأَواالدَّ لِيْل
Artinya: “Sesuatu yang menjadi tetap karena
penglihatan panca indra atau dengan adanya dalil”.
Adapula yang mengertikan yakin dengan ilmu
tentang sesuatu yang membawa kepada kepastian dan kemantapan hati tentang
hakikat sesuatu itu dalam arti tidak ada keraguan lagi.
Adapun yang dimaksud dengan al-Syak disini
adalah:
هُوَمَاكَانَ مُتَرَدِّدًابَيْنَ الثُبُوْتِ
وَعَدَ مِهَ مَعَ تَسَاوِى طَرَفَرِالصَوَابِ وَالخَطَاءِ دُوْنَ تَرْ جِيْعِ
اَحَرِ هِمَاعَلَى الاحَرِ
Artinya: “Suatu pertentangan antara
kepastian dengan ketidakpastian tentang kebenaran dan kesalahan dengan kekuatan
yang sama dalam arti tidak dapat ditarjihkan salah satunya”.
Ada kekecualian dari kaidah tersebut diatas,
misalnya wanita yang sedang menstruasi yang meragukan, apakah sudah berhenti
atau belum. Maka ia wajib mandi besar untuk shalat. Contoh lain: baju seseorang
terkena najis, tetapi ia tidak tahu bagian mana yang terkena najis maka ia wajib
mencuci baju seluruhnya.[3]
Sesungguhnya contoh-contoh diatas menunjukkan
kepada ihtiyath dalam melakukan ibadah tidak langsung merupakan kekecualian.
Mazhab Hanafi mengecualikan dari kaidah tersebut dengan menyebut 7 macam
contoh. Sedangkan mazhab Syafi’I menyebut 11 contoh.
Sedangkan materi-materi fikih yang terkandung
dalam kaidah al-yaqin la yuzal bi al-syak, tidak kurang dari 314 masalah fikih.
Mazhab yang tidak mau menggunakan hal-hal yang
meragukan adalah mazhab Maliki dan sebagian ulama Syafi’iyah, karena mereka
menerapkan konsep ihtiyath-nya. Memang dalam ibadah memerlukan kepastian dan
kepuasan batin hanya bisa dicapai dengan ihtiyah (kehati-hatian).
Tentang syak atau keraguan ini barangkali perlu
dikemukan disini pendapat Ibnu Qayyim al-Jauziyah: “Perlu diketahui bahwa
didalam syariah tidak ada sama sekali yang meragukan. Sesungguhnya syak
(keraguan) itu datang kepada mukallaf (subyek hukum) karena kontradiksinya dua
indikator atau lebih, maka masalahnya menjadi meragukan baginya (mukallaf).
Dari kaidah asasi al-yaqin la yuzal bi
al-syak ini kemudian muncul kaidah-kaidah yang lebih sempit ruang
lingkupnya, misalnya:
1.
اليَقِيْنُ يُزَالُ بِاليَقِيْنِ مِثْلِهِ
Artinya: “Apa yang yakin bisa hilang karena
adanya bukti lain yang menyakinkan pula”.
Kita yakin sudah berwudhu, tetapi kemudian kita
yakin pula telah buang air kecil, maka wudhu kita menjadi batal.
2.
أَنَّ مَاثَبَتَ بِيَقِيْنِ لاَيُرْتَفَعُ
إِلاَبِيَقِيْنٍ
Artinya: “Apa yang ditetapkan atas dasar
keyakinan tidak bisa hilang kacuali dengan keyakinan lagi”.
Thawaf ditetapkan dengan dasar dalil yang
menyakinkan yaitu harus tujuh putaran. Kemudian dalam keadaan thawaf, seseorang
ragu apakah yang dilakukannya putaran keenam atau kelima. Maka yang menyakinkan
adalah jumlah yang kelima, karena putaran yang kelima itulah yang menyakinkan.
3.
اَلآَصْلُ بَرَاءةُالذِمَةِ
Artinya: “Hukum asal adalah bebasnya
seseorang dari tanggung jawab”.
Pada dasarnya manusia dilahirkan dalam keadaan
bebas dari tuntutan, baik yang berhubungan dengan hak Allah maupun dengan hak
Adami. Setelah dia lahir muncullah hak dan kewajiban pada dirinya.
4.
الآَصْلُ بقَاءُمَاكَانَ عَلَى مَاكَانَ مَالَمْ
يَكُنْ مَايُغَيِرُهُ
Artinya: “Hukum asal itu tetap dalam keadaan
tersebut selama tidak ada hal lain yang mengubahnya”.
5.
اَلآَصْلُ فِيْ الصِفَاتِ العَارِضَةِالعَدَمُ
Artinya: “Hukum asal pada sifat-sifat yang
datang kemudian adalah tidak ada”.
6.
اَلآَصْلُ إِضَافَةُالحَادِثِ إِلرَأَقْرَبِ
أَوقَاتِهِ
Artinya: “Hukum asal adlah penyandaran suatu
peristiwa kepada waktu yang lebih dekat kejadiannya”.
Apabila terjadi keraguan karena perbedaan waktu
dalam suatu peristiwa, maka hokum yang ditetapkan adalah menurut waktu yang
paling dekat kepada peristiwa tersebut, karena waktu yang paling dekat yang
menjadikan peristiwa itu terjadi, kecuali ada bukti lain yang menyakinkan bahwa
peristiwa tersebut terjadi pada waktu yang lebih jauh.
7.
اَلآَصْلُ فِي الآَشْيَاءِالإِبَاحَةُحَتَى
يَدُلَ الدَلِيْلُ عَلَى التَحْرِيْمِ
Artinya: “Hukum asal segala sesuatu itu
adalah kebolehan sampai ada dalil yang menunjukkan keharamnya”.
Contohnya: apabila ada binatang yang belum ada
dalil yang tegas tentang keharamannya, maka hukumnya boleh dimakan.
8.
اَلأَصْلُ فِي الكَلاَمِ الحَقِيْقَةُ
Artinya: “Hukum asal dari suatu kalimat
adalah arti yang sebenarnya”.
9.
Qadhi
Abd al-Wahab al-Maliki menyebutkan dua kaidah lagi yang berhubungan dengan
kaidah,” al-yaqin la yuzal bi al-syak”, yaitu:
لاَعِبْرَةَبِالظَنِ الَذِي يَظْهَرُخَطَاءُهُ
Artinya: “Tidak dianggap (diakui)
persangkaan yang jelas salahnya”.
10.
لاَعِبْرَةَ لِلتَوَ هُمِ
Artinya: “Tidak diakui adanya waham
(kira-kira)”.
Bedanya zhann dan waham adalah didalam zhann
yang salah itu persangkaannya. Sedangkan dalam waham, yang salah itu zatnya.
11.
مَاثَتَبَتَ بِزَمَنٍ يُحْكَمُ بَبَقَاءِهِ
مَالَمْ يَقُمْ الدَلِيْلُ عَلَى خِلاَفِهِ
Artinya: “Apa yang ditetapkan berdasarkan
waktu, maka hukumnya ditetapkan berdasarkan berlakunya waktu tersebut selama
tidak ada dalil yang bertentangan dengannya”.[4]
D. Kaidah Ketiga (Kaidah yang berkenaan dengan kondisi menyulitkan)
a.
Teks
kaidahnya
المَشَقَةُ تَجْلِبُ التَيْسِيْرُ
Artinya: “Kesulitan mendatangkan kemudahan”.
b.
Dasar-dasar
nash kaidah
Firman Allah SWT:
يُرِيْدُ اللهُ بِكُمْ الْيُسْرِوَلاَيُرِيْدُ
بِكُمُ الْعُسرَ
Artinya: “Allah menghendaki kemudahan bagi
kalian, dan Dia tidak menghendaki kesulitan bagi kalian”. (QS. al-Baqarah[2]:
185).
Sabda Nabi SAW:
الدِيْنُ يُسْرٌاخُبُ الدِيْنِ إلَى اللهِ
الخفِيَةَ السَمْحَةَ (رواه البخر)
Artinya: “Agama itu memudahkan, agama yang
disenangi Allah adalah agama yang benar dan mudah”. (HR. Bukhari dari Abu
Hurairah).[5]
Dalam ilmu fikih, kesulitan yang membawa kepada
kemudahan itu setidaknya ada tujuh macam yaitu:
1.
Sedang
dalam perjalanan, misalnya boleh qasar shalat, buka puasa, dan meninggalkan
shalat jum’at.
2.
Keadaan
sakit, misalnya boleh tayamum ketika sulit memakai air shalat fardhu sambil
duduk.
3.
Keadaan
terpaksa yang membahayakan kepada kelangsungan hidupnya.
4.
Lupa,
misalnya seseorang lupa makan dan minum pada waktu puasa, lupa membayar utang
tidak diberi sanksi tetapi bukan pura-pura lupa.
5.
Ketidaktahuan,
misalnya orang yang baru masuk Islam karena tidak tahu, kemudian makan makanan
yang diharamkan, maka dia tidak dikenai sanksi.
6.
Umum
al-Balwa, misalnya kebolehan bai al-salam (Uangnya dahulu, barangnya belum
ada). Kebolehan dokter melihat kepada bukan mahramnya demi untuk mengobati
sekadar yang dibutuhkan dalam pengobatan.
7.
Kekuranganmampuan
bertindak hukum (al-naqsh), misalnya anak kecil, orang gila, orang dalam
keadaan mabuk.[6]
c.
Klasifikasi
kesulitan
Dr. Wahbah az-Zuhaili mengklasifikasikan
kesulitan dalam 2 kategori, yaitu:
1.
Kesulitan
Mu’tadah
Kesulitan mu’tadah adalah kesulitan yang
alami, dimana manusia mampu mencari jalan keluarnya sehingga ia belum masuk
pada keterpaksaan. Kesulitan model ini tidak dapat di hilangkan taklif dan
tidak menyulitkan untuk melakukan ibadah. Misalnya seseorang kesulitan mencari
pekerjaan, ia dapat pekerjaan yang sangat berat, keberatan ini bukan berarti
diperbolehkan keringanan dalam melakukan shalat atau puasa dan sebagainya, atau
karena kesulitan mencari ma’isah ittu menggugurkan hukum qishas.
2.
Kesulitan
Qhairu Mu’tadah
Kesulitan qhairu mu’tadah adalah
kesulitan yang tidak pada kebiasaan, dimana manusia tidak mampu memikul
kesulitan itu. Karena jika ia melakukannya niscaya akan merusak diri dan
memberatkan kehidupannya, dan kesulitan-kesulitan ini dapat diukur oleh
criteria akal sehat. Syariat sendiri serta kepentingan yang dicapainya,
kesulitan semacam ini diperbolehkan menggunakan dispensasi (rukhsah).
d.
Tingkatan
kesulitan dalam ibadah
Dr. Wahbah az-Zuhaili membagi tingkatan
kesulitan dalam ibadah menjadi 3 macam, yaitu:
1.
Kesulitan Adhimah
Yaitu kesulitan yang dikhawatirkan akan
rusaknya jiwa ataupun jasad manusia.
2.
Kesulitan
Khofifah
Yaitu kesulitan karena sebab yang ringan,
seperti kebolehan menggunakan muza jika sangat dingin menyentuh air.
3.
Kesulitan
Mutawasithah
Yaitu kesulitan yang tengah-tengah antara yang
berat dan yang ringan. Berat ringannya kesulitan tergantung pada persangkaan
manusia, sehingga tidak diwajibkan memilih rukhshah juga tidak dilarang
memilihnya.[7]
E. Kaidah Keempat ( Kaidah yang berkenaan dengan kondisi membahayakan)
a.
Teks
kaidahnya
الضَرَرُيُزَالُ
Artinya: “Kemudaratan harus dihilangkan”.
Seperti dikatakan oleh Izzuddin Ibn Abd
al-Salam bahwa tujuan syariah itu adalah untuk meraih kemaslahatan dan menolak
kemafsadatan. Kaidah tersebut di atas kembali kepada tujuan untuk
merealisasikan maqashid al-syari’ah dengan menolak yang mafsadah, dengan
cara menghilanhkan kemudaratan atau setidaknya meringankannya.
Contoh-contoh
dibawah ini antara lain memunculkan kaidah diatas:
-
Larangan
menimbun barang-barang kebutuhan pokok masyarakat karena perbuatan tersebut
mengakibatkan kemudaratan bagi rakyat.
-
Adanya
berbagai macam sanksi dalam fiqh jinayah (hukum pidana Islam) adalah juga untuk
menghilangkan kemudaratan.
b.
Dasar-dasar
nash yang berkaitan
Firman Allah SWT:
تُفْسِرُوَافِى الْاَرْضِ (الاعراف: ه ه)وَلاَ
Artinya: “Dan jangan kamu sekalian membuat
kerusakan dibumi. “. (QS. al-A’raf : 55).
Sabda Nabi SAW:
لاَضَرَرَوَلاَضِرَارَ
Artinya: “…Tidak boleh membuat kerusakan
pada diri sendiri serta membuat kerusakan pada orang lain”. (HR. Ahmad dan
Ibnu Majah dari Ibnu Abbas).
c.
Kaidah-kaidah
yang berkenaan dengan kondisi mudarat
Kaidah pertama:
اَضَرُوْرَاتُ تُبِيْحُ الْمَحْظُوْرَاتِ
Artinya: “Kemudaratan-kemudaratan itu dapat memperbolehkan
keharaman”.
Batasan kemudaratan adalah suatu hal yang
mengancam eksistensi manusia yang terkait dengan lima tujuan, yaitu memelihara
agama, memelihara jiwa, memelihara akal, memelihara keturunan dan memelihara
keturunan dan memelihara kehormatan atau harta benda.
Kaidah kedua:
مَاأُبِيْعَ للضَرُورَاتِ يُقَدَرُبِقَدَرِهَا
Artinya: “ Apa yang dibolehkan karena
darurat diukur sekadar kedaruratannya”.
Kebolehan berbuat atau meninggalkan sesuatu
karena darurat adalah untuk memenuhi penolakan terhadap bahaya, bukan selain
ini. Dalam kaitan ini Dr. Wahbah az-Zuhaili membagi kepentingan manusia akan
sesuatu dengan 4 klasifikasi, yaitu:
1. Darurat
2. Hajah
3. Manfaat
4. Fudu
Kaidah ketiga:
جَازَ لِعُذْرٍ بَطَلَ بَزَ وَالِهِمَا
Artinya: “Apa yang diizinkan karena adanya
udzur, maka keizinan itu hilang manakala udzurnya hilang”.
Kaidah keempat:
اَلْمَيْسُوْرُلاَيُسْقَطُ بِا لْمَعْسُوْرِ
Artinya: “Kemudahan itu tidak dapat
digugurkan dengan kesulitan”.
Kaidah kelima:
اَلْاِ ضْطَرَارُيُبْطِلُ حَقَ الْغَيْرِ
Artinya: “Keterpaksaan itu tidak dapat
membatalkan hak orang lain”.
Kaidah keenam:
دَرْءُالْمَفَاسِدِاَوْلَى مِنْ جَلْبِى
الْمَصَالِعِ فَاِذَا تَعَارَضَ مَفْسَدَةٌ وَمَصْلَحَةٌ قُدِ مَ دَ فْعُ
الْمَفْسَدَةِ غَا لِبًا
Artinya: “Menolak kerusakan lebih diutamakan
daripada menarik mashlahah dan apabila berlawanan antara yang mafsadah dan
mashlahah maka yang didahulukan adalah menolak mafsadahnya”.
Kaidah ketujuh:
اَلضَرَرُلاَيُزَالُ بِا لضَرَرِ
Artinya: “Kemudaratan itu tidak dapat
dihilangkan dengan kemudaratan yang lain”.
Kaidah kedelapan:
اِذَاتَعَارَضَ مَفْسَدَ تَانِ رُوْ عِيْ
اَعْظَمُهَا ضَرَرًابِارْ تِكَا بِ الْخَفِّهِمَا
Artinya: “Apabila dua mafsadah bertentangan,
maka perhatikan mana yang lebih besar mudaratnya dengan memilih yang lebih
ringan mudaratnya”.
Kaidah kesembilan:
اَلْحَا جَةُ الْعْا مَةُ اَوِالْخَا صَةُ
تَنْزِلُ مَيْزِ لَةَ الضَرُوْرَةِ
Artinya: “Kebutuhan umum atau khusus dapat
menduduki tempatnya darurat”.[9]
F. Kaidah Kelima (Kaidah yang berkenaan adat kebiasaan)
a.
Teks
kaidahnya
اَلعَا دَةُ مُحَكَمَةٌ
Artinya: “Adat kebiasaan dapat ditetapkan
sebagai hukum”.
Sebelum Nabi Muhammad SAW diutus, adat
kebiasaan sudah berlaku di masyarakat baik di dunia Arab maupun dibagian lain
termasuk di Indonesia. Adat kebiasaan suatu masyarakat dibangun atas dasar
nilai-nilai yang dianggap oleh masyarakat tersebut. Nilai-nilai tersebut
diketahui, dipahami, disikapi, dan dilaksanakan atas dasar kesadaran masyarakat
tersebut.
b.
Dasar-dasar
nash kaidah
Firman Allah SWT:
وَعَا شِرُوَهُنَ بِا الْمَعْرُوْفِ
Artinya: “ Dan pergaulilah mereka
(istri-istrimu) dengan cara yang ma’ruf(baik)”. (HR. Ahmad dari Ibnu
Mas’ud).
Sabda Nabi SAW:
اَلْعَادَةُمَا اسْتَمَرَالنَاسُ عَلَيْهِ عَلَى
حُكْمِ الْمَعْقُوْ لِ وَعَادُوْا اِلَيْهِ مَرَةً بَعْدَاُخْرَى
Artinya: “Apa yang dipandang baik oleh
muslim maka baik pula disisi Allah”. (HR. Ahmad dari Ibnu Mas’ud).
c.
Kaidah
yang berkaitan dengan adah
Diantara kaidah-kaidah cabang dari kaidah
al-adah muhkamah adalah sebagai berikut:
1.
Kaidah
pertama:
إِسْتِعْمَا لُ النَاسِ حُجَةٌ يَجِبُ العَمَلُ
بِهَا
Artinya: “Apa yang biasa diperbuat orang
banyak adalah hujjah yang wajib diamalkan”.
2.
Kaidah
kedua:
إِنَمَا تُعْتَبَرُ العَادَةُ إِذَا اضْطَرَ دَتْ
أَوْغَلَبَتْ
Artinya: “Adat yang dianggap(sebagai
pertimbangan hukum) itu hanyalah adat yang terus menerus berlaku atau berlaku
umum”.
3.
Kaidah
ketiga:
العِبْرَةُ لِلفَا لِبِ الشَا ئِعِ لاَ لِلنَا
دِرِ
Artinya: “Adat yang diakui adalah yang
umumnya terjadi yang dikenal oleh manusia bukan dengan yang jarang terjadi”.
4.
Kaidah
keempat:
الْمَعْرُوْفُ عُرْ فًا كَا لَمَشْرُوْ طِ شَرْ
صً
Artinya: “Sesuatu yang telah dikenal karena
‘urf seperti yang disyaratkan dengan suatu syarat”.
5.
Kaidah
kelima:
الْمَعْرُوَفُ بَيْنَ التُجَارِ كَ لمَشْرُوْ طِ
بَيْنَهُمْ
Artinya: “Sesuatu yang telah dikenal
diantara pedagang berlaku sebagai syarat diantara mereka”.
6.
Kaidah
keenam:
التَعْيِيْنُ بِا لعُرْ فِ كَا لتَعْبِيْنِ بِا
لنَص
Artinya: “Ketentuan berdasarkan ‘urf seperti
ketentuan berdasarkan nash”.
7.
Kaidah
ketujuh:
الْمُمْتَنَعُ عَا دَةً كَا لمُمْتَنَعِ
حَقَيْقَةً
Artinya: “Sesuatu yang tidak berlaku
berdasarkan adat kebiasaan seperti yang tidak berlaku dalam kenyataan”.
8.
Kaidah
kedelapan:
الحَقِيْقَةُ تُتْرَ كُ بِدَ لاَ لَةِا لعَا دَةِ
Artinya: “Arti hakiki ditinggalkan karena
ada petunjuk arti menurut adat”.
9.
Kaidah
kesembilan:
الإِذْ نُ العُرْ فِى كَا لإِذْ نِ اللَفْظِى
Artinya: “ Pemberian izin menurut adat
kebiasaan adalah sama dengan pemberian izin menurut ucapan”.[10]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kaidah asasi dinamakan kaidah ushul, yaitu
kaidah pokok dari segala kaidah fiqhiyah yang ada. Lima kaidah asasi yaitu:
1.
Kaidah
yang berkaitan dengan niat
الأُ مُورُ
بِمِقَا صِدَ هَا
“Segala perkara tergantung kepada niatnya”
2.
Kaidah
yang berkenaan dengan keyakinan
اَلْيَقِيْنُ لاَيُزَالُ بِا لشَكِ
“Keyakinan itu tidak dapat dihilangkan dengan
kerugian”.
3.
Kaidah
yang berkenaan dengan kondisi menyulitkan
المَشَقَةُ تَجْلِبُ التَيْسِيْرُ
“Kesulitan mendatangkan kemudahan”.
4.
Kaidah
yang berkenaan dengan kondisi membahayakan
الضَرَرُيُزَالُ
“Kemudaratan harus dihilangkan”.
5.
Kaidah
yang berkenaan adat kebiasaan
اَلعَا دَةُ مُحَكَمَةٌ
“Adat kebiasaan dapat ditetapkan sebagai
hokum”.
DAFTAR PUSTAKA
Azhar, 2015.Ushul Fiqih. Medan : Fakultas Tarbiyah IAIN SU
A. Djazuli, 2006.Kaidah-Kaidah
Fikih, Jakarta, Prenada Media Group.
Muhlish,
Usman. 1996. Kaidah-Kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyah, Jakarta, Raja
Grafindo,
Jaih,
2002.Sejarahan Kaidah Asasi, Jakarta, Raja Grafindo Persada.
No comments:
Post a Comment