Sunday 26 February 2017

“Sumber dan Hukum Islam” “yang Disepakti”



“yang Disepakti”

.. 14


BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Islam adalah agama yang sempurna yang sudah barang tentu mengandung aturan  yang harus dipatuhi dan dijalankan oleh seluruh umatnya. Setiap aturan dan hukum  memiliki sumbernya sendiri sebagai pedoman dalam pelaksanaannya. Islam sebagai agama yang sempurna memiliki hukum yang datang dari Yang  Maha Sempurna. Yang disampaikan melalui Rosulnya Muhammad SAW. Hukum Islam  termaktub lengkap dalam Al-Qur’an dan Sunnah, yang kemudian disebut sebagai Sumber Hukum Islam. Al-qur’an dan Sunnah adalah dua hal yang menjadi pedoman utama bagi  umat Islam dalam menjalankan hidup demi mencapai kesempurnaan dunia dan akhirat. Selain Al-qur’an dan sunnah, juga terdapat beberapa dalil yang dijadikan sebagai  Sumber Hukum Islam, diantaranya ialah Ijma’ dan Qiyas.

B. PERUMUSAN MASALAH

1. . Apa yang disebut dengan Al-qur’an ?
2. Apa yang disebut dengan Sunnah ?
3. Apa yang disebut Ijma’?
4. Apa yang disebut Qiyas ?


BAB II

PEMBAHASAN

A.          Al – Qur’an

1. Pengertian Al – Qur’an                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                              
            Secara etimologis Al-Qur’an adalah bentuk mashdar dari kara qara-a sewazan dengan kata fu’laan artinya; bacaan, berbicara tentang apa yang ditulis padanya; atau melihat dan menelaah. Dalam pengertian ini, kata berarti yaitu isim maf’ul (objek) dari

Pengertian diatas dapat kita baca dalam surah Al-Qiyamah ayat 17-18 sebagai berikut : [1]
اِنَّ عَلَيْنَا جَمْعَه وَقُرْانَه . فَإِﺫَﺍ قَرَأْ نَه فَاتَّبِعْ قُرْانَه (القيامة : 17-18)
Artinya: "Sesungguhnya atas tanggungan Kamilah mengumpulkannya dan membacanya. Apabila Kami telah selesai membacakannya maka ikutilah bacaannya itu. (Q.S. Al- Qiyamah, 17-18)
Al-Qur’an menurut terminology ( istilah ) adalah nama bagi kalamullah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. Yang ditulis dalam mushhaf. Secara lengkap Dr.Bakhri Syaikh Amin mendefenisikan Al-Qura’an sebagai berikut :
               Artinya:  "
               “Al-Qur’an adalah kalam Allah SWT yang mengandung kemukjizatan, yang diturunkan kepada penutup para nabi dan rasul, melalui perantaraan malaikat Jibril, ditulis dalam mushaf, dihafal di dalam dada, disampaikan kepada kita secara mutawatir, membacanya memiliki nilai ibadah, (disusun secara sistematis) mulai dari surat al-Fatihah sampai surat al-Nas”.[2]
Menurut Al-Sarkhisi, Al-Qur’an adalah, kitab yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw., ditulis dalam mushhaf, diturunkan dengan huruf yang tujuh yang masyhur dan dinulikan secara mutawatir.
Al-Qur’an diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. Tidak hanya untuk memperkuat kerasulannya dan sebagai kemukjizatannya yang abadi, telah diturunkannya itu mempunyai fungsi dan tujuan  bagi umat manusia.
            Setelah melihat definisi di atas, maka jelaslah bagi kita, bahwa Al-Quran mempunyai kekhususan dan keistimewaan  dari kitab-kitab lainnya. Maka apabila ada sesuatu yang bertentangan dengan keistimewaan Al-Quran, maka tidak bisa dikatakan sebagai al-Quran. Adapun kekhususan dan keistimewaan menurut Syarmin Syukur sebagai berikut.
·         Bahwa Al-Quran baik kalimat dan maknanya, datang dari Allah SWT. Dan Rasul saw dalam hal ini tidak lain hanyalah menyampaikan saja kepada manusia. Ia diturunkan Allah melalui malaikat Jibril, dengan kalimat yang sama   persis dengan yang ada sekarang ini.
·                  Al-Quran diturunkan kepada Rasulullah dengan lafadz dan uslub bahasa.
·                  Bahwa Al-Quran telah diriwayatkan dengan cara mutawatir yang memfaedahkan ilmu yang qath’I (pasti) dan yakin lantaran periwayatan dan ketetapannya yang sah.
2.      Kehujjahan Al-Quran
            Hukum Islam merupakan hukum ke-Tuhanan. Ini merupakan dalil pokok dan merupakan jalan untuk mengetahui hukum-hukum ini. Maka Al-Quran, yakni firman Allah adalah merupakan jalan pertama untuk mengetahui hukum-hukum-Nya. Alasan bahwa Al-Quran adalah hujjah bagi umat manusia dan bahwa hukum yang dikandungnya adalah undang-undang yang harus ditaati, karena Al-Quran diturunkan langsung dari Allah dan diterima oleh manusia dari Allah dengan cara yang pasti, tidak diragukan lagi kebenarannya. Adapun kehujjahan Al-Quran menurut pandangan Ulama Imam Mazhab sebagai berikut: [3]
a.       Pandangan Imam Abu Hanifah
Sependapat dengan jumhur ulama bahwa Al-Quran merupakan sumber hukum islam. Namun, menurut sebagian besar ulama, Imam Abu Hanifah berbeda pendapat dengan jumhur ulama, mengenai Al-Quran itu mencakup lafazh dan maknanya. Diantara dalil yang menunjukan pendapat Imam Abu Hanifah bahwa Al-Quran hanya maknanyasaja adalah ia membolehkan shalat dengan menggunakan bahasa selain bahasa Arab.
b.       Pandangan Imam Malik
Menurut Imam Malik, hakikat Al-Quran adalah kalam Allah yang lafadz dan maknanya dari Allah SWT. Ia bukan makhluk karena kalam Allah termasuk sifat Allah.  
c.       Pandangan Asy-Syafi’i
Imam As-Syafi’i sebagaimana para ulama lainnya, menetapkan bahwa Al-Quran merupakan sumber hukum Islam yang paling pokok, bahkan beliau berpendapat. “Tidak ada yang diturunkan kepada penganut agama manapun, kecuali petunjuknya terdapat dalam Al-Quran.” Oleh karena itu, Imam Syafi’i senantiasa mencantumkan nash-nash Al-Quran setiap kali mengeluarkan pendapatnya, sesuai metode yang digunakan, yakni deduktif.
Namun, As-Syafi’i menganggap bahwa Al-Quran tidak bisa dilepaskan dari As-Sunnah, karena kaitan antara keduanya sangat erat sekali. Kalau para ulama lain menganggap bahwa sumber hukum islam yang pertama itu Al-Quran kemudian As-Sunnah, maka Imam Syafi’i berpendapat bahwa sumber hukum islam yang pertama itu Al-Quran dan As-Sunnah, sehingga seakan-akan beliau menganggap keduanya berada pada satu martabat.
d.      Pandangan Imam Ahmad Ibnu Hambal
Al-Quran merupakan sumber dan tiangnya syari’at Islam, yang di dalamnya terdapat berbagai kaidah yang tidak akan berubah dengan perubahan zaman dan tempat. Al-Quran juga mengandung hukum-hukum global dan penjelasan mengenai akidah yang benar, disamping sebagai hujjah untuk tetap berdirinya agama Islam.
Ahmad Ibnu Hambal sebagaimana para ulama lainnya berpendapat bahwa Al-Quran itu sebagai sumber pokok Islam, kemudian disusul oleh As-Sunnah. Namun, seperti halnya Imam As-Syafi’i, Imam Ahmad memandang bahwa As-Sunnah mempunyai kedudukan yang kuat di samping Al-Quran, sehingga tidak jarang beliau menyebutkan bahwa sumber hukum itu adalah nahs, tanpa menyebutkan Al-Quran dahulu atau As-Sunnah, tetapi yang dimaksud nash tersebut adalah Al-Quran dan As-Sunnah.

3.     (Petunjuk) Dilalah Al-Quran
Kaum muslimin sepakat bahwa Al-Quran merupakan sumber hukum syara’. Mereka pun sepakat bahwa semua ayat Al-Quran dari segi wurud (kedatangan) dan tsubut (penetapannya) adalah qath’i. Hal ini karena semua ayatnya sampai kepada kita dengan jalan mutawatir. Kalaupun ada sebagian sahabat yang mencantumkan beberapa kata pada mushafnya, yang tidak ada pada qiraahnya mutawatir, hal itu hanya merupakan penjelasan dan penafsiran terhadap Al-Quran yang didengar dari Nabi SAW.[4]

B.     As-Sunnah

1.       Pengertian As-Sunnah ( Hadist)
Secara etimologis hadits dapat diartikan: baru, tidak lama, ucapan, pembicaraan, cerita. Menurut ahli hadits: segala ucapan, perbuatan, dan keadaan Nabi Muhammad SAW. atau segala berita yang bersumber dari Nabi Muhammad SAW. berupa ucapan, perbuatan, takrir, maupun deskripsi sifat-sifat Nabi SAW.  Menurut ahli usul fiqh: segala perkataan, perbuatan, dan takrir Nabi SAW yang bersangkut-paut dengan hukum.
”. “Siapa yang membuat Sunnah yang baik maka baginya pahala serta pahala orang yang mengerjakannya dan siapa yang membuat sunnah yang buruk, maka baginya siksaan serta siksaan orang yang mengerjakannya sampai hari kiamat
maka sunnah itu dapat dibedakan menjadi 3 macam, yaitu:[5]
1)      Sunnah qauliyyah ialah sabda yang beliau sampaikan dalam beraneka tujuan dan kejadian. Misalnya sabda beliau sebagai berikut.
Tidak ada kemudharatan dan tidak pula memudharatkan. (HR. Malik).
Hadis di atas termasuk sunnah qauliyyah yang bertujuan memberikan sugesti kepada umat Islam agar tidak membuat kemudharatan kepada dirinya sendiri dan orang lain.
2)      Sunnah fi’liyyah ialah segala tindakan Rasulullah Saw. Misalnya tindakan beliau melaksanakan shalat 5 waktu dengan menyempurnakan cara-cara, syarat-syarat dan rukun-rukunnya, menjalankan ibadah haji, dan sebagainya.
3)      Sunnah taqririyah ialah perkataan atau perbuatan sebagian sahabat, baik di hadapannya maupun tidak di hadapannya, yang tidak diingkari oleh Rasulullah Saw atau bahkan disetujui melalui pujian yang baik. Persetujuan beliau terhadap perkataan atau perbuatan yang dilakukan oleh sahabat itu dianggap sebagai perkataan atau perbuatan yang dilakukan oleh beliau sendiri.
2.       Fungsi As-Sunnah terhadap Al-Qur’an
     Fungsi As-Sunnah terhadap al-Qur’an dari segi kandungan hukum mempunyai 3 fungsi sebagai berikut.
1)        As-Sunnah berfungsi sebagai ta’kid (penguat) hukum-hukum yang telah ada dalam Al-Qur’an. Hukum tersebut mempunyai 2 dasar hukum, yaitu Al-Qur’an sebagai penetap hukum dan As-Sunnah sebagai penguat dan pendukungnya. Misalnya, perintah mendirikan shalat, mengeluarkan zakat, larangan syirik, riba dan sebagainya.
2)        As-Sunnah sebagai bayan (penjelas)
3)        takhshish (pengkhusus) dan taqyid (pengikat) terhadap ayat-ayat yang masih mujmal (global), ‘am (umum) atau muthlaq (tidak terbatasi), yaitu ayat-ayat Al-Qur’an yang belum jelas petunjuk pelaksanaannya, kapan dan bagaimana, dijelaskan dan dijabarkan dalam As-Sunnah. Misalnya, perintah shalat yang bersifat mujmal dijabarkan dengan As-Sunnah. Nabi Saw bersabda: “Shalatlah kalian seperti kalian melihat (mendapatkan) aku shalat.” (HR. Bukhari)
3.      Kehujjahan As-Sunnah
Kedudukan As-Sunnah sebagai sumber ajaran Islam, selain didasarkan pada keterangan ayat-ayat al-Qur’an dan hadits, juga didasarkan kepada kesepakatan para sahabat. Para sahabat telah bersepakat menetapkan kewajiban mengikuti sunnah Rasulullah Saw. Para ulama telah sepakat bahwa As-Sunnah dapat dijadikan hujjah (alasan) dalam menentukan hukum. Namun demikian, ada yang sifatnya mutaba’ah(diikuti) yaitu tha’ah dan qurbah (dalam taat dan taqarrub kepada Allah) misalnya dalam urusan aqidah dan ibadah, tetapi ada juga yang ghair mutaba’ah (tidak diikuti) yaitu jibiliyyah (budaya) dan khushushiyyah (yang dikhususkan bagi Nabi). Contoh jibiliyyah seperti mode pakaian, cara berjalan, makanan yang disukai. Adapun contoh khushushiyyah adalah beristri lebih dari empat, shaum wishal sampai 2 hari dan shalat 2 rakaat ba’da Ashar.
Hukum-hukum yang dipetik dari As-Sunnah wajib ditaati sebagaimana hukum-hukum yang diistinbathkan dari al-Qur’an sebagaimana diungkapkan dalam QS Ali- Imran: 32, An- Nisa: 80, 59 dan 65, dan Al- ahzab: 36.

C. Ijma’

1.     Pengertian Ijma’
Ijma’ menurut bahasa, artinya : sepakat, setuju, atau sependapat. Sedangkan menurut istilah, ialah : [6]
اتّفاق مجتهدى امّة محمّد صلى الله عليه وسلّم بعد وفاته فى عصر من الاعصار على امر من الامور.
            Artinya :
“Kesamaan pendapat para mujtahid umat Nabi Muhammad saw. setelah beliau wafat, pada masa tertentu tentang masalah tertentu”.
Dari pengertian diatas dapatlah diketahui, bahwa kesepakatan orang-orang yang bukan mujtahid, sekalipun mereka alim atau kesepakatan orang-orang semasa dengan nabi tidaklah disebut sebagai ijma’.
Para ulama’ berbeda pendapat mengenai jumlah mujtahid yang setuju atau sepakat sebagai ijma’, namun pendapat jumhur, ijma’ itu disyaratkan setuju paham mujtahid (ulama) yang ada pada masa itu. Tidak sah ijma’ jika salah seorang ulama dari mereka yang hidup pada masa itu menyalahinya. Selain itu, ijma’ ini harus berdasarkan kepada Al-Qur’an dan as-Sunnah dan tidak boleh didasarkan kepada yang lainnya.
Contoh mengenai ijma’ antara lain ialah menjadikan as-Sunnah sebagai salah satu sumber islam. Semua mujtahid dan bahkan semua umat islam sepakat (ijma’) menetapkan as-Sunnah sebagai salah satu sumber hukum islam.
Kesepakatan ulama ini dapat terjadi dengan tiga cara, yaitu :
1. Dengan ucapan (Qouli),
2. dengan perbuatan (Fi’li),
3. dengan diam (sukut)



2.        Macam-macam Ijma’
            Menurut Abdul Karim Zaidan,Ijma’ terbagi dua yaitu:[7]
1.      Ijma’Sarih ( tegas )
Ijma’sarih adalah kesepakatan tegas dari para Mujtahid dimana masing masing mujtahid menyatakan persetujuanya  secara tegas terhadap kesimpulan itu.
2.      Ijma’ Sukuti
Ijma’ sukuti adalah bahwa sebagian ulama mujtahid lainya hanya diam tanpa komentar.para ulama  Ushul fiqh berbedada pendapat mengenai ijma’ sukuti ini. Menurut ulama imam syafi’I dan kalangan malikiyah,ijma’ sukuti tidak dapat dijadikan hujjah karna diamnya sebagian mujtahid belum tentu menandakan setuju. Sedangkan mmenurut hanafiyah dan Hanabilah,ijma’ sukuti adalah sah dijadikan hukum  karna  diamnya sebagian ulama  mujtahid dipahami sebagai persetujuan,karena jika mereka tidak setuju dan memandangnya keliru mereka harus tegas menentangnya .
3.        Kedudukan Ijma’ Sebagai Sumber Hukum
Kebanyakan ulama menetapkan bahwa ijma' dapat dijadikan hujjah dan sumber hukum islam dalam menetapkan sesuatu hukum dengan nilai kehujjahan bersifat dzhanny. Golongan syi'ah memandang bahwa ijma' ini sebagai hujjah yang harus diamalkan. Sedang ulama-ulama Hanafi dapat menerima ijma' sebagai dasar hukum, baik ijma' qath'iy maupun dzhanny. Sedangkan ulama-ulama Syafi'iyah hanya memegangi ijma' qath'iy dalam menetapkan hukum.
Dalil penetapan ijma' sebagai sumber hukum islam ini antara lain adalah :
Firman Allah dalam surat An-Nisa' ayat 59 :[8]
يايهاالذين امنوا اطيعوا الله واطيعوا الرسول واولى الأمر منكم ( النساء : 59)
Artinya :
"Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan rasul-Nya dan Ulil Amri diantara kamu".
Yang dimaksud "ulil amri" ialah orang-orang yang memerintah dan para ulama. Menurut hadits:
لاتجتمع أمّتى على الضّلالة
Artinya:
            "Ummatku tidak bersepakat atas kesesatan".

            Menurut sebagian ulama bahwa yang dimaksud dengan Ulil Amri fid-dunya, yaitu penguasa, dan Ulil Amri fid-din, yaitu mujtahid. Sebagian ulama lain menafsirkannya dengan ulama.
Ijma' ini menempati tingkat ketiga sebagai hukum syar'iy, yaitu setelah Al-Qur'an dan as-Sunnah.
Dari pemahaman seperti ini, pada dasarnya ijma' dapat dijadikan alternatif dalam menetapkan hukum sesuatu peristiwa yang di dalam Al-Qu'an atau as-Sunnah tidak ada atau kurang jelas hukumnya.
4.       Sebab-sebab Dilakukan Ijma'
Di antara sebab-sebab dilakukannya ijma' ialah :
1.        Karena adanya persoalan-persoalan yang harus dicarikan status hukumnya, sementara di dalam nash Al-Qur'an dan as-Sunnah tidak diketemukan hukumnya.
2.      Karena nash baik yang berupa Al-Qur'an maupun as-Sunnah sudah tidak turun lagi atau telah berhenti.
3.       Karena pada masa itu jumlah mujtahid tidak terlalu banyak dan karenanya mereka mudah dikoordinir untuk melakukan kesepakatan dalam menentukan status hukum persoalan permasalahan yang timbul pada saat itu.
4..      Di antara para mujtahid belum timbul perpecahan dan kalaulah ada perselisihan pendapat masih mudah dipersatukan.

D.    Qiyas

1.   Pengertian Qiyas
Qiyas menurut bahasa berarti mengukur, memperbandingkan, atau mempersamakan sesuatu dengan lainnya dikarenakan adanya persamaan. Sedang menurut istilah qiyas ialah menetapkan hukum sesuatu yang belum ada ketentuan hukumnya dalam nash dengan mempersamakan sesuatu yang telah ada status hukumnya dalam nash.
Menurut  Shadr Asy- Syariat menyatakan bahwa qiyas dalah pemindahan hokum yang terdapat pada ash kepada furu’ atas dasar illat yang tidak dapat diketahui dengan logika bahasa.[9]
b.  Kedudukan Qiyas sebagai sumber hukum Islam
Qiyas menurut para ulama adalah hujjah syar'iyah yang keempat sesudah Al-Qur'an, Hadits dan Ijma'.
Mereka berpendapat demikian dengan alasan:
Firman Allah :
فاعتبروا يااولى الابصار. ( الحسر : 2)
Artinya:
"Hendaklah kamu mengambil i'tibar (ibarat = pelajaran) hai orang-orang yang berfikiran". (S. Al-Hasyr ayat 2)
Karena i'tibar artinya "qiyasusysyai-i bisysyai-i : membandingkan sesuatu dengan sesuatu yang lain".
2.   Rukun Qiyas
Ø    Al-Ashlu ( الأصل  )
Yang dimaksud al-ashlu adalah sesuau yang norma hukumnya telah ditemukan dalam nash yang peristiwa lain akan diqiyaskan padanya. Para ahli ushul al-fiqh juga menyebutnya sebagai “maqis alaih”
Ø  Al-Hukmu (  الحكم  )
Yang dimaksud dengan al-hukmu adalah norma yang ada pada al-ashlu sesuai nash yang ditemukan pada saatnya akan diberlakukan peristiwa yang diqiyaskan karena adanya persamaan illat.
Ø  Al-Far’u (    الفرع  )
Al-Far’u adalah sesuai peristiwa atau kasus yang akan dicarikan normanya dengan cara mengqiyaskan dengan al-ashlu.
Ø  Al-Illah (   العلة  )
Sebagai penghubung antara al-ashlu dan al-far’u dalam hokum yang ada padanya. Artinya hokum yang ada pada al-ashlu bisa juga diberikan pada kepada al-far’u manakala ada kesamaan antara keduanya dalam illat.
Tingkatan Qiyas
   Jika dilihat dari sisi tingkat kekuatannya, Qiyas itu dapat dibedakan menjadi tiga tingkatan, yaitu:[10]
1.               Qiyas Aulawi
                        Yakni qiyas dimana alas an ditetapkannya hokum pada al-far’u lebih kuat dari pada yang ada pada al-ashlu, seperti mengkiyaskan “memukul” pada “berkata kasar” dari ayat yang melarang berkata kasar kepada orang tua :
فلاتقغ لهما أفّ
Maka kamu jangan berkata kasar kepada kedua orang tuamu.
Karena memukul orang tua itu lebih menyakitkan dari pada berkata kasar kepada yang lain. Jika berkata kasar dalam ayat tersebut hukumnya haram maka memukul kedua orang tua pun haram huukumnya, bahkan lebih berat. Qiyas macam ini oleh ulama Hanafiyah disebutkan dengan istilah “dalalah al-nash”.
2     Qiyas Musawy
      Jika sifat yang ada pada al faru sepadan dengan yang ada pada al-ashlu, seperti diqiyaskannya budak laki laki dengan  perempuan (amat) dalam hal sanksi yang diterimanya  ketika ia melakukan perbuatan pidana yang mengakibatkan diterapkannya hukuman dera. Perhatikan ayat dibawah ini :
فاء ن أتين بفحشة فعليهنّ نصف ما على المحصنت من العذاب
Maka jika para budak perempuan itu melakukan tindak pidana, maka ia dikenakan seperdua sanksi perempuan merdeka.
Contoh lain misalnya diqiyaskannya pembakaran harta anak yatim dengan memakannya. baik membakar maupun memakan itu sama dalam hal merusak dan menghancurkan yang berakibat harta anak yatim itu tidak dapat dimanfaatkan lagi.
3. Qiyas Naqish
            Qiyas naqish ini juga dikenal dengan nama qiyas adna yaitu jika sifat yang ada pada al faru dan menghubungkannya dengan al-ashlu lebih rendah. Tingkat kekutan sifat yang menghubungkan antara al faru dan al-ashlu ini tidak pada hukumnya. Artinya hokum yang ada pada al-ashlu tetap diperlakukan pada al faru meskipun sifat yang ada pada al faru lebih rendah. Seperti diqiyaskannya buah apel pada gandum karena sama sama makanan, sehingga larangan pertukaran antara keduanya juga berlaku kecuali dengan timbangan yang sama. Contoh lain dari qiyas adna ini misalnya diqiyaskannya anggur (al-nabidz) dengan al-khamr (arak) dalam hal haramnya meminum dan adanya sanksi had padanya.
Macam terkhir ini disepakati termasuk dalam kelompok qiyas, sedang dua macam sebelumnya, para ulama berbeda pandangan apakah keduanya termasuk qiyas atau tidak.
            Ulama Hanafiyah memandang bahwa keduanya tidak termasuk qiyas, tapi termasuk nash. sebagaimana telah disampaikan  di atas bahwa beliau menyebutnya sebagai “dalalah al-nash”. sedang ulama Syafiiyah menganggap keduanya sebagai qiyas. perbedaan ini hanya pada penyebutannya saja.


BAB III

PENUTUP

A.      Kesimpulan

                          Al-Qur’an adalah kalam Allah SWT yang mengandung kemukjizatan, yang diturunkan kepada penutup para nabi dan rasul, melalui perantaraan malaikat Jibril, ditulis dalam mushaf, dihafal di dalam dada, disampaikan kepada kita secara mutawatir, membacanya memiliki nilai ibadah, (disusun secara sistematis) mulai dari surat al-Fatihah sampai surat al-Nas”.
Sunnah segala ucapan, perbuatan, dan keadaan Nabi Muhammad SAW. atau segala berita yang bersumber dari Nabi Muhammad SAW. berupa ucapan, perbuatan, takrir, maupun deskripsi sifat-sifat Nabi SAW.  Menurut ahli usul fiqh: segala perkataan, perbuatan, dan takrir Nabi SAW yang bersangkut-paut dengan hokum
kesepakatan orang-orang yang bukan mujtahid, sekalipun mereka alim atau kesepakatan orang-orang semasa dengan nabi tidaklah disebut sebagai ijma’.

Menurut  Shadr Asy- Syariat menyatakan bahwa qiyas dalah pemindahan hokum yang terdapat pada ash kepada furu’ atas dasar illat yang tidak dapat diketahui dengan logika bahasa







DAFTAR FUSTAKA

Azhar . 2015 . Ushul Fiqih . Medan : Fakultas Tarbiyah IAIN SU
 Koto , Alaidin. 2009. Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh. Ed.Revisi. cet.3. Jakarta: Pt Rajagrafindo Prasada.
Syafe’i  , Rachmad .Ilmu Ushul Fiqih  Bandung : CV.Pustaka Setia. Cet 3 .2007
Syarifuddin, Amir.2008 .Ushul Fiqh Jilid 1. cet.3Jakarta: Kencana,





[1] .Rachmad , Syafe’i , Ilmu Ushul Fiqih ( Bandung : CV.Pustaka Setia,Cet 3 ,2007 ) hal.49
[2] Azhar,Ushul Fiqih ( Medan : Fakultas Tarbiyah IAIN SU,2015,) hal. 20

[3] .Ibid.Hal .22 - 25
[4] .Alaidin Koto,Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh,( Jakarta:Pt Rajagrafindo Prasada,Ed.Revisi,cet.3,2009)hal:67
[5] Amir Syarifuddin,Ushul Fiqh Jilid 1,( Jakarta: Kencana,cet.3,2008) hal.83-88

[6] Alaidin Koto,Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh,( Jakarta:Pt Rajagrafindo Prasada,Ed.Revisi,cet.3,2009)hal:78

[7] Azhar,Ushul Fiqih ( Medan : Fakultas Tarbiyah IAIN SU,2015,) hal. 41
[8] Amir Syarifuddin,Ushul Fiqh Jilid 1,( Jakarta: Kencana,cet.3,2008) hal.130

[9]  Azhar,Ushul Fiqih ( Medan : Fakultas Tarbiyah IAIN SU,2015,) hal. 42

[10] Ibid.Hal 45

No comments:

Post a Comment

PENERAPAN STRATEGI PEMBELAJARAN KOPERATIF DALAM PEMBELAJARAN FIQIH

  BAB I PENDAHULUAN A.      Latar Belakang Salah satu strategi yang dapat diterapkan dalam pembelajaran di kelas adalah pembe...