BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Islam adalah agama yang sempurna yang sudah barang tentu
mengandung aturan yang harus dipatuhi
dan dijalankan oleh seluruh umatnya. Setiap aturan dan hukum memiliki sumbernya sendiri sebagai pedoman
dalam pelaksanaannya. Islam sebagai agama yang sempurna memiliki hukum yang
datang dari Yang Maha Sempurna. Yang
disampaikan melalui Rosulnya Muhammad SAW. Hukum Islam termaktub lengkap dalam Al-Qur’an dan Sunnah,
yang kemudian disebut sebagai Sumber Hukum Islam. Al-qur’an dan Sunnah adalah
dua hal yang menjadi pedoman utama bagi umat
Islam dalam menjalankan hidup demi mencapai kesempurnaan dunia dan akhirat. Selain
Al-qur’an dan sunnah, juga terdapat beberapa dalil yang dijadikan sebagai Sumber Hukum Islam, diantaranya ialah Ijma’
dan Qiyas.
B. PERUMUSAN MASALAH
1.
. Apa yang disebut dengan Al-qur’an ?
2.
Apa yang disebut dengan Sunnah ?
3.
Apa yang disebut Ijma’?
4.
Apa yang disebut Qiyas ?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Al – Qur’an
1.
Pengertian Al – Qur’an
Secara etimologis Al-Qur’an adalah
bentuk mashdar dari kara qara-a sewazan dengan kata fu’laan artinya; bacaan,
berbicara tentang apa yang ditulis padanya; atau melihat dan menelaah. Dalam
pengertian ini, kata berarti yaitu isim maf’ul (objek) dari
Pengertian diatas dapat kita baca dalam surah Al-Qiyamah
ayat 17-18 sebagai berikut : [1]
اِنَّ عَلَيْنَا جَمْعَه وَقُرْانَه .
فَإِﺫَﺍ قَرَأْ نَه فَاتَّبِعْ قُرْانَه (القيامة : 17-18)
Artinya: "Sesungguhnya atas tanggungan Kamilah
mengumpulkannya dan membacanya. Apabila Kami telah selesai membacakannya maka
ikutilah bacaannya itu. (Q.S. Al- Qiyamah, 17-18)
Al-Qur’an menurut terminology ( istilah ) adalah nama bagi
kalamullah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. Yang ditulis dalam
mushhaf. Secara lengkap Dr.Bakhri Syaikh Amin mendefenisikan Al-Qura’an sebagai
berikut :
Artinya: "
“Al-Qur’an adalah kalam Allah SWT yang
mengandung kemukjizatan, yang
diturunkan
kepada penutup para nabi dan rasul, melalui perantaraan malaikat Jibril, ditulis
dalam mushaf, dihafal di dalam dada, disampaikan kepada kita secara mutawatir,
membacanya memiliki nilai ibadah, (disusun secara sistematis) mulai dari surat
al-Fatihah sampai surat al-Nas”.[2]
Menurut Al-Sarkhisi, Al-Qur’an
adalah, kitab yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw., ditulis dalam mushhaf,
diturunkan dengan huruf yang tujuh yang masyhur dan dinulikan secara mutawatir.
Al-Qur’an diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. Tidak hanya
untuk memperkuat kerasulannya dan sebagai kemukjizatannya yang abadi, telah
diturunkannya itu mempunyai fungsi dan tujuan
bagi umat manusia.
Setelah melihat definisi di atas, maka jelaslah bagi kita, bahwa Al-Quran
mempunyai kekhususan dan keistimewaan dari kitab-kitab lainnya. Maka
apabila ada sesuatu yang bertentangan dengan keistimewaan Al-Quran, maka tidak
bisa dikatakan sebagai al-Quran. Adapun kekhususan dan keistimewaan menurut
Syarmin Syukur sebagai berikut.
·
Bahwa Al-Quran baik kalimat dan maknanya, datang dari Allah
SWT. Dan Rasul saw dalam hal ini tidak lain hanyalah menyampaikan saja kepada
manusia. Ia diturunkan Allah melalui malaikat Jibril, dengan kalimat yang
sama persis dengan yang ada sekarang ini.
·
Al-Quran diturunkan kepada Rasulullah dengan lafadz dan
uslub bahasa.
·
Bahwa Al-Quran telah diriwayatkan dengan cara mutawatir yang
memfaedahkan ilmu yang qath’I (pasti) dan yakin lantaran periwayatan dan
ketetapannya yang sah.
2.
Kehujjahan Al-Quran
Hukum Islam merupakan hukum ke-Tuhanan. Ini merupakan dalil pokok dan merupakan
jalan untuk mengetahui hukum-hukum ini. Maka Al-Quran, yakni firman Allah
adalah merupakan jalan pertama untuk mengetahui hukum-hukum-Nya. Alasan bahwa
Al-Quran adalah hujjah bagi umat manusia dan bahwa hukum yang dikandungnya
adalah undang-undang yang harus ditaati, karena Al-Quran diturunkan langsung
dari Allah dan diterima oleh manusia dari Allah dengan cara yang pasti, tidak
diragukan lagi kebenarannya. Adapun kehujjahan Al-Quran menurut pandangan Ulama
Imam Mazhab sebagai berikut: [3]
a. Pandangan Imam
Abu Hanifah
Sependapat dengan jumhur ulama bahwa
Al-Quran merupakan sumber hukum islam. Namun, menurut sebagian besar ulama, Imam Abu
Hanifah berbeda pendapat dengan jumhur ulama, mengenai Al-Quran itu mencakup
lafazh dan maknanya. Diantara dalil yang menunjukan pendapat Imam Abu Hanifah
bahwa Al-Quran hanya maknanyasaja adalah ia membolehkan shalat dengan
menggunakan bahasa selain bahasa Arab.
b. Pandangan Imam
Malik
Menurut Imam Malik, hakikat Al-Quran
adalah kalam Allah yang lafadz dan maknanya dari Allah SWT. Ia bukan makhluk
karena kalam Allah termasuk sifat Allah.
c. Pandangan
Asy-Syafi’i
Imam As-Syafi’i sebagaimana para ulama
lainnya, menetapkan bahwa Al-Quran merupakan sumber hukum Islam yang paling
pokok, bahkan beliau berpendapat. “Tidak ada yang diturunkan kepada penganut
agama manapun, kecuali petunjuknya terdapat dalam Al-Quran.” Oleh karena itu,
Imam Syafi’i senantiasa mencantumkan nash-nash Al-Quran setiap kali
mengeluarkan pendapatnya, sesuai metode yang digunakan, yakni deduktif.
Namun, As-Syafi’i menganggap bahwa
Al-Quran tidak bisa dilepaskan dari As-Sunnah, karena kaitan antara keduanya
sangat erat sekali. Kalau para ulama lain menganggap bahwa sumber hukum islam
yang pertama itu Al-Quran kemudian As-Sunnah, maka Imam Syafi’i berpendapat
bahwa sumber hukum islam yang pertama itu Al-Quran dan As-Sunnah, sehingga
seakan-akan beliau menganggap keduanya berada pada satu martabat.
d. Pandangan Imam
Ahmad Ibnu Hambal
Al-Quran merupakan sumber dan tiangnya
syari’at Islam, yang di dalamnya terdapat berbagai kaidah yang tidak akan
berubah dengan perubahan zaman dan tempat. Al-Quran juga mengandung hukum-hukum
global dan penjelasan mengenai akidah yang benar, disamping sebagai hujjah
untuk tetap berdirinya agama Islam.
Ahmad Ibnu Hambal sebagaimana para
ulama lainnya berpendapat bahwa Al-Quran itu sebagai sumber pokok Islam,
kemudian disusul oleh As-Sunnah. Namun, seperti halnya Imam As-Syafi’i, Imam
Ahmad memandang bahwa As-Sunnah mempunyai kedudukan yang kuat di samping
Al-Quran, sehingga tidak jarang beliau menyebutkan bahwa sumber hukum itu
adalah nahs, tanpa menyebutkan Al-Quran dahulu atau As-Sunnah, tetapi yang
dimaksud nash tersebut adalah Al-Quran dan As-Sunnah.
3. (Petunjuk) Dilalah
Al-Quran
Kaum muslimin sepakat bahwa Al-Quran
merupakan sumber hukum syara’. Mereka pun sepakat bahwa semua ayat Al-Quran
dari segi wurud (kedatangan) dan tsubut (penetapannya) adalah qath’i. Hal ini
karena semua ayatnya sampai kepada kita dengan jalan mutawatir. Kalaupun ada
sebagian sahabat yang mencantumkan beberapa kata pada mushafnya, yang tidak ada
pada qiraahnya mutawatir, hal itu hanya merupakan penjelasan dan penafsiran
terhadap Al-Quran yang didengar dari Nabi SAW.[4]
B. As-Sunnah
1.
Pengertian As-Sunnah ( Hadist)
Secara etimologis hadits dapat diartikan: baru, tidak lama,
ucapan, pembicaraan, cerita. Menurut ahli hadits: segala ucapan, perbuatan, dan
keadaan Nabi Muhammad SAW. atau segala berita yang bersumber dari Nabi Muhammad
SAW. berupa ucapan, perbuatan, takrir, maupun deskripsi sifat-sifat Nabi
SAW. Menurut ahli usul fiqh: segala perkataan, perbuatan, dan takrir Nabi
SAW yang bersangkut-paut dengan hukum.
”.
“Siapa yang membuat Sunnah yang baik maka baginya pahala serta pahala orang
yang mengerjakannya dan siapa yang membuat sunnah yang buruk, maka baginya
siksaan serta siksaan orang yang mengerjakannya sampai hari kiamat
maka
sunnah itu dapat dibedakan menjadi 3 macam, yaitu:[5]
1)
Sunnah qauliyyah ialah sabda yang beliau sampaikan dalam beraneka tujuan dan
kejadian. Misalnya sabda beliau sebagai berikut.
Tidak ada kemudharatan dan tidak pula memudharatkan. (HR.
Malik).
Hadis
di atas termasuk sunnah qauliyyah yang bertujuan memberikan sugesti kepada umat
Islam agar tidak membuat kemudharatan kepada dirinya sendiri dan orang lain.
2)
Sunnah fi’liyyah ialah segala tindakan Rasulullah Saw. Misalnya tindakan beliau
melaksanakan shalat 5 waktu dengan menyempurnakan cara-cara, syarat-syarat dan
rukun-rukunnya, menjalankan ibadah haji, dan sebagainya.
3) Sunnah taqririyah ialah
perkataan atau perbuatan sebagian sahabat, baik di hadapannya maupun tidak di
hadapannya, yang tidak diingkari oleh Rasulullah Saw atau bahkan disetujui melalui
pujian yang baik. Persetujuan beliau terhadap perkataan atau perbuatan yang
dilakukan oleh sahabat itu dianggap sebagai perkataan atau perbuatan yang
dilakukan oleh beliau sendiri.
2. Fungsi As-Sunnah terhadap
Al-Qur’an
Fungsi As-Sunnah terhadap al-Qur’an
dari segi kandungan hukum mempunyai 3 fungsi sebagai berikut.
1)
As-Sunnah berfungsi sebagai ta’kid (penguat) hukum-hukum yang telah ada dalam
Al-Qur’an. Hukum tersebut mempunyai 2 dasar hukum, yaitu Al-Qur’an sebagai
penetap hukum dan As-Sunnah sebagai penguat dan pendukungnya. Misalnya,
perintah mendirikan shalat, mengeluarkan zakat, larangan syirik, riba dan
sebagainya.
2)
As-Sunnah sebagai bayan (penjelas)
3)
takhshish (pengkhusus) dan taqyid (pengikat)
terhadap ayat-ayat yang masih mujmal (global), ‘am (umum)
atau muthlaq (tidak terbatasi), yaitu ayat-ayat Al-Qur’an yang
belum jelas petunjuk pelaksanaannya, kapan dan bagaimana, dijelaskan dan
dijabarkan dalam As-Sunnah. Misalnya, perintah shalat yang bersifat mujmal
dijabarkan dengan As-Sunnah. Nabi Saw bersabda: “Shalatlah kalian seperti
kalian melihat (mendapatkan) aku shalat.” (HR. Bukhari)
3. Kehujjahan As-Sunnah
Kedudukan As-Sunnah sebagai sumber
ajaran Islam, selain didasarkan pada keterangan ayat-ayat al-Qur’an dan hadits,
juga didasarkan kepada kesepakatan para sahabat. Para sahabat telah bersepakat
menetapkan kewajiban mengikuti sunnah Rasulullah Saw. Para ulama telah sepakat
bahwa As-Sunnah dapat dijadikan hujjah (alasan) dalam menentukan hukum. Namun
demikian, ada yang sifatnya mutaba’ah(diikuti) yaitu tha’ah dan
qurbah (dalam taat dan taqarrub kepada Allah) misalnya dalam urusan aqidah dan
ibadah, tetapi ada juga yang ghair mutaba’ah (tidak diikuti)
yaitu jibiliyyah (budaya) dan khushushiyyah (yang dikhususkan
bagi Nabi). Contoh jibiliyyah seperti mode pakaian, cara berjalan, makanan yang
disukai. Adapun contoh khushushiyyah adalah beristri lebih dari empat, shaum
wishal sampai 2 hari dan shalat 2 rakaat ba’da Ashar.
Hukum-hukum
yang dipetik dari As-Sunnah wajib ditaati sebagaimana hukum-hukum yang
diistinbathkan dari al-Qur’an sebagaimana diungkapkan dalam QS Ali- Imran: 32,
An- Nisa: 80, 59 dan 65, dan Al- ahzab: 36.
C. Ijma’
1. Pengertian Ijma’
Ijma’ menurut bahasa, artinya : sepakat, setuju, atau
sependapat. Sedangkan menurut istilah, ialah : [6]
اتّفاق مجتهدى امّة محمّد صلى الله
عليه وسلّم بعد وفاته فى عصر من الاعصار على امر من الامور.
Artinya :
“Kesamaan pendapat para mujtahid
umat Nabi Muhammad saw. setelah beliau wafat, pada masa tertentu tentang
masalah tertentu”.
Dari pengertian diatas dapatlah diketahui, bahwa kesepakatan
orang-orang yang bukan mujtahid, sekalipun mereka alim atau kesepakatan
orang-orang semasa dengan nabi tidaklah disebut sebagai ijma’.
Para ulama’ berbeda pendapat mengenai jumlah mujtahid yang
setuju atau sepakat sebagai ijma’, namun pendapat jumhur, ijma’ itu disyaratkan
setuju paham mujtahid (ulama) yang ada pada masa itu. Tidak sah ijma’ jika
salah seorang ulama dari mereka yang hidup pada masa itu menyalahinya. Selain
itu, ijma’ ini harus berdasarkan kepada Al-Qur’an dan as-Sunnah dan tidak boleh
didasarkan kepada yang lainnya.
Contoh mengenai ijma’ antara lain ialah menjadikan as-Sunnah
sebagai salah satu sumber islam. Semua mujtahid dan bahkan semua umat islam
sepakat (ijma’) menetapkan as-Sunnah sebagai salah satu sumber hukum islam.
Kesepakatan ulama ini dapat terjadi dengan tiga cara, yaitu
:
1. Dengan ucapan (Qouli),
2. dengan perbuatan (Fi’li),
3. dengan diam (sukut)
2.
Macam-macam Ijma’
Menurut
Abdul Karim Zaidan,Ijma’ terbagi dua yaitu:[7]
1. Ijma’Sarih ( tegas )
Ijma’sarih
adalah kesepakatan tegas dari para Mujtahid dimana masing masing mujtahid
menyatakan persetujuanya secara tegas
terhadap kesimpulan itu.
2. Ijma’ Sukuti
Ijma’ sukuti adalah bahwa sebagian
ulama mujtahid lainya hanya diam tanpa komentar.para ulama Ushul fiqh berbedada pendapat mengenai ijma’
sukuti ini. Menurut ulama imam syafi’I dan kalangan malikiyah,ijma’ sukuti tidak
dapat dijadikan hujjah karna diamnya sebagian mujtahid belum tentu menandakan
setuju. Sedangkan mmenurut hanafiyah dan Hanabilah,ijma’ sukuti adalah sah
dijadikan hukum karna diamnya sebagian ulama mujtahid dipahami sebagai persetujuan,karena
jika mereka tidak setuju dan memandangnya keliru mereka harus tegas
menentangnya .
3.
Kedudukan Ijma’ Sebagai Sumber Hukum
Kebanyakan ulama menetapkan bahwa ijma' dapat dijadikan
hujjah dan sumber hukum islam dalam menetapkan sesuatu hukum dengan nilai
kehujjahan bersifat dzhanny. Golongan syi'ah memandang bahwa ijma' ini sebagai
hujjah yang harus diamalkan. Sedang ulama-ulama Hanafi dapat menerima ijma'
sebagai dasar hukum, baik ijma' qath'iy maupun dzhanny. Sedangkan ulama-ulama
Syafi'iyah hanya memegangi ijma' qath'iy dalam menetapkan hukum.
Dalil penetapan ijma' sebagai sumber hukum islam ini antara
lain adalah :
Firman Allah dalam surat An-Nisa' ayat 59 :[8]
يايهاالذين امنوا اطيعوا الله واطيعوا
الرسول واولى الأمر منكم ( النساء : 59)
Artinya :
"Hai orang-orang yang beriman,
taatilah Allah dan rasul-Nya dan Ulil Amri diantara kamu".
Yang dimaksud "ulil amri" ialah orang-orang yang
memerintah dan para ulama.
Menurut hadits:
لاتجتمع أمّتى على الضّلالة
Artinya:
"Ummatku
tidak bersepakat atas kesesatan".
Menurut
sebagian ulama bahwa yang dimaksud dengan Ulil Amri fid-dunya, yaitu penguasa,
dan Ulil Amri fid-din, yaitu mujtahid. Sebagian ulama lain menafsirkannya
dengan ulama.
Ijma' ini menempati tingkat ketiga sebagai hukum syar'iy,
yaitu setelah Al-Qur'an dan as-Sunnah.
Dari pemahaman seperti ini, pada dasarnya ijma' dapat
dijadikan alternatif dalam menetapkan hukum sesuatu peristiwa yang di dalam
Al-Qu'an atau as-Sunnah tidak ada atau kurang jelas hukumnya.
4.
Sebab-sebab Dilakukan
Ijma'
Di antara sebab-sebab dilakukannya ijma'
ialah :
1.
Karena adanya persoalan-persoalan yang harus dicarikan
status hukumnya, sementara di dalam nash Al-Qur'an dan as-Sunnah tidak
diketemukan hukumnya.
2.
Karena
nash baik yang berupa Al-Qur'an maupun as-Sunnah sudah tidak turun lagi atau
telah berhenti.
3.
Karena
pada masa itu jumlah mujtahid tidak terlalu banyak dan karenanya mereka mudah
dikoordinir untuk melakukan kesepakatan dalam menentukan status hukum persoalan
permasalahan yang timbul pada saat itu.
4..
Di antara para
mujtahid belum timbul perpecahan dan kalaulah ada perselisihan pendapat masih
mudah dipersatukan.
D. Qiyas
1.
Pengertian
Qiyas
Qiyas menurut bahasa berarti mengukur, memperbandingkan,
atau mempersamakan sesuatu dengan lainnya dikarenakan adanya persamaan. Sedang
menurut istilah qiyas ialah menetapkan hukum sesuatu yang belum ada ketentuan
hukumnya dalam nash dengan mempersamakan sesuatu yang telah ada status hukumnya
dalam nash.
Menurut Shadr Asy-
Syariat menyatakan bahwa qiyas dalah pemindahan hokum yang terdapat pada ash
kepada furu’ atas dasar illat yang tidak dapat diketahui dengan logika bahasa.[9]
b. Kedudukan Qiyas sebagai sumber
hukum Islam
Qiyas menurut para ulama adalah hujjah syar'iyah yang
keempat sesudah Al-Qur'an, Hadits dan Ijma'.
Mereka berpendapat demikian dengan alasan:
Firman Allah :
فاعتبروا يااولى الابصار. ( الحسر : 2)
Artinya:
"Hendaklah kamu mengambil
i'tibar (ibarat = pelajaran) hai orang-orang yang berfikiran". (S.
Al-Hasyr ayat 2)
Karena i'tibar artinya "qiyasusysyai-i
bisysyai-i : membandingkan sesuatu dengan sesuatu yang lain".
2. Rukun Qiyas
Ø Al-Ashlu (
الأصل )
Yang dimaksud al-ashlu adalah sesuau
yang norma hukumnya telah ditemukan dalam nash yang peristiwa lain akan
diqiyaskan padanya. Para ahli ushul al-fiqh juga menyebutnya sebagai “maqis
alaih”
Ø Al-Hukmu
( الحكم )
Yang dimaksud dengan al-hukmu adalah norma yang ada pada
al-ashlu sesuai nash yang ditemukan pada saatnya akan diberlakukan peristiwa
yang diqiyaskan karena adanya persamaan illat.
Ø Al-Far’u
( الفرع )
Al-Far’u adalah sesuai peristiwa
atau kasus yang akan dicarikan normanya dengan cara mengqiyaskan dengan
al-ashlu.
Ø Al-Illah
( العلة )
Sebagai penghubung antara al-ashlu
dan al-far’u dalam hokum yang ada padanya. Artinya hokum yang ada pada al-ashlu
bisa juga diberikan pada kepada al-far’u manakala ada kesamaan antara keduanya
dalam illat.
Tingkatan Qiyas
Jika dilihat dari sisi tingkat kekuatannya, Qiyas itu dapat
dibedakan menjadi tiga tingkatan, yaitu:[10]
1.
Qiyas Aulawi
Yakni qiyas dimana alas an ditetapkannya
hokum pada al-far’u lebih kuat dari pada yang ada pada al-ashlu, seperti
mengkiyaskan “memukul” pada “berkata kasar” dari ayat yang melarang berkata
kasar kepada orang tua :
فلاتقغ لهما أفّ
Maka kamu jangan berkata kasar kepada kedua orang tuamu.
Karena memukul orang tua itu lebih
menyakitkan dari pada berkata kasar kepada yang lain. Jika berkata kasar dalam
ayat tersebut hukumnya haram maka memukul kedua orang tua pun haram huukumnya,
bahkan lebih berat. Qiyas macam ini oleh ulama Hanafiyah disebutkan dengan
istilah “dalalah al-nash”.
2
Qiyas Musawy
Jika sifat yang ada pada al faru sepadan dengan yang ada
pada al-ashlu, seperti diqiyaskannya budak laki laki dengan perempuan (amat) dalam hal sanksi yang
diterimanya ketika ia melakukan
perbuatan pidana yang mengakibatkan diterapkannya hukuman dera. Perhatikan ayat
dibawah ini :
فاء ن أتين بفحشة فعليهنّ نصف ما على
المحصنت من العذاب
Maka jika para budak perempuan itu
melakukan tindak pidana, maka ia dikenakan seperdua sanksi perempuan merdeka.
Contoh lain misalnya diqiyaskannya
pembakaran harta anak yatim dengan memakannya. baik membakar maupun memakan itu
sama dalam hal merusak dan menghancurkan yang berakibat harta anak yatim itu
tidak dapat dimanfaatkan lagi.
3. Qiyas
Naqish
Qiyas naqish ini juga dikenal dengan nama qiyas adna yaitu
jika sifat yang ada pada al faru dan menghubungkannya dengan al-ashlu lebih
rendah. Tingkat kekutan sifat yang menghubungkan antara al faru dan al-ashlu
ini tidak pada hukumnya. Artinya hokum yang ada pada al-ashlu tetap
diperlakukan pada al faru meskipun sifat yang ada pada al faru lebih rendah.
Seperti diqiyaskannya buah apel pada gandum karena sama sama makanan, sehingga
larangan pertukaran antara keduanya juga berlaku kecuali dengan timbangan yang
sama. Contoh lain dari qiyas adna ini misalnya diqiyaskannya anggur (al-nabidz)
dengan al-khamr (arak) dalam hal haramnya meminum dan adanya sanksi had
padanya.
Macam terkhir ini disepakati
termasuk dalam kelompok qiyas, sedang dua macam sebelumnya, para ulama berbeda
pandangan apakah keduanya termasuk qiyas atau tidak.
Ulama
Hanafiyah memandang bahwa keduanya tidak termasuk qiyas, tapi termasuk nash.
sebagaimana telah disampaikan di atas
bahwa beliau menyebutnya sebagai “dalalah al-nash”. sedang ulama Syafiiyah
menganggap keduanya sebagai qiyas. perbedaan ini hanya pada penyebutannya saja.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Al-Qur’an
adalah kalam Allah SWT yang mengandung kemukjizatan, yang diturunkan kepada penutup para nabi dan
rasul, melalui perantaraan malaikat Jibril, ditulis dalam mushaf, dihafal di
dalam dada, disampaikan kepada kita secara mutawatir, membacanya memiliki nilai
ibadah, (disusun secara sistematis) mulai dari surat al-Fatihah sampai surat
al-Nas”.
Sunnah segala ucapan, perbuatan, dan keadaan Nabi Muhammad
SAW. atau segala berita yang bersumber dari Nabi Muhammad SAW. berupa ucapan,
perbuatan, takrir, maupun deskripsi sifat-sifat Nabi SAW. Menurut ahli
usul fiqh: segala perkataan, perbuatan, dan takrir Nabi SAW yang
bersangkut-paut dengan hokum
kesepakatan orang-orang yang bukan mujtahid, sekalipun
mereka alim atau kesepakatan orang-orang semasa dengan nabi tidaklah disebut
sebagai ijma’.
Menurut Shadr Asy-
Syariat menyatakan bahwa qiyas dalah pemindahan hokum yang terdapat pada ash
kepada furu’ atas dasar illat yang tidak dapat diketahui dengan logika bahasa
DAFTAR FUSTAKA
Azhar
. 2015 . Ushul Fiqih . Medan :
Fakultas Tarbiyah IAIN SU
Koto , Alaidin. 2009. Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh. Ed.Revisi. cet.3. Jakarta: Pt
Rajagrafindo Prasada.
Syafe’i
, Rachmad .Ilmu Ushul Fiqih Bandung :
CV.Pustaka Setia. Cet 3 .2007
Syarifuddin,
Amir.2008 .Ushul Fiqh Jilid 1.
cet.3Jakarta: Kencana,
[1] .Rachmad , Syafe’i , Ilmu
Ushul Fiqih ( Bandung : CV.Pustaka Setia,Cet 3 ,2007 ) hal.49
[2] Azhar,Ushul Fiqih ( Medan
: Fakultas Tarbiyah IAIN SU,2015,) hal. 20
[3] .Ibid.Hal .22 - 25
[4] .Alaidin Koto,Ilmu Fiqh dan
Ushul Fiqh,( Jakarta:Pt Rajagrafindo Prasada,Ed.Revisi,cet.3,2009)hal:67
[5] Amir Syarifuddin,Ushul Fiqh
Jilid 1,( Jakarta: Kencana,cet.3,2008) hal.83-88
[6] Alaidin Koto,Ilmu Fiqh dan
Ushul Fiqh,( Jakarta:Pt Rajagrafindo Prasada,Ed.Revisi,cet.3,2009)hal:78
[8] Amir Syarifuddin,Ushul Fiqh
Jilid 1,( Jakarta: Kencana,cet.3,2008) hal.130
[10] Ibid.Hal 45
No comments:
Post a Comment