Wednesday 30 March 2016

asal usul akhlak tasauf



 AKHLAK TASAWUF

“Ditujukan untuk memenuhi tugas”

Mata Kuliah    : Akhlak Tasauf.
Jurusan            : Tarbiyah - PAI  (II-A)

Di susun Oleh
Kelompok 3 (Tiga)
                                    
-         Nikmatur Rada Saufi
-         Nursiana
-         Ardiansyah
-         Samsidar
-         Yulia
-         Eva Suryani
-         Khadijah




SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM JAM’IYAH MAHMUDIYAH TANJUNG PURA - LANGKAT
TAHUN PERIODE : 2015- 2016

KATA PENGANTAR


Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Tuhan yang maha Esa atas ridho dan hidayahnya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas Makalah ini dengan penuh keyakinan serta usaha maksimal. Semoga dengan terselesaikannya tugas ini dapat memberi pelajaran positif bagi kita semua.
Selanjutnya penulis juga ucapkan terima kasih kepada bapak dosen mata kuliah Akhlak Tasauf  yang telah memberikan tugas Makalah ini kepada kami sehingga dapat memicu motifasi kami untuk senantiasa belajar lebih giat dan menggali ilmu lebih dalam khususnya mengenai “Asal Usul Tasauf  ” sehingga dengan kami dapat menemukan hal-hal baru yang belum kami ketahui.
Terima kasih juga kami sampaikan atas petunjuk yang di berikan sehingga kami dapat menyelasaikan tugas Makalah ini dengan usaha semaksimal mungkin. Terima kasih pula atas dukungan para pihak yang turut membantu terselesaikannya laporan ini, ayah bunda, teman-teman serta semua pihak yang penuh kebaikan dan telah membantu penulis.
Terakhir kali sebagai seorang manusia biasa yang mencoba berusaha sekuat tenaga dalam penyelesaian Makalah ini,  tetapi tetap saja tak luput dari sifat manusiawi yang penuh khilaf dan salah, oleh karena itu segenap saran penulis harapkan dari semua pihak guna perbaikan tugas-tugas serupa di masa datang.



Tanjung Pura, Maret, 2016



DAFTAR ISI


 


BAB 1

PENDAHULUAN

A.     Latar Belakang

Secara historis akhlak tasawwuf adalah pemandu perjalanan hidup umat manusia agar selamat dunia dan akhirat, itu di karenakan Akhlak Tasawuf merupakan salah satu khazanah intelektual Muslim yang kehadirannya hingga saat ini semakin dirasakan. Tidaklah berlebihan jika misi utama kerasulan Muhammad saw adalah untuk menyempurnakan akhlak yang mulia, dan sejarah mencatat bahwa faktor pendukung keberhasilan dakwah beliau itu antara lain karena dukungan akhlaknya yang prima.

Melihat betapa pentingnya akhlak tasawuf dalam kehidupan ini tidaklah mengherankan jika akhlak tasawuf ditentukan sebagai mata kuliah yang wajib diikuti oleh kita semua. Sebagai upaya untuk menanggulangi kemerosotan moral yang tengah dialami bangsa ini.
Untuk mengungkap segala permasalahan yang terkait dengan Akhlak Tasawuf, kami akan mencoba menguraikannya dalam makalah yang berjudul “Pengertian Akhlak Tasawuf, Sejarah Perkembangan Tasawuf, dan Fungsi Tasawuf”.

B.     Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah disampaikan sebelumnya, maka dapat dirumuskan sebuah masalah yakni :
1.        Apa yang dimaksud dengan akhlak tasawuf ?
2.     Bagaimana sejarah perkembangan tasawuf ?


BAB II

PEMBAHASAN


A.     Pengertian Akhlak Tasawuf

Sebelum lebih jauh membahas tentang asal-usul tasawuf, sedikit kami berikan pengertian singkat sufi dan tasawuf. Ada beberapa pendapat tentang asal-usul kata tasawuf. Ada yang mengatakan bahwa tasawuf berasal dari kata safa’, artinya suci, bersih atau murni. Karena memang, jika dilihat dari segi niat maupun tujuan dari setiap tindakan dan ibadah kaum sufi, maka jelas bahwa semua itu dilakukan dengan niat suci untuk membersihkan jiwa dalam mengabdi kepada Allah SWT.[1] Ada lagi yang mengatakan tasawuf berasal dari kata saff, artinya saff atau baris. Mereka dinamakan sebagai para sufi, menurut pendapat ini, karena berada pada baris (saff) pertama di depan Allah, karena besarnya keinginan mereka akan Dia, kecenderungan hati mereka terhadap-Nya.
Sedangkan tasawuf menurut beberapa tokoh sufi adalah seperti berikut:
  1. Bisyri bin Haris mengatakan bahwa sufi ialah orang yang suci hatinya menghadap Allah SWT.
  1. Abu Yazid al-Bustami secara lebih luas mengatakan bahwa arti tasawuf mencakup tiga aspek, yaitu kha (melepaskan diri dari perangai yang tercela), ha (menghiasi diri dengan akhlak yang terpuji) dan jim (mendekatkan diri kepada Tuhan).
   

B.     Asal Usul Tasawuf

Tasawuf Islam bersumber dari al-Qur’an dan Hadis. Banyak ayat al-Qur’an dan Hadis Nabi SAW. berbicara tentang hubungan antara Allah dengan hamba-Nya manusia, diantaranya seperti tertulis pada pendahuluan di atas.
Secara umum  Islam mengatur kehidupan yang bersifat lahiriah atau jasadiah, dan kehidupan yang bersifat batiniah. Pada unsur kehidupan yang bersifat batiniah inilah kemudian lahir tasawuf. Unsur kehidupan tasawuf ini mendapat perhatian yang cukup besar dari sumber ajaran Islam, al-Qur’an dan al-Sunnah serta praktek kehidupan Nabi dan sahabatnya. Lebih jauh, al-Qur’an berbicara tentang kemungkinan manusia dan Tuhan dapat saling mencintai (mahabbah) seperti dalam al-Maidah: 54; perintah agar manusia senantiasa bertaubat (at-Tahrim: 8); petunjuk bahwa manusia akan senantiasa bertemu dengan Tuhan dimanapun mereka berada (al-Baqarah: 110); Allah dapat memberikan cahaya kepada orang yang dikehendaki (an-Nur: 35); Allah mengingatkan manusia agar dalam hidupnya tidak diperbudak oleh kehidupan dunia dan harta benda (al-Hadid, al-Fathir: 5); dan senantiasa bersikap sabar dalam menjalani pendakatan diri kepada Allah SWT (Ali Imron: 3).[2]
Sejalan dengan apa yang dibicarakan al-Qur’an, as-Sunnah pun banyak berbicara tentang kehidupan rohaniah. Teks hadis qudsi berikut dapat dipahami dengan pendekatan tasawuf:
كنت كنزا مخفيا فاحببت ان اعرف فخلقت الخلق فبى عرفونى
“Aku adalah perbendaharaan yang tersembunyi, maka Aku menjadikan makhluk agar mereka mengenal-Ku”.

Hadis tersebut memberi petunjuk bahwa alam raya, termasuk manusia adalah merupakan cermin Tuhan, atau bayangan Tuhan. Tuhan ingin mengenalkan diri-Nya melalui penciptaan alam ini. Dengan demikian dalam alam raya ini terdapat potensi ketuhanan yang dapat didayagunakan untuk mengenal-Nya. Dan apa yang ada di alam raya ini pada hakikatnya adalah milik Tuhan dan akan kembali kepada-Nya, sebagaimana firman-Nya dalam al-Baqarah: 156: “Orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: “Inna lillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun” Sesungguhnya Kami adalah milik Allah dan kepada-Nya-lah Kami kembali.” dan al-Baqarah 45-46: “Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. dan Sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu’, (yaitu) orang-orang yang meyakini, bahwa mereka akan menemui Tuhannya, dan bahwa mereka akan kembali kepada-Nya.”

C.       Sumber Ajaran Tasawuf.

Demikian sekilas asal-usul tasawuf dalam Islam. Jelas asal-usul tasawuf Islam bersumber dari al-Qur’an dan Hadis. Namun demikian perlu juga kita perhatikan pendapat dari kalangan orientalis Barat. Mereka mengatakan bahwa sumber yang membentuk tasawuf itu ada lima, yaitu unsur Islam, unsur Masehi (agama Nasrani), unsur Yunani, unsur Hindu/Budha dan unsur Persia. Unsur dari Islam sudah dijelaskan pada penjelasan sebelumnya, selanjutnya unsur di luar Islam yang masuk ke dalam tasawuf menurut orientalis dapat dijelaskan berikut:
1.      Unsur Masehi (agama Nasrani)
Orang Arab sangat menyukai cara kependataan, khususnya dalam hal latihan jiwa dan ibadah. Atas dasar ini Von Kromyer berpendapat bahwa tasawuf adalah buah dari unsur agama Nasrani yang terdapat pada zaman Jahiliyah.Hal ini diperkuat pula oleh Gold Ziher yang mengatakan bahwa sikap fakir dalam Islam adalah merupakan cabang dari agama Nasrani.[3]
Unsur lain yang dikatakan berasal dari Nasrani adalah sikap fakir. Menurut keyakinan Nasrani bahwa Isa bin Maryam adalah seorang yang fakir, dan Injil juga disampaikan kepada orang fakir. Isa berkata: “Beruntunglah kamu orang-orang miskin, karena bagi kamulah kerajaan Allah. Beruntunglah kamu orang yang lapar, karena kamu akan kenyang.” Selanjutnya adalah sikap tawakal kepada Allah dalam soal penghidupan terlihat pada peranan syekh yang menyerupai pendeta, bedanya pendeta dapat menghapus dosa; selibasi, yaitu menahan diri tidak kawin karena kawin dianggap dapat mengalihkan perhatian diri dari Khalik, dan penyaksian, dimana sufi dapat menyaksikan hakikat Allah dan mengadakan hubungan dengan Allah.
2.      Unsur Yunani
Kebudayaan Yunani yaitu filsafatnya telah masuk pada dunia Islam di mana perkembangannya dimulai pada akhir Daulah Umayyah dan puncaknya pada Daulah Abbasiyah, metode berpikir filsafat Yunani ini juga telah ikut mempengaruhi pola fikir sebagian orang Islam yang ingin berhubungan dengan Tuhan. Pada persoalan ini, boleh jadi tasawuf yang terkena pengaruh Yunani adalah tasawuf yang kemudian diklasifikasikan sebagai tasawuf yang bercorak filsafat. Hal ini dapat dilihat dari pikiran al-Farabi, al-Kindi, Ibnu Sina, terutama dalam uraian tentang filsafat jiwa. Demikian juga pada uraian-uraian tasawuf dari Abu Yazid, al-Hallaj, Ibnu Arabi, Syukhrawardi, dan lain sebagainya.[4]
3.      Unsur Hindu/Budha
Tasawuf dan sistem kepercayaan agama Hindu memiliki persamaan, seperti sikap fakir. Darwis Al-Birawi mencatat adanya persamaan cara ibadah dan mujahadah pada tasawuf dan ajaran Hindu. Demikian juga pada paham reinkarnasi (perpindahan roh dari satu badan ke badan lain), cara pelepasan dari dunia versi Hindu-Budha dengan persatuan diri dengan jalan mengingat Allah.
Menurut Qomar Kailan pendapat-pendapat ini terlalu ekstrim sekali karena kalau diterima bahwa ajaran tasawuf itu berasal dari Hindu/Budha berarti zaman Nabi Muhammad telah berkembang ajaran Hindu/Budha itu ke Mekkah, padahal sepanjang sejarah belum ada kesimpulan seperti itu.
4.      Unsur Persia
Sebenarnya Arab dan Persia memiliki hubungan sejak lama, yaitu pada bidang politik, pemikiran, kemasyarakatan dan sastra. Namun, belum ditemukan argumentasi kuat yang menyatakan bahwa kehidupan rohani Persia telah masuk ke tanah Arab. Yang jelas kehidupan kerohanian Arab masuk ke Persia hingga orang-orang Persia itu terkenal sebagai ahli-ahli tasawuf. Barangkali ada persamaan antara istilah zuhud di Arab dengan zuhud menurut agama Manu  dan Mazdaq; antara istilah Hakikat Muhammad dan paham Hormuz (Tuhan Kebaikan) dalam agama Zarathustra.
Dari semua uraian di atas dapatlah disimpulkan bahwa sebenarnya tasawuf itu bersumber dari ajaran Islam itu sendiri ialah al-Qur’an dan Sunah, mengingat yang dipraktekkan Nabi SAW dan para sahabat. Namun setelah tasawuf itu berkembang menjadi pemikiran, bisa saja ia mendapat pengaruh dari luar seperti filsafat Yunani dan sebagainya. Dan andaipun terdapat persamaan dengan ajaran beberapa agama, kemungkinan yang dapat terjadi adalah persamaan dengan agama-agama samawi (Nasrani dan Yahudi), mengingat semua agama samawi berasal dari tuhan yang sama Allah SWT yang dalam Islam diyakini sama mengajarkan tentang ketauhidan.

D.    Sejarah Perkembangan Tasawuf

Tasawuf mempunyai perkembangan tersendiri dalam sejarahnya. Tasawuf berasal dari gerakan zuhud yang selanjutnya berkembang menjadi tasawuf. Meskipun tidak persis dan pasti, corak tasawuf dapat dilihat dengan batasan- batasan waktu dalam rentang sejarah sebagai berikut:
1.      .    ABAD PERTAMA DAN KEDUA HIJRIYAH
Fase abad pertama dan kedua Hijriyah belum bisa sepenuhnya disebut sebagai fase tasawuf tapi lebih tepat disebut sebagai fase kezuhudan. Adapun ciri tasawuf pada fase ini adalah sebagai berikut:
a.               Bercorak praktis ( amaliyah )
Tasawuf pada fase ini lebih bersifat amaliah dari pada bersifat pemikiran. Bentuk amaliah itu seperti memperbanyak ibadah, menyedikitkan makan minum, menyedikitkan tidur dan lain sebagainya.
b.      .        Bercorak kezuhudan
Tasawuf pada pase pertama dan kedua hijriyah lebih tepat disebut sebagai kezuhudan. Kesederhanaan kehidupan Nabi diklaim sebagai panutan jalan para zahid. Banyak ucapan dan tindakan Nabi SAW yang mencerminkan kehidupan zuhud dan kesederhanaan baik dari segi pakaian maupun makanan, meskipun sebenarnya makanan yang enak dan pakaian yang bagus dapat dipenuhi. Dan secara logikapun tidak masuk akal seandaikata Nabi SAW yang menganjurkan untuk hidup zuhud sementara dirinya sendiri tidak melakukannya.
c.               Kezuhudan didorong rasa khauf
Khauf sebagai rasa takut akan siksaan Allah SWT sangat menguasai sahabat Nabi SAW dan orang-orang shalih pada abad pertama dan kedua Hijriyah. Informasi al-Qur`an dan Nabi tentang keadaan kehidupan akhirat benar-benar diyakini dan mempengaruhi perasaan dan pikiran mereka.
d.              Sikap zuhud dan rasa khauf berakar dari nash ( dalil Agama )
Al-Qur`an dan al-Hadits memberikan informasi tentang kebenaran sejati hidup dan kehidupan. Keduanya memberikan gambaran tentang perbandingan antara kehidupan dunia dan kehidupan akhirat. Keduanya memberikan informasi tentang kengerian kehidupan akhirat bagi orang-orang yang mengabaikan huum-hukum Allah. Selanjutnya  orang – orang mukmin benar-benar meyakini informasi itu. Dan keyakinan itu melahirkan rasa khauf. Rasa khauf selanjutnya memunculkan sikap zuhud yaitu sikap menilai rendah terhadap dunia dan menilai tinggi terhadap akhirat. Dunia dijadikan sebagai alat dan lahan ( mazraah ) untuk mencapai kebahagian abadi dan sejati yaitu akhirat.
e.                Sikap zuhud untuk meningkatkan moral
Cinta dunia telah membuat saling bunuh dan saling fitnah antar sesama. Cinta dunia melahirkan ketidaksalehan ritual, personal maupun sosial. Itulah sebabnya Hasan al-Bashri sebagai salah seorang zahid dalam mengajak baik masyarakat maupun pemerintah ( para pemimpin kerajaan Umayah ) selalu mengajak untuk bersikap zuhud sebagaimana sikap ini menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan sahabat Nabi yang setia.
f.               Fase Abad Kedua Hijriyah
Kehidupan spiritual pada fase ini mempunyai ciri tersendiri. Konsep zuhud yang semula berpaling dari kesenangan dan kemewahan dunia berubah menjadi pembersihan jiwa, pensucian hati dan pemurnian kepada Allah. Latihan-latihan diri ( al-riyâdlah ) sangat menonjol pada fase ini seperti menyepi  ( khalwah ), bepergian (siyâhah ),  puasa  ( al-shwm ) dan menyedikitkan makan ( qillah al-tha’âm ) bahkan sebagaian mereka tinggal di gua-gua.
Menurut Ibn Khaldun, orang yang mengkonsentrasikan beribadah pada fase ini mendapatkan julukan al-Shufiyah atau  al-Mutashawwifah.
Tema sentral zuhud pada fase ini adalah tawakal dan ridlâ. Konsep tawakal dan ridlâ yang terdapat dalam al-Qur`ân itu yang oleh para asketis sebelumnya  dalam arti etis berubah menjadi madzhab yang sangat ektrim. Itulah pada fase ini banyak kalangan asketis ( zâhid ) melakukan perjalanan masuk ke hutan dengan bertawakal tanpa bekal apapun dan mereka rela terhadap karunia apa saja yang mereka terima.
g.              Fase Abad III dan IV Hijriyah
Apabila abad pertama dan kedua Hijriyyah disebut fase asketisisme ( kezuhudan ), maka abad ketiga dan keempat disebut sebagai fase tasawuf. Praktisi kerohanian yang pada masa sebelumnya digelari dengan berbagai sebutan seperti zahid, abid, nasik, qari` dan sebagainya, pada permulaan abad ketiga hijriyah mendapat sebutan shufi. Hal itu dikarenakan tujuan utama kegiatan ruhani mereka tidak semata – mata kebahagian akhirat yang ditandai dengan pencapaian pahala dan penghindaran siksa, akan tetapi untuk menikmati hubungan langsung dengan Tuhan yang didasari dengan cinta. Cinta Tuhan membawa konsekuensi pada kondisi tenggelam dan mabuk kedalam yang dicintai ( fana fi al-mahbub ). Kondisi ini tentu akan mendorong ke persatuan dengan yang dicintai ( al-ittihad ). Di sini telah terjadi perbedaan tujuan ibadah orang-orang syariat dan ahli hakikat.
Pada fase ini muncul istilah fana`, ittihad dan hulul. Fana adalah suatu kondisi dimana seorang shufi kehilangan kesadaran terhadap hal-hal fisik ( al-hissiyat). Ittihad adalah kondisi dimana seorang shufi merasa bersatu dengan Allah sehingga masing-masing bisa memanggil dengan kata aku ( ana ). Hulul adalah masuknya Allah kedalam tubuh manusia yang dipilih.
Di antara tokoh pada fase ini adalah Abu yazid al-Busthami (w.263 H.) dengan konsep  ittihadnya, Abu al-Mughits al-Husain Abu Manshur al-Hallaj ( 244 – 309
h yang lebih dikenal dengan al-Hallaj dengan ajaran hululnya. al-Hallaj dilahirkan di Persia dan dewasa di Iraq Tengah. Dia meghadapi empat tuduhan yang ahirnya membawanya dieksekusi di tiang salib. Empat tuduhan yang dituduhkan kepadanya adalah,
1.    Hubungannya dengan kelompok al-Qaramithah
2.    Ucapannya ” أنا الحقّ ( saya adalah tuhan yang maha benar)
3.    Keyakinan para pengikutnya tentang ketuhanannya
4.    Pendapatnya bahwa menunaikan ibadah haji tidak wajib
Tokoh lainnya adalah Dzunnun al-Mishri ( w. 245 H.) yang dikenal dengan pencetus ma’rifat. Dia pernah belajar ilmu Kimia dari Jabir bin Hayyan. Dia juga dianggap orang yang berbicara pertama kali tentang maqamat dan ahwal di Mesir., al-Hakim al-Tirmidzi (w. 320 H. ) dengan konsep kewalian, Abu Bakar al-Sibli ( w.334 H.)



h.              Fase Abad V Hihriyah
Fase ini disebut sebagai fase konsolidasi yakni memperkuat tasawuf dengan dasarnya yang asli yaitu al-Qur`an dan al-Hadits atau yang sering disebut dengan tasawuf sunny yakni tasawuf yang sesuai dengan tradisi (sunnah) Nabi dan para sahabatnya. Fase ini sebenarnya merupakan reaksi terhadap fase sebelumnya dimana tasawuf sudah mulai melenceng dari koridor syariah atau tradisi (sunnah) Nabi dan sahabatnya. Tokoh tasawuf pada fase ini adalah Abu Hamid al-Ghazali (w.505 H) atau yang lebih dikenal dengan al-Ghzali. Ia dilahirkan di Thus Khurasan. Ia hidup dalam lingkungan pemikiran maupun madzhap yang sangat hitorigen. al-Ghazali dikenal sebagai pemuka madzhab kasyf dalam makrifat. Tentang kesunnian al-Ghazali dikomentari oleh muridnya Abdul Ghafir al-Faritsi,”Ahirnya al-Ghazali berkonsentrasi pada hadits Nabi al-Mushthofa dan berkumpul bersama-sama ahli Hadits dan mempelajari kitab Shahih al-Bukhari dan Shahih al-Muslim Dia menerima tasawuf dari kelompok persia menuju tasawuf suuni. Itulah sebabnya ia banyak menyerang filsafat Yunani dan menunjukkan kelemahan-kelemahan aliran batiniyyah. Di antara buku karangannya adalah Tahafut al-Falasifah, al-Munqidz Min al-Dlalal dan Ihya` Ulum al-Din.
Tokoh lainnya adalah Abu al-Qasim Abd al-Karim bin Hawazin Bin Abd al-Malik Bin Thalhah al-Qusyairi atau yang lebih dikenal dengan al-Qusyairi (471 H), al-Qusyairi  menulis al-Risalah al-Qusyairiyah terdiri dari dua jilid.
i.            Fase Abad  VI Hijriyah
Fase ini ditandai dengan munculnya tasawuf falsafi yakni tasawuf yang memadukan antara rasa (dzauq) dan rasio (akal), tasawuf bercampur dengan filsafat terutama filsafat Yunani. Pengalaman – pengalaman yang diklaim sebagai persatuan antara Tuhan dan hamba kemudian diteorisasikan dalam bentuk pemikiran seperti konsep wahdah al-wujud yakni bahwa wujud yang sebenarnya adalah Allah sedangkan selain Allah hanya gambar yang bisa hilang dan sekedar sangkaan dan khayali.
Tokoh –tokoh pada fase ini adalah Muhyiddin Ibn Arabi atau yang lebih dikenal dengan Ibnu Arabi ( 560 – 638 H.) dengan konsep wahdah al-Wujudnya. Ibnu Arabi yang dilahirkan pada tahun 560 H. dikenal dengan sebutan as-Syaikh al-Akbar (Syekh Besar). Di masa mudanya, ia pernah menjadi sekretaris hakim tingkat wilayah. Sakit keras yang pernah dialami mengubah sikap hidup yang sangat drastis. Dia menjadi seorang zahid dan abid. Dia menghabiskan waktunya di beberapa kota di Andalusia dan di Afrika Utara untuk bertemu para guru shufi. Umur tiga puluh tahun pindah ke Tunis kemudia ke Fas. Disini, Ibnu Arabi menulis buku berjudul  al-Isra Ila Maqam al-Asra (الإسراء إلى مقام الأسرى ). Kemudian pergi ke Kairo dan al-Quds yang kemudian diteruskan ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji. Ibnu Arabi beberapa tahun tinggal di Mekkah dan disinilah ia menyusun kitab Taj al-Rasail (تاج الرسائل) dan   Ruh al-Quds (روح القدس) dan pada tahun 598 H. Mulai menulis kitab yang sangat terkenal al-Futuhat al-Makkiyyah (الفتوحات المكية). Ahirnya Ibnu Arabi tinggal di Damaskus dan menulis kitab Fushush al-Hikam (فصوص الحِكَم). Ibnu Arabi meninggal pada tahun 638 H.
Tokoh lainnya adalah  al-Syuhrawardi (549 – 587 H.) dengan konsep Isyraqiyahnya. Ia dihukum bunuh dengan tuduhan telah melakukan kekufuran dan kezindikan pada masa pemerintahan Shalahuddin al-Ayubi. Diantara kitabnya adalah Hikmat al-Israq. Tokoh berikutnya adalah  Ibnu Sab’in (667 H.) dan Ibn al-Faridl (632 H.)
Pada abad VI juga ditandai dengan munculnya tariqat yakni madrasah shufi yang bertujuan membimbing calon shufi menuju pengalaman ilahi melalui teknik dzikir tertentu. Oleh sebagian orang dikatakan bahwa munculnya taiqat adalah untuk membantu orang-orang –awam agar ikut mencicipi tasawuf karena selama ini pengalaman tasawuf hanya dialami oleh orang-orang tertentu saja (khawash). Disamping itu kehadiran thariqat juga untuk memagari tasawuf agar senantiasa berada dalam koridor syariat. Itulah sebabnya sistem thariqat sangat ketat.


BAB III

PENUTUP

A.     Kesimpulan

Tasawuf adalah upaya melatih jiwa dengan berbagai kegiatan yang dapat membebaskan diri dari pengaruh kehidupan dunia, sehingga tercermin akhlak yang mulia dan dekat dengan Allah SWT.
Ajaran tasawuf yang benar adalah yang tidak mengabaikan akhlak terhadap sesama manusia. Jadi, bukan hanya hubungan vertikal dengan Tuhan saja yang harus di bina, namun perlu juga hubungan dengan sesama manusia dengan akhlak yang terpuji. Dalam Islam, bahwa walaupun tujuan hidup harus diarahkan ke alam akhirat, namun setiap muslim diwajibkan untuk tidak melupakan urusan dunianya. Setiap muslim wajib kerja keras untuk menikmati rezeki Tuhan yang telah dihalalkan untuk umat-Nya, asal diperoleh melalui jalan yang halal. Yakni berlomba dengan cara yang jujur dalam kebaikan (fastabiqul khairat). Akan tetapi mengutamakan kehidupan dunia dan berpandangan materialis-sekuler sangatlah dicela dan diharamkan dalam Islam.




DAFTAR PUSTAKA


Abudin Nata, Dr.  MA. Akhlak Tasawuf. Jakarta: RadjaGrafindo Persada, 2002
Asmaran As, Drs. MA. Pengantar Studi Tasawuf. Jakarta: RadjaGrafindo Persada, 1996
MAHJUDIN, Drs. 1991. Kuliah Akhlak-Tasawuf. Jakarta: Kalam Mulia.
MUSTOFA, Drs. H. A. 1999. Akhlak-Tasawuf. Bandung: CV. Pustaka Setia.
NATA, Prof. Dr. H. ABUDDIN, M.A.  2006. Akhlak Tasawuf. Jakarta: PT. Taja Grafindo Persada.
Permadi, K.Drs. S.H. Pengantar Ilmu Tasawuf. Jakarta: Rineka Cipta, 2004
Rosihon Anwar, Drs.  M.Ag. Drs. Mukhtar Solihin, M.Ag. Ilmu Tasawuf. Bandung: Pustaka Setia, 2000.



[1] Drs. Asmaran As, MA. Pengantar Studi Tasawuf. Jakarta: RadjaGrafindo Persada, 1996 hal.42-43
[2] . Abudin Nata, MA. Akhlak Tasawuf. Jakarta: RadjaGrafindo Persada, 2002. hal. 181
[3] Ibid. hal. 185-186
[4] Rosihon Anwar, M.Ag. Drs. Mukhtar Solihin, M.Ag. Ilmu Tasawuf. Bandung: Pustaka Setia, 2000. hal. 35

No comments:

Post a Comment

PENERAPAN STRATEGI PEMBELAJARAN KOPERATIF DALAM PEMBELAJARAN FIQIH

  BAB I PENDAHULUAN A.      Latar Belakang Salah satu strategi yang dapat diterapkan dalam pembelajaran di kelas adalah pembe...