AKHLAK TASAWUF
“Ditujukan untuk memenuhi tugas”
Mata Kuliah : Akhlak Tasauf.
Jurusan : Tarbiyah - PAI (II-A)
Di susun Oleh
Kelompok 3
(Tiga)
-
Nikmatur
Rada Saufi
-
Nursiana
-
Ardiansyah
-
Samsidar
-
Yulia
-
Eva
Suryani
-
Khadijah
SEKOLAH TINGGI
AGAMA ISLAM JAM’IYAH MAHMUDIYAH TANJUNG PURA - LANGKAT
TAHUN PERIODE :
2015- 2016
KATA PENGANTAR
Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan
kehadirat Tuhan yang maha Esa atas ridho dan hidayahnya sehingga penulis dapat
menyelesaikan tugas Makalah ini dengan penuh keyakinan serta usaha maksimal.
Semoga dengan terselesaikannya tugas ini dapat memberi pelajaran positif bagi
kita semua.
Selanjutnya
penulis juga ucapkan terima kasih kepada bapak dosen mata kuliah Akhlak Tasauf yang telah memberikan tugas Makalah ini kepada
kami sehingga dapat memicu motifasi kami untuk senantiasa belajar lebih giat
dan menggali ilmu lebih dalam khususnya mengenai “Asal
Usul Tasauf ” sehingga
dengan kami dapat menemukan hal-hal baru yang belum kami ketahui.
Terima kasih juga kami sampaikan atas
petunjuk yang di berikan sehingga kami dapat menyelasaikan tugas Makalah ini
dengan usaha semaksimal mungkin. Terima kasih pula atas dukungan para pihak
yang turut membantu terselesaikannya laporan ini, ayah bunda, teman-teman serta
semua pihak yang penuh kebaikan dan telah membantu penulis.
Terakhir kali sebagai seorang manusia
biasa yang mencoba berusaha sekuat tenaga dalam penyelesaian Makalah ini,
tetapi tetap saja tak luput dari sifat manusiawi yang penuh khilaf dan salah,
oleh karena itu segenap saran penulis harapkan dari semua pihak guna perbaikan
tugas-tugas serupa di masa datang.
Tanjung Pura, Maret, 2016
DAFTAR ISI
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Secara historis akhlak tasawwuf adalah
pemandu perjalanan hidup umat manusia agar selamat dunia dan akhirat, itu di
karenakan Akhlak Tasawuf merupakan salah satu khazanah intelektual Muslim yang
kehadirannya hingga saat ini semakin dirasakan. Tidaklah berlebihan jika misi
utama kerasulan Muhammad saw adalah untuk menyempurnakan akhlak yang mulia, dan
sejarah mencatat bahwa faktor pendukung keberhasilan dakwah beliau itu antara
lain karena dukungan akhlaknya yang prima.
Melihat betapa pentingnya akhlak
tasawuf dalam kehidupan ini tidaklah mengherankan jika akhlak tasawuf
ditentukan sebagai mata kuliah yang wajib diikuti oleh kita semua. Sebagai
upaya untuk menanggulangi kemerosotan moral yang tengah dialami bangsa ini.
Untuk mengungkap segala permasalahan
yang terkait dengan Akhlak Tasawuf, kami akan mencoba menguraikannya dalam
makalah
yang berjudul “Pengertian Akhlak Tasawuf, Sejarah
Perkembangan Tasawuf, dan Fungsi Tasawuf”.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah
disampaikan sebelumnya, maka dapat dirumuskan sebuah masalah yakni :
1.
Apa yang
dimaksud dengan akhlak tasawuf ?
2. Bagaimana sejarah
perkembangan tasawuf ?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Akhlak Tasawuf
Sebelum lebih jauh membahas
tentang asal-usul tasawuf, sedikit kami berikan pengertian singkat sufi dan
tasawuf. Ada beberapa pendapat tentang asal-usul kata tasawuf. Ada yang
mengatakan bahwa tasawuf berasal dari kata safa’, artinya suci, bersih
atau murni. Karena memang, jika dilihat dari segi niat maupun tujuan dari
setiap tindakan dan ibadah kaum sufi, maka jelas bahwa semua itu dilakukan
dengan niat suci untuk membersihkan jiwa dalam mengabdi kepada Allah SWT.[1]
Ada lagi yang mengatakan tasawuf berasal dari kata saff, artinya saff
atau baris. Mereka dinamakan sebagai para sufi, menurut pendapat ini, karena
berada pada baris (saff) pertama di depan Allah, karena besarnya
keinginan mereka akan Dia, kecenderungan hati mereka terhadap-Nya.
Sedangkan tasawuf menurut
beberapa tokoh sufi adalah seperti berikut:
- Bisyri bin Haris mengatakan bahwa sufi ialah orang yang suci hatinya menghadap Allah SWT.
- Abu Yazid al-Bustami secara lebih luas mengatakan bahwa arti tasawuf mencakup tiga aspek, yaitu kha (melepaskan diri dari perangai yang tercela), ha (menghiasi diri dengan akhlak yang terpuji) dan jim (mendekatkan diri kepada Tuhan).
B. Asal Usul Tasawuf
Tasawuf Islam
bersumber dari al-Qur’an dan Hadis. Banyak ayat al-Qur’an dan Hadis Nabi SAW.
berbicara tentang hubungan antara Allah dengan hamba-Nya manusia, diantaranya
seperti tertulis pada pendahuluan di atas.
Secara
umum Islam mengatur kehidupan yang bersifat lahiriah atau jasadiah, dan
kehidupan yang bersifat batiniah. Pada unsur kehidupan yang bersifat batiniah
inilah kemudian lahir tasawuf. Unsur kehidupan tasawuf ini mendapat perhatian
yang cukup besar dari sumber ajaran Islam, al-Qur’an dan al-Sunnah serta
praktek kehidupan Nabi dan sahabatnya. Lebih jauh, al-Qur’an berbicara tentang
kemungkinan manusia dan Tuhan dapat saling mencintai (mahabbah) seperti dalam
al-Maidah: 54; perintah agar manusia senantiasa bertaubat (at-Tahrim: 8);
petunjuk bahwa manusia akan senantiasa bertemu dengan Tuhan dimanapun mereka
berada (al-Baqarah: 110); Allah dapat memberikan cahaya kepada orang yang
dikehendaki (an-Nur: 35); Allah mengingatkan manusia agar dalam hidupnya tidak
diperbudak oleh kehidupan dunia dan harta benda (al-Hadid, al-Fathir: 5); dan
senantiasa bersikap sabar dalam menjalani pendakatan diri kepada Allah SWT (Ali
Imron: 3).[2]
Sejalan dengan
apa yang dibicarakan al-Qur’an, as-Sunnah pun banyak berbicara tentang
kehidupan rohaniah. Teks hadis qudsi berikut dapat dipahami dengan pendekatan
tasawuf:
كنت كنزا
مخفيا فاحببت ان اعرف فخلقت الخلق فبى عرفونى
“Aku adalah perbendaharaan yang
tersembunyi, maka Aku menjadikan makhluk agar mereka mengenal-Ku”.
Hadis tersebut
memberi petunjuk bahwa alam raya, termasuk manusia adalah merupakan cermin
Tuhan, atau bayangan Tuhan. Tuhan ingin mengenalkan diri-Nya melalui penciptaan
alam ini. Dengan demikian dalam alam raya ini terdapat potensi ketuhanan yang
dapat didayagunakan untuk mengenal-Nya. Dan apa yang ada di alam raya ini pada
hakikatnya adalah milik Tuhan dan akan kembali kepada-Nya, sebagaimana
firman-Nya dalam al-Baqarah: 156: “Orang-orang yang apabila ditimpa musibah,
mereka mengucapkan: “Inna lillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun” Sesungguhnya Kami
adalah milik Allah dan kepada-Nya-lah Kami kembali.” dan al-Baqarah 45-46: “Jadikanlah
sabar dan shalat sebagai penolongmu. dan Sesungguhnya yang demikian itu sungguh
berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu’, (yaitu) orang-orang yang
meyakini, bahwa mereka akan menemui Tuhannya, dan bahwa mereka akan kembali
kepada-Nya.”
C. Sumber Ajaran Tasawuf.
Demikian sekilas asal-usul tasawuf
dalam Islam. Jelas asal-usul tasawuf Islam bersumber dari al-Qur’an dan Hadis.
Namun demikian perlu juga kita perhatikan pendapat dari kalangan orientalis
Barat. Mereka mengatakan bahwa sumber yang membentuk tasawuf itu ada lima,
yaitu unsur Islam, unsur Masehi (agama Nasrani), unsur Yunani, unsur
Hindu/Budha dan unsur Persia. Unsur dari Islam sudah dijelaskan pada penjelasan
sebelumnya, selanjutnya unsur di luar Islam yang masuk ke dalam tasawuf menurut
orientalis dapat dijelaskan berikut:
1.
Unsur Masehi (agama Nasrani)
Orang Arab
sangat menyukai cara kependataan, khususnya dalam hal latihan jiwa dan ibadah.
Atas dasar ini Von Kromyer berpendapat bahwa tasawuf adalah buah dari unsur
agama Nasrani yang terdapat pada zaman Jahiliyah.Hal ini diperkuat pula oleh
Gold Ziher yang mengatakan bahwa sikap fakir dalam Islam adalah merupakan
cabang dari agama Nasrani.[3]
Unsur lain yang
dikatakan berasal dari Nasrani adalah sikap fakir. Menurut keyakinan Nasrani
bahwa Isa bin Maryam adalah seorang yang fakir, dan Injil juga disampaikan
kepada orang fakir. Isa berkata: “Beruntunglah kamu orang-orang miskin, karena
bagi kamulah kerajaan Allah. Beruntunglah kamu orang yang lapar, karena kamu
akan kenyang.” Selanjutnya adalah sikap tawakal kepada Allah dalam soal
penghidupan terlihat pada peranan syekh yang menyerupai pendeta, bedanya
pendeta dapat menghapus dosa; selibasi, yaitu menahan diri tidak kawin karena
kawin dianggap dapat mengalihkan perhatian diri dari Khalik, dan penyaksian,
dimana sufi dapat menyaksikan hakikat Allah dan mengadakan hubungan dengan
Allah.
2.
Unsur Yunani
Kebudayaan
Yunani yaitu filsafatnya telah masuk pada dunia Islam di mana perkembangannya
dimulai pada akhir Daulah Umayyah dan puncaknya pada Daulah Abbasiyah, metode
berpikir filsafat Yunani ini juga telah ikut mempengaruhi pola fikir sebagian
orang Islam yang ingin berhubungan dengan Tuhan. Pada persoalan ini, boleh jadi
tasawuf yang terkena pengaruh Yunani adalah tasawuf yang kemudian
diklasifikasikan sebagai tasawuf yang bercorak filsafat. Hal ini dapat dilihat
dari pikiran al-Farabi, al-Kindi, Ibnu Sina, terutama dalam uraian tentang
filsafat jiwa. Demikian juga pada uraian-uraian tasawuf dari Abu Yazid,
al-Hallaj, Ibnu Arabi, Syukhrawardi, dan lain sebagainya.[4]
3.
Unsur Hindu/Budha
Tasawuf dan
sistem kepercayaan agama Hindu memiliki persamaan, seperti sikap fakir. Darwis
Al-Birawi mencatat adanya persamaan cara ibadah dan mujahadah pada
tasawuf dan ajaran Hindu. Demikian juga pada paham reinkarnasi (perpindahan
roh dari satu badan ke badan lain), cara pelepasan dari dunia versi Hindu-Budha
dengan persatuan diri dengan jalan mengingat Allah.
Menurut Qomar
Kailan pendapat-pendapat ini terlalu ekstrim sekali karena kalau diterima bahwa
ajaran tasawuf itu berasal dari Hindu/Budha berarti zaman Nabi Muhammad telah
berkembang ajaran Hindu/Budha itu ke Mekkah, padahal sepanjang sejarah belum
ada kesimpulan seperti itu.
4.
Unsur Persia
Sebenarnya Arab
dan Persia memiliki hubungan sejak lama, yaitu pada bidang politik, pemikiran,
kemasyarakatan dan sastra. Namun, belum ditemukan argumentasi kuat yang
menyatakan bahwa kehidupan rohani Persia telah masuk ke tanah Arab. Yang jelas
kehidupan kerohanian Arab masuk ke Persia hingga orang-orang Persia itu
terkenal sebagai ahli-ahli tasawuf. Barangkali ada persamaan antara istilah zuhud
di Arab dengan zuhud menurut agama Manu dan Mazdaq; antara
istilah Hakikat Muhammad dan paham Hormuz (Tuhan Kebaikan) dalam
agama Zarathustra.
Dari semua
uraian di atas dapatlah disimpulkan bahwa sebenarnya tasawuf itu bersumber dari
ajaran Islam itu sendiri ialah al-Qur’an dan Sunah, mengingat yang dipraktekkan
Nabi SAW dan para sahabat. Namun setelah tasawuf itu berkembang menjadi
pemikiran, bisa saja ia mendapat pengaruh dari luar seperti filsafat Yunani dan
sebagainya. Dan andaipun terdapat persamaan dengan ajaran beberapa agama,
kemungkinan yang dapat terjadi adalah persamaan dengan agama-agama samawi
(Nasrani dan Yahudi), mengingat semua agama samawi berasal dari tuhan yang sama
Allah SWT yang dalam Islam diyakini sama mengajarkan tentang ketauhidan.
D. Sejarah Perkembangan Tasawuf
Tasawuf mempunyai perkembangan
tersendiri dalam sejarahnya. Tasawuf berasal dari gerakan zuhud yang
selanjutnya berkembang menjadi tasawuf. Meskipun tidak persis dan pasti, corak
tasawuf dapat dilihat dengan batasan- batasan waktu dalam rentang sejarah
sebagai berikut:
1. .
ABAD PERTAMA
DAN KEDUA HIJRIYAH
Fase abad pertama dan kedua Hijriyah
belum bisa sepenuhnya disebut sebagai fase tasawuf tapi lebih tepat disebut sebagai
fase kezuhudan. Adapun ciri tasawuf pada fase ini adalah sebagai berikut:
a.
Bercorak
praktis ( amaliyah )
Tasawuf pada fase ini lebih bersifat
amaliah dari pada bersifat pemikiran. Bentuk amaliah itu seperti memperbanyak
ibadah, menyedikitkan makan minum, menyedikitkan tidur dan lain sebagainya.
b. .
Bercorak
kezuhudan
Tasawuf pada pase pertama dan kedua
hijriyah lebih tepat disebut sebagai kezuhudan. Kesederhanaan kehidupan Nabi
diklaim sebagai panutan jalan para zahid. Banyak ucapan dan tindakan Nabi SAW yang
mencerminkan kehidupan zuhud dan kesederhanaan baik dari segi pakaian maupun
makanan, meskipun sebenarnya makanan yang enak dan pakaian yang bagus dapat
dipenuhi. Dan secara logikapun tidak masuk akal seandaikata Nabi SAW yang
menganjurkan untuk hidup zuhud sementara dirinya sendiri tidak melakukannya.
c.
Kezuhudan
didorong rasa khauf
Khauf sebagai rasa takut akan siksaan
Allah SWT sangat
menguasai sahabat Nabi SAW
dan orang-orang shalih
pada abad pertama dan kedua Hijriyah. Informasi al-Qur`an dan Nabi tentang
keadaan kehidupan akhirat benar-benar diyakini dan mempengaruhi perasaan dan
pikiran mereka.
d.
Sikap zuhud dan
rasa khauf berakar dari nash ( dalil Agama )
Al-Qur`an dan al-Hadits memberikan
informasi tentang kebenaran sejati hidup dan kehidupan. Keduanya memberikan
gambaran tentang perbandingan antara kehidupan dunia dan kehidupan akhirat.
Keduanya memberikan informasi tentang kengerian kehidupan akhirat bagi
orang-orang yang mengabaikan huum-hukum Allah. Selanjutnya orang – orang
mukmin benar-benar meyakini informasi itu. Dan keyakinan itu melahirkan rasa
khauf. Rasa khauf selanjutnya memunculkan sikap zuhud yaitu sikap menilai
rendah terhadap dunia dan menilai tinggi terhadap akhirat. Dunia dijadikan
sebagai alat dan lahan ( mazraah ) untuk mencapai kebahagian abadi dan sejati
yaitu akhirat.
e.
Sikap zuhud
untuk meningkatkan moral
Cinta dunia telah membuat saling bunuh
dan saling fitnah antar sesama. Cinta dunia melahirkan ketidaksalehan ritual,
personal maupun sosial. Itulah sebabnya Hasan al-Bashri sebagai salah seorang
zahid dalam mengajak baik masyarakat maupun pemerintah ( para pemimpin kerajaan
Umayah ) selalu mengajak untuk bersikap zuhud sebagaimana sikap ini menjadi
bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan sahabat Nabi yang setia.
f.
Fase Abad Kedua
Hijriyah
Kehidupan spiritual pada fase ini
mempunyai ciri tersendiri. Konsep zuhud yang semula berpaling dari kesenangan
dan kemewahan dunia berubah menjadi pembersihan jiwa, pensucian hati dan
pemurnian kepada Allah. Latihan-latihan diri ( al-riyâdlah )
sangat menonjol pada fase ini seperti menyepi ( khalwah ), bepergian
(siyâhah ), puasa ( al-shwm ) dan menyedikitkan makan ( qillah
al-tha’âm ) bahkan sebagaian mereka tinggal di gua-gua.
Menurut Ibn Khaldun, orang yang mengkonsentrasikan
beribadah pada fase ini mendapatkan julukan al-Shufiyah atau
al-Mutashawwifah.
Tema sentral zuhud pada fase ini adalah
tawakal dan ridlâ. Konsep tawakal dan ridlâ yang terdapat dalam al-Qur`ân itu
yang oleh para asketis sebelumnya dalam arti etis berubah menjadi madzhab
yang sangat ektrim. Itulah pada fase ini banyak kalangan asketis ( zâhid )
melakukan perjalanan masuk ke hutan dengan bertawakal tanpa bekal apapun dan
mereka rela terhadap karunia apa saja yang mereka terima.
g.
Fase Abad III
dan IV Hijriyah
Apabila abad pertama dan kedua
Hijriyyah disebut fase asketisisme ( kezuhudan ), maka abad ketiga dan
keempat disebut sebagai fase tasawuf. Praktisi kerohanian yang pada masa
sebelumnya digelari dengan berbagai sebutan seperti zahid, abid, nasik, qari`
dan sebagainya, pada permulaan abad ketiga hijriyah mendapat sebutan shufi. Hal
itu dikarenakan tujuan utama kegiatan ruhani mereka tidak semata – mata
kebahagian akhirat yang ditandai dengan pencapaian pahala dan penghindaran
siksa, akan tetapi untuk menikmati hubungan langsung dengan Tuhan yang didasari
dengan cinta. Cinta Tuhan membawa konsekuensi pada kondisi tenggelam dan mabuk
kedalam yang dicintai ( fana fi al-mahbub ). Kondisi ini tentu akan mendorong
ke persatuan dengan yang dicintai ( al-ittihad ). Di sini telah terjadi
perbedaan tujuan ibadah orang-orang syariat dan ahli hakikat.
Pada fase ini muncul istilah fana`,
ittihad dan hulul. Fana adalah suatu kondisi dimana seorang shufi kehilangan
kesadaran terhadap hal-hal fisik ( al-hissiyat). Ittihad adalah kondisi dimana
seorang shufi merasa bersatu dengan Allah sehingga masing-masing bisa memanggil
dengan kata aku ( ana ). Hulul adalah masuknya Allah kedalam tubuh manusia yang
dipilih.
Di antara tokoh pada fase ini adalah Abu yazid al-Busthami (w.263 H.) dengan konsep ittihadnya, Abu al-Mughits al-Husain Abu Manshur al-Hallaj ( 244 – 309 h yang lebih dikenal dengan al-Hallaj dengan ajaran hululnya. al-Hallaj dilahirkan di Persia dan dewasa di Iraq Tengah. Dia meghadapi empat tuduhan yang ahirnya membawanya dieksekusi di tiang salib. Empat tuduhan yang dituduhkan kepadanya adalah,
Di antara tokoh pada fase ini adalah Abu yazid al-Busthami (w.263 H.) dengan konsep ittihadnya, Abu al-Mughits al-Husain Abu Manshur al-Hallaj ( 244 – 309 h yang lebih dikenal dengan al-Hallaj dengan ajaran hululnya. al-Hallaj dilahirkan di Persia dan dewasa di Iraq Tengah. Dia meghadapi empat tuduhan yang ahirnya membawanya dieksekusi di tiang salib. Empat tuduhan yang dituduhkan kepadanya adalah,
1. Hubungannya dengan kelompok
al-Qaramithah
2. Ucapannya ” أنا الحقّ ( saya adalah
tuhan yang maha benar)
3. Keyakinan para pengikutnya tentang
ketuhanannya
4. Pendapatnya bahwa menunaikan ibadah
haji tidak wajib
Tokoh lainnya adalah Dzunnun al-Mishri
( w. 245 H.) yang dikenal dengan pencetus ma’rifat. Dia pernah belajar ilmu
Kimia dari Jabir bin Hayyan. Dia juga dianggap orang yang berbicara pertama
kali tentang maqamat dan ahwal di Mesir., al-Hakim al-Tirmidzi (w. 320 H. )
dengan konsep kewalian, Abu Bakar al-Sibli ( w.334 H.)
h.
Fase Abad V
Hihriyah
Fase ini disebut sebagai fase
konsolidasi yakni memperkuat tasawuf dengan dasarnya yang asli yaitu al-Qur`an dan
al-Hadits atau yang sering disebut dengan tasawuf sunny yakni tasawuf yang
sesuai dengan tradisi (sunnah) Nabi dan para sahabatnya. Fase ini sebenarnya
merupakan reaksi terhadap fase sebelumnya dimana tasawuf sudah mulai melenceng
dari koridor syariah atau tradisi (sunnah) Nabi dan sahabatnya. Tokoh tasawuf
pada fase ini adalah Abu Hamid al-Ghazali (w.505 H) atau yang lebih dikenal
dengan al-Ghzali. Ia dilahirkan di Thus Khurasan. Ia hidup dalam lingkungan
pemikiran maupun madzhap yang sangat hitorigen. al-Ghazali dikenal sebagai
pemuka madzhab kasyf dalam makrifat. Tentang kesunnian al-Ghazali dikomentari
oleh muridnya Abdul Ghafir al-Faritsi,”Ahirnya al-Ghazali berkonsentrasi pada
hadits Nabi al-Mushthofa dan berkumpul bersama-sama ahli Hadits dan mempelajari
kitab Shahih al-Bukhari dan Shahih al-Muslim Dia menerima tasawuf dari kelompok
persia menuju tasawuf suuni. Itulah sebabnya ia banyak menyerang filsafat
Yunani dan menunjukkan kelemahan-kelemahan aliran batiniyyah. Di antara buku
karangannya adalah Tahafut al-Falasifah, al-Munqidz Min al-Dlalal dan Ihya`
Ulum al-Din.
Tokoh lainnya adalah Abu al-Qasim Abd
al-Karim bin Hawazin Bin Abd al-Malik Bin Thalhah al-Qusyairi atau yang lebih
dikenal dengan al-Qusyairi (471 H), al-Qusyairi menulis al-Risalah al-Qusyairiyah
terdiri dari dua jilid.
i.
Fase Abad VI Hijriyah
Fase ini ditandai dengan munculnya
tasawuf falsafi yakni tasawuf yang memadukan antara rasa (dzauq) dan rasio
(akal), tasawuf bercampur dengan filsafat terutama filsafat Yunani. Pengalaman
– pengalaman yang diklaim sebagai persatuan antara Tuhan dan hamba kemudian
diteorisasikan dalam bentuk pemikiran seperti konsep wahdah al-wujud yakni
bahwa wujud yang sebenarnya adalah Allah sedangkan selain Allah hanya gambar
yang bisa hilang dan sekedar sangkaan dan khayali.
Tokoh –tokoh pada fase ini adalah
Muhyiddin Ibn Arabi atau yang lebih dikenal dengan Ibnu Arabi ( 560 – 638 H.)
dengan konsep wahdah al-Wujudnya. Ibnu Arabi yang dilahirkan pada tahun 560 H.
dikenal dengan sebutan as-Syaikh al-Akbar (Syekh Besar). Di masa mudanya, ia
pernah menjadi sekretaris hakim tingkat wilayah. Sakit keras yang pernah
dialami mengubah sikap hidup yang sangat drastis. Dia menjadi seorang zahid dan
abid. Dia menghabiskan waktunya di beberapa kota di Andalusia dan di Afrika
Utara untuk bertemu para guru shufi. Umur tiga puluh tahun pindah ke Tunis
kemudia ke Fas. Disini, Ibnu Arabi menulis buku berjudul al-Isra Ila
Maqam al-Asra (الإسراء إلى مقام الأسرى ). Kemudian pergi ke Kairo dan al-Quds
yang kemudian diteruskan ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji. Ibnu Arabi
beberapa tahun tinggal di Mekkah dan disinilah ia menyusun kitab Taj al-Rasail
(تاج الرسائل) dan Ruh al-Quds (روح القدس) dan pada tahun 598 H.
Mulai menulis kitab yang sangat terkenal al-Futuhat al-Makkiyyah (الفتوحات
المكية). Ahirnya Ibnu Arabi tinggal di Damaskus dan menulis kitab Fushush
al-Hikam (فصوص الحِكَم). Ibnu Arabi meninggal pada tahun 638 H.
Tokoh lainnya adalah
al-Syuhrawardi (549 – 587 H.) dengan konsep Isyraqiyahnya. Ia dihukum bunuh
dengan tuduhan telah melakukan kekufuran dan kezindikan pada masa pemerintahan
Shalahuddin al-Ayubi. Diantara kitabnya adalah Hikmat al-Israq. Tokoh
berikutnya adalah Ibnu Sab’in (667 H.) dan Ibn al-Faridl (632 H.)
Pada abad VI juga ditandai dengan
munculnya tariqat yakni madrasah shufi yang bertujuan membimbing calon shufi
menuju pengalaman ilahi melalui teknik dzikir tertentu. Oleh sebagian orang
dikatakan bahwa munculnya taiqat adalah untuk membantu orang-orang –awam agar
ikut mencicipi tasawuf karena selama ini pengalaman tasawuf hanya dialami oleh
orang-orang tertentu saja (khawash). Disamping itu kehadiran thariqat juga
untuk memagari tasawuf agar senantiasa berada dalam koridor syariat. Itulah
sebabnya sistem thariqat sangat ketat.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Tasawuf adalah upaya melatih jiwa
dengan berbagai kegiatan yang dapat membebaskan diri dari pengaruh kehidupan
dunia, sehingga tercermin akhlak yang mulia dan dekat dengan Allah SWT.
Ajaran tasawuf yang benar adalah
yang tidak mengabaikan akhlak terhadap sesama manusia. Jadi, bukan hanya
hubungan vertikal dengan Tuhan saja yang harus di bina, namun perlu juga
hubungan dengan sesama manusia dengan akhlak yang terpuji. Dalam Islam, bahwa walaupun tujuan hidup harus
diarahkan ke alam akhirat, namun setiap muslim diwajibkan untuk tidak melupakan
urusan dunianya. Setiap muslim wajib kerja keras untuk menikmati rezeki Tuhan
yang telah dihalalkan untuk umat-Nya, asal diperoleh melalui jalan yang halal.
Yakni berlomba dengan cara yang jujur dalam kebaikan (fastabiqul khairat). Akan
tetapi mengutamakan kehidupan dunia dan berpandangan materialis-sekuler
sangatlah dicela dan diharamkan dalam Islam.
DAFTAR PUSTAKA
Abudin Nata, Dr. MA. Akhlak
Tasawuf. Jakarta: RadjaGrafindo Persada, 2002
Asmaran As, Drs. MA. Pengantar Studi
Tasawuf. Jakarta: RadjaGrafindo Persada, 1996
MAHJUDIN, Drs. 1991. Kuliah
Akhlak-Tasawuf. Jakarta: Kalam Mulia.
MUSTOFA, Drs. H. A. 1999. Akhlak-Tasawuf.
Bandung: CV. Pustaka Setia.
NATA, Prof. Dr. H. ABUDDIN, M.A.
2006. Akhlak Tasawuf. Jakarta: PT. Taja Grafindo Persada.
Permadi, K.Drs. S.H. Pengantar Ilmu
Tasawuf. Jakarta: Rineka Cipta, 2004
Rosihon Anwar, Drs. M.Ag. Drs.
Mukhtar Solihin, M.Ag. Ilmu Tasawuf. Bandung: Pustaka Setia, 2000.
No comments:
Post a Comment