Monday 28 March 2016

makalah sumber hukum yang tidak disepakati




“Sumber Hukum Islam yang Tidak Disepakati”

“Ditujukan untuk memenuhi tugas”
                                    Mata Kuliah      : Ushul Fiqih
            Dosen              : Azhar.Sh.I MA
            Jurusan            : Tarbiyah - PAI  (II-A)

                                             Di susun Oleh

 Muhammad.andrian



SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM JAM’IYAH MAHMUDIYAH TANJUNG PURA - LANGKAT
TAHUN PERIODE : 2015- 2016


KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah swt karena berkat rahmat Nya penyusunan makalah ini dapat diselesaikan.Makalah ini merupakan makalah Ushul Fiqih yang membahas Sumber Hukum Islam yang Tidak Disepakati  .Secara khusus pembahasan dalam makalah ini diatur sedemikian rupa sehingga materi yang disampaikan sesuai dengan mata kuliah. Dalam penyusunan tugas atau materi ini, tidak sedikit hambatan yang kami hadapi. Namun kami menyadari bahwa kelancaran dalam penyusunan makalah ini tidak lain berkat bantuan, dorongan dan bimbingan orang tua, sehingga kendala­­-kendala yang kami hadapi teratasi . oleh karena itu kami mengucapkan terimakasih kepada:
1. Bapak dosen mata kuliah USHUL FIQIH  Bapak AZHAR SHI MA yang telah memberikan tugas, petunjuk, kepada kami sehingga kami termotivasi dan menyelesaikan tugas makalah ini.
2.  Orang tua, teman dan kerabat  yang telah turut membantu, membimbing, dan mengatasi berbagai kesulitan sehingga tugas makalah ini selesai.
Kami sadar, bahwa dalam pembuatan makalah ini terdapat banyak kesalahan.Untuk itu kami meminta maaf apabila ada kekurangan. Kami sangat mengharapkan kritik dan saran dari para pembaca guna meningkatkan kualitas makalah penulis selanjutnya. Kebenaran dan kesempurnaan hanya Allah-lah  yang punya dan maha kuasa .Harapan kami, semoga makalah yang sederhana ini, dapat memberikan manfaat tersendiri bagi generasi muda islam yang akan datang, khususnya dalam bidang Ushul Fiqih.


Tanjung Pura, Maret, 2016



DAFTAR ISI


 



BAB I

PENDAHULUAN

A.    Latar belakang

Dalam hukum Islam terdapat dua ketentuan sumber hukum atau dalil yaitu sumber hukum yang disepakati dan sumber hukum yang tidak disepakati.menurut ‘Abd al Majid Muhammaad Al Khafawi bahwa  sumber hukum yang di sepakati ulama tersebut yaitu Al-Qur’an dan As-Sunnah, Ijma’, dan Qiyas.
Sedang sumber hukum/ dalil yang tidak disepakati atau terjadi Ikhtilaf ada 7 secara umum yaitu Istihsan,Istishab,Maslahah al mursalah,Urf,Saddudz dzarî’ah,Syar’u man Qablana,Qaul Sahabi
Adapun dalam makalah ini akan membahas sumber hukum yang tidak disepakati oleh mayoritas ulama’,sehingga terjadi perbedaan (ikhtilaf) dalam penggunaanya.

B.     Rumusan masalah

Bertitik tolak pada uraian yang telah dikemukakan di atas, penulis dapat menarik sebuah rumusan masalah sebagai berikut:
      1.      Apa pengertian  Istihsan,Istishab,Maslahah al mursalah,Urf,Saddudz dzarî’ah,Syar’u man Qablana,Qaul Sahabi  ?
      2.      Jelaskan macam-macam Istihsan,Istishab,Maslahah al mursalah,Urf,Saddudz dzarî’ah,Syar’u man Qablana,Qaul Sahabi dan contohnya!
      3.      Apa kehujjahan Istihsan,Istishab,Maslahah al mursalah,Urf,Saddudz dzarî’ah,Syar’u man Qablana,Qaul Sahabi.



BAB II

PEMBAHASAN


A.    Istihsan
1.Pengertian
Pengertian istihsan menurut bahasa adalah mengembalikan sesuatu kepada yang baik, menurut istilah Ushul yaitu memperbandingkan, dilakukan oleh mujtahid dari qias jalli (jelas) kepada qias khafi (tersembunyi), atau dari hukum kulli kepadahukum istinai’
Menurut Wahbah Az Zuhaili terdiri dari dua definisi:
a.       Memakai qias khafi dan meninggalkan qias jalli karna ada petunjuk untuk itu disebut istihsan qiasi
b.      Hukum pengecualian dari kaidah kaidah yang berlaku umum karna ad petunjuk untuk hal tersebut. Disebut istihsan Istinai’[1]
2. Macam- Macam  Istihsan
Ulama Hanafiyyah membagi istihsan kepada 6 macam, yaitu:
a.       Istihsan bi al-Nash/الإستحسان بالنص (Istihsan berdasarkan ayat atau hadist).
b.       Istihsan bi al-Ijma'/الإستحسان بالإجماع (istihsan yang didasarkan kepada ijma’).

c.       Istihsan bi al-qiyas al-khafiy/الإستحسان بالقياس الخفى (istihsan berdasarkan qiyas yang tersembunyi).
d.       Istihsan bi al-Mashlahah/الإستحسان بالمصلحة(istihsan berdasarkan kemaslahatan).
e.      Istihsan bi al-‘Urf/الإستحسان بالعرف(istihsan berdasarkan adat kebiasaan yang berlaku umum).
f.      Istihsan bi al-dharurah/الإستحسان بالضرورية(istihsan berdasarkan keadaan darurat).



4. Kehujahan Istihsan
          Terdapat perbedaan pendapat ulama ushul fiqih dalam menetapkan istihsan sebagai salah satu metode/dalil dalam menetapkan hukum syara’.[2]
            Menurut ulama Hanafiyyah, Malikiyyah dan sebagian ulama Hanabilah, istihsan merupakan dalil yang kuat dalam menetapkan hukum syara’. Alasan yang mereka kemukakan adalah:
a.      Ayat-ayat yang mengacu kepada pengangkatan kesulitan dan kesempitan dari umat manusia, yaitu firman Allah dalam surat al-baqarah, 2: 185:

….Allah menghendaki kemudahan bagi kamu dan tidak menghendaki kesukaran bagi kamu…
b.      Rasulullah dalam riwayat ‘Abdullah ibn Mas’ud mengatakan:
مَا رَآهُ الـْمُسْلـِمُوْنَ حَسَنـًا فـَهُوَ عِنـْدَ اللهِ حَسَنٌ
 “Sesuatu yang dipandang baik oleh umat islam, maka ia juga di hadapan Allah adalah baik. (H.R. Ahmad ibn Hanbal)
Adapun Ulama Syafi’iyyah, Zhahiriyyah, Syi’ah dan Mu’tazilah tidak menerima istihsan sebagai salah satu dalil dalam menetapkan hukum syara’. Alasan mereka, sebagaimana yang dikemukakan Imam al-Syafi’i, adalah:
a.      Hukum-hukum syara’ itu ditetapkan berdasarkan nash (al-Qur’an dan atau Sunnah) dan pemahaman terhadap nash melaui kaidah qiyas. Istihsan bukanlah nash dan bukan pula qiyas. Jika istihsan berada di luar nash dan qiyas, maka hal itu berarti ada hukum-hukum yang belum ditetapkan Allah yang tidak dicakup oleh nash dan tidak bisa dipahami dengan kaidah qiyas. Hal ini tidak sejalan dengan firman Allah dalam surat al-Qiyamah, 75:36:
 “Apakah manusia mengira, bahwa ia akan dibiarkan begitu saja (tanpa pertanggungjawaban).”
Menurut wahbah az Zuhaili menyebutkan bahwa adanya perbedaan tersebut disebabkan perbedaan dalam mengartikan Istihsan, Imam Syafii membantah istihsan dengan menggunakan hawa nafsu tanpa menggunakan dalil syara’, sedang istihsan yang dipakai oleh penganutnya bukan berdasarkan hawa nafsu tetapi mentarjih (menganggap kuat)salah satu dua dalil yang bertentangan.

B.     Istishab

1.     Pengertian Istishab
Secara lughawi (etimologi) istishab itu berasal dari kata is-tash-ha-ba ((استصحب dalam shigat is-tif’âl (استفعال), yang berarti: استمرار الصحبة. Kalau kata الصحبة diartikan “sahabat” atau “teman”, dan استمرار diartikan “selalu” atau “terus-menerus”, maka istishab itu secara lughawi artinya adalah: “selalu menemani” atau “selalu menyertai”.
Sedangkan secara istilah (terminologi), terdapat beberapa definisi yang dikemukakan oleh para ulama, di antaranya ialah:
Ibn al-Qayyim al-Jauziyah Istishab ialah mengukuhkan menetapkan apa yang pernah ditetapkan dan meniadakan apa yang sebelumnya tiada.
2.      Syarat-syarat Istishab [3]
a.       Syafi’iyyah dan Hanabillah serta Zaidiyah dan Dhahiriyah berpendapat bahwa hak-hak yang baru timbul tetap menjadi hak seseorang yang berhak terhadap hak-haknya terdahulu.
  1. Hanafiyyah dan Malikiyah membatasi istishab terhadap aspek yang menolak saja dan tidak terhadap aspek yang menarik (ijabi) menjadi hujjah untuk menolak, tetapi tidak untuk mentsabitkan.
3. Macam- Macam Istishab
 Muhammad Abu Zahroh membagi Istishhab menjadi 4 bagian :
a.  Istishhab al-Bara`ah al-Ashliyyah dapat dipahami dengan contoh sebagai   berikut : seperti tidak adanya kewajiban melaksanakan syari’at bagi manusia, sehingga ada dalil yang menunjukan dia wajib melaksanakan kewajiban tersebut,. Maka apabila dia masih kecil maka dalilnya adalah ketika dia sudah baligh.
2. Ishtishhab ma dalla asy-Syar’i au al-’Aqli ‘ala Wujudih bisa dipahami yaitu bahwa nash menetapkan suatu hukum dan akal pun membenarkan (menguatkan ) sehingga ada dalil yang menghilangkan hukum tersebut.
3. Istishhab al-hukmi bisa dipahami apabila hukum itu menunjukan pada dua terma yaitu boleh atau dilarang, maka itu tetap di bolehkan sehingga ada dalil yang mengharamkan dari perkara yang diperbolehkan tersebut, begitu juga sebaliknya.
4. Istishhab al-Washfi dipahami dengan menetapkan sifat asal pada sesuatu, seperti tetapnya sifat hidup bagi orang hilang sehingga ada dalil yang menunjukan bahwa dia telah meninggal, dan tetapnya sifat suci bagi air selama belum ada najis yang merubahnya baik itu warna,rasa atau baunya.
5.     Kehujjahan Istishab
Para ulama ushul fiqih berbeda pendapat tentang kehujjahan isthishab ketika tidak ada dalil syara’ yang menjelaskan suatu kasus yang dihadapi:[4]
  1. Ulama Hanafiyah : menetapkan bahwa istishab itu dapat menjadi hujjah untuk menolak akibat-akibat hukum yang timbul dari penetapan hukum yang berbeda (kebalikan) dengan penetapan hukum semula, bukan untuk menetapkan suatu hukum yang baru.
  2. Ulama mutakallimin (ahli kalam) : bahwa istishab tidak bisa dijadikan dalil, karena hukum yang ditetapkan pada masa lampau menghendaki adanya adil.
  3. Ulama Malikiyah, Syafi’iyah, Hanabilah, Zhahiriyah dan Syi’ah : bahwa istishab bisa menjadi hujjah serta mutlak untuk menetapkan hukum yang sudah ada, selama belum ada yang adil mengubahnya.

C.    Maslahah al Murslah

Menurut abdul wahab khalaf; sesuatu yang dianggap maslahah namun tidak ada ketegasn hukum untuk merealisasikanya dan tidak pula ada dalil yang mendukung maupun yang menolaknya,sehingga ia dikatakn Maslahah al mursalah ( maslahah yang lepasdari dalil secara khusus).
Para ulama’ belum sepenuhnya sepakat bahwa maslahah al mursalah dapat dijadikan sumberhukum islam artinanya maslahah al mursalah termasuk sumber hukum Islam yg masih di pertentangkan, golongan mazhab Syafii dan Hanafy tidak menganggap maslahah al mursalah sebagai sumber hukum yang berdiri sendiri, dan memasukkannya dalam katagori  bab Qiyas, jika dalam suatu maslahah tidak didapatkannya nash yg bisa dijadikannya acuan dalam Qiyas maka maslahah tersebut di anggap batal/ tidak diterima. Sedang Imam malik dan Imam Hanbaly mengatakan bahwa maslahah dapat diterima dan dapat dijadikan sumber hukum apabila memenuhi syarat.[5]
Adapun syaratnya yaitu:
1.      Adanya persesuian antara maslahah yg dipandang sebagai sumber dalil yg berdiri sendiri dengan tujuan tujuan syariat ( maqashid as syari’ah).
2.      Maslahah harus masuk akal ( rationable).
3.      Penggunan dalil maslahah adalah dalam rangka menghilangkan kesulitan yang terjadi ( raf’u haraj lazim), seperti firman Allah surah al hajj ayat 78, yg artinya  dan Dia tidak sekali kali menjdikan untuk kamu suatu kesempitan.”( lihat al I’tisham oleh As Syatibi juz 3, hal 307

D.    ‘URF ( Adat istiadat)

1.Pengertian
Kata ‘urf secara etimologi berarti “sesuatu yang dipandang baik dan diterima akal sehat”. Sedang secara terminologi menurut Abdul Karim Zaidan yaitu “ sesuatu yang tidak asing lagi bagi suatu masyarakat karna telah menjadi kebiasaan dan menyatu dengan kehidupan mereka baik berupa perbuatan maupun perkataan.
Oleh karna itu Ulama Mazhab Maliky dan Hanafy bahwa hukum yang ditetapkan berdasarkan urf yang shahih sama dengan yang ditetapkan berdasarkandalil syari’iy.
Adapun pembagian ‘Urf dibagi menjadi dua macam
1.      ‘Urf yang Fasid ( rusak/jelek) yang tidak bisa diterima, yaitu ‘Urf yang bertentangan dengan Nash Qath’i
2.      ‘Urf yang shahih( baik/Benar), suatu kebiasaan  baik yang tidak bertentangan dengan syariat.



2. Kehujjahan 'Urf
'Urf menurut penyelidikan bukan merupakan dalil syara’ tersendiri. Pada umumnya, urf ditujukan untuk memelihara kemaslahatan umat serta menunjang pembentukan hukum dan penafsiran beberapa nash. Namun hal ini bukan berarti urf tidak mempunyai dasar hukum sebagai salah satu sahnya sumber syari’at islam. Mengenai kehujjahan urf menurut  pendapat kalangan ulama ushul fiqh, diantaranya:[6]
1)      Golongan Hanafiyah dan Malikiyah berpendapat bahwa urf adalah hujjah untuk menetapkan hukum islam. Alasan mereka ialah berdasarkan firman Allah dalam surat al A’rof ayat 199:
خُذِ اْلعَفْوَ وَأمُرْ بِاْلعُرْفِ وَاَعْرِضْ عَنِ اْلجَاهِلِيْنَ.
“Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang-orang mengerjakan yang ma’ruf serta berpalinglah daripada orang-orang yang bodoh”.
Ayat ini bermaksud bahwa urf ialah kebiasaan manusia dan apa-apa yang sering mereka lakukan (yang baik). Ayat ini, bersighat ‘am artinya Allah memerintahkan Nabi-Nya untuk mengerjakan suatu hal yang baik, karena merupakan perintah, maka urf dianggap oleh syara’ sebagai dalil hukum.
2)      Golongan Syafi’iyah dan Hanbaliyah, keduanya tidak menganggap urf sebagai hujjah atau dalil hukum syar’i. Golongan Imam Syafi’i tidak mengakui adanya istihsan, mereka betul-betul menjauhi untuk menggunakannya dalam istinbath hukum dan tidak menggunakannya sebagai dalil.[7] Maka dengan hal itu, secara otomatis golongan Imam Syafi’ juga menolak menggunakan urf sebagai sumber hokum islam. Penolakannya itu tercermin dari perkataannya sebagaimana berikut:
“Barang siapa yang menggunakan istihsan maka sesungguhnya ia telah membuat hukum”.  



E.     Saddudz dzarî’ah

1. Pengertian
Menurut bahasa saddu berarti menutup dan dzara’I kata jama’ dari dzari’ah berarti “Wasilah atau  jalan”. Jadi artinya menutup jalan. Sedang menurut istilah ialah “menghambat segala sesuatu yang menjadi jalan kerusakan”[8]
Yang dimaksud dengan saddu al-dzari’ah ialah
 “mencegah/menyumbat sesuatu ygang menjadi kerusakan, atau menyumbat jalan yang dapat menyampaikan seseorang pada kerusakan”.
Pada dasranya yang menjadi objek dzari’ah adalah semua perbuatan ditinjau dari segi akibatnya yang dibagi menjadi empat, yaitu :
1)   Perbuatan yang akibatnya menimbulkan kerusakan/bahaya,
2)   Perbuatan yang  jarang , berakibat kerusakan /bahaya,
3)   Perbuatan yang menurut dugaan kuat akan menimbulkan bahaya;
4)   Perbuatan yang lebih banyak menimbulkan kerusakan, tetapi belum mencapai tujuan kuat timbulnya kerusakan itu.
2. Kehujahan
tentang kehujjahan Saddu Dzari’ah ada beberapa pendapat:
1)      Imam Malik dan Imam Ahmad Ibnu Hambal dikenal sebagai dua orang Imam yang memakai saddu dzari’ah. Oleh karena itu, kedua Imam ini menganggap bahwa saddu dzari’ah dapat menjadi hujjah. Khususnya Imam Malik yang dikenal selalu mempergunakannya di dalam menetapkan hukum syara’. Imam Malik di dalam mempergunakan saddu dzari’ah sama dengan mempergunakan masalih mursalah dan Uruf wal Adah. Demikian dijelaskan oleh Imam Al-Qarafi, salah seorang ulama ulung dibidang ushul dari mazhab Maliki.
2)      Imam Ibnu Qayyim mengatakan, bahwa penggunaan saddu dzari’ah merupakan satu hal yang penting sebab mencakup seperempat dari urusan agama. Di dalam saddu dzari’ah termasuk Amar (perintah) Nahi (larangan).
3)      Ulama Hanafiyyah, syafi’iyah, dan syi’ah menerima saddu dzari’ah sebagai dalil dalam masalah-masalah tertentu dan menolaknya dalam kasus-kasus lain. Imam Asy-Syafi’i, membolehkan seseorang yang karena udzur, seperti sakit dan musafir, untuk meninggalkan shalat Jum’at dan menggantinya dengan shalat Zhuhur.

F.  Syar’u man Qablana

      1.     Pengertian Syar’u Man Qoblana      
Secara etimologis syar’u man qablana adalah hukum-hukum yang disyariatkan oleh Allah SWT, bagi umat-umat sebelum kita. Secara istilah ialah syari ‘at yang diturunkan Allah kepada umat sebelum ummat Nabi Muhammad SAW, yaitu ajaran agama sebelum datangnya ajaran agama Islam melalui perantara  nabi Muhammad SAW, seperti ajaran agama Nabi Musa, Isa, Ibrahim, dan lain-lain.[9]
2.     Hukum Syar’u Man Qoblana
Jika Al-qur’an atau sunnah yang sahih mengisahkan suatu hukum yang telah disyariatkan kepada umat yang dahulu melalui para Rosul, kemudian nash tersebut diwajibkan kepada kita sebagaimana diwajibkan kepada mereka maka tidak diragukan lagi bahwa syariat tersebut juga ditujukan kepada kita. Dengan kata lain wajib untuk diikuti, seperti Firman Allah SWT dalam surat Al-baqoroh ayat 183 berikut.
ياايها الذين امنواكتب عليكم الصيام كماكتب على الذين من قبلكم.... 
“hai orang-orang yang beriman diwajibkan kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu”(Al-baqarah :183) 
Sebaliknya, bila dikisahkan suatu syari’at yang telah ditetapkan kepada orang-orang terdahulu, namun hukum tersebut telah dihapus untuk kita, para ulama sepakat bahwa hukum tersebut tidak disyari’atkan kepada kita, seperti syari’at Nabi Musa a.s bahwa seseorang yang telah berbuat dosa tidak akan diampuni dosanya, kecuali dengan membunuh dirinya. Dan jika ada najis yang menempel pada tubuh, tidak akan suci kecuali dengan memotong anggota badan tersebut, dan lain sebagainya.[10]
 3.     Pendapat Ulama tentang Syar’u Man Qoblana
Jumhur ulama’ Hanafiah, sebagian ulama’ Maikiyah dan syafi’iyah berpendapat bahwa Syar’u Man Qablana   disyariatkan juga pada kita dan kita berkewajiban mengikuti dan menerapkannya selama hukum tersebut telah diceritakan kepada kita serta tidak terdapat hukum yang menasakhnya. Alasannya mereka menganggap bahwa hal itu termasuk daripada hukum-hukum Tuhan yang telah disyariatkan melalui para rosulnya dan diceritakan kepada kita. Maka orang-orang mukallaf wajib mengikutinya. Lebih jauh ulama’ hanafiah mengambil dalil bahwa yang dinamakan pembunuhan itu adalah umum dan tidak memandang apakah yang dibunuh itu muslim atau kafir dzimmi, laki-laki atau perempuan berdasarkan kemutlakan firman Allah SWT :
النفس بالنفس  (Jiwa dibalas dengan jiwa)
Sebagian ulama mengatakan bahwa syari’at kita itu menasakh atau menghapus syari’at terdahulu, kecuali apabila dalam syari’at terdapat sesuatu yang menetapkannya. Namun, pendapat yang benar adalah pendapat pertama karena syari’at kita hanya menasakh syari’at terdahulu yang bertentangan dengan syari’at kita saja
4.    Macam-macam Syar’u Man Qoblana
Syar’u Man Qablana dibagi menjadi dua bagian. Pertama, setiap hukum syariat dari umat terdahulu namun tidak disebutkan dalam al-Qur’an dan sunnah. Ulama’ sepakat bahwa macam pertama ini jelas tidak termasuk syariat kita. Kedua, setiap hukum syariat dari umat terdahulu namun disebutkan dalam al-Qur’an dan sunnah.
Berikut adalah gambaran Syar’u Man Qoblana[11]
1.      Ada yang telah dihapuskan oleh syariat Islam
2.      Ada yang tidak dihapus oleh syariat Islam :
a.       Yang ditetapkan oleh syariat Islam dengan tegas
b.      Yang tidak ditetapkan syariat Islam dengan tegas :
Ø  Yang diceritakan kepada kita baik melalui Alqur’an atau Hadis.
Ø  Yang tidak disebut-sebut sama sekali di dalam Alqur’an atau Hadis.
Ada beberapa dalil yang dibuat tendensi mereka, para ulama’ yang
Dari uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa syar’u man qoblana tidak berdiri sendiri, melainkan baru dapat berlaku jika dikukuhkan dengan dalil-dalil Alqur’an dan hadis yang sahih, sekaligus tidak terdapat dalil yang menunjukkan bahwa ia telah mansukh.

G.     Qaul Shahabi

Secara bahasa qaul artinya perkataan, ucapan, sabda. Sedangkan shahabi diartikan sahabat nabi, yaitu orang mukmin yang pernah bertemu langsung dengan nabi serta bergaul lama dengan beliau.
Menurut pandangan Imam Syafi’i, qaul shahabi adalah fatwa-fatwa yang dikeluarkan oleh sahabat Nabi Muhammad SAW menyangkut hukum masalah-masalah yang tidak diatur di dalam nash, baik Al-Qur’an maupun Sunnah.
Pengertian lain dari qaul shahabi adalah pendapat para sahabat Rasulullah SAW, yaitu pendapat para sahabat atas suatu permasalahan yang dinukil para ulama baik berupa fatwa maupun ketetapan hukum. Dimana ayat dan hadits tidak menjelaskan hukum atas permasalahan yang dihadapi oleh para sahabat tersebut. Sedangkan yang dimaksud dengan sahabat menurut ulama ushul fiqh adalah seseorang yang bertemu dengan Rasulullah SAW dan beriman kepadanya serta hidup bersama beliau dalam kurun waktu yang panjang.

  • Jadi, qaul al-shahabi merupakan pendapat hukum yang dikemukakan oleh seseorang atau beberapa orang sahabat nabi, tentang suatu hukum syara’ yang ketentuannya tidak terdapat pada nash.[12]

Pada dasarnya sahabat sama dengan umat Islam lainnya, tetapi disisi lain mereka mempunyai kelebihan tersendiri sehubungan dengan kebersamaannya dengan Rasulullah SAW. Misalnya ada sahabat yang menonjol dalam hal perbendaharaan hadits, ada juga sahabat yang terkenal sebagai mufti yang alim dan ahli ber-istinbath, ada juga yang dikenal sebagai panglima perang, selain itu juga ada yang menonjol sebagai tokoh pemimpin masyarakat. Dalam semua hal itu mereka sangat mengenal bahasa Al-Quran. Mereka banyak mengetahui kasus, peristiwa atau kondisi sosial yang melatar belakangi turunnya ayat-ayat tertentu. Mereka pun menyaksikan tindakan serta mendengar dan melaksanakan secara langsung titah atau pengarahan Rasulullah SAW dalam berbagai kaitannya. Hal ini membuat mereka lebih mampu memahami kandungan makna Al-Qur’an dan Sunnah. Selain itu, berkat pergaulannya dengan Nabi SAW, kualitas akhlak mereka sangat tinggi sehingga para ulama sepakat mengakui bahwa pada dasarnya mereka semua bersifat adil.
Perkataan sahabat yang tidak mendapat tantangan dari sahabat yang lain menjadi hujjah bagi orang Islam. Sebab persesuaian mereka dalam suatu masalah pada masa mereka hidup masih dekat dengan masa hidup Rasulullah SAW serta pengetahuan mereka yang mendalam mengenai rahasia-rahasia syari’at itu adalah menjadi bukti bahwa ucapan mereka yang tidak mendapat bantahan itu berdasarkan kepada dalil yang qath’i dari Rasulullah SAW. Misalnya keputusan Abu Bakar r.a. perihal bagian beberapa orang nenek yang mewarisi bersama-sama ialah seperenam harta peninggalan yang kemudian dibagi rata antar mereka. Tidak ada sahabat yang membantah keputusan Abu Bakar r.a. tersebut. Bahkan dalam masalah yang sama Umar r.a. pun memutuskan demikian. Oleh karena itu, hukum yang ditetapkan oleh sahabat Abu Bakar r.a. tersebut merupakan hukum yang wajib diikuti oleh kaum muslimin karena tidak mendapat perlawanan dari sahabat, bahkan tidak ada perselisihan di antara kaum muslimin dalam masalah itu.[13]




BAB III

PENUTUP

A.     Kesimpulan


Sumber hukum Islam yang tidak disepakati ulama’ yaitu Istihsan,Istishab,Maslahah al mursalah,Urf,Saddudz dzarî’ah,Syar’u man Qablana,Qaul Sahabi , merupakan ciri khas  Islam dalam pengambilan sumber hukum yang bertujuan untuk menyelesaikan suatu masalah dengan cara pandang/ metode yang berbeda-beda.



DAFTAR FUSTAKA


Effendi ,Satria,  M. Zein.2008.Ushul Fiqh, ed. 1, cet. 2, Jakarta: Kencana,
Djazuli,  A. 2012Ushul Fiqh Jakarta:Kencana,
Syafe’i,  Rachmat . 2010 Ilmu Ushul Fiqih. Bandung:Pustaka Setia,
Uman,  Chaerul dkk. 2000.  Ushul Fiqh 1 Bandung: CV PUSTAKA SETIA,
Wahhab,  Abdul Khallaf. 1994 . Ilmu Ushul Fiqh Semarang : Toha Putra Group,
 Rahmat,  Syafi’I.1999 Ilmu Ushul Fiqh .cet-1 Bandung :  CV Pustaka Setia.
Syarifuddin, Amir 2001 Ushul fiqh, Jakarta: Logos.
Azhar. 2015. Ushul Fiqih Medan : Fakultas Tarbiyah IAIN SU,





[1] . Azhar,Ushul Fiqih ( Medan : Fakultas Tarbiyah IAIN SU,2015,) hal. 50

[2] , Amir Syarifuddin, Ushul fiqh, (Jakarta: Logos, 2001), hal. 313-314
[3] . Syafi’I Rahmat Ilmu Ushul Fiqh Bandung :  CV Pustaka Setia,cet-1 1999 hal. 162
[4] .Ibid .165
[5] . Abdul Khallaf Wahhab. Ilmu Ushul Fiqh (Semarang : Toha Putra Group, 1994), hlm. 121 - 122
[6] . Chaerul Uman dkk, Ushul Fiqh 1 (Bandung: CV PUSTAKA SETIA, 2000), 166
[7] .Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqh (Bandung: CV PUSTAKA SETIA, 2010),112.
[8] .Ibid.117
[9] . Satria Effendi,Ushul Fiqh[Jakarta:KENCANA:2012]Hal.162
[10] . Rachmat Syafe’i,Ilmu Ushul Fiqih[Bandung:Pustaka Setia,2010] Hal.145
[11] . A. Djazuli,Ushul Fiqh[Jakarta:Kencana,2012]hal.96
[12] . Satria Effendi M. Zein,  Ushul Fiqh, ed. 1, cet. 2, (Jakarta: Kencana, 2008), hal. 169.
[13] .Ibid. Hal 170

No comments:

Post a Comment

PENERAPAN STRATEGI PEMBELAJARAN KOPERATIF DALAM PEMBELAJARAN FIQIH

  BAB I PENDAHULUAN A.      Latar Belakang Salah satu strategi yang dapat diterapkan dalam pembelajaran di kelas adalah pembe...