Wednesday 30 March 2016

peraturan perbankan syariah


“Ditujukan untuk memenuhi tugas”
Mata Kuliah    : Perbankan Syariah
Dosen              : Ahmad Fauzul Hakim Hasibuan
Jurusan            : Perbankan Syariah (IV-B)

Di susun Oleh

-         Rangga Hanas
-         M.Arifin
-         Siti Hajar
-         Siti Syahrida Hardianti Dalimunthe




SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM JAM’IYAH MAHMUDIYAH TANJUNG PURA - LANGKAT
TAHUN PERIODE : 2015- 2016

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah swt karena berkat rahmat Nya penyusunan makalah ini dapat diselesaikan.Makalah ini merupakan makalah Perbankan Syariah yang membahas Peraturan tentang Bank Syariah.Secara khusus pembahasan dalam makalah ini diatur sedemikian rupa sehingga materi yang disampaikan sesuai dengan mata kuliah. Dalam penyusunan tugas atau materi ini, tidak sedikit hambatan yang kami hadapi. Namun kami menyadari bahwa kelancaran dalam penyusunan makalah ini tidak lain berkat bantuan, dorongan dan bimbingan orang tua, sehingga kendala­­-kendala yang kami hadapi teratasi . oleh karena itu kami mengucapkan terimakasih kepada:
1. Bapak dosen mata kuliah Perbankan Syariah  Bapak Ahmad Fauzul Hakim Hasibuan  yang telah memberikan tugas, petunjuk, kepada kami sehingga kami termotivasi dan menyelesaikan tugas makalah ini.
2.  Orang tua, teman dan kerabat  yang telah turut membantu, membimbing, dan mengatasi berbagai kesulitan sehingga tugas makalah ini selesai.
Kami sadar, bahwa dalam pembuatan makalah ini terdapat banyak kesalahan.Untuk itu kami meminta maaf apabila ada kekurangan. Kami sangat mengharapkan kritik dan saran dari para pembaca guna meningkatkan kualitas makalah penulis selanjutnya. Kebenaran dan kesempurnaan hanya Allah-lah  yang punya dan maha kuasa .Harapan kami, semoga makalah yang sederhana ini, dapat memberikan manfaat tersendiri bagi generasi muda islam yang akan datang, khususnya dalam bidang Perbankan Syariah.



Tanjung Pura, Maret, 2016

    Penyususun


DAFTAR ISI


 


BAB I

PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

Sudah cukup lama umat Islam Indonesia, demikian juga belahan dunia Islam lainnya, menginginkan sistem perekonomian yang berbasis nilai-nilai dan prinsip syariah untuk dapat diterapkan dalam segenap aspek kehidupan bisnis dan transaksi umat. Sebab selama Islam hanya diwujudkan dalam bentuk ritualisme ibadah, diingat pada saat kelahiran bayi, ijab kabul pernikahan, serta penguburan mayat, sementara itu dimarginalkan dari dunia perbankan, asuransi, pasar modal, pembiayaan proyek, dan transaksi ekspor impor maka umat Islam telah mengubur Islam dalam-dalam dengan tangannya sendiri.
Sangat disayangkan, saat  ini masih banyak kalangan yang melihat bahwa Islam tidak berurusan dengan bank dan pasar uang, karena yang pertama adalah dunia putih, sedangkan yang kedua adalah dunia hitam, penuh tipu daya dan kelicikan. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan bila beberapa cendikiawan dan ekonom melihat Islam, dengan sistem nilai dan tatanan normatifnya, sebagai faktor penghambat pembangunan.
Sekarang, saatnya para bankir yang masih mengimani Al-Qur’an sebagai pedoman hidupnya dan hadits sebagai pedoman aktivitasnya memperkenalkan kepada industri keuangan dan perbankan bahwa Islam memiliki prinsip syariah yang dapat diterapkan dalam lembaga keuangan modern dan membuktikan bahwa dengan sistem perbankan syariah, kita dapat menghilangkan wabah penyakit negative spread “keuntungan minus” dari dunia perbankan.

B. Rumusan Masalah

a.       Apa yang dimaksud dengan Bank Syariah?
b.      Apa prinsip Bank Syariah ?
c.       Apa dasar hukum dari perbankan syariah menurut Islam dan Perundang-undangan Indonesia?

BAB II

PEMBAHASAN

A.   Pengertian Perbankan Syari’ah

Bank syariah adalah bank yang sistem perbankannya menganut prinsip-prinsip dalam islam. Bank syariah merupakan bank yang diimpikan oleh para umat islam.
Bank Umum Syariah adalah Bank Syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran. Sedangkan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah adalah Bank yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.[1]
 Selanjutnya para pakar memberikan pendapatnya mengenai pengertian bank syariah di bawah ini:[2]
1.            Menurut Sudarsono, Bank Syariah adalah lembaga keuangan negara yang memberikan kredit dan jasa-jasa lainnya di dalam lalu lintas pembayaran dan juga peredaran uang yang beroperasi dengan menggunakan prinsip-prinsip syariah atau islam.
2.            Menurut Perwataatmadja, Bank Syariah ialah bank yang beroperasi berdasarkan prinsip-prinsip syariah (islam) dan tata caranya didasarkan pada ketentuan Al-quran dan Hadist.
3.            Menurut Schaik, Bank Syariah adalah suatu bentuk dari bank modern yang didasarkan pada hukum islam, yang dikembangkan pada abad pertengahan islam dengan menggunakan konsep bagi resiko sebagai sistem utama dan meniadakan sistem keuangan yang didasarkan pada kepastian dan keuntungan yang telah ditentukan sebelumnya.
Dalam UU No.21 tahun 2008 mengenai Perbankan Syariah mengemukakan pengertian perbankan syariah dan pengertian bank syariah. Perbankan Syariah yaitu segala sesuatu yang menyangkut bank syariah dan unit usaha syariah, mencakup kelembagaan, mencakup kegiatan usaha, serta tata cara dan proses di dalam melaksanakan kegiatan usahanya. Bank Syariah adalah bank yang menjalankan kegiatan usahanya dengan didasarkan pada prisnsip syariah dan menurut jenisnya bank syariah terdiri dari BUS (Bank Umum Syariah), UUS (Unit Usaha Syariah) dan BPRS (Bank Pembiayaan Rakyat Syariah).
Jadi, Perbankan Syariah merupakan bank yang kegiatannya mengacu pada hukum islam dan dalam kegiatannya tidak membebankan bunga maupun tidak membayar bunga kepada nasabah. Imbalan bank syariah yang diterima maupun yang dibayarkan pada nasabah tergantung dari akad dan perjanjian yang dilakukan oleh pihak nasabah dan pihak bank. Perjanjian (akad) yang terdapat di perbankan syariah harus tunduk pada syarat dan rukun akad sebagaimana diatur dalam syariat islam.

B. Prinsip Bank Syariah

Dalam melaksanakan fungsi jasa keuangan perbankan syariah menggunakan beberapa prinsip yang perlu diperhatikan, diantaranya :[3]
a.       Prinsip Wakalah
Wakalah berarti penyerahan, pendelegasian, atau pemberian mandat.
b.      Prinsip Kafalah
Kafalah adalah jaminan yang diberikan oleh penanggung (kafiil) kepada pihak ketiga untuk memenuhi kewajiban pihak kedua atau yang ditanggung (makfuul anhu ashil)
c.       Prinsip Hawalah
Hawalah adalah pengalihan utang dari orang yang berutang (muhil) kepada orang lain yang menanggungnya (munhal’ alaih)
d.      Prinsip Sharf
Prinsip Sharf adalah prinsip yang digunakan dalam transaksi jual beli mata uang, baik antar mata uang sejenis maupun antar mata uang berlainan jenis.
e.       Prinsip Ijarah
Objek ijarah adalah manfaat dari penggunaan barang dan jasa, apabila dikaitkan dengan penggunaan barang maka diistilahkan dengan sewa – menyewa sedangkan apabila dikaitkan dengan penggunaan jasa maka diistilahkan dengan upah – mengupah.

C.  Fungsi & Karekteristik Bank Syariah

a. Fungsi Bank Syariah
Bank syariah dalam skema non-riba memiliki empat fungsi sebagai berikut :[4]
1.      Fungsi Manajer Investasi
Fungsi ini dapat dilihat dari segi penghimpunan dana oleh bank syariah, khususnya dana mudharabah. Bank syariah bertindak sebagai manajer investasi dari pemilik dana (shahibul maal) dalam hal dana tersebut harus dapat disalurkan pada penyalur yang produktif, sehingga dana yang dihimpun dapat menghasilkan keuntungan yang akan dibagihasilkan antara bank syariah dan pemilik dana. 
2.      Fungsi Investor
Dalam penyaluran dana bank syariah berfungsi sebagai investor (pemilik dana). Penanaman dana yang dilakukan oleh bank syariah harus dilakukan pada sektor – sektor yang produktif dengan risiko minim dan tidak melanggar ketentuan syariah.
Produk investasi yang sesuai dengan syariah diantaranya akad jual beli (murabahah, salam, dan istishna), akad investasi (mudharabah dan musyarakah), akad sewa menyewa (ijarah dan ijarah muntahiya bittamlik) dan beberapa akad lainnya yang dibolehkan oleh syariah.
3.      Fungsi Sosial
Fungsi ini merupakan sesuatu yang melekat pada bank syariah. Ada dua instrumen yang digunakan oleh bank syariah dalam menjalankan fungsi sosialnya, yaitu instrumen zakat, infak, sedekah, dan wakaf (Ziswaf) dan instrumen qardhul hasan. Instrumen Ziswafberfungsi untuk menghimpun ziswaf dari masyarakat, pegawai bank, serta bank sendiri sebagai lembaga milik para investor. Instrumen qardhul hasan berfungsi menghimpun dana dari penerimaan yang tidak memenuhi kriteria halal serta dana infak dan sadaqah yang tidak ditentukan peruntukannya secara spesifik oleh yang memberi.
4.      Fungsi jasa keuangan
Fungsi jasa keuangan yang dijalankan oleh bank syariah tidaklah berbeda dengan bank konvensional, seperti memberikan layanan kliring, transfer, inkaso, pembayaran gaji, letter of guarantee, letter of credit, dan lain-lain.Namun mekanisme untuk mendapatkan keuntungan dari transaksi tersebut, bank syariah tetap menggunakan skema yang sesuai dengan prinsip syariah. [5]
b. Karekteristik Bank Syariah
 Karakteristik Bank Syariah diantaranya :[6]
1.      Berdasarkan prinsip syariah
2.      Implementasi prinsip ekonomi Islam dg ciri:
§   pelarangan riba dalam berbagai bentuknya
§   Tidak mengenal konsep “time-value of money”
§   Uang sebagai alat tukar bukan komoditi yg diperdagangkan.
3.      Beroperasi atas dasar bagi hasil
4.      Kegiatan usaha untuk memperoleh imbalan atas jasa
5.      Tidak menggunakan “bunga” sebagai alat untuk memperoleh pendapatan
6.      Azas utama => kemitraan, keadilan, transparansi dan universal
7.      Tidak membedakan secara tegas sector moneter dan sector riil (dapat melakukan transaksi 2 sektor riil.

 D.    Hierarki Peraturan Terkait Perbankan Syariah

Di Indonesia, sistem perundang-undangan yang terkait dengan hierarki perundang-undangan sejak kemerdekaan sampai sekarang mengalami beberapa perubahan. Perubahan hierarki tata perundang-undangan ini terjadi seiring dengan perubahan paradigma politik hukum yang berkembang dari waktu ke waktu. Berdasarkan UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan hierarkinya adalah sebagai berikut:[7]
1). UUD 1945
2). Ketetapan MPR
3). UU/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang
4). Peraturan Pemerintah
5).Peraturan Presiden
6). Perda Provinsi
7). Perda Kabupaten/Kota.
Terkait dengan urgensi Perbankan Syariah berikut penjelasan mengenai hierarki peraturan yang terkait dengan Perbankan Syariah di Indonesia:
a.      Perbankan Syariah dalam UUD 1945
Dari sisi kostitusi UUD 1945 Perbankan Syariah sudah mendapatkan tempat dalam Pembukaan UUD bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat berdasar kepada Ketuhanan Yang Maha Esa.[8] Ini berarti aspirasi masyarakat yang berbasiskan Ketuhanan Yang Maha Esa harus diakomodasikan dalam kehidupan berbangsa. Dalam Pasal 33 ayat (4) UUD disebutkan bahwa :”Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar asas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.”Dan institusi ekonomi yang paling tepat untuk menerjemahkan hal diatas adalah Perbankan Syariah. Dalam Pasal 29 ayat (2) UUD juga menjelaskan tentang jaminan kemerdekaan bagi setiap penduduk untuk memeluk dan beribadah menurut agamanya masing-masing. Sedangkan dalam pandangan islam ibadah tidak hanya mencakup hubungan manusia dengan Allah (mahdhah), tetapi juga meliputi hubungan sesama manusia (muamalah). 
b.      Perbankan Syariah dalam UU
Undang-Undang No. 14 Tahun 1967 tentang pokok-pokok Perbankan merupakan undang-undang perbankan pertama yang dibuat oleh pemerintah RI pasca kemerdekaan. Sedangkan keberadaan sistem bagi hasil dalam kegiatan operasional perbankan di Indonesia  untuk pertama kali diadopsi secara formal melalui pemberlakuan UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan terutama terdapat dalam Pasal 1 ayat 12, Pasal 6 huruf m dan Pasal 13 huruf c yang secara garis besar hanya memberikan indikasi mengenai kemungkinan suatu bank memberikan fasilitas perbankan berdasarkan bagi hasil. Sehingga UU No.7 Tahun 1992 tentang perbankan tersebut dinilai belum memberikan landasan hukum yang kuat terhadap perkembangan perbankan syariah di Indonesia, mengingat belum ada ketegasan pemberlakuan prinsop syariah.
Karena itu, melalui lembaran negara RI Nomor 182 tanggal 10 November 1998 disahkan UU No. 10 Tahun 1998 tentang perbankan. [9]Dalam undang- undang  ini ketentuan tentang perbankan syariah dinyatakan secara lebih tegas seperti terlihat pada Pasal 1 angka 3 dan 4 bahwa (3) Bank Umum adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan atau berdasarkan Prinsip Syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran; (4) Bank Perkreditan Rakyat (BPR) adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional atau berdasarkan Prinsip Syariah yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran. Selanjutnya prinsip-prinsip syariah dijelaskan dalam Pasal 13 UU No. 10 Tahun 1998. Namun kelemahan undang-undang ini dalam perspektif Perbankan Syariah adalah UU ini mengatur ketentuan untuk semua bank, baik bank konvensional maupun Bank Syariah sebagaimana terlihat dari pendefinisian BU dan BPRS tadi. UU ini dianggap telah merancukan batasan antara bank konvensinal dengan Bank Syariah yang sekan- akan ketentuan tentang BU dan BPR dapat pula mengatur Perbankan Syariah.
Setelah mengalami perjalanan yang panjang, Undang-Undang No.21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah disahkan pada tanggal 16 Juli 2008 dengan terdiri dari 13 bab dan 70 pasal. Secara garis besar UU ini memberikan kepastian hukum Bank Syariah di Indonesia, penyebutan kata “syariah” memberikan identitas yang jelas bagi Bank Syariah dan bertanggung jawab terhadap syariah (shariah complience), Bank Syariah menjalankan fungsi sosial dan juga menyebutkan dukungan terhadap konversi dan perubahan bank konvensional menjadi Bank Syariah dan tidak sebaliknya.
c.       Perbankan Syariah dalam Peraturan Pemerintah (PP)
Terdapat empat Peraturan Pemerintah yang mengatur tentang Perbankan Syariah. Pertama, PP No. 70 Tahun 1992 tentang Bank Umum dan perubahan-perubahannya. Hal penting dari PP ini berkaitan dengan Bank Syariah, sebagaimana tertera dalam Pasal 2 PP No. 38 Tahun 1998 tentang Perubahan atas PP No. 70 Tahun 1992 adalah tentang modal disetor utuk mendirikan Bank Umum dan Bank Campuran yang sekurang-kurangnya sebesar Rp. 3 triliun. Kedua, PP No.71 Tahun 1992 tentang BPR yang dalam penjelasannya disebutkan bahwa BPR yang berdasarkan prinsip bagi hasil adalah bank sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan tentang bank berdasarkan prinsip bagi hasil[10]. Ketiga, PP No.72 Tahun 1992 tentang Bank berdasarkan prinsip bagi hasil disebutkan bahwa bank yang melaksanakan prinsip bagi hasil harus memperhatikan prinsip-prinsip syariah, harus adanya DPS dan larangan melakukan kegiatan usaha yang bertentangan dengan prinsip bagi hasil. Keempat, PP No. 30 Tahun 1999 tentang pencabutan tiga PP diatas dikarenakan pemberlakuan UU No. 10 Tahun 1998 maka ketentuan pelaksanaan Bank Umum dan BPR yang melaksanakan prinsip bagi hasil menjadi wewenang BI bukan Pemerintah. Sehingga regulasinya tidak lagi diatur PP melainkan oleh PBI dan yang berwenang melakukan pembinaan dan pengawasan berpindah dari pemerintah melalui Departemen Keuangan ke Bank Indonesia.
d.      Perbankan Syariah dalam Peraturan Bank Indonesia (PBI)
Peraturan Bank Indonesia (PBI) adalah peraturan yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia untuk mengawasi dan membina semua bank yang berbadan hukum Indonesia atau beroperasi di Indonesia. Karena PBI tidak termasuk dalam salah satu hierarki hukum nasional, maka PBI tidak dapat berdiri sendiri. Melainkan harus merujuk atau melaksanakan perintah dari salah satu hierarki hukum tersebut.
Dalam UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah terdapat banyak pasal yang memerintahkan tentang keberadaan PBI. Setidaknya terdapat 21 ketentuan dalam UU tersebut memerintahkan pengaturan lebih lanjut hal tertentu dalam PBI.[11]
e.       Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI)
Dalam UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah menentukan bahwa perincian  mengenai prinsip syariah difatwakan oleh MUI yang kemudian diupayakan menjadi PBI setelah melalui penggodokan di Komite Perbankan Syariah yang dibentuk BI. Sebagaimana tercantum dalam Pasal 26 UU Perbankan Syariah bahwa:[12]
(1). Kegiatan usaha Perbankan Syariah dan/atau produk dan jasa syariah, wajib tunduk kepada prinsip syariah.
(2). Prinsip Syariah itu difatwakan oleh MUI.
(3). Fatwa MUI dituangkan dalam PBI.
(4). Dalam rangka penyusunan PBI, Bank Indonesia membentuk Komite Perbankan Syariah.

E.    Perkembangan UU Perbankan Syariah

Di Indonesia eksistensi Perbankan Syariah secara yuridis sebenarnya telah dimulai dengan dikeluarkanya Paket  Kebijakan Desember 1983 (Pakdes 83) tentang penghapusan pagu kredit dan menyebutkan bahwa bank bebas menentukan suku bunga kredit, tabungan dan deposito. Kemudian dikeluarkan Paket Kebijakan Oktober 1988 (Pakto 88) tentang izin pendirian usaha bank baru. Kemudian secara kelembagaan dimulai dengan berdirinya PT. Bank Muamalat Indonesia (BMI) pada tahun 1991 sebagai satu- satunya bank saat itu yang secara murni menerapkan prinsip syariah berupa prinsip bagi hasil dalam operasional kegiatan usahanya. Ketika krisis berlangsung secara faktual BMI merupakan salah satu bank yang sehat, karena mempunyai CAR (Capital Adequacy Ratio) dengan kategori A (4% keatas) sehingga ia hanya diwajibkan menyusun rencana bisnis.
Perbankan Syariah semakin berkembang setelah dikeluarkannya Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan membagi bank menjadi Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat (BPR). UU ini secara eksplisit juga memperbolehkan bank menjalankan usahanya berdasarkan prinsip bagi hasil (Pasal 1 ayat 12, Pasal 6 huruf m dan Pasal 13 huruf c). Hal tersebut kemudian dipertegas dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah No. 72 Tahun 1992 tentang Bank Berdasarkan Prinsip Bagi Hasil. Bank Indonesia mengeluarkan Surat Edaran Bank Indonesia (SEBI) No. 25/4/BPPP tanggal 29 Februari 1993 yang menegaskan:[13]
1). Bank berdasarkan bagi hasil adalah bank umum dan bank perkreditan rakyat yang melakukan usaha semata-mata berdasarkan prinsip bagi hasil.
2). Prinsip bagi hasil yang dimaksud adalah prinsip bagi hasil yang berdasarkan syariah.
3). Bank berdasarkan prinsip bagi hasil wajib memiliki Dewan Pengawas Syariah (DPS).
4). Bank Umum atau BPR yang kegiatan usahanya semata-mata berdasarkan prinsip bagi hasil tidak diperkenankan melakukan usaha yang tidak berdasarkan prinsip bagi hasil.
Dengan demikian, UU No. 7 tahun 1992 tentang Perbankan tersebut dinilai belum memberikan payung hukum yang kuat terhadap perkembangan Perbankan Syariah di Indonesia, mengingat belum ada ketegasan pemberlakuan prinsip syariah. Penggunaan istilah bagi hasil dalam perundang-undangan pada saat itu belum mencakup secara tepat pengertian Perbankan Syariah yang memiliki cakupan lebih luas. Karena itu melalui lembaran negara Republik Indonesia No. 182 tanggal 10 November 1998 disahkan Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan yang memuat perubahan atas UU No.7 Tahun 1992 tentang Perbankan, menambah pasal tentang Bank Syariah, menambah beberapa pasal terkait perbankan syariah, mengenalkan prinsip syariah (Pasal 1 dan beberapa pasal lainnya) dan mengenalkan prinsip mudharabah, musyarakah, murabahah dan ijarah (Pasal 1). Ketentuan dalam UU No. 10 Tahun 1998 ini menunjukkan dimulainya era sistem perbankan ganda (dual banking system) yang diharapkan akan mempercepat perkembangan Perbankan Syariah di Indonesia. Di era ini, bagi Bank Umum Konvensional dapat memberikan layanan syariah melalui pembentukan UUS. Sementara BPR hanya boleh memberikan layanan secara konvensional atau secara syariah.
Setelah mengalami perjalanan yang panjang, Undang-Undang No.21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah disahkan pada tanggal 16 Juli 2008 dengan terdiri dari 13 bab dan 70 pasal. Secara garis besar UU ini memberikan kepastian hukum Bank Syariah di Indonesia, penyebutan kata “syariah” memberikan identitas yang jelas bagi Bank Syariah dan bertanggung jawab terhadap syariah (shariah complience), Bank Syariah menjalankan fungsi sosial dan juga menyebutkan dukungan terhadap konversi dan perubahan bank konvensional menjadi Bank Syariah dan tidak sebaliknya.[14]

F.    Hubungan antara UU Perbankan Syariah, PBI dan Fatwa DSN-MUI

Dalam Peraturan Perundangan yang menjadi payung hukum Perbankan di Indonesia disebutkan bahwa semua Bank baik konvensional maupun syariah yang beroperasi di Indonesia berada di bawah pengawasan dan pembinaan dari Bank Indonesia sebagai bank sentral. Begitu juga dengan bank syariah yang dalam operasionalnya juga berada di bawah pembinaan dan pengawasan BI. Sehingga untuk memperkuat kewenangan sebagai bank sentral yang mengurusi sistem keuangan syariah di Indonesia, BI perlu menjalin kerja sama dengan DSN-MUI yang memiliki otoritas di bidang hukum syariah. Bentuk kerja sama tersebut diwujudkan dalam nota kesepahaman (Memorandum of Understanding/MOU) untuk menjalankan fungsi pembinaan dan pengawasan terhadap perbankan syariah. Dengan adanya kerja sama tersebut, berarti keberadaan DSN-MUI menjadi penting dalam pengembangan sistem ekonomi dan perbankan syariah negeri ini.
Dalam operasionalnya, kegiatan usaha Perbankan Syariah dan/atau produk dan jasa syariah wajib tunduk kepada prinsip syariah( Pasal 26 UU Perbankan Syariah). Dan untuk mengimplementasikan landasan yuridis tersebut maka BI menjalin MOU dengan MUI dalam meregulasi operasional Bank Syariah karena MUI sebagai lembaga yang menghimpun semua organisasi islam yang ada di Indonesia. MUI kemudian mengeluarkan fatwa Dewan Syariah Nasional MUI yang nantinya menjadi rujukan khususnya bagi kegiatan usaha bank syariah. Fatwa DSN-MUI tersebut kemudian direkomendasikan ke BI karena telah ada kerja sama antara kedua lembaga tersebut. Kemudian BI membentuk Komite Perbankan Syariah untuk merumuskan Peraturan Bank Indonesia yang beranggotakan unsur-unsur dari Bank Indonesia, Departemen Agama, dan unsur masyarakat dengan komposisi yang berimbang, memiliki keahlian di bidang syariah dan berjumlah paling banyak 11 (sebelas) orang (Pasal 26 ayat 4). [15]Kemudian PBI yang terbentuk tersebut dilimpahkan kepada Lembaga Keuangan Syariah dan BPR agar dijadikan landasan dan rujukan dalam kegiatan usaha, produk serta jasa yang ada dalam bank syariah. Dan untuk mengawasi dan mengefektifkan kinerja bank syariah dalam menjalankan transaksi yang berlandaskan syariah, maka DSN-MUI juga menginstruksikan pembentukan Dewan Pengawas Syariah  (DPS) di setiap lembaga keuangan syariah. DSN-MUI telah mengeluarkan surat rekomendasi nama-nama yang duduk sebagai Dewan Pengawas Syari’ah (DPS) pada suatu lembaga keuangan syari’ah. Tujuan pembentukan DPS adalah untuk menjalankan fungsi pengawasan terhadap aspek syariah yang ada dalam perbankan dengan bekerja sama dengan Bank Indonesia sebagai bank sentral yang membina dan mengawasi seluruh operasional bank di Indonesia agar tercipta iklim keuangan yang kondusif, meningkatkan geliat perekonomian nasional dan bagi IB (Islamic Bank) dapat benar- benar eksis menjadi lembaga keuangan yang memegang teguh prinsip syariah dalam setiap transaksi yang dijalankan.


BAB III

PENUTUP

A.    Kesimpulan

Dalam UU No.21 tahun 2008 mengenai Perbankan Syariah mengemukakan pengertian perbankan syariah dan pengertian bank syariah. Perbankan Syariah yaitu segala sesuatu yang menyangkut bank syariah dan unit usaha syariah, mencakup kelembagaan, mencakup kegiatan usaha, serta tata cara dan proses di dalam melaksanakan kegiatan usahanya. Bank Syariah adalah bank yang menjalankan kegiatan usahanya dengan didasarkan pada prisnsip syariah dan menurut jenisnya bank syariah terdiri dari BUS (Bank Umum Syariah), UUS (Unit Usaha Syariah) dan BPRS (Bank Pembiayaan Rakyat Syariah).
Perbankan Syariah merupakan bank yang kegiatannya mengacu pada hukum islam dan dalam kegiatannya tidak membebankan bunga maupun tidak membayar bunga kepada nasabah. Imbalan bank syariah yang diterima maupun yang dibayarkan pada nasabah tergantung dari akad dan perjanjian yang dilakukan oleh pihak nasabah dan pihak bank. Perjanjian (akad) yang terdapat di perbankan syariah harus tunduk pada syarat dan rukun akad sebagaimana diatur dalam syariat islam.


DAFTAR FUSTAKA

 Sinar  Grafika,  Redaksi. 2008. Undang Undang perbankan Syariah. cet 1 Jakarta : Sinar Grafika,
Ismail. 2013. Perbankan Syariah  Jakarta: Penerbit Kencana Prenada Media Group,
Antonio, Muhammad Safi’I. 2007. Bank Syariah : Dari Teori ke Praktek. Jakarta : Gema Insani Pres.
Wiroso. 2005. Penghimpun Dana dan Distribusi Hasil Usaha Bank Syariah. Jakarta: PT.Gramedia Widiasarana,
Adrian Sutedi,  2009. Perbankan Syariah. Jakarta : Ghalia Indonesia,
Sjahdeini , Sutan Remy, 1999Perbankan Islam dan Kedudukannya Dalam Tata   Hukum Perbankan Indonesia) Jakarta:Grafiti, 
Wibisono, Yusuf (2009), Politik Ekonomi UU Perbankan Syariah Peluang dan Tantangan Regulasi Industri Perbankan Syariah, Skripsi, Depok : Universitas Indonesia.
Antonio,Muhammad Syafi’i.  2001.  Bank Syariah Dari Teori ke Praktik. Jakarta:Gema Insani.
Dahlan,  Ahmad. 2012  Bank Syariah.  Yogyakarta:Teras.
Himpunan Fatwa Dewan Syariah Nasional MUI,
Hasibuan Malayu  .2008Dasar-Dasar Perbankan. Jakarta: Bumi Aksara.



      [1] .Redaksi  Sinar Grafika, Undang Undang perbankan Syariah (Jakarta : Sinar Grafika,cet 1, 2008)hal 3.
[2] . Ismail, Perbankan Syariah, (Jakarta: Penerbit Kencana Prenada Media Group, 2013) hal 7.
[3] . Antonio, Muhammad Safi’I, Bank Syariah : Dari Teori ke Praktek. (Jakarta : Gema Insani Pres, 2001 hal. 51
[4] .Wiroso, Penghimpun Dana dan Distribusi Hasil Usaha Bank Syariah, (Jakarta: PT.Gramedia Widiasarana, 2005) hal. 4
[5] .Ibid. hal. 5
[6] Adrian Sutedi,  Perbankan Syariah, (Jakarta : Ghalia Indonesia, 2009),  hal. 6
[7] Sutan Remy Sjahdeini, Perbankan Islam dan Kedudukannya Dalam Tata Hukum Perbankan Indonesia) Jakarta:Grafiti,  1999)hal. 4.
[8] . Yusuf Wibisono, (2009), Politik Ekonomi UU Perbankan Syariah Peluang dan Tantangan Regulasi Industri Perbankan Syariah, Skripsi, Depok : Universitas Indonesia, hal.78
[9] .Ibid. hal.79
[10] . Antonio,Muhammad Syafi’i.. Bank Syariah Dari Teori ke Praktik.( Jakarta:Gema Insani. 2001) hal.85
[11] . Ahmad  Dahlan,  Bank Syariah.(Yogyakarta:Teras. 2012) hal.121
[12] . Himpunan Fatwa Dewan Syariah Nasional MUI, hal. 43
[13] .op.cit . Ahmad  Dahlan.hal .98
[14]Malayu  Hasibuan , Dasar-Dasar Perbankan. (Jakarta: Bumi Aksara. 2008.) hal.77
[15] . Ibid. hal 78.

No comments:

Post a Comment

PENERAPAN STRATEGI PEMBELAJARAN KOPERATIF DALAM PEMBELAJARAN FIQIH

  BAB I PENDAHULUAN A.      Latar Belakang Salah satu strategi yang dapat diterapkan dalam pembelajaran di kelas adalah pembe...