“Ditujukan untuk memenuhi tugas”
Mata Kuliah :
Perbankan Syariah
Dosen :
Ahmad Fauzul Hakim Hasibuan
Jurusan :
Perbankan Syariah (IV-B)
Di susun Oleh
-
Rangga
Hanas
-
M.Arifin
-
Siti
Hajar
-
Siti
Syahrida Hardianti Dalimunthe
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM JAM’IYAH MAHMUDIYAH
TANJUNG PURA - LANGKAT
TAHUN PERIODE : 2015- 2016
KATA PENGANTAR
Puji
syukur kehadirat Allah swt karena berkat rahmat Nya penyusunan makalah ini
dapat diselesaikan.Makalah ini merupakan makalah Perbankan
Syariah yang membahas “Peraturan
tentang Bank Syariah”.Secara khusus pembahasan dalam makalah ini diatur sedemikian rupa sehingga
materi yang disampaikan sesuai dengan mata kuliah. Dalam penyusunan tugas atau
materi ini, tidak sedikit hambatan yang kami hadapi. Namun kami menyadari bahwa
kelancaran dalam penyusunan makalah ini tidak lain berkat bantuan, dorongan dan
bimbingan orang tua, sehingga kendala-kendala yang kami hadapi teratasi .
oleh karena itu kami mengucapkan terimakasih kepada:
1. Bapak
dosen mata kuliah Perbankan Syariah Bapak Ahmad Fauzul Hakim Hasibuan yang
telah memberikan tugas, petunjuk, kepada kami sehingga kami termotivasi dan
menyelesaikan tugas makalah ini.
2. Orang
tua, teman dan kerabat yang
telah turut membantu,
membimbing, dan mengatasi berbagai kesulitan sehingga tugas makalah ini selesai.
Kami
sadar, bahwa dalam pembuatan makalah ini terdapat banyak kesalahan.Untuk itu kami meminta maaf apabila ada kekurangan. Kami sangat mengharapkan kritik dan saran dari para
pembaca guna meningkatkan kualitas makalah penulis selanjutnya. Kebenaran dan
kesempurnaan hanya Allah-lah yang punya dan maha kuasa .Harapan kami,
semoga makalah yang sederhana ini, dapat memberikan manfaat tersendiri bagi
generasi muda islam yang akan datang, khususnya dalam bidang
Perbankan Syariah.
Tanjung Pura, Maret, 2016
Penyususun
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sudah cukup lama umat Islam Indonesia,
demikian juga belahan dunia Islam lainnya, menginginkan sistem perekonomian
yang berbasis nilai-nilai dan prinsip syariah untuk dapat diterapkan dalam
segenap aspek kehidupan bisnis dan transaksi umat. Sebab selama Islam hanya
diwujudkan dalam bentuk ritualisme ibadah, diingat pada saat kelahiran bayi,
ijab kabul pernikahan, serta penguburan mayat, sementara itu dimarginalkan dari
dunia perbankan, asuransi, pasar modal, pembiayaan proyek, dan transaksi ekspor
impor maka umat Islam telah mengubur Islam dalam-dalam dengan tangannya
sendiri.
Sangat disayangkan, saat ini masih banyak kalangan yang melihat bahwa
Islam tidak berurusan dengan bank dan pasar uang, karena yang pertama adalah
dunia putih, sedangkan yang kedua adalah dunia hitam, penuh tipu daya dan
kelicikan. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan bila beberapa cendikiawan dan
ekonom melihat Islam, dengan sistem nilai dan tatanan normatifnya, sebagai
faktor penghambat pembangunan.
Sekarang, saatnya para bankir yang
masih mengimani Al-Qur’an sebagai pedoman hidupnya dan hadits sebagai pedoman
aktivitasnya memperkenalkan kepada industri keuangan dan perbankan bahwa Islam
memiliki prinsip syariah yang dapat diterapkan dalam lembaga keuangan modern
dan membuktikan bahwa dengan sistem perbankan syariah, kita dapat menghilangkan
wabah penyakit negative spread “keuntungan minus” dari dunia perbankan.
B. Rumusan Masalah
a. Apa yang dimaksud dengan Bank Syariah?
b. Apa prinsip Bank Syariah ?
c. Apa dasar hukum dari perbankan syariah menurut Islam dan Perundang-undangan
Indonesia?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Perbankan Syari’ah
Bank syariah adalah
bank yang sistem perbankannya menganut prinsip-prinsip dalam islam. Bank
syariah merupakan bank yang diimpikan oleh para umat islam.
Bank
Umum Syariah adalah Bank Syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam
lalu lintas pembayaran. Sedangkan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah adalah Bank
yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.[1]
Selanjutnya
para pakar memberikan pendapatnya mengenai pengertian bank syariah di bawah ini:[2]
1.
Menurut Sudarsono, Bank Syariah adalah lembaga keuangan negara yang
memberikan kredit dan jasa-jasa lainnya di dalam lalu lintas pembayaran dan
juga peredaran uang yang beroperasi dengan menggunakan prinsip-prinsip syariah
atau islam.
2.
Menurut Perwataatmadja, Bank Syariah ialah bank yang beroperasi
berdasarkan prinsip-prinsip syariah (islam) dan tata caranya didasarkan pada
ketentuan Al-quran dan Hadist.
3.
Menurut Schaik, Bank Syariah adalah suatu bentuk dari bank modern yang
didasarkan pada hukum islam, yang dikembangkan pada abad pertengahan islam
dengan menggunakan konsep bagi resiko sebagai sistem utama dan meniadakan
sistem keuangan yang didasarkan pada kepastian dan keuntungan yang telah
ditentukan sebelumnya.
Dalam UU No.21 tahun 2008 mengenai Perbankan Syariah mengemukakan pengertian perbankan syariah
dan pengertian bank syariah. Perbankan Syariah yaitu segala sesuatu yang
menyangkut bank syariah dan unit usaha syariah, mencakup kelembagaan, mencakup
kegiatan usaha, serta tata cara dan proses di dalam melaksanakan kegiatan
usahanya. Bank Syariah adalah bank yang menjalankan kegiatan usahanya
dengan didasarkan pada prisnsip syariah dan menurut jenisnya bank syariah
terdiri dari BUS (Bank Umum Syariah), UUS (Unit Usaha Syariah) dan BPRS (Bank
Pembiayaan Rakyat Syariah).
Jadi, Perbankan Syariah merupakan bank yang kegiatannya mengacu pada
hukum islam dan dalam kegiatannya tidak membebankan bunga maupun tidak membayar
bunga kepada nasabah. Imbalan bank syariah yang diterima maupun yang dibayarkan
pada nasabah tergantung dari akad dan perjanjian yang dilakukan oleh pihak
nasabah dan pihak bank. Perjanjian (akad) yang terdapat di perbankan syariah
harus tunduk pada syarat dan rukun akad sebagaimana diatur dalam syariat islam.
B. Prinsip Bank Syariah
Dalam
melaksanakan fungsi jasa keuangan perbankan syariah menggunakan beberapa
prinsip yang perlu diperhatikan, diantaranya :[3]
a.
Prinsip Wakalah
Wakalah berarti penyerahan, pendelegasian, atau pemberian
mandat.
b.
Prinsip Kafalah
Kafalah adalah jaminan yang diberikan oleh penanggung (kafiil)
kepada pihak ketiga untuk memenuhi kewajiban pihak kedua atau yang ditanggung (makfuul
anhu ashil)
c.
Prinsip Hawalah
Hawalah adalah pengalihan utang dari orang yang berutang (muhil)
kepada orang lain yang menanggungnya (munhal’ alaih)
d.
Prinsip Sharf
Prinsip Sharf adalah prinsip yang digunakan dalam transaksi
jual beli mata uang, baik antar mata uang sejenis maupun antar mata uang
berlainan jenis.
e.
Prinsip Ijarah
Objek ijarah adalah manfaat dari penggunaan barang dan jasa,
apabila dikaitkan dengan penggunaan barang maka diistilahkan dengan sewa –
menyewa sedangkan apabila dikaitkan dengan penggunaan jasa maka diistilahkan
dengan upah – mengupah.
C. Fungsi & Karekteristik Bank Syariah
a. Fungsi Bank Syariah
Bank syariah dalam skema non-riba
memiliki empat fungsi sebagai berikut :[4]
1.
Fungsi Manajer Investasi
Fungsi ini dapat dilihat dari segi
penghimpunan dana oleh bank syariah, khususnya dana mudharabah. Bank
syariah bertindak sebagai manajer investasi dari pemilik dana (shahibul maal)
dalam hal dana tersebut harus dapat disalurkan pada penyalur yang produktif,
sehingga dana yang dihimpun dapat menghasilkan keuntungan yang akan
dibagihasilkan antara bank syariah dan pemilik dana.
2.
Fungsi Investor
Dalam penyaluran dana bank syariah
berfungsi sebagai investor (pemilik dana). Penanaman dana yang dilakukan oleh
bank syariah harus dilakukan pada sektor – sektor yang produktif dengan risiko
minim dan tidak melanggar ketentuan syariah.
Produk investasi yang sesuai dengan syariah diantaranya akad
jual beli (murabahah, salam, dan istishna), akad investasi (mudharabah dan
musyarakah), akad sewa menyewa (ijarah dan ijarah muntahiya bittamlik) dan beberapa
akad lainnya yang dibolehkan oleh syariah.
3.
Fungsi Sosial
Fungsi ini merupakan sesuatu yang
melekat pada bank syariah. Ada dua instrumen yang digunakan oleh bank syariah
dalam menjalankan fungsi sosialnya, yaitu instrumen zakat, infak, sedekah, dan
wakaf (Ziswaf) dan instrumen qardhul hasan. Instrumen Ziswafberfungsi
untuk menghimpun ziswaf dari masyarakat, pegawai bank, serta bank sendiri
sebagai lembaga milik para investor. Instrumen qardhul hasan berfungsi
menghimpun dana dari penerimaan yang tidak memenuhi kriteria halal serta dana
infak dan sadaqah yang tidak ditentukan peruntukannya secara spesifik oleh yang
memberi.
4.
Fungsi jasa keuangan
Fungsi jasa keuangan yang dijalankan oleh bank syariah
tidaklah berbeda dengan bank konvensional, seperti memberikan layanan kliring,
transfer, inkaso, pembayaran gaji, letter of guarantee, letter of credit, dan
lain-lain.Namun mekanisme untuk mendapatkan keuntungan dari transaksi tersebut,
bank syariah tetap menggunakan skema yang sesuai dengan prinsip syariah. [5]
b. Karekteristik Bank Syariah
Karakteristik Bank
Syariah diantaranya :[6]
1.
Berdasarkan prinsip syariah
2.
Implementasi prinsip ekonomi Islam
dg ciri:
§ pelarangan
riba dalam berbagai bentuknya
§ Tidak
mengenal konsep “time-value of money”
§ Uang
sebagai alat tukar bukan komoditi yg diperdagangkan.
3.
Beroperasi atas dasar bagi hasil
4.
Kegiatan usaha untuk memperoleh
imbalan atas jasa
5.
Tidak menggunakan “bunga” sebagai
alat untuk memperoleh pendapatan
6.
Azas utama => kemitraan,
keadilan, transparansi dan universal
7.
Tidak membedakan secara tegas sector
moneter dan sector riil (dapat melakukan transaksi 2 sektor riil.
D. Hierarki Peraturan Terkait Perbankan Syariah
Di Indonesia, sistem perundang-undangan yang terkait dengan
hierarki perundang-undangan sejak kemerdekaan sampai sekarang mengalami
beberapa perubahan. Perubahan hierarki tata perundang-undangan ini terjadi
seiring dengan perubahan paradigma politik hukum yang berkembang dari waktu ke
waktu. Berdasarkan UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan hierarkinya adalah sebagai berikut:[7]
1). UUD 1945
2). Ketetapan MPR
3). UU/Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang- Undang
4). Peraturan Pemerintah
5).Peraturan Presiden
6). Perda Provinsi
7). Perda Kabupaten/Kota.
Terkait dengan urgensi Perbankan
Syariah berikut penjelasan mengenai hierarki peraturan yang terkait dengan
Perbankan Syariah di Indonesia:
a.
Perbankan Syariah dalam UUD 1945
Dari sisi kostitusi UUD 1945
Perbankan Syariah sudah mendapatkan tempat dalam Pembukaan UUD bahwa Negara
Kesatuan Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat berdasar kepada Ketuhanan
Yang Maha Esa.[8]
Ini berarti aspirasi masyarakat yang berbasiskan Ketuhanan Yang Maha Esa harus
diakomodasikan dalam kehidupan berbangsa. Dalam Pasal 33 ayat (4) UUD
disebutkan bahwa :”Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar asas
demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan,
berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga
keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.”Dan institusi ekonomi yang
paling tepat untuk menerjemahkan hal diatas adalah Perbankan Syariah. Dalam
Pasal 29 ayat (2) UUD juga menjelaskan tentang jaminan kemerdekaan bagi setiap
penduduk untuk memeluk dan beribadah menurut agamanya masing-masing. Sedangkan
dalam pandangan islam ibadah tidak hanya mencakup hubungan manusia dengan Allah
(mahdhah), tetapi juga meliputi hubungan sesama manusia (muamalah).
b.
Perbankan Syariah dalam UU
Undang-Undang No. 14 Tahun 1967
tentang pokok-pokok Perbankan merupakan undang-undang perbankan pertama yang
dibuat oleh pemerintah RI pasca kemerdekaan. Sedangkan keberadaan sistem bagi
hasil dalam kegiatan operasional perbankan di Indonesia untuk pertama kali diadopsi secara formal
melalui pemberlakuan UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan terutama terdapat
dalam Pasal 1 ayat 12, Pasal 6 huruf m dan Pasal 13 huruf c yang secara garis
besar hanya memberikan indikasi mengenai kemungkinan suatu bank memberikan
fasilitas perbankan berdasarkan bagi hasil. Sehingga UU No.7 Tahun 1992 tentang
perbankan tersebut dinilai belum memberikan landasan hukum yang kuat terhadap perkembangan
perbankan syariah di Indonesia, mengingat belum ada ketegasan pemberlakuan
prinsop syariah.
Karena itu, melalui lembaran negara
RI Nomor 182 tanggal 10 November 1998 disahkan UU No. 10 Tahun 1998 tentang
perbankan. [9]Dalam
undang- undang ini ketentuan tentang
perbankan syariah dinyatakan secara lebih tegas seperti terlihat pada Pasal 1
angka 3 dan 4 bahwa (3) Bank Umum adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha
secara konvensional dan atau berdasarkan Prinsip Syariah yang dalam kegiatannya
memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran; (4) Bank Perkreditan Rakyat (BPR)
adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional atau
berdasarkan Prinsip Syariah yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam
lalu lintas pembayaran. Selanjutnya prinsip-prinsip syariah dijelaskan dalam
Pasal 13 UU No. 10 Tahun 1998. Namun kelemahan undang-undang ini dalam
perspektif Perbankan Syariah adalah UU ini mengatur ketentuan untuk semua bank,
baik bank konvensional maupun Bank Syariah sebagaimana terlihat dari
pendefinisian BU dan BPRS tadi. UU ini dianggap telah merancukan batasan antara
bank konvensinal dengan Bank Syariah yang sekan- akan ketentuan tentang BU dan
BPR dapat pula mengatur Perbankan Syariah.
Setelah mengalami perjalanan yang
panjang, Undang-Undang No.21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah disahkan pada
tanggal 16 Juli 2008 dengan terdiri dari 13 bab dan 70 pasal. Secara garis
besar UU ini memberikan kepastian hukum Bank Syariah di Indonesia, penyebutan
kata “syariah” memberikan identitas yang jelas bagi Bank Syariah dan
bertanggung jawab terhadap syariah (shariah complience), Bank Syariah
menjalankan fungsi sosial dan juga menyebutkan dukungan terhadap konversi dan
perubahan bank konvensional menjadi Bank Syariah dan tidak sebaliknya.
c.
Perbankan Syariah dalam Peraturan
Pemerintah (PP)
Terdapat empat Peraturan Pemerintah
yang mengatur tentang Perbankan Syariah. Pertama, PP No. 70 Tahun 1992
tentang Bank Umum dan perubahan-perubahannya. Hal penting dari PP ini berkaitan
dengan Bank Syariah, sebagaimana tertera dalam Pasal 2 PP No. 38 Tahun 1998
tentang Perubahan atas PP No. 70 Tahun 1992 adalah tentang modal disetor utuk mendirikan
Bank Umum dan Bank Campuran yang sekurang-kurangnya sebesar Rp. 3 triliun. Kedua,
PP No.71 Tahun 1992 tentang BPR yang dalam penjelasannya disebutkan bahwa
BPR yang berdasarkan prinsip bagi hasil adalah bank sebagaimana dimaksud dalam
peraturan perundang-undangan tentang bank berdasarkan prinsip bagi hasil[10].
Ketiga, PP No.72 Tahun 1992 tentang Bank berdasarkan prinsip bagi hasil
disebutkan bahwa bank yang melaksanakan prinsip bagi hasil harus memperhatikan
prinsip-prinsip syariah, harus adanya DPS dan larangan melakukan kegiatan usaha
yang bertentangan dengan prinsip bagi hasil. Keempat, PP No. 30 Tahun
1999 tentang pencabutan tiga PP diatas dikarenakan pemberlakuan UU No. 10 Tahun
1998 maka ketentuan pelaksanaan Bank Umum dan BPR yang melaksanakan prinsip
bagi hasil menjadi wewenang BI bukan Pemerintah. Sehingga regulasinya tidak
lagi diatur PP melainkan oleh PBI dan yang berwenang melakukan pembinaan dan
pengawasan berpindah dari pemerintah melalui Departemen Keuangan ke Bank
Indonesia.
d.
Perbankan Syariah dalam Peraturan
Bank Indonesia (PBI)
Peraturan Bank Indonesia (PBI)
adalah peraturan yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia untuk mengawasi dan
membina semua bank yang berbadan hukum Indonesia atau beroperasi di Indonesia.
Karena PBI tidak termasuk dalam salah satu hierarki hukum nasional, maka PBI
tidak dapat berdiri sendiri. Melainkan harus merujuk atau melaksanakan perintah
dari salah satu hierarki hukum tersebut.
Dalam UU No. 21 Tahun 2008 tentang
Perbankan Syariah terdapat banyak pasal yang memerintahkan tentang keberadaan
PBI. Setidaknya terdapat 21 ketentuan dalam UU tersebut memerintahkan
pengaturan lebih lanjut hal tertentu dalam PBI.[11]
e.
Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI)
Dalam UU No. 21 Tahun 2008 tentang
Perbankan Syariah menentukan bahwa perincian
mengenai prinsip syariah difatwakan oleh MUI yang kemudian diupayakan
menjadi PBI setelah melalui penggodokan di Komite Perbankan Syariah yang
dibentuk BI. Sebagaimana tercantum dalam Pasal 26 UU Perbankan Syariah bahwa:[12]
(1). Kegiatan usaha Perbankan Syariah dan/atau produk dan
jasa syariah, wajib tunduk kepada prinsip syariah.
(2). Prinsip Syariah itu difatwakan oleh MUI.
(3). Fatwa MUI dituangkan dalam PBI.
(4). Dalam rangka penyusunan PBI, Bank Indonesia membentuk
Komite Perbankan Syariah.
E. Perkembangan UU Perbankan Syariah
Di Indonesia eksistensi Perbankan Syariah secara yuridis
sebenarnya telah dimulai dengan dikeluarkanya Paket Kebijakan Desember 1983 (Pakdes 83) tentang
penghapusan pagu kredit dan menyebutkan bahwa bank bebas menentukan suku bunga
kredit, tabungan dan deposito. Kemudian dikeluarkan Paket Kebijakan Oktober
1988 (Pakto 88) tentang izin pendirian usaha bank baru. Kemudian secara
kelembagaan dimulai dengan berdirinya PT. Bank Muamalat Indonesia (BMI) pada tahun
1991 sebagai satu- satunya bank saat itu yang secara murni menerapkan prinsip
syariah berupa prinsip bagi hasil dalam operasional kegiatan usahanya. Ketika
krisis berlangsung secara faktual BMI merupakan salah satu bank yang sehat,
karena mempunyai CAR (Capital Adequacy Ratio) dengan kategori A (4%
keatas) sehingga ia hanya diwajibkan menyusun rencana bisnis.
Perbankan Syariah semakin berkembang
setelah dikeluarkannya Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan membagi
bank menjadi Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat (BPR). UU ini secara
eksplisit juga memperbolehkan bank menjalankan usahanya berdasarkan prinsip
bagi hasil (Pasal 1 ayat 12, Pasal 6 huruf m dan Pasal 13 huruf c). Hal
tersebut kemudian dipertegas dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah No. 72
Tahun 1992 tentang Bank Berdasarkan Prinsip Bagi Hasil. Bank Indonesia
mengeluarkan Surat Edaran Bank Indonesia (SEBI) No. 25/4/BPPP tanggal 29
Februari 1993 yang menegaskan:[13]
1). Bank berdasarkan bagi hasil adalah bank umum dan bank perkreditan
rakyat yang melakukan usaha semata-mata berdasarkan prinsip bagi hasil.
2). Prinsip bagi hasil yang dimaksud adalah prinsip bagi
hasil yang berdasarkan syariah.
3). Bank berdasarkan prinsip bagi hasil wajib memiliki Dewan
Pengawas Syariah (DPS).
4). Bank Umum atau BPR yang kegiatan usahanya semata-mata
berdasarkan prinsip bagi hasil tidak diperkenankan melakukan usaha yang tidak
berdasarkan prinsip bagi hasil.
Dengan demikian, UU No. 7 tahun 1992
tentang Perbankan tersebut dinilai belum memberikan payung hukum yang kuat
terhadap perkembangan Perbankan Syariah di Indonesia, mengingat belum ada
ketegasan pemberlakuan prinsip syariah. Penggunaan istilah bagi hasil dalam
perundang-undangan pada saat itu belum mencakup secara tepat pengertian Perbankan
Syariah yang memiliki cakupan lebih luas. Karena itu melalui lembaran negara
Republik Indonesia No. 182 tanggal 10 November 1998 disahkan Undang-Undang No.
10 Tahun 1998 tentang Perbankan yang memuat perubahan atas UU No.7 Tahun 1992
tentang Perbankan, menambah pasal tentang Bank Syariah, menambah beberapa pasal
terkait perbankan syariah, mengenalkan prinsip syariah (Pasal 1 dan beberapa
pasal lainnya) dan mengenalkan prinsip mudharabah, musyarakah, murabahah dan
ijarah (Pasal 1). Ketentuan dalam UU No. 10 Tahun 1998 ini menunjukkan
dimulainya era sistem perbankan ganda (dual banking system) yang
diharapkan akan mempercepat perkembangan Perbankan Syariah di Indonesia. Di era
ini, bagi Bank Umum Konvensional dapat memberikan layanan syariah melalui
pembentukan UUS. Sementara BPR hanya boleh memberikan layanan secara
konvensional atau secara syariah.
Setelah mengalami perjalanan yang
panjang, Undang-Undang No.21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah disahkan pada
tanggal 16 Juli 2008 dengan terdiri dari 13 bab dan 70 pasal. Secara garis
besar UU ini memberikan kepastian hukum Bank Syariah di Indonesia, penyebutan
kata “syariah” memberikan identitas yang jelas bagi Bank Syariah dan
bertanggung jawab terhadap syariah (shariah complience), Bank Syariah
menjalankan fungsi sosial dan juga menyebutkan dukungan terhadap konversi dan
perubahan bank konvensional menjadi Bank Syariah dan tidak sebaliknya.[14]
F. Hubungan antara UU Perbankan Syariah, PBI dan Fatwa DSN-MUI
Dalam Peraturan Perundangan yang menjadi payung hukum
Perbankan di Indonesia disebutkan bahwa semua Bank baik konvensional maupun
syariah yang beroperasi di Indonesia berada di bawah pengawasan dan pembinaan
dari Bank Indonesia sebagai bank sentral. Begitu juga dengan bank syariah yang
dalam operasionalnya juga berada di bawah pembinaan dan pengawasan BI. Sehingga
untuk memperkuat kewenangan sebagai bank sentral yang mengurusi sistem keuangan
syariah di Indonesia, BI perlu menjalin kerja sama dengan DSN-MUI yang memiliki
otoritas di bidang hukum syariah. Bentuk kerja sama tersebut diwujudkan dalam
nota kesepahaman (Memorandum of Understanding/MOU) untuk menjalankan
fungsi pembinaan dan pengawasan terhadap perbankan syariah. Dengan adanya kerja
sama tersebut, berarti keberadaan DSN-MUI menjadi penting dalam pengembangan
sistem ekonomi dan perbankan syariah negeri ini.
Dalam
operasionalnya, kegiatan usaha Perbankan Syariah dan/atau produk dan jasa
syariah wajib tunduk kepada prinsip syariah( Pasal 26 UU Perbankan Syariah).
Dan untuk mengimplementasikan landasan yuridis tersebut maka BI menjalin MOU
dengan MUI dalam meregulasi operasional Bank Syariah karena MUI sebagai lembaga
yang menghimpun semua organisasi islam yang ada di Indonesia. MUI kemudian
mengeluarkan fatwa Dewan Syariah Nasional MUI yang nantinya menjadi rujukan
khususnya bagi kegiatan usaha bank syariah. Fatwa DSN-MUI tersebut kemudian
direkomendasikan ke BI karena telah ada kerja sama antara kedua lembaga
tersebut. Kemudian BI membentuk Komite Perbankan Syariah untuk merumuskan
Peraturan Bank Indonesia yang beranggotakan unsur-unsur dari Bank Indonesia,
Departemen Agama, dan unsur masyarakat dengan komposisi yang berimbang,
memiliki keahlian di bidang syariah dan berjumlah paling banyak 11 (sebelas)
orang (Pasal 26 ayat 4). [15]Kemudian
PBI yang terbentuk tersebut dilimpahkan kepada Lembaga Keuangan Syariah dan BPR
agar dijadikan landasan dan rujukan dalam kegiatan usaha, produk serta jasa
yang ada dalam bank syariah. Dan untuk mengawasi dan mengefektifkan kinerja
bank syariah dalam menjalankan transaksi yang berlandaskan syariah, maka
DSN-MUI juga menginstruksikan pembentukan Dewan Pengawas Syariah (DPS) di setiap lembaga keuangan syariah.
DSN-MUI telah mengeluarkan surat rekomendasi nama-nama yang duduk sebagai Dewan
Pengawas Syari’ah (DPS) pada suatu lembaga keuangan syari’ah. Tujuan
pembentukan DPS adalah untuk menjalankan fungsi pengawasan terhadap aspek
syariah yang ada dalam perbankan dengan bekerja sama dengan Bank Indonesia
sebagai bank sentral yang membina dan mengawasi seluruh operasional bank di
Indonesia agar tercipta iklim keuangan yang kondusif, meningkatkan geliat
perekonomian nasional dan bagi IB (Islamic Bank) dapat benar- benar
eksis menjadi lembaga keuangan yang memegang teguh prinsip syariah dalam setiap
transaksi yang dijalankan.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dalam UU No.21 tahun 2008 mengenai Perbankan Syariah mengemukakan pengertian perbankan syariah
dan pengertian bank syariah. Perbankan Syariah yaitu segala sesuatu yang
menyangkut bank syariah dan unit usaha syariah, mencakup kelembagaan, mencakup
kegiatan usaha, serta tata cara dan proses di dalam melaksanakan kegiatan
usahanya. Bank Syariah adalah bank yang menjalankan kegiatan usahanya
dengan didasarkan pada prisnsip syariah dan menurut jenisnya bank syariah
terdiri dari BUS (Bank Umum Syariah), UUS (Unit Usaha Syariah) dan BPRS (Bank
Pembiayaan Rakyat Syariah).
Perbankan Syariah merupakan bank yang kegiatannya mengacu pada hukum
islam dan dalam kegiatannya tidak membebankan bunga maupun tidak membayar bunga
kepada nasabah. Imbalan bank syariah yang diterima maupun yang dibayarkan pada
nasabah tergantung dari akad dan perjanjian yang dilakukan oleh pihak nasabah
dan pihak bank. Perjanjian (akad) yang terdapat di perbankan syariah harus
tunduk pada syarat dan rukun akad sebagaimana diatur dalam syariat islam.
DAFTAR FUSTAKA
Sinar Grafika, Redaksi. 2008. Undang Undang perbankan Syariah. cet 1 Jakarta : Sinar Grafika,
Ismail. 2013. Perbankan
Syariah Jakarta: Penerbit
Kencana Prenada Media Group,
Antonio,
Muhammad Safi’I. 2007. Bank Syariah :
Dari Teori ke Praktek. Jakarta : Gema Insani Pres.
Wiroso. 2005. Penghimpun
Dana dan Distribusi Hasil Usaha Bank Syariah. Jakarta: PT.Gramedia
Widiasarana,
Adrian Sutedi, 2009. Perbankan
Syariah. Jakarta : Ghalia Indonesia,
Sjahdeini , Sutan Remy, 1999Perbankan Islam dan
Kedudukannya Dalam Tata Hukum Perbankan
Indonesia) Jakarta:Grafiti,
Wibisono, Yusuf (2009), Politik Ekonomi UU Perbankan Syariah Peluang dan Tantangan Regulasi
Industri Perbankan Syariah, Skripsi, Depok : Universitas Indonesia.
Antonio,Muhammad
Syafi’i. 2001.
Bank Syariah
Dari Teori ke Praktik. Jakarta:Gema Insani.
Dahlan,
Ahmad.
2012 Bank
Syariah. Yogyakarta:Teras.
Himpunan Fatwa Dewan
Syariah Nasional MUI,
Hasibuan Malayu .2008Dasar-Dasar Perbankan. Jakarta: Bumi Aksara.
[3]
. Antonio, Muhammad Safi’I, Bank
Syariah : Dari Teori ke Praktek. (Jakarta : Gema Insani Pres, 2001 hal. 51
[4]
.Wiroso, Penghimpun Dana dan
Distribusi Hasil Usaha Bank Syariah, (Jakarta: PT.Gramedia Widiasarana,
2005) hal. 4
[5]
.Ibid. hal. 5
[7]
Sutan Remy Sjahdeini, Perbankan
Islam dan Kedudukannya Dalam Tata Hukum Perbankan Indonesia)
Jakarta:Grafiti, 1999)hal. 4.
[8]
. Yusuf Wibisono, (2009), Politik
Ekonomi UU Perbankan Syariah Peluang dan Tantangan Regulasi Industri Perbankan
Syariah, Skripsi, Depok : Universitas Indonesia, hal.78
[9]
.Ibid. hal.79
[10]
. Antonio,Muhammad
Syafi’i.. Bank Syariah Dari Teori ke Praktik.( Jakarta:Gema Insani. 2001) hal.85
[12]
. Himpunan Fatwa Dewan Syariah Nasional MUI, hal. 43
No comments:
Post a Comment