Thursday 31 March 2016

Hermeneutika dalam penafsiran Alqur'an




Hermeneutika dalam Penafsiran Al-Qur’an

“Ditujukan untuk memenuhi tugas”
Mata Kuliah    : Hadis
Dosen              : Farid Adnir, Lc. M.TH
Jurusan            : Tarbiyah - PAI  (II-A)

Di susun Oleh
Kelompok 3 ( Tiga )

-         Dian Tri Wulandari
-         Dewi Anjani
-         Eva Suryani
-         Ezar Wani




SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM JAM’IYAH MAHMUDIYAH TANJUNG PURA - LANGKAT
TAHUN PERIODE : 2015- 2016


KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah swt karena berkat rahmat Nya penyusunan makalah ini dapat diselesaikan.Makalah ini merupakan makalah Hadis yang membahas Hermeneutika Dalam Penafsiran Al-Qur’an.Secara khusus pembahasan dalam makalah ini diatur sedemikian rupa sehingga materi yang disampaikan sesuai dengan mata kuliah. Dalam penyusunan tugas atau materi ini, tidak sedikit hambatan yang kami hadapi. Namun kami menyadari bahwa kelancaran dalam penyusunan makalah ini tidak lain berkat bantuan, dorongan dan bimbingan orang tua, sehingga kendala­­-kendala yang kami hadapi teratasi . oleh karena itu kami mengucapkan terimakasih kepada:
1. Bapak dosen mata kuliah HADIS  Bapak FARID ADNIR, Lc.M.TH yang telah memberikan tugas, petunjuk, kepada kami sehingga kami termotivasi dan menyelesaikan tugas makalah ini.
2.  Orang tua, teman dan kerabat  yang telah turut membantu, membimbing, dan mengatasi berbagai kesulitan sehingga tugas makalah ini selesai.
Kami sadar, bahwa dalam pembuatan makalah ini terdapat banyak kesalahan.Untuk itu kami meminta maaf apabila ada kekurangan. Kami sangat mengharapkan kritik dan saran dari para pembaca guna meningkatkan kualitas makalah penulis selanjutnya. Kebenaran dan kesempurnaan hanya Allah-lah  yang punya dan maha kuasa .Harapan kami, semoga makalah yang sederhana ini, dapat memberikan manfaat tersendiri bagi generasi muda islam yang akan datang, khususnya dalam bidang Hadis



Tanjung Pura, Maret, 2016

    Penyususun



DAFTAR ISI


 



BAB I

PENDAHULUAN

            Seiring dengan perkembangan zaman, persoalan kemanusiaan juga berkembang semakin kompleks, mulai dari persoalan genetika, eksplorasi ruang angkasa, pendidikan, hubungan antar agama, persoalan gender, HAM, dan lain sebagainya, dimana hampir tidak ada lagi sekat-sekat yang antara manusia karena  teknologi telah membuat semua orang diseluruh dunia berinteraksi dengan mudahnya. Pesatnya perkembangan zaman ini membuat ilmu-ilmu keIslaman mau tidak mau harus segera berbenah dan mengikuti arus zaman, dan tanpa terkecuali ilmu tafsir.
            Ilmu tafsir juga dituntut untuk selalu berkembang dalam menghadapi kompleksnya persoalan kemanusiaan. Disinilah kemudian gagasan tentang penggunaan hermeneutika menjadi sebuah keniscayaan bagi para penafsir saat ini. Hermeneutika sebagai sebuah metodologi dalam tafsir al-Qur’an dirasa cukup penting dan mendesak untuk dilakukan karena hermeneutika tidak hanya berbicara dalam tataran teks semata melainkan juga mempertimbangkan konteks serta peran subyektifitas seorang penafsir, sehingga tafsir atau kajian terhadap al-Qur’an menjadi kontekstual dan bisa menjawab tantangan zaman.
            Namun demikian kehadiran hermeneutik sebagai sebuah metode dalam menafsirkan teks al-Qur’an ini tidak diterima begitu saja dikalangan umat Islam dan justru menimbulkan reaksi bagi sebagian mereka. Bagi yang menolak hermeneutika sebagai salah satu metode dan metodologi dalam menafsirkan al-Qur’an, mereka beranggapan bahwa hermeneutika bukanlah berasal dari tradisi Islam dan merupakan metode yang dipakai dalam mengkaji bible, tentu saja mereka menolak, karena menggunakan hermeneutika dalam mengkaji al-Qur’an sama saja dengan mensejajarkan al-Qur’an dengan bible dan juga teks-teks yang lain seperti teks sastra dan lain sebagainya, padahal al-Qur’an adalah kalam ilahi dan bukan hasil karya cipta manusia.
            Dalam makalah ini penulis mencoba akan memaparkan hermeneutika dalam dalam Penafsiran  tafsir al-Qur’an.

BAB II

PEMBAHASAN

A.     Pengertian Hermeneutika

Secara etimologis, kata “hermeneutic” berasal dari bahasa Yunani hermeneuein yang berarti “menafsirkan”, dan dari kata hermeneuin ini dapat ditarik kata benda hermeneia yang berarti “penafsiran” atau “interpretasi” dan kata hermeneutes yang berarti  interpreter (penafsir). [1]
 Dari asal kata itu berarti ada dua perbuatan; menafsirkan dan hasilnya, penafsiran (interpretasi), seperti halnya kata kerja “memukul” dan menghasilkan “pukulan”. Kata tersebut layaknya kata-kata kerja dan kata bendanya dalam semua bahasa. Kata Yunani hermeios mengacu pada seorang pendeta bijak, Delphic. Kata hermeios dan kata kerja yang lebih umum hermeneuein dan kata benda hermeneia diasosiasikan pada Dewa Hermes, dari sanalah kata itu berasal.
Pada mitologi Yunani kuno, kata hermeneutika merupakan derivasi dari kata Hermes, yaitu seorang dewa yang bertugas menyampaikan dan menjelaskan pesan (message) dari Sang Dewa kepada manusia. Menurut versi mitos lain, Hermes adalah seorang utusan yang memiliki tugas menafsirkan kehendak dewata dengan bantuan kata-kata manusia. Pengertian dari mitologi ini kerapkali dapat menjelaskan pengertian hermeneutika teks-teks kitab suci, yaitu menafsirkan kehendak tuhan sebagaimana terkandung di dalam ayat-ayat kitab suci.
Dengan demikian menurut kami pemakalah, hermeneutika pada dasarnya adalah suatu metode atau cara untuk menafsirkan simbol yang berupa teks atau sesuatu yang diperlakukan sebagai teks untuk dicari arti dan maknanya, di mana metode hermeneutik ini mensyaratkan adanya kemampuan untuk menafsirkan masa lampau yang tidak dialami, kemudian dibawa ke masa sekarang.



B.     Hermeneutika Al-Qur’an: Tafsir Alternatif Memahami Makna Teks Alqur’an

Sebelum membicarakan tentang hermeneutika al Qur’annya, menarik membahas salah satu pendapat tokoh islam hermeneutika diantaranya adalah Fazlur Rahman. Dalam peta intelektual muslim Rahman dikenal sebagai tokoh reformis, radikal dan controversial. menarik untuk diekplorasikan bagaimana konsep Rahman tentang al Qur’an itu sendiri. Diakui atau tidak, konsep Rahman tentang al Qur’an memperlihatkan suatu penilaian yang berbeda dari para pemikir klasik. Konsep ini akan membawa kita pada suatu pengantar tentang gagasan hermeneutika al Qur’annya.
Konsep Tentang al Qur’an Konsep Rahman tentang al-Qur’an, seperti yang dapat kita simpulkan dalam bukunya Islam, adalah:
Al-Qur’an secara keseluruhan adalah Kata-kata (kalam) Allah, dan, dalam pengertian yang biasa, juga keseluruhannya merupakan kata-kata Muhammad…. Jadi al-Qur’an murni Kata-kata Ilahi, namun, tentu saja, ia sama-sama secara intim berkaitan dengan personalitas paling dalam Nabi Muhammad yang hubungannya dengan kata-kata (kalam) Ilahi itu tidak dapat dipahami secara mekanis seperti hubungan sebuah rekaman. Kata-kata (kalam) Ilahi mengalir melalui hati Nabi.
Definisi Rahman di atas, mengasumsikan bahwa pola hubungan atau model pewahyuan yang dibangun antara al-Qur’an (sebagai sebuah teks; The Text) dan Muhammad (penerima teks; The Reader) bersifat internal ) dan sangat intim. Bagi Rahman, wahyu al-Qur’an itu merupakan respon ilahi melalui pikiran nabi terhadap situasi-situasi sosio-moral dan historis masa Nabi. ) Dan konsep ini mengantarkannya pada ‘teori puncak gunung es yang terapung’, di mana sembilan persepuluh dari al-Qur’an terendam di bawah air sejarah dan hanya sepersepuluh darinya yang nampak di permukaan. [2]
Istilah al Qur’an untuk ‘pembukaan (rahasia)’ adalah wahyu yang berdekatan artinya dengan ‘inspirasi’, dengan syarat bahwa yang kedua ini tidak perlu harus mengesampingkan model verbal. (Dengan ‘firman’, tentu saja yang kami maksud bukanlah suara).Penjelasan Rahman ini dirujukkan pada ayat al-Qur’an; 42:51, 52; 26:193-194; 02:97; 53:3-4.
Dengan merujuk pada ayat-ayat di atas, Rahman mengatakan bahwa al-Qur’an berasal dari Allah dalam bentuk ‘ide kata’ tidak dalam bentuk ‘kata-kata yang bersuara’. Dan juga telah terjadi hubungan intim antara Tuhan dan Muhammad, bahwa ‘kalam Tuhan’ adalah juga ‘perkataan Nabi Muhammad’ dalam pengertian yang biasa.
Ayat-ayat itu juga menurut Rahman, mendukung pada kesimpulan bahwa al Qur’an diturunkan ke dalam hati melalui wahyu (inspirasi), tidak diturunkan ke dalam telinga melalui suara. Dengan demikian teks al Qur’an merupakan perkataan Muhammad dan menegasikan adanya dualisme al Qur’an sebagai ‘kata’ (wahyu) Allah dan sebagai perkataan Muhammad.
Model interpretasi yang dilakukan Rahman di atas mengasumsikan bahwa al Qur’an adalah teks (the text), Allah adalah pengarang (the author) dan Muhammad adalah penerima sekaligus pembicara (the reader and the author). Tidak seperti yang terjadi pada logika hermeneutika pada umumnya. Pengasumsian Muhammad sebagai penerima sekaligus pembicara ini menegaskan bahwa secara psikologis Muhammad berpartisipasi baik mental maupun intelektual ) dalam penerimaan wahyu itu, Rahman menjelaskan:[3] 
… Seorang Nabi adalah seorang yang keseluruhan karekter dan perilaku aktualnya adalah jauh lebih tinggi dari manusia pada umumnya. Ia adalah seorang yang ab initio (dari awalnya) tidak sabar terhadap manusia dan bahkan terhadap sebagian besar ideal-ideal mereka, dan ingin sekali menciptakan kembali sejarah. Muhammad adalah manusia seperti itu, dan dalam kenyataannya satu-satunya manusia seperti yang dikenal sejarah. Itulah sebabnya seluruh perilakunya dipandang oleh kaum Muslimin sebagai Sunnah atau ‘model yang sempurna’. Tetapi, dengan adanya semua itu, ada saat-saat di mana ia, sebagaimana telah terjadi, ‘melampai dirinya sendiri’ dan persepsi kognitif moralnya menjadi demikian tajam hingga kesadarannya menjadi identik dengan hukum moral sendiri. Karena itu al Qur’an benar-benar murni Ilahi. Lebih lanjut, bahkan dengan memandang kesadaran yang biasa, adalah kata-kata Muhammad.
            Selanjutnya Rahman mengatakan bahwa ide-ide dan kata-kata yang lahir dalam pikiran Nabi harus dilihat sebagai proses integralnya. Artinya kata-kata, muncul bersama ide-ide tanpa terkontrol secara sadar oleh Nabi sebagai penerima wahyu. Keyakinan kebenaran yang Rahman pegang ini merupakan membelaannya yang keras bahwa al Qur’an merupakan Kalam Allah yang diwahyukan kepada Nabi. Dan Nabi merupakan penerima wahyu verbal Tuhan yang terakhir.

C.     Gagasan Hermeneutika terhadap Alqur’an

Gagasan untuk menjadikan al Qur’an sebagai suatu pesan yang utuh agar dapat diterima oleh manusia di dunia ini bukanlah persoalan yang sederhana. Makna yang ingin direnggut oleh kita sebagai reader (pembaca teks) telah mengalami proses pelapisan pemahaman yang telah berlangsung lama. Terjadinya ‘arkeologi pemaknaan’ ini merupakan suatu upaya bagaimana menangkap pesan moral al Qur’an tersebut. Bagi Rahman pemahaman terhadap al Qur’an dapat dilakukan secara objektif, jika kita dapat memahami bagaimana proses historisitas teks itu diturunkan. Dengan kata lain, bagaimana proses asbab an-nuzul itu tercipta.
            Mengingat betapa pentingnya proses perenggutan makna terhadap al Qur’an itu, Rahman kemudian menganjurkan seperti yang ditulisnya dalam Interpreting the Quran :[4]
 Di samping kitab-kitab tafsir, kaum Muslim telah merumuskan sejumlah besar karya mengenai metode-metode atau prinsip-prinsip penafsiran al Qur’an yang disebut ushul al-tafsir…, mereka telah melakukan suatu jasa besar bagi upaya pemahaman al Qur’an, penggunaan bahasa harfiah dan metaforisnya, juga dalam membedakan antara ayat-ayat yang mempunyai pengertian umum dan yang khusus, dan lain-lain. Usaha–usaha ini sebenarnya sangat penting untuk pemahaman terhadap teks al Qur’an. Walaupun demikian terdapat suatu kebutuhan mendesak terhadap teori hermeneutik yang akan menolong kita di dalam memahami makna al Qur’an secara utuh. Sehingga bagian-bagian teologis, etis dan legal al Qur’an menjadi suatu kesatuan yang menyeluruh dan padu.
Dari ungkapan di atas jelaslah bahwa kegelisahan Rahman terhadap bangunan metodologi yang berkembang dalam wilayah keislaman terasa ‘kering’ sehingga kebutuhan terhadap teori hermeneutika ) dalam menafsirkan teks kitab suci (baca: al Qur’an) harus diaplikasikan untuk menangkap makna dan pesan moral al Qur’an secara memadai. Sehingga tercipta suatu kesatuan yang utuh dan jalin berkelindan dalam menciptakan suatu pandangan dunia.
Dalam upaya perumusan metodologi itu, Rahman menawarkan suatu metodologi hermeneutika double movement (gerak ganda interpretasi) untuk melahirkan obyektivitas dalam penafsirkan terhadap al Qur’an. Proses penafsiran ini adalah dengan melalui mekanisme interpretasi sebagai berikut:
1) Gerak Pertama
Gerak pertama, yakni dari situasi sekarang ke masa al Qur’an diturunkan, terdiri dari dua langkah:[5]
Langkah pertama, merupakan tahap pemahaman tekstual al Qur’an dan konteks sosio-historis ayat-ayatnya Tahapan di mana makna atau arti suatu pernyataan dipahami dengan melakukan kajian situasi atau problem historis di mana pernyataan al Qur’an tersebut merupakan jawabnya. Dengan kata lain, memahami makna al Qur’an sebagai suatu keseluruhan di samping dalam batas ajaran-ajaran khusus yang merupakan respon terhadap situasi-situasi khusus.
            Langkah kedua, merupakan tahap generalisasi. Dalam tahap ini dilakukan upaya generalisasi terhadap jawaban-jawaban spesifik tersebut dan menyatakannya sebagai pernyataan-pernyataan yang memiliki tujuan moral-sosial umum yang dapat disaring dari ayat-ayat spesifik dalam sinaran latar belakang sosio-historis dan rasiones legis yang sering dinyatakan. Selama proses ini, perhatian harus diberikan ke arah ajaran al Qur’an, sebagai suatu keseluruhan sehingga setiap arti tertentu yang dipahami, setiap hukum yang dinyatakan dan setiap tujuan yang dirumuskan akan koheren dengan yang lainya.
            Gerakan Pertama ini disebut Rahman sebagai ‘tugas pemahaman’ (task of understanding). Dalam gerak pemahaman ini. Rahman mensyaratkan kajian-kajian bidang lain yang menunjang pemahaman yang feasible. Di samping pengetahuan tentang bahasa al Qur’an (tata bahasa, gaya bahasa, dan lain-lain), suatu kajian
¾khususnya generasi awal¾tentang pandangan-pandangan kaum Muslimin  akan membantu. Artinya, dipergunakan pendekatan linguistik dan historis (kritis). Akan tetapi, pandangan-pandangan tersebut harus menduduki tempat kedua dalam materi-materi obyektif yang digariskan di atas; karena walaupun penafsiran-penafsiran historis atas al Qur’an akan membantu, juga harus mendapatkan penilaian dari pemahaman yang diperoleh dari al-Qur’an sendiri. )
2) Gerak kedua
Gerak kedua ini adalah dari masa al Qur’an diturunkan ke masa kini. Artinya, kalau gerakan yang pertama terjadi dari hal-hal spesifik dalam al Qur’an ke penggalian dan sistematisasi prinsip-prinsip hukum, nilai-nilai dan tujuan jangka panjangnya, gerakan kedua ini harus dilakukan dari pandangan umum ini ke pandangan spesifik yang harus dirumuskan dan direalisasikan pada masa kini. Dengan kata lain, ajaran-ajaran yang bersifat umum harus ditubuhkan (embodied) dalam konteks sosio-historis yang konkret di masa sekarang.[6]
            Oleh karena itu, berkaitan dengan gerakan di atas, diperlukan suatu kajian yang cermat terhadap situasi kekinian dan analisis terhadap berbagai unsur komponennya, sehingga dapat menilai situasi kekinian dan mengubah kondisinya sejauh yang diperlukan, dan menentukan prioritas-prioritas baru untuk bisa mengimplementasikan nilai-nilai al Qur’an secara baru pula.
 Gerak kedua ini bukan hanya berkaitan dengan upaya ‘penubuhan’ dalam konteks kekinian saja, tetapi juga sebagai ‘pengoreksi’ terhadap hasil-hasil atas penafsiran pada gerakan pertama. Artinya, kalau hasil-hasil pemahaman dalam gerakan pertama gagal diaplikasikan dalam konteks kekinian, maka tentunya telah terjadi kegagalan dalam menilai situasi kini, atau kegagalan dalam memahami al Qur’an. Karena menurut Rahman, tidaklah mungkin sesuatu yang bisa diterapkan pada masa lalu dengan sungguh-sungguh dalam tataran spesifik di masa lampau, tidak bisa direalisasikan dalam konteks kekinian, dengan mempertimbangkan perbedaan dalam hal-hal spesifik dalam situasi sekarang.


 
            Selain metode hermeneutika double movement di atas, Rahman juga menggunakan pendekatan sintetik-logik, yakni dengan cara mensintesakan berbagai tema (terutama tentang ketuhanan dan metafisika) secara logik ketimbang secara kronologik. Al Qur’an dibiarkan berbicara sendiri. Sedangkan penafsiran hanya dipergunakan untuk membuat hubungan antara konsep-konsep yang berbeda.[7]Itulah proyeksi metodologis yang ditawarkan oleh Rahman dalam merumuskan proses hermeneutika al Qur’annya.

D.    Hermeneutika al Qur’an dan Persoalan Kontemporer

Gagasan hermeneutika al Qur’an Rahman ini merupakan suatu tawaran yang menarik, ketika kita mencoba mencermati dan mengkaitkannya dengan persoalan kontemporer. Salah satu contoh adalah persoalan poligami dan persaksian wanita.
a.       Poligami
            Poligami merupakan issu yang hangat dalam wacana feminisme dan gender. Karena mereka menganggap bahwa penafsiran terhadap ayat-ayat tersebut cenderung diskriminatif dan subordinatif. Walaupun dengan alasan-alasan yang berbeda-beda ―apakah poligami atau monogami―, yang jelas konsep poligami ini tertulis dalam al-Qur’an.[8] Locus interpretasi dan re-interpretasinya adalah al-Qur’an surat al-Nisa’ (4):3 : Ayat tersebut turun sebagai respon terhadap perilaku para wali dari anak-anak yatim baik laki-laki ataupun perempuan yang sering menyelewengkan harta kekayaan mereka. ) Kemudian al Qur’an menyerukan agar mereka (para wali) tidak menyelewengkan harta kekayaan itu, dan mereka boleh mengawini (perempuan yatim) sampai empat orang di antara mereka, asalkan mereka dapat berlaku adil. Seruan al-Qur’an ini didukung pula oleh ayat yang lain, yang turun sebelumnya, yaitu dalam al-Nisa’ (04):127.
Beberapa pernyataan di atas dengan melihat Asbab al-Nuzulnya menunjukkan bahwa masalah ini muncul dalam konteks perempuan-perempuan yatim. Tapi kemudian al Qur’an memperingatkan bahwa ‘betapapun mereka (para wali) itu berupaya (berkeinginan mengawini sampai empat), namun kalian, kata Allah, tidak akan dapat berlaku adil kepada perempuan-perempuan tersebut” (Q.S. an-Nisa’ (04): 129)Pernyataan-pernyataan al Qur’an di atas, menurut Fazlur Rahman terdapat sebuah distingsi (antara aspek legal dan ajaran moral al-Qur’an), yaitu
(1) ijin untuk beristeri sampai empat orang, dan
(2) keharusan untuk berlaku adil kepada mereka. Berdasarkan atas distingsi ini, Rahman kemudian berkesimpulan bahwa:
..Yang benar nampaknya bahwa diizinkannya poligami adalah pada taraf legal, sementara sanksi-sanksi yang diberikan kepadanya pada hakekatnya adalah sebuah cita-cita moral yang mana masyarakat diharapkan bergerak ke arahnya, karena tidak mungkin untuk menghapuskan poligami secara legal sekaligus. )
            Penafsiran Rahman ini berbeda dengan apa yang dikemukakan oleh ulama tradisional, ) yang seperti dikutipnya, ijin untuk berpoligami itu mempunyai kekuatan hukum sedang keharusan untuk berbuat adil kepada istri-istri tersebut, walaupun sangat penting, terserah kepada kebaikan si suami.[9]
            Berkenaan dengan kesimpulan di atas, Rahman memberikan alasan, bahwa:prosedur yang biasa terjadi di dalam pembuatan hukum yang berdasarkan al-Qur’an. Secara garis besarnya, setiap pernyataan yang legal atau quasi-legal disertai oleh sebuah ratio-legis yang menjelaskan mengapa sebuah hukum dinyatakan. Untuk dapat memahami sebuah ratio-legis secara sempurna pertama sekali kita harus mempelajari latar-belakang sosio-historis (yang oleh penafsir-penafsir al-Qur’an dikatakan sebagai ‘alasan-alasan penurunan wahyu’ Ratio-legis merupakan inti, sedangkan legislasi yang aktual merupakan perwujudannya asalkan tepat dan benar merealisasikan ratio-legis tersebut. ).
 Dengan alasan tersebut, dapat digeneralisasikan jawaban-jawaban spesifiknya bahwa kebolehan berpoligami pada dasarnya lahir sebagai jawaban/solusi bagi para wali yang tidak berlaku adil terhadap anak yatim, baik laki-laki dan perempuan. Dan al Qur’an membolehkan mereka (para wali) mengawini perempuan yatim itu dijadikan istri sampai batas empat orang. Tujuan al Qur’an di sini adalah untuk menguatkan bagian-bagian masyarakat yang lemah (seperti, orang-orang miskin, anak-anak yatim kaum wanita, budak-budak, dan orang-orang yang terjerat hutang) ) sehingga tercipta sebuah tatanan masyarakat yang etis dan egaliter. Karena sebab turunnya ayat ini berkaitan dengan perempuan yatim, dan berbuatan poligami dengan syarat berlaku adil tidak mungkin (mustahil). Maka proses poligami ke monogami ini membutuhkan pentahapan-pentahapan perubahan legislasi Islam seperti fenomena yang sama terjadi dalam kasus perbudakan. Jadi monogami lebih kontekstual dalam legislasi Islam.
            Paradigma pemikiran yang dilontarkan Rahman ini, jika dikorelasikan dengan UU Perkawinan No. 1 tahun 1974 yang diberlakukan di Indonesia, dalam beberapa hal ada kecocokan kebijaksanaan penetapan hukumnya. Dalam penjelasannya Undang-Undang ini menganut asas monogami. Meskipun seorang suami diijinkan beristri lebih dari seorang dengan syarat dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan dan Pengadilan telah memberi ijin. (ps. 3 (2) UUP) Alasan-alasan yang dipegang oleh Pengadilan ditegaskan dalam pasal 4 (2) UU Perkawinan:[10]
            Pengadilan dimaksud dalam ayat (1) pasal ini hanya memberikan izin kepada seorang suami yang akan beristeri lebih dari seorang apabila:
a. Isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri;
b.         Isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan;
c.         Isteri tidak dapat melahirkan keturunan.
Apabila diperhatikan alasan-alasan tersebut di atas, adalah mengacu pada tujuan pokok perkawinan, yaitu membentuk keluarga yang sakinah, mawaddah dan rahmah.





b. Kesaksian Wanita
Salah satu respon Rahman yang cukup menarik adalah mengenai kesaksian wanita. Jawaban Rahman terhadap kasus ini berkaitan dengan prinsip yang dikemukakan oleh ahli-ahli hukum tradisional yang menyatakan bahwa ‘walaupun sebuah hukum terjadi karena situasi yang spesifik tetapi aplikasinya adalah universal’ . Dengan merujuk pada ayat al-Baqarah (02):282 Rahman mengcounter prinsip itu.
Ketentuan legal yang diberikan oleh al Qur’an sehubungan dengan kesaksian perempuan ini berkenaan dengan masalah transaksi hutang piutang, baik yang besar maupun yang kecil. Jumlah (besar hutang-piutang itu) harus dituliskan dengan disaksikan oleh dua orang lelaki yang dewasa dan dapat dipercaya atau, jika tidak ada dua orang lelaki maka di gantikan dengan satu orang lelaki dan dua orang perempuan.
 Perbandingan antara satu lelaki dengan dua perempuan ini menjadi debat hukum.[11] Bagi kalangan tradisionalis berpandangan bahwa ketetapan hukum tersebut tak bisa berubah. Jadi tetap satu orang lelaki dengan dua orang perempuan. Pandangan ulama tradisionalis ini ditentang oleh Rahman. Alasannya, bahwa konteks turunnya ayat ini adalah berkaitan dengan persoalan transaksi hutang piutang. Secara jelas ayat tersebut menyebutkan bahwa ‘illah al-hukm’nya yaitu karena kaum perempuan lebih ‘pelupa’ ketimbang lelaki. ‘Kepelupaan’ perempuan ini karena waktu itu kaum perempuan tidak terbiasa dengan urusan hutang piutang. Ketika terjadi perubahan sosial seperti sekarang ini, dimana tuntutan partisipasi perempuan untuk terjun kedunia publik semakin luas peluangnya. Bukan tidak mungkin urusan publik (hutang piutang) menjadi kebiasaan kaum perempuan. Maka kesaksian perempuan dapat dipandang sama kuatnya dengan kesaksian seorang lelaki.
 Dengan melihat beberapa pertimbangan itulah di mana pengetahuan terhadap ‘íllah al-hukm’ (ratio legis) dengan melacak konteks sosial-historis yang membidani sebab turunnya suatu ayat menjadi signifikan untuk penetapan legislasi aktual pada masyarakat.


BAB III

PENUTUP

A.    Kesimpulan
            Berdasarkan pemaparan diatas menurut kami dapat disimpulkan bahwa : Apa yang telah digagas Rahman dengan proyeksi hermeneutika al Qur’annya dengan menggunakan kerangka double movement (gerak ganda interpretasi) terhadap teks dan konteks maka suatu pemahaman yang utuh dan jalin berkelindan terhadap pandangan dunia al-Qur’an dapat dicapai.
Sebagai implikasinya, interpretasi ini akan menghasilkan sebuah rumusan tafsir baru dalam usaha memahami sebuah teks (al-Qur’an atau Hadist) atau preseden di masa lampau yang kemudian prinsip-prinsip yang berlaku pada masa lampau itu dibawa pada masa kini dengan menentukan objek sosial-moralnya.
Proses-proses interpretasi ini, pada akhirnya akan menghasilkan sebuah pemahaman yang utuh dan objektif dengan melibatkan seluruh makna yang ada di dalam teks al Qur’an sendiri dengan historisitas yang melingkupinya.



DAFTAR FUSTAKA




[1] .  Husaini, Adian dan Abdurrahman al-Baghdadi, Hermeneutika & Tafsir Al-Qur’an ( Yogyakarta: Gema Insani Press , 2007) hal.7-8
[2] .Rahman,  Fazlur,  Islam, Alih Bahasa Ahsin Muhammad,(Bandung: Pustaka: 1997) hlm.32-35
[3]  Fazlur Rahman,  Wahyu ilahi dan Nabi, (Bandung: Mizan,1987) hlm,44
[4] .Rahman,  Fazlur ,Interpereting the Qura , (Inquary,Mei,1986,)hlm 45
[5] .Rahman Fazlur,Islam dan Tantangan Modernitas,(Bandung: Mizan,1996) hlm.7-8
[6] Ibid.hlm. 8.
[7]  Rahman, Fazlur,Tema Pokok Al-Qur’an, Terj. Anas Mahyudin,Cet. II. (Bandung:Pustaka, 1996)hal 9-10
[8]  Nasution, Khoirudin, Riba & Poligami sebuah Studi Atas Pemikiran Muhammad Abduh (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,1996, (hlm83-110)
[9] .Rahman, Fazrul, op.cit. hlm.70
[10]  Ropiq, Ahmad, Hukum Islam di Indonesia (Jakarta: Rajawali Press, 1997) hlm.169-177
[11] Rahman Fazlur,Islam dan Tantangan Modernitas,(Bandung: Mizan,1996) hlm.89

No comments:

Post a Comment

PENERAPAN STRATEGI PEMBELAJARAN KOPERATIF DALAM PEMBELAJARAN FIQIH

  BAB I PENDAHULUAN A.      Latar Belakang Salah satu strategi yang dapat diterapkan dalam pembelajaran di kelas adalah pembe...