BAB II
PEMBAHASAN
A. Metode Tematik ( Maudhu’I )
a.
Pengertian
Secara bahasa
kata maudhu’i berasal dari kata موضوع yang
merupakan isim maf’ul dari kata وضع yang
artinya masalan atau pokok pembicaraan, yang berkaitan dengan aspek-aspek
kehidupan manusia yang dibentangkan ayat-ayat al-Quran.
Berdasarkan pengertian bahasa,
secara sederhana metode tafsir maudhu’I ini adalah menafsirkan
ayat-ayat al-Quran berdasarkan tema atau topik pemasalahan.
Metode teematik adalah cara
menafsirkan Al qur’an yang didasarkan atas asumsi pada tema tertentu. Musthafa
Muslim memaparkan beberapa defenisi tafsir maudhu’i, salah
satuya adalah:
“Tasir Maudu’I adalah tafsir yang
membahas masalah - masalah Al – Qur’an
yang memiliki kesatuan makna atau tujuan ,dengan cara menghimpun ayat ayatnya,kemudian
ayat ayat tersebut di analisis dengan cara tertentu untuk dapat dijelaskan
maksudnya.”[1]
Dengan demikan menurut kami tafsir
maudu’I adalah penafsiran Alqur’an
dengan cara menjelaskan ayat-ayat yang terhimpun dalam satu tema dan tujuan makna yang sama.
b.
Langkah-langkah Tafsir Maudhu’i
Langkah-langkah metode
tafsir maudhu’i baru dimunculkan pada akhir tahun 1960 oleh Prof.
Dr. Ahmad Sayyid Al-Kumiy dengan langkah-langkah sebagai berikut:
1. Memilih atau
menetapkan masalah al-Qur'an yang akan dikaji secara maudhu’i (tematik).
2. Menghimpun
seluruh ayat al-quran yang terdapat pada seluruh surat al-Qur'an yang berkaitan
dan berbicara tentang tema yang hendak dikaji, baik surat makkiyyat atau
surat madaniyyat.
3. Menentukan
urutan ayat-ayat yang dihimpun itu sesuai dengan masa turunnya dan mengemukakan
sebab-sebab turunnya jika hal itu dimungkinkan (artinya, jika ayat-ayat itu
turun karena sebab-sebab tertentu).
4. Menjelaskan munasabah (relevansi)
antara ayat-ayat itu pada masing-masing suratnya dan kaitan antara ayat-ayat
itu dengan ayat-ayat sebelum dan sesudahnya pada masing-masing suratnya
(dianjurkan untuk melihat kembali pada tafsir tahlily).
5. Menyusun tema
bahasan di dalam kerangka yang pas, sistematis, sempurna, dan utuh (outline)
yang mencakup semua segi dari tema kajian.
6. Mengemukakan
hadith-hadith Rasulullah SAW yang berbicara tentang tema kajian serta men-takhrij dan
menerangkan derajat hadith-hadith itu untuk lebih meyakinkan kepada orang lain
yang mempelajari tema itu. Dikemukakan pula riwayat-riwayat (athar) dari
para sahabat dantabi’in.
7. Merujuk kepada
kalam (ungkapan-ungkapan bangsa) Arab dan shair-shair mereka
dalam menjelaskan lafaz-lafaz yang terdapat pada ayat-ayat
yang berbicara tentang tema kajian dan dalam menjelaskan makna-maknanya.
8. Mempelajari
ayat-ayat tersebut secara maudu’i dan menyeluruh dengan cara
menghimpun ayat-ayat yang mengandung pengertian serupa, mengkompromikan
pengertian antara yang ‘am dan khas, antara yang mutlaq dan muqayyad,
mengsinkronkan ayat-ayat yang lahirnya tampak kontradiktif, menjelaskan ayat
yang nasikh danmansukh, sehingga semua ayat tersebut
bertemu pada satu muara, tanpa perbedaan dan kontradiksi atau tindakan
pemaksaan terhadap sebagian ayat kepada makna-makna yang sebenarnya tidak
tepat.[2]
c.
Pembagian
Tafsir Maudu’i
Dalam perkembangannya, metode maudhu’i memiliki dua bagian:[3]
a.
Mengkaji sebuah surat dengan kajian universal (tidak parsial), yang di
dalamnya dikemukakan misi awalnya, lalu misi utamanya, serta kaitan antara satu
bagian surat dan bagian lain, sehingga wajah surat itu mirip seperti bentuk
yang sempurna dan saling melengkapi. Contoh:
الحمد لله مافي السموات وما في الأرض
وله الحمد في الأخرة وهو الحكيم الخبير, يعلم ما يلج في الأرض ومايخرج منها
وماينزل من السماء وما يعرج فيها وهو الرحيم الغفور
Segala
puji bagi Allah yang memiliki apa yang di langit dan apa yang di bumi dan
bagi-Nya (pula) segala puji di akhirat. Dan Dia-lah Yang Maha Bijaksana lagi
Maha Mengetahui Dia mengetahui apa yang masuk ke dalam bumi, apa yang ke luar
daripadanya, apa yang turun dari langit dan apa yang naik kepadanya. Dan
Dia-lah Yang Maha Penyayang lagi Maha Pengampun.(Qs,Saba:1-2)
Di
Al-Qur’an surat saba’: 1-2 ini diawali pujian bagi Allah dengan menyebutkan
kekuasaan-Nya. Setelah itu, mengemukakan pengetahuan-Nya yang universal,
kekuasaan-Nya yang menyeluruh pada kehendak-Nya yang bijak.
b.
Menghimpun seluruh ayat Al-qur’an yang berbicara tentang tema yang sama.
Semuanya diletakkan dibawah satu judul, lalu ditafsirkan dengan metode maudhu’i.
Contohnya:
Allah SWT, berfirman:
فتلقى أدم من ربه كلمت فتاب عليه إنه
هو التواب الرحيم. (البقرة: 37)
“ Kemudian
Adam menerima beberapa kalimat dan tuhannya , maka Allah menerima taubatnya,
sesungguhnya Allah maha penerima tobat lagi maha penyayang.”
Untuk
menjelaskan kata ‘kalimat’ pada firman Allah Ta’ala di atas ,nabi
mengemukakan ayat.
قالا ربنا ظلمنا أنفسنا وإن لم
تغفرلنا وترحمنا لنكونن من الخاسرين (الأعراف:23)
“ keduanya
berkata, : ya Tuhan kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri, dan jika
engkau tidak mengampuni rahmat kepada kami, niscaya pastilah kami termasuk
orang-orang merugi.
d.
Kelebihan dan Kelemahan Tafsir Maudhu’i
Kelebihan metode tafsir maudhu’i antara lain:[4]
a.
Menjawab tantangan zaman: Permasalahan dalam kehidupan selalu tumbuh dan
berkembang sesuai dengan perkembangan kehidupan itu sendiri. Maka metode maudhu’i sebagai upaya metode penafsiran untuk
menjawab tantangan tersebut. Untuk kajian tematik ini diupayakan untuk
menyelesaikan permasalahan yang dihadapi masyarakat.
b.
Praktis dan sistematis: Tafsir dengan metode tematik disusun secara praktis
dan sistematis dalam usaha memecahkan permasalahan yang timbul.
c.
Dinamis: Metode tematik membuat tafsir al-Qur’an selalu dinamis sesuai
dengan tuntutan zaman sehingga menimbulkan image di dalam pikiran pembaca dan
pendengarnya bahwa al-Qur’an senantiasa mengayomi dan membimbing kehidupan di
muka bumi ini pada semua lapisan dan starata sosial.
d.
Membuat pemahaman menjadi utuh: Dengan ditetapkannya judul-judul yang akan
dibahas, maka pemahaman ayat-ayat al-Qur’an dapat diserap secara utuh.
Pemahaman semacam ini sulit ditemukan dalam metode tafsir yang dikemukakan di
muka. Maka metode tematik ini dapat diandalkan untuk pemecahan suatu
permasalahan secara lebih baik dan tuntas
Kekurangan metode tafsir maudhu’i antara lain:
a. Memenggal ayat al-Qur’an: Yang dimaksud memenggal ayat al-Qur’an ialah
suatu kasus yang terdapat di dalam suatu ayat atau lebih mengandung banyak
permasalahan yang berbeda. Misalnya, petunjuk tentang shalat dan zakat.
Biasanya kedua ibadah itu diungkapkan bersama dalam satu ayat. Apabila ingin
membahas kajian tentang zakat misalnya, maka mau tidak mau ayat tentang shalat
harus di tinggalkan ketika menukilkannya dari mushaf agar tidak mengganggu pada
waktu melakukan analisis.
b. Membatasi
pemahaman ayat: Dengan diterapkannya judul penafsiran, maka pemahaman suatu
ayat menjadi terbatas pada permasalahan yang dibahas tersebut. Akibatnya
mufassir terikat oleh judul itu. Padahal tidak mustahil satu ayat itu dapat
ditinjau dari berbagai aspek, karena dinyatakan Darraz bahwa, ayat al-Qur’an
itu bagaikan permata yang setiap sudutnya memantulkan cahaya. Jadi, dengan
diterapkannya judul pembahasan, berarti yang akan dikaji hanya satu sudut dari
permata tersebut.[5]
B. Hermeneutika dalam Penafsiran Al - Qur’an
Secara
etimologis, kata “hermeneutic” berasal dari bahasa Yunani hermeneuein
yang berarti “menafsirkan”, dan dari kata hermeneuin ini dapat ditarik kata
benda hermeneia yang berarti “penafsiran” atau “interpretasi” dan kata hermeneutes
yang
berarti interpreter (penafsir). [6]
Dari asal kata itu
berarti ada dua perbuatan; menafsirkan dan hasilnya, penafsiran (interpretasi),
seperti halnya kata kerja “memukul” dan menghasilkan “pukulan”. Kata tersebut
layaknya kata-kata kerja dan kata bendanya dalam semua bahasa. Kata Yunani hermeios
mengacu pada seorang pendeta bijak, Delphic. Kata hermeios dan kata
kerja yang lebih umum hermeneuein dan kata benda hermeneia
diasosiasikan pada Dewa Hermes, dari sanalah kata itu berasal.
Pada mitologi Yunani kuno, kata
hermeneutika merupakan derivasi dari kata Hermes, yaitu seorang dewa yang
bertugas menyampaikan dan menjelaskan pesan (message) dari Sang Dewa kepada
manusia. Menurut versi mitos lain, Hermes adalah seorang utusan yang memiliki
tugas menafsirkan kehendak dewata dengan bantuan kata-kata manusia. Pengertian
dari mitologi ini kerapkali dapat menjelaskan pengertian hermeneutika teks-teks
kitab suci, yaitu menafsirkan kehendak tuhan sebagaimana terkandung di dalam
ayat-ayat kitab suci.
Dengan demikian menurut kami pemakalah, hermeneutik pada
dasarnya adalah suatu metode atau cara untuk menafsirkan simbol yang berupa
teks atau sesuatu yang diperlakukan sebagai teks untuk dicari arti dan
maknanya, di mana metode hermeneutik ini mensyaratkan adanya kemampuan untuk
menafsirkan masa lampau yang tidak dialami, kemudian dibawa ke masa sekarang.
Teshia Nashr Hamid Abu
Zayd menyatakan bahwa peradapan islam sebagai peradaban teks adalah tepat.[7]
Hal ini karena teks agama,dalam hal ini alqur’an ,memeiliki posoisi
sentral dalam peradaban Islam.Dari masa
kemasa ,Produk pemikiran umat islam tidak pernah lepas dari teks agam tersebu .
Jika dikomparasi dengan peradaban barat yang berasas pada konsep,tetapi konsep
tersebut tetap saja merujuk pada teks .dengan kata lain,peradaban Islam
memosisikan tek agama sebagai poros utama.[8]
Dengan demikian ,Teks
Alqur’an bagi umat islam tidak bias dilepaskan dari gerak peradaban teks dan
nalar bayani memperlakukan teks menjadadi monointerpretatip. Maksudnya,teks
yang merupakan produk sejarah diperlukan secara sacral dan melampauisejarah
sehingga memuculkan kesenjangan antara
teks danpersoalan kemanusiaan sebagai akibat anti “gagap” dalam menghadapi
modernitas dan anti barat.
Disinilah,pentingnya tawaran
mendialogkan teks agama ( Al-Qur’an dengan persoalan – persoalan kemanusian.
Metode dan pendekatan Hermeneutik dalam kerangka penafsiran Al-Qur’an mungkin bias menjadi
jembatan menuju dialog tersebut.[9]
1. Teks dan Teori Hermeneutika
Pada dasarnya,teks adalah produk
budaya dan Alqur’an sebagai firman Allah yang direkam dalam bentuk teks di
produksi oleh sebab dan peristiwa yang dalam ‘Ulum Al- Qur’an disebut dengan
abab an nuzul.berkaitan dengan hal itu,Abdullah Ahmad An-Na’im membedakan
antara ayat –ayat yang diturunkan pada periode mekah dan
madinah.menurutnya,ayat – ayat pada periode Mekah mangandung gagasan kemanusian
universal yang tidak terbatasi identitas agama,sedangkan ayat ayat yang
diturunkan pada periode Madinah bersifat sebaliknya.[10]
Teks
agama tidak muncul diruang hampa,melainkan diruang yang ‘penuh masalah” maka
teks agam terkonstruksi secara cultural dan terstruktur secara historis. Jika
pembacaan terhadapnya dilepas dari konteks social budaya yang mengontruksinya
,makna yang dikandungnya akan menjadi asing dan kehilangan relevansiya. Oleh
karna itu ,makna yang dikandung teks bersifat tidak dinamis ,tidak berlaku
sepanjang zaman dan tempat.
Teori
hermeneutika sebenarnya berasal dari tradisi keilmuan yunani kuno, yang
menyebutkan bahwa Hermes menyampaikan kabar dari tuhan kepada manusia. Karna pesan psan tersebut masih
dalam bahasa langit, maka perlu perantara yang bisa menafsirkan dan menerjemahkannya
ke dalam bahasa bumi. Dari fungsi dan peran inilah Hermeneutika mulai
mendapatkan makna baru sebagai sains atau seni menafsir.
Hemeneutika
memiliki dua fungsi
·
Menetukan
makna isi yang sesungguhnya dari suatu kata ,kalimat ,teks dan sebagainya .
·
Menemukan
perintah perintah yang terkandung dalam benuk bahasa simbolis.
Dalam perkembangan berikutnya Hermeneutika tidak hanya
terpaku pada persoalan teks yang diam atau bahasa sebagai strukur dan makna,
tetapi secara perlahan ia mulai mendeskripsikan penggunaan bahasaatau teks
dalam seluruh
realitas
hidup manusia. misalnya menggunakan Hermeneutika untuk memahami orisinalitas
arti dari sebuah teks, bahkan lebih dari itu, arti Hermeneutika baginya adalah
untuk memahami sebuah wacana (discource) dengan baik kalau perlu lebih baik
dari pembuatnya (to understand the discourse just well as well as and even
better than its creator).
Konsep Hermeneutika juga dikembangkan oleh Friedrich
Ast. Dia mengatakan bahwa hermeneutika adalah suatu riset tentang kepurbakalaan, baik itu berupa teks, artifak
atau dokumen, kemudian dicari ruhnya. Oleh karena itu ia menawarkan tiga frame
work pemahaman yaitu secara historis, gramatikal dan spiritual.
Dalam bukunya Truth
and Method,[11]
Gadamer menekankan adanya pemahaman yang yang mengarah pada ontologism melalui
Hermeneutika atau dialetika,bukan
melalui metode.
Jadi,Hermeneutika Gadamer adalah Hermeneutika ontologis.
Artinya sebuah rasio pemahaman yang tidak dapat diukur oleh ruang waktu dan
tempat, karena ia berhubungan dengan historisitas yang selalu berubah-rubah.
Oleh karena itu, objektif adalah hal yang absurddan nihilis. Baginya tidak ada
kebenaran objektif, sebab jika ada ia harus dapat terukur oleh ruang dan waktu.
Apalagi menurutnya rasio pemahaman apapun atas sebuah risetpasti mengandung
prejudice. Sebab itu sebuah riset tidak pernah sepi dari prasangka. Maka
himbauan “Making free with text” adalah suatu hal yang mustahil. Jadi kebenaran
lebih merupakan inventiondari pada discovery. Dengan argumen ini, kemudian ia
mendeklarasikan gagasannya tentang the universality of hermeneutic. Salah satu
media
yang paling baik dan universal bagi terjadinya dialog adalah bahasa.
2. Hermeneutika dalam Pemikiran Islam.
Maka dikalangan ulama’ Islam terbagi menjadi dua kelompok
yaitu kelompok yang menerima hermeneutika dalam pemikiran Islam dan
kelompok yang menolak hermeneutika.
Alasan kelompok yang menerima hermeneutika dalam
pemikiran Islam adalah sebagai berikut:
a.
Al-Qur’an adalah teks-teks manusia
biasa (hasil dari kebudayaan) dan karena itu perlu adanya interpretasi agar
dapat di fahami.
b.
Al-Quran kini sudah saatnya
ditafsirkan ulang, karena tafsir al-Quran yang ada sekarang hanya ditfsirkan
secara tekstual, maka perlu adanya penyesuaian dengan kondisi (konteks) masa
sekarang.
c. Penafsiran
Al-Quran yang ada ini masih relatif kebenarannya. Sehingga masih memungkin
penafsiran-penafsiran yang lebih bebas dari itu.
d. Unsur
pokok yang menjadi pilar utama Hermeneutika: text, author, dan audience,
tidak berbeda dengan konsep tafsir Al-Qur’an. yaitu;[12]
1) siapa yang
mengatakan,
2) kepada siapa diturunkan, dan
3) ditujukan kepada siapa.
e.
Praktek hermeneutika telah dilakukan
dalam dunia penafsiran Islam sejak lama, bahkan sejak awal kajian tafsir,
khususnya ketika menghadapi Al-Qur’an. Bukti dari hal itu adalah:
1) kajian-kajian mengenai asbab
al-nuzul dan nasikh-mansukh,
2) penggunaan berbagai teori dan
metode dalam proses penafsiran.
3) adanya kategorisasi tafsir
tradisional, seperti; tafsir syi’ah, tafsir mu’tazilah, tafsir hukum, tafsir filsafat
dan yang lain. Ini menunjukkan kesadaran tentang kelompok, ideologi, priode,
maupun horizon social tertentu.
f .
Istilah hermeneutika dalam
pengertiannya hampir sama dengan istilah tafsir atau ta’wil. yang berarti
menerangkan atau mengungkap (al-bayan wa al-kashf), sedangkan hermeneutika
memiliki pengertian interpretasi.
g.
Ada kesejajaran antara semangat
Reformasi Protestan dan Gerakan Salafiyah dalam Islam. Dalam gerakan Salafiyah,
dikembangkan suatu tradisi penafsiran Qur’an yang kurang lebih independen dari
tradisi mazhab. Inilah yang menjelaskan kenapa dalam keputusan-keputusan majlis
tarjih Muhammadiyah, misalnya, rujukan kepada Kitab Kuning yang memuat khazanah
tradisi bermazhab sama sekali kurang, atau malah tak ada sama sekali. Sedangkan
kelompok yang menolak hermeneutika dalam kajian Islam, memiliki alasan sebagai
berikut:[13]
a. Hermeneutika berlandaskan pada
pedoman bahwa segala penafsiran al-Quran itu relatif. Padahal, fakta
menunjukkan bahwa para mufassir sepanjang masa tetap memiliki pedoman-pedoman
pokok dalam menafsirkan al-Quran.
b. Para hermeneut berpendapat bahwa
penafsir bisa lebih mengerti lebih baik daripada pengarang, mustahil dapat
terjadi dalam Al-Quran. Tidak pernah ada seorang Mufassir Al-quran yang
mengklaim bahwa dia lebih mengerti dari pencipta atau pengarang al-Quran, yaitu
Allah SWT.
c. Konsep hermeneutika yang berpedoman
bahwa interpretasi teks yang berdasarkan doktrin dan bacaan yang dogmatis harus
ditinggalkan dan dihilangkan (deabsolutisasi) juga tidak sesuai dengan ajaran
Islam. Sebagai umat Islam, kita harus meyakini bahwa al-Quran adalah sebuah
mukjizat dan berbeda dengan teks-teks biasa. Doktrin kebenaran al-Quran
semuanya bersumber kepada Allah dan menjadi syarat keimanan umat Islam.
d. Hermeneut yang mengatakan bahwa
pengarang tidak mempunyai otoritas atas makna teks, tapi sejarah yang
menentukan maknanya juga tidak mungkin diaplikasikan pada al-Quran. Seluruh
umat Islam sepakat bahwa otoritas kebenaran al-Quran tetap dipegang oleh Allah
SWT sebagai penciptanya. Realita juga menunjukkan bahwa Allah melalui Al-Quran
justru mengubah sejarah, bukan dipengaruhi atau ditentukan oleh sejarah.
Diantara pengaruh Al-Quran adalah fakta bahwa Al-Quran telah melahirkan sebuah
peradaban baru yang disebut sebagai “peradaban teks” (hadarah al-nash).
e. Tradisi hermeneutika dalam Bible
memang memungkinkan. Terdapat berbagai macam Bible dan tiap-tiap Bible ada
pengarangnya. Tapi teks al-Quran pengarang adalah hanya Allah. Karena itu
metode hermeneutika yang diaplikasikan pada Bible tidak mungkin digunakan dalam
al-Quran.
f. Bible diliputi serangkaian mitos dan
dogma yang menyesatkan. Hal tersebut yang memicu digunakannya hermeneutika
terhadap Bible. Sedangkan al-Quran itu pasti dan terjaga status keasliannya.
Begitu pula sejarah dan tradisi tafsir al-Quran. Karena al-Quran diciptakan
oleh dzat yang maha sempurna dan ditafsirkan oleh makhluk yang penuh
keterbatasan, maka tidak akan pernah ada kata sempurna tentang penafsirannya.
g.
Orang yang ingin menafsirkan al-Quran harus memenuhi beberapa ketentuan
seperti: menguasai Sunnah, yang dalam hal ini adalah memahami sepenuhnya nash
(teks) Sunnah, mengetahui dan memahami kisah-kisah sejarah di dalam
Al-Quran atau berita tentang berbagai umat manusia pada zaman dulu yang
bersumber dari Rasulullah. Menguasai ilmu Tauhid, ilmu Fiqih, ilmu I’rab
(gramatika), ilmu Balaghah, ilmu sejarah dan lain sebagainyah al ini tidak
berlaku untuk hermeneutik.[14]
Namun, akhir-akhir ini, kita – umat Islam
– dikejutkan oleh berbagai serangan arus pemikiran liberal, baik yang dilakukan
oleh orientalis maupun orang-orang Islam yang terpengaruh pemikiran Barat.
Dalam ilmu tafsir, dimunculkanlah hermeneutika. Ilmu yang mula-mula diterapkan
dalam menafsirkan Bible ini, dipaksakan untuk dapat diterapkan dalam
menafsirkan berbagai kitab suci, terutama al-Qur’an.Dalam sebuah hadits shahih
dinyatakan :[15]
حَدِيْثُ أَبِي سَعِيْدٍ الخُدْرِيَّ. عَنِ النَبِيِ قَالَ:
“لَتَتَبَعَنَّ سُنَنَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ, شِبْرًا بِشِبْرٍ, وَذِ رَاعًا بِذِ
رَاعٍ. حَتَّى لَوْ دَخَلُوْا جُحْرَ ضَبٍّ تَبَعْتُمُوْهُمْ”. قُلْنَا:
“يَارَسُوْلَ الله, الْيَهُوْدِ وَالنَصَارَى؟”. قَالَ: “فَمَنْ؟”ز
Artinya: Abi Said Al-Khudri r.a.
berkata : Rasulullah SAW bersabda, “Sungguh kalian akan mengikuti tradisi
orang-orang sebelum kalian, sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi sehasta,
sehingga meskipun mereka berjalan masuk ke dalam lubang biawak, niscaya kalian akan
mengikuktinya.” Lalu kami bertanya, “Wahai Rasulullah, Apakah mereka itu adalah
Yahudi dan Nasrani? Beliau bersabda, “Siapa lagi?!”
Mereka yang kurang peka atau tidak jeli cenderung memandang
enteng persoalan ini. Atau bahkan menganggapnya bukan persoalan sama sekali.
Alasannya, ilmu itu netral. Namun, apakah benar demikian? Kecuali wahyu yang
berasal dari Allah, boleh dikata semua produk pemikiran manusia pada hakekatnya
tidaklah netral dalam arti bebas dari kepentingan para perumusnya dan anggapan
yang menyertainya. Hanya mereka yang naïf menganggap ilmu pengetahuan itu bebas
nilai. Aneka ragam ideology dan produk pemikiran sesungguhnya sarat
dengan berbagai perandaian terpendam (tacit assumptions) dan kepentingan
terselubung (hidden interests).
Contoh dari hermeneutika Al-Qur’an
adalah penafsiran yang dilakukan oleh Asghar Ali Engineer terhadap surat An-Nisa’ ayat 3 :
وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَىٰ
فَانكِحُوا مَا طَابَ لَكُم مِّنَ النِّسَاءِ مَثْنَىٰ وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ ۖ فَإِنْ
خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ۚ ذَٰلِكَ
أَدْنَىٰ أَلَّا تَعُولُوا
Artinya
: “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak)
perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita (lain) yang
kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat
berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki.
Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya”.
Baginya poligami untuk konteks saat ini
bertentangan dengan nilai keadilan.Poligami hanya bisa diterima apabila
memenuhi syarat-syarat tertentu, di antaranya syarat keadilan suami kepada
isteri-isterinya. Keterkaitan poligami dengan syarat-syarat ini menunjukkan bahwa
yang dituju oleh Islam sesungguhnya adalah monogami. Berikut ini
model pemahaman teks Asghar Ali Engineer yang berkaitan dengan poligami : [16]
Ø Sosio-Historis poligami pra-islam tidak dibatasi, tidak
adil.
|
||||
Ø Poligami
Islam: Maksimal 4 isteri dengan syarat harus adil.
|
||||
Ø Keadilan
dalam poligami sulit tercapai.
|
||||
Ø Monogami
lebih sesuai dengan keadilan.
|
||||
Ø Poligami
bertentangan dengan nilai keadilan untuk konteks
sekarang
|
||||
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dengan demikan mengenai pembahasan
diatas menurut kami tafsir maudu’I
adalah penafsiran Alqur’an dengan cara menjelaskan ayat-ayat yang terhimpun dalam
satu tema dan tujuan makna yang sama. Analisis Kelebihan dan Kelemahan
Tafsir Maudhu’i yaitu:
Kelebihan metode tafsir maudhu’i yaitu menjawab tantangan zaman, Praktis dan
sistematis, Dinamis, dan membuat pemahaman menjadi utuh.
Kekurangan metode tafsir maudhu’i yaitu Memenggal ayat al-Qur’an dan Membatasi
pemahaman ayat.
Keberadaan
hermeneutika dengan metodologinya sendiri membawa nuansa baru dalam penafsiran
Al-Qur’an. Dengan metodenya ini Al-Qur’an tidak lagi dianggap sebagai sesuatu
yang sakral, karena dalam kacamata hermeneutika ketika teks turun dan berada
ditengah-tengah realitas kehidupan manusia maka ia sepenuhnya menjadi milik
manusia dan berhak untuk diinterpretasikan, dihayati, dan dipahami seperti apa
pun keinginannya. Semua yang tertuang dalam teks, bagi hermeneutika, dapat
ditafsirkan dan dipahami maknanya dengan jelas. Dan inilah yang membedakannya
secara fundamental dengan terma tafsir dalam diskursus Ulum al-Qur’an.
[1]
.Gozali , Nanang , Tafsir hadis
tentang pendidikan ( Bandung : Pustaka Setia , Cet 1, 2013) hal. 20.
[2]
.Hamzah, Muchotob , dkk, . Tafsir Maudhui’I Al Muntaha (Yogyakarta:
Pustaka Pesantren.2004) hal.21
[3].
Ibid. hal 20
[4] .Rohimin, Metodologi Ilmu Tafsir dan Aplikasi Model Penafsiran,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), h. 75
[5]. Ibid. hal.76.
[6] . Husaini, Adian dan Abdurrahman al-Baghdadi, Hermeneutika & Tafsir Al-Qur’an (
Yogyakarta: Gema Insani Press , 2007) hal.7-8
[7] . Abu Zayd, Nashr hamid,
Tekstualitas Al-Qur’an : Kritik terhadap
‘Ulum Al- Qur’an Terjemahan, (Yogyakarta : LKiS,2003) hal.1
[8] Basy,.M.Hilaly, mendialogkan
Teks Agama dengan Makna Zaman:Menuju Transformasi Sosial dalam ‘Jurnal Al-Huda’,
Vul.III, No .11,2005, hal.9
[9].Gozali, Nanang, op.cit., hal. 24.
[10] . Ahmad An-
Na’im, Abdullah, Dekonstruksi Syariah :
Wacana Kebebasan Sipil,HAM,dan hunbungan Internasional dalam Islam,
(Yogyakarta: LKiS, 2001,) hal. 32.
[12] . Faiz, Fakhruddin Hermeneutika Qur’ani: Antara Teks, Konteks, dan
Kontekstualisasi (Yogyakarta: Penerbit Qalam. 2003),hal.50
[13] . Faiz, Fakhruddin, Hermeneutika Al-Qur’an: Tema-tema
Kontroversial (Yogyakarta: Elsaq
Press. 2005), h. 5
[16] . Ahmad Baidowi, “Hermeneutika al-Qur’an Asghar Ali-
Engineer,” al-Jami’ah: Journal of Islamic Studies, Vol. 41, No. 2,
2003, h. 379
No comments:
Post a Comment